Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14b

#Anyelir_Tak_Layu
#Bab_14b

**

Lampu berpendar, memancarkan kilau dari gelas kristal berisi wine yang ada di tangan seorang wanita berambut pirang. Wanita itu, berdiri menatap jalanan dari balik jendela kaca. Di jari manis tersemat cincin berlian biru safir yang bersinar tertimpa cahaya. Wanita itu menggoyang lembut gelas di tangan dan meneguk isinya perlahan. Mencoba menikmati cairan yang membasahi tenggorokannya.

Di belakangnya, berjarak sekitar lima meter, seorang laki-laki tinggi kurus menatap wanita itu. Menunggu dengan kidamat, titah yang akan keluar dari mulut wanita itu. Ia sudah menjalankan tugasnya dengan baik dan kini tinggal menunggu perintah selanjutnya.

Wanita di samping jendela menoleh dan tanpa senyum berucap padanya. “Bagaimana Lesli, apa selebgram itu sudah menandatangi kontrak?”

Lesli mengangguk hormat. “Sudah Nona, setelah menunggu dua Minggu, akhirnya dia setuju.”

Megan menatap asistennya dengan wajah menyunggingkan senyum. “Bagus, kita ikat dia. Dua tahun bukan masa yang singkat. Dalam dua tahun bisa terjadi apa saja, termasuk kalau Brian berubah pikiran.”

“Semoga, Nona. Setahu saya, meski Vania tinggal di samping rumah orang tua Brian tapi Brian sendiri lebih banyak tinggal di apartemennya.”

“Begitu?” Megan mengangkat sebelah alis, menggoyang gelasnya. “Fakta yang menarik. Jadi, ada kemungkinan kalau wanita itu jatuh cinta dengan Brian tapi ditolak.” Tawa keras terlontar dari mulut Megan. Seakan-akan fakta kalau Brian tinggal di apartemen adalah hal paling membahagiakan dalam hidupnya.

Membalikkan tubuh, Megan melangkah ke kursi kerja dan menandaskan minuman. Meletakkan gelas dengan suara agak keras, ia menatap sang asisten.

“Aku sudah menunggu saat ini beberapa tahun Lesli. Aku bahkan rela mengubah penampilanku hanya demi memikat Brian.” Memejamkan mata, Megan berusaha menggali ingatannya tentang Brian. “Ada banyak laki-laki waktu itu, tapi hanya Brian yang baik padaku. Bersikap tulus dan tidak peduli bagaimana penampilanku. Dia juga satu-satunya laki-laki yang tidak mencari tahu tentang latar belakang keluargaku. Hebat bukan?”

Lesli mengangguk setuju. “Iya, Nona. Brian memang laki-laki yang baik.”

“Nah, karena itulah aku bertekad ingin mendapatkannya. Termasuk dengan menjadi patnernya dalam bisnis. Semua rela aku lakukan, asal dia menjadi milikku.”

Megan menarik laci meja hingga terbuka, mengeluarkan kotak keemasan dan membukanya. Di dalamnya ada cermin dan ia menatap bayangannya dari dalam kaca. Wajahnya yang sekarang berbeda dengan saat pertama kali melihat Brian. Semenjak ia jatuh cinta, ia berusaha keras untuk mengubah penampilannya. Dari awalnya malas berdandan, ia kini mahir menggunakan kuas dan spon untuk muka. Berolah raga dan diet ketat demi mendapatkan tubuh ideal. Tak lupa mengganti kacamata dengan softlens. Semua ia lakukan demi Brian.

“Nona, ada lagi yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda?”

Megan mendongak. “Tentang Brian dan selebgram itu?”

“Iya, Nona.”

Menggeleng lemah, Megan menutup kotak kaca di tangannya. “Nggak usah dulu. Kita lihat perkembangannya. Kalau selebgram itu masih berupaya mendekati Brian, baru kita singkirkan!”

“Baik, Nona.”

Megan termenung, merasa bahwa dirinya sudah buta karena cinta. Karena meski waktu telah berlalu bertahun-tahun tapi ia tidak dapat melupakan Brian.

“Aku pasti akan mendapatkanmu, pasti,” gumam Megan pada layar ponselnya. Di mana ada foto Brian yang diambil diam-diam. Tersenyum lembut, ia mengusap layar dan hatinya dibanjiri cinta. “Kita pasti menikah, Brian. Aku menunggu waktu itu.”

Lesli terdiam di tempatnya berdiri, menatap anak majikannya. Ia tahu, Megan sedang kasmaran dan sesuai perintah dari orang tua gadis itu, yang bisa ia lakukan hanya membantu mewujudkan keinginan sang Nona. Apa pun itu, sudah tugasnya untuk membuat sang nona bahagia.

**

“Bagaimana? Apa ini cukup?”

Anyelir terbelalak, saat menatap tumpukan di atas meja. Ada berdus-dus susu khusus ibu hamil, daster, dan bermacam-macam vitamin. Ia mengelus permukaan daster warna kuning cerah, merasa kehalusan menyentuh ujung jarinya.

“Banyak amat ini, Kak,” ucapnya pada Brian yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu hanya tersenyum dan mengangkat bahu.

“Nggaklah, ini sedikit. Ada juga setelan piyama untukmu. Jadi, kamu bisa tetap pakai untuk kerja.”

Kali ini, Anyelir mengagumi setelan motif polkadot di tangannya dan tidak dapat menyembunyikan rasa senang. Bukan karena ia mendapat banyak barang dari Brian tapi perhatian laki-laki itu padanya, membuat haru.

Seakan mengerti dengan perasaannya, Brian mendekat dan mengecup puncak kepala Anyelir. Tidak memedulikan beberapa pegawai yang menatap mereka malu-malu termasuk beberapa pengunjung.

“Kak, jangan genit,” desis Anyelir saat Brian merangkulnya.

“Biarkan saja, toh kamu calon istriku. Napa harus malu.”

Kali ini, mata Anyelir membulat saat mendengar kata calon istri. “Aku belum setuju untuk jadi calon istrimu.”

“Memang, tapi kamu akan setuju segera. Aku jamin.”

Anyelir menatap Brian dan mengernyit. “Kenapa kamu percaya diri sekali.”

“Oh jelas. Karena boleh saja kamu pura-pura tidak mau denganku tapi anak kita, tidak akan menolak papanya.” Mengulurkan tangan, untuk mengelus perut Anyelir, Brian berucap lembut. “Kamu di sana sehat-sehat ya Sayang. Papa menunggumu lahir dan akan menjagamu kelak.”

Anyelir terdiam, membiarkan Brian mengelus lembut perutnya. Awalnya, ia tidak terbiasa dengan sentuhan itu. Namun, makin sering dilakukan, ia makin menyukainya.

Setelah Brian memberikan cincin berlian sebagai tanda pertunangan, Anyelir merasa makin hari makin tegang. Karena laki-laki itu menyiratkan akan membawa dirinya menemui orang tua Brian. Baru membayangkan saja, ia sudah gugup. Ia tidak tahu bagaimana kalau hal itu terjadi. Apakah orang tua Brian bisa menerimanya atau tidak.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Brian lembut.

Anyelir menggeleng. “Nggak ada.”

Menangkup wajah Anyelir, Brian menatap wanita yang sedang mengandung anaknya. “Jangan berbohong padaku, Anye. Raut wajahmu menyiratkan banyak hal. Kalau memang ada sesuatu yang mengganjal pikiran dan hatimu, bisakah kamu jujur padaku?”

Memandang wajah tampan Brian yang kini menatapnya serius, Anyelir mengangguk. “Tentu, Kak. Aku akan selalu berusaha jujur.”

“Bagus. Jangan lupa minum vitamin dan susunya. Kalau ngidam ingin makan sesuatu, bilang saja. Aku akan berusaha membawakan untukmu.”

“Iya, Kak.”

Brian pamit pulang setelah Anyelir mengatakan padanya kalau dirinya akan baik-baik saja tanpa laki-laki itu menemaninya tidur. Sejujurnya, ia suka bersama dengan Brian tapi sibuknya pekerjaan laki-laki itu, membuat waktu mereka bersama terbatas. Meski begitu, harus ia akui kalau makin hari Brian makin perhatian. Selalu menyempatkan diri untuk datang, di sela-sela waktu sibuknya.

Pukul tujuh malam, kedai mulai tutup. Banyaknya pengunjung membuat menu habis lebih cepat. Di kedai, Anyelir merapikan pembukuan dengan segelas susu hangat di depannya. Ia berniat meminum, segera setelah pekerjaannya selesai. Jadwal kontrol dokter dua hari lagi, ia ingat Brian berniat mengantarnya kali ini. Agar tidak lupa, ia menempel jadwal di meja kasir.

Sambil menulis, ia mengunyah mangga muda yang dicocol garam. Rasa asam dari mangga, membuat perutnya nyaman. Ia mendongak saat terdengar deru kendaraan diparkir. Bergegas keluar dari meja kasir, ia melangkah ke pintu untuk melihat siapa yang datang. Dari lubuk hati terdalam, ia berharap yang datang adalah Brian tapi harapan tinggal harapan, saat melihat sosok Danial, ia menelan kecewanya.

“Kak, ada apa?” tanyanya tanpa basa-basi.
Danial menatapnya sekilas, melangkah ke samping dan masuk ke dalam kedai.

“Anyelir, makin hari kamu makin dingin sama aku,” keluh Danial padanya.

Anyelir menghela napas, menatap pada laki-laki yang pernah ada di hatinya. Ia mengamati bagaimana tubuh Danial terlihat makin kurus dengan rambut yang kini acak-acakan. Wajah laki-laki itu juga tidak sebersih saat mereka bersama dulu. Entah karena tekanan pekerjaan atau hal lain, ia tidak tahu.

Mereka berdiri berhadapan, melihat keenggan di wajah Anyelir untuk menerima kehadirannya, Danial berusaha mengenyahkan rasa kecewanya.

“Kamu banyak berubah Anyelir,” ucap Danial pelan. Menatap Anyelir dari atas ke bawah.”Kelihatan juga agak gemukkan.”

Mengangkat bahu, Anyelir tersenyum tipis. “Kak, sepertinya kamu harus mengurangi datang kemari. Carilah wanita lain, Kak. Hubungan kita sudah selesai.”

Merengut rambut dengan frustrasi, Danial mendengkus kasar. Penolakan Anyelir yang terang-terangan seperti melemparkan kenyataan ke depan mukanya. Kalau kemarin-kemarin, saat Anyelir masih bersikap lembut padanya, ia masih ada harapan. Namun, kini terasa berbeda.

“Memangnya kenapa kalau aku kangen? Bagaimana pun kita pernah menjalin hubungan dekat lebih dari teman.”

Anyelir menggeleng lembut. “Kalau kamu masih bersikap seperti it uterus, nanti kita akan susah move on satu sama lain.”

“Aku akui itu memang terjadi padaku. Bagaimana aku bisa lupa sama kamu, kalau setiap hari aku terbayang kebersamaan kita. Setiap kali bertemu Mama, dia mengeluh tentang kamu. Coba katakan kalau kamu jadi aku.”

“Maaf.”

Danial mendekat, dan menahan jemarinya untuk tidak menyentuh Anyelir saat melihat wanita itu mundur. Ia mendesah dalam hati, menyadari kalau sikap Anyelir padanya sudah berbeda jauh dari saat mereka bersama dulu. Anyelir yang sekarang, begitu dingin dan menjaga jarak. Seakan-akan kalau mereka bersentuhan itu adalah hal yang menjijikan.

“Anyelir, kamu berubah,” desah Danial pelan. Tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.

Anyelir mengatupkan mulut, ingin membantah tapi tidak bisa. Karena apa yang dikatakan Danial memang benar adanya. Ia berubah, dan kini di hatinya hanya ada Brian. Demi menghargai Danial yang sudah jauh-jauh datang, ia bertanya lembut.

“Kak, mau minum atau makan sesuatu. Biar aku buatkan.”

Danial mengerjap lalu mengangguk. “Aku lapar memang.”

“Baiklah, tunggu aku di sini.”

Saat sosok Anyelir menghilang di balik pintu dapur, Danial bersandar pada meja kasir. Ia menatap pada tumpukan baju-baju dengan kotak susu untuk ibu hamil. Ia mengernyit, saat melihat ada potongan mangga muda dan membawa jadwal chek-up. Meraih kertas itu, ia membawa alamat dan nama dokter yang tertera. Hatinya kebat-kebit tak karuan dengan tangan gemetar memegang kertas.

“Kak, mau makan di mana?” Anyelir muncul dengan nampan berisi makanan dan minuman.

Danial mendongak, mengacungkan kertas di tangannya.

“Anyelir, kamu hamil?”

Anyelir terkesiap. “Apa?”

“Aku tanya sekali lagi, apa kamu hamil?” tanya Danial menekan emosi. “Pertama, tubuhmu makin berisi, lalu ada tumpukan daster dan susu untuk ibu hamil. Mangga muda, dan jadwal chek up. Katakan sejujurnya padaku, apa kamu hamil? Anak siapa?”

Masih dengan nampan di tangan, Anyelir mengedip. Menatap Danial yang berdiri dengan kertas teracung. Wajah laki-laki itu menyiratkan tuduhan dengan kemarahan tersirat. Menghela napas panjang, Anyelir berucap pelan.

“Iya, aku hamil.”

***

Ehmmmm

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro