Bab 15a
Tidak ada yang bicara, keduanya berdiri dengan mata saling menatap tajam. Anyelir yang pertama tersadar. Ia meletakkan nampan ke atas meja, menunggu hingga Danial mencerna ucapannya. Ia berpikir, saatnya untuk bicara terus terang karena memang tidak ada gunanya untuk terus menutupi. Lambat laun, orang-orang akan tahu perihal kehamilannya. Termasuk Danial dan juga keluarga laki-laki itu.
“Anyelir, aku nggak salah dengar’kan?” tanya Danial kaget. Tadinya, ia hanya menduga, berharap kalau apa yang di pikirannya salah. Namun, jawaban Anyelir membuatnya membisu.
“Kamu nggak salah dengar, Kak. Aku memang hamil,” jawab Anyelir masih dengan ketenangan yang berusaha ia paksakan.
“Lalu, siapa ayah dari bayi itu? Kenapa bisa kamu hamil? Kamu berselingkuh dariku? Itukah yang membuatmu memutuskan hubungan kita? KARENA KAMU BERSELINGKUH!”
Teriakan dan pertanyaan Danial yang diliputi emosi membuat Anyelir tersentak kaget. Ia menatap sang mantan tunangan dan menelengkan kepala. Mengamati bagaimana Danial terlihat geram dengan wajah memerah. Ia tidak menyalahkan laki-laki itu, Danial berhak marah tapi tidak dengan membentaknya.
“Tenangkan dirimu, Kak. Kalau kamu emosi, aku tidak mau cerita.”
“Apaa? Kamu memintaku untuk tenang? Coba bayangkan seandainya posisi kita dibalik. Aku yang menghamili wanita lain, apa kamu masih bisa tenang?”
“Kalau begitu kamu keluar sekarang! Karena aku tidak akan bicara dengan orang yang sedang emosi!”
Anyelir menunjuk pintu yang terbuka, memerintah dengan jelas. Ada ketakutan yang coba ia sembunyikan, saat melihat Danial mengamuk. Apa pun bisa terjadi, dan ia tidak suka membayangkan dirinya berada dalam bahaya hanya karena temperamen Danial. Kehamilannya ini adalah masalahnya. Memang terjadi saat ia masih menjadi tunangan Danial. Tidak lantas ia dimaki-maki.
Untuk sesaat Danial melotot. Ia terbelalak tak percaya saat melihat sikap tegas Anyelir. Dalam kasus ini, ia yang merasa terluka tapi dipaksa untuk tidak emosi. Mana bisa? Pikirnya geram. Mana bisa ia tenang saat wanita yang ia cintai mengaku hamil dan jelas-jelas bukan dirinya ayah dari bayi yang dikandung Anyelir.
“Sudah tenang, Kak? Kalau belum, silakan keluar dulu. Karena aku tidak mau bicara sama orang yang sedang marah.”
“Bisa-bisanya kamu memerintahku?”
Anyelir menggeleng. “Tidak memerintah tapi memohon. Please? Bisakan?”
Danial mengepalkan kedua tangan ke sisi tubuh. Berusaha menahan makian yang kerap ingin terlontar dari mulutnya. Akhirnya ia mengalah, menyambar minuman di atas meja dan meneguknya. Lalu, ia duduk menghadap Anyelir dan bernapas panjang untuk meredakan kekesalannya.
“Baiklah, sekarang ceritakan padaku. Kenapa kamu bisa hamil? Apa ada orang yang memperkosamu?”
Anyelir menggeleng. “Tidak.”
“Kalau begitu, kamu tidur dengan siapa?”
Anyelir mengedip, menahan kata-kata yang nyaris terlontar dari mulutnya. “Kak, semua nggak seperti yang kamu pikir. Tidak ada perselingkuhan.”
“Anyelir, jangan berbelit-belit!”
“Aku hanya mencoba menguraikan duduk masalahnya. Nggak ada perselingkuhan di antara kami. Semua terjadi tidak sengaja. Karena aku hamil, makanya aku ingin mengakhiri hubungan kita.”
“Lalu, siapa dia?”
Menarik napas panjang, dengan berat hati Anyelir berucap. “Kak Brian.”
Danial melotot, menepuk-nepuk telinganya dengan tangan. “Apa aku nggak salah dengar? Kamu sebut nama Brian?”
Anyelir menggeleng. “Memang dia.”
Tercenung sesaat, Danial bangkit dari kursi dan mendesis tajam. “Bajingan! Bisa-bisanya dia menikungku. Kami bersahabat dan dia meniduri tunanganku. Binatang!”
“Kak, tolonglah. Semua tidak seperti yang kamu pikir.”
Danial menoleh ke arah Anyelir, menatap penuh geram. Ia mencengkeram lengan Anyelir dan mengguncang tubuh wanita itu.
“Mulai kapan kamu jadi wanita murahan Anyeli, hah! Apa karena aku nggak pernah memberimu kepuasan dalam sex, jadi kamu menyodorkan dirimu pada Brian? Hah, dia berhasil membuatmu puas sampai hamil!”
“Kak, lepaskan aku!” Anyelir berusaha berkelit, saat cengkeraman tangan Danial di lengannya bertambah erat hingga rasanya menyakitkan. “Lepas, Kak!”
“Nggak akan, sebelum kamu mengatakan padaku. Alasannya kamu tidur dengan Brian!” Danial berucap dengan
“Aku akan jelaskan tapi lepaskan akuuu!”
“Diaaam, Anyelir! Ayo, katakan!”
Teriakan Danial membuat Anyelir kesal. Ia mengernyit kesakitan dan merasa untuk pertama kalinya dalam hidup semenjak mengenal Danial, betapa mengerikannnya laki-laki itu saat sedang marah.
Dengan satu tangan yang bebas, Anyelir meraih gelas Danial berisi air dan menyiramkannya ke tubuh laki-laki itu. Tindakannya seketika membuat Danial kaget dan melepaskan cengkeramannya.
Menggunakan kesempatan itu, Anyelir berlari ke pintu dan bicara lantang dari teras kedai.
“Pergi, Kak! Kita bicara lagi besok kalau kamu sudah tenang.”
“Kamu mengusirku?”
“Iya, kalau kamu nekad, aku akan panggil petugas keamanan. Aku nggak suka merasa terancam di rumahku sendiri.”
Danial melangkah perlahan, mengibaskan air yang membasahi bagian depan tubuhnya. Ia menatap Anyelir dengan pandangan tak percaya karena wanita itu sudah berani mengancamnya. Mereka sudah saling kenal bertahun-tahun, dan tindakan Anyelir menyakitinya.
Sebenarnya, yang ia inginkan sederhana saja. Ingin Anyelir berkata jujur sekarang juga. Tanpa ada yang ditutupi, rupanya Anyelir membutuhkan waktu untuk bicara.
“Kamu hanya perlu jujur, Anyelir.”
Menggeleng lemah, Anyelir menatap Danial dengan pandangan berkaca-kaca. Sebenarnya, ia menyesal sudah membuat Danial marah. Menyakiti laki-laki itu dengan perkataannya. Kini bahkan membuat Danial basah kusup karena perbuatannya. Bagaimana pun, dalam hal ini memang dirinya yang bersalah.
“Nanti, Kak. Datanglah lagi setelah kamu tenang dan siap menerima penjelasanku. Sikapmu yang sedang emosi sekarang, tidak bagus untuk kandunganku.”
Di luar, suasana agak ramai karena banyak kendaraan berlalu lalang. Beberapa pejalan kaki melewati mereka tapi Danial mengabaikannya. Fokusnya kini tertuju pada Anyelir dan perkataan wanita itu tentang kandungannya.
Pandangan mata Danial kini tertuju pada perut Anuyelir yang mulai membulat. Ia meratap sedih dalam hati, karena dalam Rahim wanita itu tumbuh anak yang bukan anaknya. Melainkan hasil perbuatan sahabatnya, Brian.
“Aku akan kembali besok,” ucap Danial parau. Melangkah gontai ke arah mobilnya yang terparkir di halaman.
Anyelir menatap punggung Danial yang menghilang ke dalam kendaraan, dan otaknya berencana untuk menelepon Brian. Ia punya firasat kalau mantan tunangannya akan menemui Brian.
Segera setelah kendaraan Danial menghilang di jalan raya, Anyelir bergegas masuk lalu menutup pintu kedai dan menguncinya.
Ia meraih ponsel dan berusaha menghubungi Brian tapi nihil. Hingga berkali-kali ia menelepon, tidak diangkat. Begitu pula mengirim pesan, tidak ada jawaban. Akhirnya, ia hanya bisa pasrah. Menunggu cerita bagaimana Brian menghadapi kemarahan Danial.
Danial menggenggam erat kemudi kendaraannya. Dengan pikiran berkecamuk, ia melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi. Saat ini, kemarahannya membutuhkan pelampiasan. Rasa kecewanya ingin ia tumpahkan. Ia membutuhkan seseorang untuk membantunya meredam emosi dan Brian adalah orang yang tepat.
Sementara mobil menembus keremangan malam, pikiran Danial tertuju pada Brian. Ia masih tak habis pikir, bagaimana laki-laki yang juga sahabat terbaiknya berani meniduri tunangannya.
Seingatnya dulu, Brian selalu menolak semua wanita yang mendekatinya, jika melihat gelagat dirinya ternyata juga suka. Prinsip mereka sebagai sahabat selalu sama dan sejalan, tidak akan pernah merebut milik teman. Namun kini, prinsip itu dilanggar oleh Brian sendiri.
“Shit!” Danial menggebrak stir dengan marah. Ia bahkan menerobos lampu merah dan membunyinya klakson tiada henti.
“Yang laki-laki, orang paling munafik di dunia. Sementara Anyelir, sungguh tak disangka ternyata dia murahan!”
Desis Danial marah, menggumam panjang lebar dan memaki-maki seluruh orang di muka bumi. Saat ponsel di dasboarnya berdering, ia menatap layar dan melihat nama Nerisa tertera di sana. Ia enggan menjawab, saat ini otaknya sedang panas dan bicara dengan Nerisa akan membuat emosinya semakin naik. Akhirnya, ia mengabaiknya hingga ponselnya berhenti berdering.
Tak lama, sebuah pesan suara masuk. Danial mendiamnya karena memang sedang malas untuk bicara.
Ia tahu, malam begini Brian pasti ada di apartemennya. Setelah memarkir di basement yang khusus digunakan untuk para tamu, ia naik menggukan ID card yang didapat dari meja security. Sapanjang perjalanan, ia terdiam dengan tubuh kaku.
Sementara di dalam apartemen, Brian sibuk memeriksa laporan yang diberikan asistennya tadi sore. Akhir bulan, memang cenderung sibuk dengan banyaknya pekerajaan. Hari ini, ia bahkan ke kantor hanya setengah hari karena ingin berkonsetrasi mengerjakan di apartemennya.
Bel pintu apartemennya berdering tiada henti, Brian mendongak dan mengernyit heran. Karena merasa tidak sedang membuat janji dengan siapa pun. Sebenarnya, ia berniat mengabaikan tapi akhirnya ia bangkit dari kursi dan keluar dari ruang kerja menuju pintu.
Dari lubang pengintai, ia melihat sosok Danial berdiri di depan pintu. Merasa bingung karena kedatangan sahabatnya yang tiba-tiba, ia membuka pintu dan menyapa ramah.
“Bro, ada apa malam-malam begini?”
Danial tidak menjawab. Melangkah masuk dengan baju basah, ia menatap Brian penuh kebencian. Terlebih saat melihat sahabatnya itu tersenyum penuh dosa. Ia merengsek maju dan melayangkan pukulan bertubi-tubi ke wajah dan tubuh Brian yang bisa dijangkau tangannya.
“BRENGSEK KAMU! BAJINGAN! BAHKAN ANJING PUN TIDAK AKAN MENGGIGIT TANGAN TUAN YANG MEMBERINYA MAKAAN!”
Brian terdorong mundur hingga mengenai tembok. Ia berkelit saat Danial kembali menghajarnya dan kali ini, pukulan laki-laki itu luput mengenainya. Lampu hias di bagian depan roboh dan pecah ke lantai.
“DanIal, apa-apaan kamu!” Brian bertanya heran.
“NGGAK USAH SOK SUCI KAMU! COBA PIKIR APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN!”
Satu pukulan berhasil mengenai wajah Brian. Ia meringis, merasakan kesakitan di area rahangnya. Melihat Danial seperti gelap mata, ia membalas pukulan sahabatnya itu dan kali ini ia menang.
“Kita bicara baik-baik, tenangkan dirimuu” Brian yang kesal, mendesak Danial ke arah sofa dan membuat sahabatnya terduduk di sana. “Kamu menyerangku lagi, aku akan membuatmu babak belur. Kalau kamu mau bicara, kita bicaraa!”
Danial yang terdesak, berusa melindungi wajah dan tubuhnya dari pukulan Brian. Dari dulu harus diakui, kalau Brian lebih pandai bela diri dari pada dia. Saat pukulan Brian terhenti, Danial merosot ke lantai dengan napas tersengal dan matanya memanas. Meremas rambutnya, ia berkata dengan suara gemetar.
“Kenapa kamu meniduri Anyelir? Kamu jelas tahu dia tunanganku, kenapa kamu membuatnya hamil?”
Brian membeku di tempatnya berdiri. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Mengabaikan rasa sakit yang mendera rahang dan wajahnya, ia menatap sahabatnya yang kini menekuk lutut di atas lantai.
“Maksudmu apa?” tanyanya pelan.
Danial tidak mendongak, lagi-lagi hanya berucap pelan. “Kamu bajingan! Tega menusukku dari belakang. Kenapa harus Anyelir saat kamu bisa mendapatkan wanita mana pun yang kamu mau. KENAPA DIAAA!”
Teriakan Danial terdengar nyaring di ruang tamu Brian. Ia terdiam, tidak sanggup bicara. Keheningan menyelimuti udara, dengan Brian terpaku di tempatnya berdiri.
.
.
Tersedia di google playbook dan Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro