Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16b


“Ma, maaf.”

Mata Haniah berkaca-kaca, ia menatap tangannya yang masih teracung di udara lalu memejam, dan ambruk ke kursi lalu menangis.

“Kenapa Anyelir. Ada apa sama kamu? Kamu seperti bukan Anyelir yang aku kenal.”

Anyelir duduk bersimpuh di depan Haniah. Meletakkan kepalanya di pangkuan wanita yang sedang menangis itu dan dirinya ikut menangis. Ia tahu, Haniah marah dan kecewa karena rasa cinta wanita itu padanya. Ia tahu, dirinya layak dicaci dan dipukul karena sudah membuat luka. Bahkan air mata yang tumpah dan seribu kata maaf, tidak akan mengembalikan kasih sayang yang retak di antara mereka.

“Jangan lagi bilang maaf padaku. Aku hanya ingin penjelasan, ada apa?”

“Ma, semua salahku.”

Haniah menggeleng. “Aku marah padamu, Anyelir. Tapi, aku tahu tidak sepenuhnya kesalahan ada di pundakmu. Ada andil anakku juga di sini. Apakah karena dia terlalu lama memberimu kepastian? Kalau memang begitu, memang salah Danial. Tapi, kenapa harus dengan Brian? Kenapa dia? Kamu tahu kalau mereka bersahabat?”

Tidak peduli, berapa banyak yang dipertanyakan Haniah, Anyelir bungkam. Bahkan saat air mata wanita itu nyaris mengering, bersikukuh untuk tahu alasan Anyelir hamil dengan Brian, tetap tidak ada jawaban. Anyelir memilih menutup mulutnya, bukan demia Danial tapi demi melindungi wanita tua yang selama ini sudah begitu baik padanya.

Saat Haniah pamit pulang, Anyelir mematung di teras. Menatap awan yang hitam yang menutupi langit. Ia berpikir, bahkan cuaca pun kini seperti hatinya. Tidak pernah cerah dan terus-menerus mendung.

Sepanjang hari, Anyelir terus murung. Ares yang melihatnya merasa kasihan. Wanita itu makan sedikit dan menolak untuk minum susu. Karena kuatir, Ares memanggil Verona dan berharap kalau kakak sepupunya bisa menghibur Anyelir.

“Apa kamu menyesal?” tanya Verona lembut.

“Menyesal tentang apa?”

“Karena hamil dan akhirnya membatalkan niatmu menikahi Danial?”

Anyelir terdiam, memikirkan pertanyaan Verona. Benarkah ia menyesal karena hamil? Mungkin, ada sebagian dirinya kecewa karena tidak bisa menikah dengan Danial. Tapi, itu dulu. Kini, seiring berjalananya waktu, perasaannya terhadap Danial memudar.

“Danial itu laki-laki, dia bisa datang dan pergi. Ada mantan suami tapi tidak akan pernah ada mantan anak. Jadi, aku … tidak menyesal karena ada anak ini.” Anyelir mengelus perutnya denagn sayang. “Meski kehadirannya tidak direncanakan, tapi dia milikku.”

Verona tersenyum, ia bisa mengerti jalan pikiran sahabatnya. “Lalu, Brian? Bagaimana perasaanmu padanya?”

“Perasaan apa? Cinta? Kami berdua sepakat untuk saling menyesuaikan. Aku tahu, cinta tidak akan tumbuh semudah itu, tapi kami akan mencoba demi anak kami.”

“Sweet sekali kalian. Bagaimana kalau Danial dan mamanya membencimu?”

“Resiko, aku siap menerimanya.”

Menghela napas panjang, Verona mengelus lengan sahabatnya. Ia tahu persis bagaimana penderitaan Anyelir dari semenjak orang tuanya meninggal. Anyelir yang bekerja keras untuk bertahan hidup, jatuh cinta dengan Danial yang dianggap sebagai penolongnya. Hingga putaran nasib membawanya bertemu Brian.

“Aku dengar Brian dijodohkan dengan Vania, oleh orang tuanya.”

Anyelir menoleh cepat. “Lalu?”

“Bagaimana kalau dia ternyata tidak bisa menolak perjodohan itu? Bagaimana kalau orang tuanya menolakmu?”

Anyelir tersenyum kecil, mengelus perutnya yang semakin membuncit. “Dari awal aku selalu beranggapan bayi dalam kandunganku adalah milikku seorang.”

“Jadi, kalau mereka menolakmu, kamu berencana hidup sendiri? Tidak memilih Danial atau Brian?”

“Iya, dari awal aku punya rencana begitu?”

“Hei, kamu nggak cinta sama Brian?”

Kali ini Anyelir tergelak lirih. Merasa bahwa kata cinta adalah sebuah kemewahan untuknya. Bagaimana mungkin ia berani berharap banyak, sedangkan keadaan memaksanya untuk tetap tahu diri.

“Sering kali, cinta kalah sama yang namanya kenyataan.”

Entah bagian mana yang menurut Verona lebih menyedihkan. Mungkin saat Anyelir mengatakan tentang keadaan bayinya, atau juga sikap sahabatnya yang tidak berani berharap cinta. Sedangkan ia tahu, kalau Anyelir menyimpan harapan untuk Brian.

“Anyelir, Brian itu laki-laki yang baik. Kalau dia ingin berjuang untukmu, terimalah.”

Merasa terharu, Anyelir mendekat ke arah Verona dan meletakkan kepalanya di bahu wanita itu. Keduanya berdiri menatap senja yang turun perlahan di sela mendung. Anyelir bahagia, punya seorang yang mendukungnya tanpa kenal lelah.
Mata Verona tertuju pada bunga anyelir putih yang ada di dalam pot dan mengagumi kelopaknya.

“Bunga anyelirmu mekar. Indah.”

“Sayangnya putih.”

“Kenapa memang kalau putih?”

“Aku berharap itu merah, dan bisa membuatku lebih berani menghadapi hidup.”

“Kamu wanita pemberani. Nasib baik yang belum berpihak padamu. Kecuali, kehadiran bayi itu.”

Anyelir tidak menyangkalnya, karena di atas semua yang terjadi padanya memang kehadiran bayi adalah keajaiban.

Semenjak kedatangan Haniah, Danial mengirim pesan dan menelepon. Anyelir mengabaikannya. Emtah kenapa, ia makin malas berhubungan dengan mantan tunangannya.  Sedikit banyak ia senang karena Danial membantunya memberitahu Haniah. Wanita itu memang marah tapi itu membuatnya sedikit lega. Sekarang, tidak ada lagi rahasia yang harus ia simpan rapat.

Brian yang tahu dari Ares kalau Haniah datang dan mengamuk, datang untuk bertanya. Laki-laki itu bahkan siap mendatangi rumah Haniah dan menjelaskan semua.

“Entah bagaimana aku yakin kalau Danial tidak menjelaskan secara detil. Pasti ada beberapa hal yang dia tutupi.”

Anyelir pun punya dugaan yang sama tentang Danial tapi ia enggan cari masalah sekarang. Biarlah keluarga Danial dan Haniah membencinya, asal ia bisa bebas dengan hidupnya.

“Biarkan saja, Kak. Nggak penting buat kita.”

Brian terlihat tidak puas dengan jawaban Anyelir. Tapi laki-laki itu menurut untuk tidak mendatangi Haniah dan Danial. Karena Anyelir tahu, masalah mereka masih banyak. Ada banyak hal yang masih menunggu untuk diselesaikan.

Perkiraan Anyelir tidak salah. Saat dua hari kemudian, ia menerima tamu seorang wanita cantik seumuran dengan Haniah. Wanita itu tinggi, berkulit putih, dan bentuk matanya mengingatkan Anyelir pada seseorang.

“Anyelir, aku mamanya Brian.”

Tidak ada yang lebih mengagetkan dari caranya Sinta datang. Wanita itu membawa banyak makanan dan buah-buahan dan membuat Anyelir tercengang saat Sinta memeriksa keadaan kedai.

Tanpa perkenalan secara umum, mamanya Brian berkeliling, menyapa para pegawai, dan juga Ares. Lalu, meminta Anyelir menemaninya mengobrol.
Sama seperti Haniah, Anyelir membawa mamanya Brian ke teras belakang. Mereka  duduk dengan canggung, karena tidak pernah saling mengenal sebelumnya.

Sinta tidak menolak saat Anyelir menawarkan teh leci berikut kroket kentang. Ia makan dengan nikmat dan menikmati tehnya.

“Kamu pasti gugup melihatku datang.” Sinta membuka percakapan.

“Iya, Bu,” jawab Anyelir jujur.

“Aku pu tak kalah kaget saat mendengar anak sulungku bicara tentang seorang wanita yang sedang mengandung anaknya. Bayangkan bagaimana perasaan kami, yang sama sekali tidak mengenalmu. Lalu, tiba-tiba ada berita kalau kami akan punya cucu.”

Hening, Sinta kembali meneguk tehnya dan Anyelir masih dalam posisi semula. Duduk tegak di kursinya dengan kepala menunduk.

“Kami mengenal Brian dengan baik. Dia memang punya banyak kekasih, tapi tidak akan pernah mempermainkan wanita apalagi sampai hamil. Apa yang sedang terjadi kini, terus terang membuat kaget.”

Anyelir menghela napas panjang, berucap pelan. “Maaf.”

Sinta menatap wanita muda di sampingnya. Ada kesenduan yang tersirat di balik wajah ayu yang sekarang sedang menunduk. Tidak hanya itu. Sikap pasrah Anyelir juga membuatnya bertanya-tanya.

“Kalau aku sekarang marah dan mengamuk, lalu memaki-makimu, bagaimana?”

Kaget dengan pertanyaan Sinta, Anyelir mendongak. Senyum kecil tersunggung di mulutnya. “Silakan, saya terima.”

Singkat, tanpa pembelaan berapi-api, Anyelir seakan pasrah dengan nasibnya. Sinta menarik napas panjang dan mendongakkan kepala sambil memejam.

“Dibandingkan Vania, kamu kalah jauh. Dia, wanita yang sempurna. Cantik, dari keluarga baik-baik dan yang pasti sangat mencintai Brian. Vania adalah calon menantu idaman kami.”

Anyelir meringis dalam hati. Dari awal ia sudah menduga apa maksud kedatangan dari Sinta dan ia tidak merasa aneh saat wanita itu berkata tajam. Bukankah Haniah juga bereaksi sama? Meski beda penyebab.

“Tapi … Brian memilihmu. Lalu, ada hak apa kami sebagai orang tua untuk memaksa?”

Kali ini Anyelir mendongak heran. Ia ternganga dan merasa salah lihat saat seulas senyum muncul di bibir Sinta.

“Kenapa? Kamu kaget?”

“Iy-iya Bu.”

Sinta mendesah, menyandarkan punggungnya pada kursi dan meluruskan kaki. Memcoba bersikap santai seakan berada di rumah sendiri.

“Perlu waktu bagi kami untuk berpikir. Seandainya, dari hari pertama Brian memberitahu kami dan aku langsung datang, pasti banyak amarah dan hinaan antara kita. Tapi, aku dan suamiku mencoba berpikir jernih dan tidak mengikuti ego kami sebagai orang tua.”

Anyelir menggigit bibir bawahnya. Perkataan Sinta seperti menumbuhkan harapan baru di hatinya. Ia tidak berani berasumsi, tapi entah kenapa hatinya terasa senang.

“Anyelir.”

“Iya, Bu.”

“Anak yang kamu kandung itu, cucu kami.”

“Iya, Bu.”

Entah apa yang lucu, Sinta tergelak. “Rasanya sungguh aneh. Tadi pagi sebelum datang, aku bahkan menyiapkan skenario dalam pikiranku untuk marah padamu. Tapi nyatanya, aku tidak bisa. Sebagai seorang ibu, aku tidak akan pernah menelantarkan anak dalam kandunganku. Begitu juga saat menjadi nenek.”

Entah dari mana datangnya air mata. Bisa jadi karena merasa terharu atau bahagia, Anyelir terisak. Pada akhirnya, ada satu orang yang mengerti dan tidak menyalahkannya atas semua yang terjadi. Pada akhirnya, justru orang tua Brian yang menerimanya, sedangkan awalnya justru ia paling takut dengan mereka.

“Terima kasih, Bu.”

Hanya itu yang mampu ia ucapkan. Setelah berjuta kata maaf terlontar dari mulutnya, kini ia mampu berterima kasih untuk segala pengertian, kasih sayang, dan penerimaan yang lembut dari Sinta.

“Kami akan atur kapan kalian sebaiknya menikah dan Brian harus menyelesaikan masalah dengan mantan tunanganmu.”

Anyelir mengangguk. “Iya, Bu.”

“Sementara Brian bicara dengan Danial, aku yang akan bicara dengan orang tua Vania. Ternyata, mengatur jodoh memang tidak mudah. Tidak peduli bagaimana kami memaksa, yang menjalani tetap kalian.”

Rasanya bagai melihat pelangi setelah hujan. Itu yang Anyelir pikirkan saat melepas kepulangan Sinta. Di antara semua kejadian dan hiruk pikuk, penerimaan orang tua Brian sungguh membuatnya lega.  Pada akhirnya, ia akan memiliki satu keluarga utuh yaitu suami, anak, dan mertua.

“Terima kasih, Tuhan. Sudah memberiku kesempatan dan anugrah.” Anyelir berbisik lembut, berharap angin menyampaikan doanya pada sang penguasa langit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro