Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14a


“Kenapa kita di sini, Kak?”

Anyelir menatap bingung pada tempat yang baru saja mereka datangi. Sebuah toko perhiasan yang berada di dalam pusat perbelanjaan. Ia menatap bingung pada deretan perhiasan yang terlihat bersinar dari dalam display kaca.

“Duduk,” perintah Brian dengan tangan menekan bahunya lembut.

“Kak ….”

“Duduk dan santai, Anye.”

Tak lama, Brian duduk di sampingnya dan laki-laki itu bicara serius dengan seorang pramuniaga toko berjas hitam. Mereka membicarakan tentang perhiasan, berlian, dan tak lama sebuah cincin diperlihatkan dari dalam kotak beludru hitam.

“Ukuran jari 12.5 dengan 0.57 carat. Rangka emas 2.9 gram, 75 persen. Harga 49 juta.”

Brian mengambil cincin yang disodorkan pramuniaga padanya, mengamati sebentar lalu memberikan pada Anyelir yang tertegun.

“Coba pakai ini.”

Anyelir yang belum paham apa maksud Brian, hanya mengerjap tanpa suara. Ia sedikit tersentak saat tangan Brian menarik jemarinya dan setengah memaksa memakaikan cincin.

“Kak, ap-apaan ini?” tolak Anyelir tapi tangan Brian menggenggamnya erat.

“Anye, please. Cobalah cincin ini sebentar.”

“Tapi--,”

“Ini buat kamu.”

Kali ini Anyelir benar-benar tersentak. Kekagetan  terlintas di wajah cantiknya yang kini menatap Brian dengan pandangan tak mengerti. Dalam keadaan bingung, cincin berlian tersemat di jarinya dengan kilaunya yang indah.

“Kak, ini apa?” tanyanya gemetar.

Brian tersenyum, meremas jemari Anyelir dan tanpa malu mengecupnya. Apa yang dilakukan Brian membuat wajah Anyelir merah padam karena malu. Ia berniat menarik tangannya tapi Brian tidak membiarkannya lepas.

“Dengan cincin ini, aku mengikatmu.” Brian menutup bibir Anyelir dengan telunjuknya saat melihat wanita itu membuka mulut. “Sst, dengarkan aku dulu.” Ia kemudian berpaling pada pramuniaga dan meraih black card dari dalam dompet dan menyerahnya pada laki-laki berjas itu. “Tolong, tinggalkan kami berdua.”

Dengan kartus di tangan, sang pramuniaga mengangguk dan menyingkir. Memberikan ruang serta waktu bagi Brian dan Anyelir untuk bicara.
Sepeninggal laki-laki itu, Brian kembali menatap wajah Anyelir. Tangannya bergerak ke arah wajah wanita di depannya dan mengelus lembut pipi Anyelir.

“Aku tahu, kamu masih belum bisa menerima keberadaanku dan aku juga tahu, ada begitu banyak keraguan di hatimu untukku, tapi aku hanya ingin diberi satu kesempatan untuk membuktikan diriku kalau aku bersedia melakukan hal yang kamu mau, asalkan itu untuk kebaikan kita."

Anyelir menggelengkan kepala dengan cincin berlian tersemat di jarinya. Ia berusaha menjernihkan pikirannya. Perkataan Brian dan tindakan laki-laki itu yang memberinya sebuah cincin, benar-benar mengagetkannya. Ia mengangkat jari manisnya, menatap berlian yyang berkilau dan menarik napas panjang. Berlian itu terasa berat di jarinya.

“Anye, apa kamu marah?” tanya Brian lembut. Tangannya mengusap wajah dan rambut Anyelir.

“Kaget, Kak.” Hanya itu yang mampu dikatakan Anyelir. Bagaimana ia tidak kaget saat tiba-tiba diberi cincin oleh Brian. “Ini maksudnya apa, Kak? Cincin ini dan kesempatan yang Kaka maksud. Pembuktian apa yang ingin kamu lakukan?”

Kali ini Brian tersenyum. Mengabaikan pengunjung lain yang mendatangi toko, ia mengecup punggung tangan Anyelir.

“Kesempatan untuk menjadi laki-laki yang akan menjagamu. Memintamu untuk memberiku waktu, agar aku bisa membuktikan kalau aku serius dengan hubungan kita. Mungkin, di hatimu tidak ada cinta untukku. Tapi, aku ….” Brian terdiam, menghela napas dan mengatur kata-kata. “Aku ingin mencoba untuk membuatmu bahagia. Aku menyayangimu, Anye. Mungkin bukan cinta yang indah yang aku punya, tapi aku hanya ingin mencoba jadi laki-laki yang setia dan bertanggung jawab untukmu dan anak kita.”

Perkataan panjang lebar dari Brian membuat Anyelir tercekat. Jari jemari laki-laki itu menggenggamnya erat. Kehangatan menyebar bersamaan dengan tiap kata yang keluar dari mulutnya. Tanpa bisa dicegah, ia merasa bahagia. Ia memejamkan mata, berusaha menghalau air mata yang entah kenapa, menggenang di pelupuk.

“Please, Anye.”

Permohonan Brian membuat Anyelir membuka mata. Ia menatap laki-laki tampan yang menggenggam tangannya penuh harap. Tanpa sadar senyum merekah di ujung bibirnya.

“Kak, aku nggak yakin kita bisa bersama,” ucapnya lembut.

Brian mengangguk. “Iya, itu realistis. Aku pun pernah berpikir sama tapi apa salahnya kita coba.”

“Lalu, bagaimana dengan orang-orang di sekitar kita?”

Brian tercenung, mencoba meresapi pertanyaan Anyelir. Orang-orang di sekitar mereka bukan hanya soal Danial tapi juga banyak orang lainnya, termasuk kedua orang tuanya.  Namun, ia sudah memantapkan hati dan tidak akan mundur sekarang.

“Kalau kamu kuatir Danial, aku akan bicara dengannya dan kita akan hadapi bersama. Termasuk orang tuaku.”

“Bagaimana kalau mereka tidak bisa menerimaku?”
Brian tersenyum kecil mendengar nada kuatir dalam ucapan Anyelir. “Berarti mereka menolak cucu mereka sendiri. Dengar Anye, aku bisa menghadapi dunia asalkan kamu bersamaku. Tapi, kalau kamu menolak, aku tidak tahu harus bagaimana. Jadi, please pertimbangkan.”

Anyelir terdiam, menatap cincin di jarinya dan betapa ia merasa, tidak cocok memakai cincin semahal ini di jarinya. Saat ia berniat melepasnya, Brian yang melihat adanya gegalagat menggenggam lembut.

“Anye.”

“Kak, cincin terlalu mahal untukku,” gumam Anyelir.

“Nggak, malah terlalu murah untukmu yang sudah menanggung begitu banyak beban. Kalau kita menikah nanti, aku ingin memberimu lebih dari ini.”

Menggeleng lembut, Anyelir mengusap air mata di pelupuk. Ia sama sekali tidak terpikir untuk menikah dengan Brian, karena merasa tidak pantas untuk melakukannya. Brian adalah laki-laki hebat dan kaya, sedangkan dirinya hanya wanita yatim piatu. Belum lagi, ada Dania dan keluarganya, juga orang tua Brian yang tidak akan setuju.

“Kamu pasti bingung tentang bagaimana kita menikah kalau kita belum benar-benar saling mencinta. Bukankah cinta bisa kita tumbuhkan seiring waktu, asal kita berusaha?”

Terdiam untuk meresapi kata-kata Brian, Anyelir merasa keragu-raguannya memudar. Bukankah ini yang diinginkan setiap wanita yang sedang mengandung? Bisa menikahi ayah dari si bayi. Bukankah Brian sudah menunjukkan itikad baik untuk bersama? Lalu, kenapa ia masih meraga ragu? Kalau cinta adalah masalahnya, bukankah cinta bisa berawal karena terbiasa?
Mengangkat tangan, menatap kilau cincin di tangan, kali ini hati Anyelir digayuti perasaan bahagia yang samar. Tersenyum kecil, ia mengucap dalam hati, tidak ada gunanya terus berlari pergi, jika hati ingin memiliki.

“Kak, ayo kita menikah.”

Mengerjap bingung, Brian menatap Anyelir tak percaya. Saat melihat wanita itu tersenyum, ia pun tertawa lirih. Kali ini tanpa malu, ia merengkuh pundak Anyelir dan mengecup kening wanita itu.

“Terima kasih sudah memberiku kesempatan. Aku janji akan berusaha untuk menjadi laki-laki yang layak mendampingimu.”

Setelah membayar cincin, layaknya dua sejoli yang sedang dimabuk asmara, Brian mengajak Anyelir menikmati hari itu. Mereka makan, menonton, dan membiarkan perasaan tumpah ruah. Di sela-sela percakapan, Brian tak lagi segan mengelus perut Anyelir dan menanyakan apa yang diingikan anak mereka.

“Kalau cewek, dia akan secantik kamu, Anye.”

“Kalau cowok, dia akan sehebat dan setampan kamu, Kak.”

“Iya, apa pun itu, kita bersyukur memilikinya.”

Bersyukur, itulah yang dirasakan Anyelir sepanjang hari itu. Ia mengesampingkan rasa bingung, kuatir, dan tidak enak hati, demi bisa bersama Brian. Ia yakin, kalau mereka berdua mampu mengatasi masalah yang ada.

“Kita akan bicara dengan Danial secepatnya, sebelum ke orang tuaku. Pastinya kamu bingung, kenapa Danial priorotas, karena aku nggak mau dia menjadi batu sandungan dalam hubungan kita.”

Anyelir mengangguk. “Aku pun merasa bersalah padanya.”

Brian tersenyum menyetujui. “Aku juga, karena itu aku akan bicara dengannya lebih dulu baru menyusul berdua.”

Segalanya berjalan sangat indah bagi Anyelir. Bukan karena cincin berkilau yang kini ada dia tangannya, tapi karena perasaan sayangnya pada Brian yang berbalas.

Selesai makan dan jalan-jalan, Brian mengantarnya pulang. Kedai nyaris tutup dan Areslah yang membantu semuanya. Pemuda berkulit putih itu, menatap bingung ke arah Anyelir yang terus menerus tersenyum, dengan Brian berada tak jauh darinya.

“Terima kasih sudah membantu Anye,” ucap Brian sopan pada Ares.

Ares mengangguk. “Sudah seharusnya. Dia bossku.”

Keduanya bertukar tawa sopan, Brian mengakui kalau Ares adalah teman dan pekerja yang baik. Setelah semua pegawai pulang, Brian membantu Anyelir menutup kedai dan merapikan meja-meja.

“Aku mau mandi dulu, Kak,” ucap Anyelir sambil memegang dahinya. “Rasanya gerah.”

“Sudah masak air panas?”

Anyelir mengangguk. “Sudah.”

Brian membantu mengangangkat panci air panas dari kompor ke kamar mandi, dan sabar menunggu Anyelir membersihkan diri. Saat wanita itu keluar dalam keadaan basah dan segar, tanpa sungkan ia memeluk dan mengecup bibirnya.

“Kenapa ya, ibu hamil makin hari makin menggemaskan?” bisiknya parau.

“Masa, sih?”

“Iya, menggemaskan untuk dicium.”

Mengalungkan lengan ke leher Brian, Anyelir mengecup bibir laki-laki itu. Keduanya saling berciuman dan melumat dengan penuh hasrat. Brian membuka kancing bagian depan gaun Anyelir dan meremas lembut dada wanita itu.

“Menggemaskan untuk disentuh, “ bisiknya dengan parau.

Napas Anyelir tersengal, ia tersulut gairah. Ia menurut saat Brian membawanya ke kamar yang kecil. Awalnya merasa malu, karena kamarnya kecil dan sempit, tapi Brian membuatnya melupakan rasa malu.

Mereka berbaring di ranjang dan saling mencumbu. Bibir bertaut dengan tangan saling meraba. Anyelir tersengal saat Brian mencumbu dada dan perutnya.

“Aku tidak akan berbuat lebih jauh dari sekadar cumbuan. Aku menunggu hingga kita benar-benar menikah,” ucap Brian saat mengecup puncak dada Anyelir yang ranum.

Brian merasa dirinya tolol dan sok suci. Namun, jauh di lubuk hati, ia menginginkan pernikahan yang murni dan bukan karena sex belaka.

“Kak ….” Anyelir mendesah feminin.

“Tapi, kita tetap bisa saling memusakan hanya dengan bercumbu.”

Brian membuktikan perkataannya. Ia menunjukkan pada Anyelir pemujaan, pengharapan, dan rasa cinta dari setiap sentuhannya. Ia bahagia saat melihat wajah Anyelir yang merona, sementara tangan dan bibirnya bermain-main di tubuh wanita itu. Malam itu, pertama kalinya ia memutuskan menginap di rumah Anyelir. Mereka tidur bersama di atas ranjang yang kecil dengan tubuh saling memeluk hingga pagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro