Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15b


Brian membeku di tempatnya berdiri. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Mengabaikan rasa sakit yang mendera rahang dan wajahnya, ia menatap sahabatnya yang kini menekuk lutut di atas lantai.

“Maksudmu apa?” tanyanya pelan.

Danial tidak mendongak, lagi-lagi hanya berucap pelan. “Kamu bajingan! Tega menusukku dari belakang. Kenapa harus Anyelir saat kamu bisa mendapatkan wanita mana pun yang kamu mau. KENAPA DIAAA!”

Teriakan Danial terdengar nyaring di ruang tamu Brian. Ia terdiam, tidak sanggup bicara. Keheningan menyelimuti udara, dengan Brian terpaku di tempatnya berdiri.

“Apa Anye yang bilang?” Brian membuka suara setelah pulih dari rasa kaget.

“Jadi itu benar? Kamu meniduri Anyelir? Kalian berselingkuh di belakangku?”

“Tidak! Bukan begitu tepatnya.”

Danial meremas rambutnya, menekuk wajah di antara lutut. Tidak memedulikan rasa sakit di fisiknya. Yang ia rasakan di hati jauh lebih sakit.
“Kita bersahabat dari dulu. Bukankah ada kesepakatan kalau tidak akan pernah mengambil milik teman?”

Menekan rasa bersalah, Brian duduk di sofa. Menatap sosok sahabatnya yang terlihat lunglai di atas lantai. Ia bukannya tidak ingat tentang perjanjian dan persahabatan mereka. Bagaimana dulu mereka saling menjaga satu sama lain, saling memberi support satu sama lain. Danial adalah orang yang paling banyak membantunya saat ia harus merintis usaha.

Dari saat mereka kuliah dulu, tidak peduli betapa cantik wanita yang ditaksir Brian, kalau terlihat Danial menyukai wanita yang sama, ia akan mundur. Pantang baginya mengambil milik sahabatnya sendiri. Tapi, Anyelir? Sebuah ketidaksengajaan.

Yang membuat runyam sekarang, bukan karena Anyelir adalah tunangan Danial. Tapi, ada anak yang sekarang sedang bertumbuh di perut Anyelir dan itu anaknya. Ia tidak akan membiarkan seorang pun menyakiti Anyelir, bahkan Danial sekali pun.
“Setelah marah dan kecewamu reda. Apa kamu mendengar penjelasanku?”

Danial mendongak, menatap sahabatnya penuh kebencian. “Penjelasan apa lagi? Apa kamu mau memberikan alasan kenapa kamu menidurinya?”

“Danial, stop!” geram Brian. “Bisakah kamu menggunakan bahasa yang baik? Yang kita bicarakan itu Anye! Bukan wanita di pinggir jalan!”

“Hah! Anyelir bahkan tak lebih baik dari pada itu!”

“Sekali lagi kamu memakai nada menghina terhadap Anye, aku akan menendangmu!”

Ancaman Brian membuat Danial terjaga. Ia berusaha duduk tegak, menatap sahabatnya seolah-olah baru pertama kali melihat Brian. Pembelaan Brian terhadap Anyelir sungguh luar biasa dan itu membuatnya tergugah.
“Kamu mencintai Anyelir.”

Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan. Brian tidak menyangkal, hanya menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke sofa.

“Apa kamu mendengar penjelasanku sekarang?”

“Memang apa lagi yang mau dijelasin?”

“Banyak, asal muasal kekacauan ini terjadi. Karena semua terkait denganmu.”

“Apa?”

Brian bangkit dari sofa, mengambil dua botol minuman dingin dari kulkas dan menyodorkan salah satunya ke tangan Danial. Setelah membasahi tenggorokannya, ia berdehem sebelum bercerita.

“Semua berawal saat aku menginap di apartemenmu, beberapa bulan lalu. Anyelir datang dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat perangsang. Tujuannya bukan aku tapi kamu. Sialnya, yang ada di sana itu aku yang sama-sama dalam keadaan setengah sadar.”

Mencoba bersikap tenang, Brian menceritakan detil hubungannya dengan Anyelir dan bagaimana akhirnya kehamilan itu terjadi. Tidak ada yang ia tutupi, kecuali detil-detil penting seperti cincin yang ia berikan untuk wanita itu.

Selama hampir satu jam bercerita tanpa jeda, akhirnya Brian merasa lega bisa mengeluarkan unek-uneknya. Seandainya setelah bercerita Danial tidak juga mengerti, itu masalah lain.

Jeda yang hening dan tidak mengenakkan, Brian menenggak minumannya hingga habis. Sedangkan Danial, menatap jendela yang memperlihatkan pemandangan malam dengan pikiran mengembara. Sama sekali tidak menyangka, justru semua hal yang terjadi pada Anyelir karena terkait dengannya.

“Saat itu, Anyelir merasa sangat putus asa. Mendapat tekanan dari keluarga dan teman-teman, untuk segera menikah sedangkan kamu mengulur-ulur waktu. Yang terbersit di benaknya adalah menjebakmu dalam kehamilan dan mau tidak mau, kalian pasti menikah.”

Danial menghela napas panjang, memikirkan kembali hubungannya dengan Anyelir beberapa bulan lalu.  Saat mereka belum putus. Harusnya, saat Anyelir memutuskan hubungan mereka, ia sudah mencium hal-hal aneh yang terjadi. Karena tidak mungkin seorang Anyelir yang terkenal setia, tega memutuskannya kalau tidak ada masalah. Kini, semua terungkap dan masalahnya justru ada pasa dirinya sendiri.

“Harusnya Anyelir mengatakan sendiri padaku, kalau dia ingin menikah. Bukan dengan cara begitu.”

Terdengar dengkusan tak percaya dari mulut Brian, mendengar ucapan Danial. “Kamu lupa? Bagaimana kamu mengatakan pada semua orang kamu belum siap menikah? Kamu lupa? Bahkan kamu sendiri yang bilang padaku, masih perlu waktu untuk berpikir? Sekarang? Mau menyalahkan Anyelir?”

“Iya, salah dia! Kenapa harus menggunakan cara seperti itu dan akhirnya semua runyam!”

“Otakmu bebal rupanya!” maki Brian tidak sabaran. “Kamu nggak dengar yang aku bilang, hah! Dia dalam pengaruh obat perangsang! Verona sendiri yang mengatakan padaku!”

“Oh, hebat!” Danial merenggut rambutnya. Ia menatap Brian dengan galak. “Semua orang tahu Anyelir hamil! Dan aku yang paling terakhir tahu!”

“Karena semua orang menggunakan mata dan hatinya untuk melihat!”

Danial memaki keras sekali, mengumpatkan banyak kata-kata kotor dan meraung kesal. Yang seharusnya marah di sini adalah dirinya, bukan Brian. Yang harusnya merasa bersalah itu Anyelir! Bukan dirinya yang harus menanggung kesalahan itu. Sampai sekarang, otak dan hatinya tidak dapat mencerna itu!

“Kamu bajingan, Brian!”

Brian mengangguk. “Memang! Terserah kamu mau memakiku apa. Asalkan jangan Anye.”

“Hah! Hahaha! Sungguh sebuah perkataan yang manis! Pembelaan calon suami pada istrinya!” Seketika tawa Danial terhenti. Ia menatap Brian lekat-lekat dan bertanya  pelan. “Kamu berniat menikahi Anyelir?”

Terdiam sesaat, Brian mengangguk tegas. “Iya, kalau Anyelir mau. Karena sampai sekarang, dia menolakku.”

“Shit! Kalian gilaaa! Oh, shit!”

Bangkit dari lantai, Danial melangkah cepat menuju pintu.

“Hei, mau ke mana?” teriak Brian.

Danial tidak menjawab, membuka pintu dan membanting pintunya menutup hingga membuat tembok bergetar. Segala kemarahan ia lampiaskan ke pintu besi.

Setelah sosok Danial menghilang, Brian menyugar rambut dan bergegas meraih ponselnya. Menghubungi Anyelir dan dijawab dalam dering kedua.

“Danial sudah sampai rumahmu?” Suara Anyelir terdengar kuatir dari ujung telepon.

“Baru saja pergi.”

“Lalu bagaimana?”

“Aku sudah jelaskan semua, termasuk awalnya bagaimana. Tapi, dia masih marah.”

Terdengar helaan napas panjang. Sama sepertinya, Brian bisa merasakan kegundahan Anyelir. “Besok, semua orang akan tahu masalah ini.”

Brian terdiam sesaat dan menjawab tegas. “Kita akan hadapi bersama.”

“Bisakah?”

“Bisa, pasti bisa! Asalkan kita bersama.”

Selesai menelepon Anyelir, Brian meraih jaket dan kunci mobilnya.  Ia keluar dari apartemen dengan terburu-buru dan memacu kendaraannya melewati jalanan yang mulai lengang, menuju rumah orang tuanya.

Kedaan semakin runyam sekarang. Sebelum orang tuanya tahu dari orang lain, ia yang akan memberitahu mereka lebih dulu. Sekarang, adalah saat yang tepat untuk berterus terang. Demi dirinya dan Anyelir.

Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam, saat Brian mencapai halaman rumahnya. Di perjalanan, ia sudah menelepon sang mama dan meminta kedua orang tuanya untuk menunggu ia datang.

Turun dari mobil, ia bergegas masuk dan melihat kedua orang tuanya sudah menunggu di ruang makan. Mereka mendongak heran saat melihat kemunculannnya.

“Kamu bikin kami kaget. Kirain ada apa-apa sampai datang malam-malam begini.” Sinta menyambut kedatangan anak sulungnya. Ia bangkit dari kursi untuk menyeduh minuman hangat dan menyuguhkannya di depan Brian. “Lapar? Mau makan sesuatu?”

Brian menggeleng. “Nggak, Ma. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan kalian.”

Arif menatap anak laki-lakinya yang datang dalam keadaan kusut masai. Ada bilur-bilur luka di wajah dan leher Brian.

“Kamu baru berkelahi?” tanyanya kuatir.

Reflek Brian memegang rahangnya dan baru menyadari rasa berdenyut perih di sana. “Ah, iya.”

“Dengan siapa? Mau dikompres biar nggak bengkak?” tanya Sinta kuatir.

“Nggak apa-apa, Ma. Nggak sakit kok.” Brian menolak sentuhan mamanya. Saat ini, rahang yang berdenyut nyeri bukanlah prioritas.

Sinta bertukar pandang kuatir dengan suaminya. Akhirnya ia mengalah dan duduk kembali ke kursinya. Sementara Brian mengetuk-ngetuk permukaan meja. Jelas terlihat kegundahan si wajahnya.

“Ma, Pa, kalian ingat tentang wanita yang aku ceritakan tempo hari?”

“Yang mana? Yang kamu bilang kamu cinta sama dia?” tanya Arif pada anaknya.

Brian mengangguk. “Iya, dia. Aku ingin … menikahinya.”

Hening, Sinta bahkan tidak menyembunyikan rasa kagetnya. Ia terbelalak menatap Brian. “Kenapa buru-buru? Ada apa ini? Kamu bahkan belum memperkenalkan pada kami. Siapa dia? Dari mana asalnya? Bagaimana keluarganya?”

“Maa, tolong tenang dulu.” Arif mengelus lengan istrinya. “Biarkan Brian menyelesaikan ceritanya.”

“Pa, bagaimana aku bisa tenang kalau anak kita mendadak mengatakan ingin menikahi wanita yang kita tidak kenal.”

“Namanya Anyelir.” Brian menyela percakapan kedua orang tuanya. “Saat ini, dia sedang mengandung anakku.”

Malam ini adalah malam terburuk bagi Brian. Saat ia terpaksa harus menceritakan semua pada orang tuanya. Bukan hanya soal Anyelir tapi juga hubungannya dengan Danial.

Kedua orang tuanya mengenal Danial dengan baik. Mereka tahu, kalau Brian dan Danial bersahabat dari semenjak kuliah. Dan, kini hubungan keduanya berakhir karena seorang wanita bernama Anyelir. Sungguh cerita yang tak terduga.

Memerlukan waktu nyaris tiga jam untuk Brian bercerita, tentu saja disela oleh sang mama yang cenderung cerewet dan papanya yang sesekali bertanya tegas. Ketika akhirnya ia menyelesaikan ceritanya, Brian menunduk lega.

“Apa kamu yakin akan menikahinya? Karena aku tidak yakin kalian saling cinta.” Ucapan sang papa membuat Brian heran.

“Pa, tentu saja aku menyayanginya. Itulah kenapa aku ingin menikahinya.”

Arife menggeleng. “Bisa jadi kamu bicara cinta. Tapi, ada satu hal yang terlupa. Ingat, ada bayi di kandungan Anyelir. Sekarang, tanya hatimu. Kamu menikahinya karena cinta atau karena bayi dalam kandungan.”

Terdiam sesaat. Brian balik bertanya. “Apa bedanya?”

“Beda, Brian. Sangat besar perbedaannya.”

Malam itu, mereka bicara berjam-jam lamanya. Fajar nyaris menyingsing saat mereka mengakhiri percakapan. Karena kelelahan dan akan menjalani meeting siang di kantor, Brian memutuskan untuk istirahat di rumah orang tuanya.

Saat melihat sosok anaknya menghilang ke dalam kamar, Sinta merapikan dan mengelap meja dengan tangan gemetar. Ada banyak hal yang terjadi di luar sangkaannya. Sebagai seorang mama, ia tidak akan rela anaknya salah mengambil keputusan.

“Anyelir, siapa kamu? Kenapa kamu membuat segalanya menjadi runyam begini?” desah Sinta dengan mata nanar menatap permukaan meja.
.
.
Baca lengkap di Karyakarsa dan Playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro