Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13b

#Anyelir_Tak_Layu
#Bab_13b

**

Brian mengarahkan mobilnya menuju rumah orang tuanya dengan pikiran berkecamuk. Beberapa hari keluar kota dengan kesibukan luar biasa padat, membuatnya tidak bisa singgah ke rumah wanita itu. Malam ini, saat ia berniat mampir, ternyata ada Danial di sana. Perasaan resah menghinggapinya.
Ia hanya bisa menduga-duga apa yang dilakukan Danial di sana. Apakah sahabatnya dan Anyelir bicara dari hati ke hati? Apakah mereka berkeinginan untuk kembali bersama? Apakah Anyelir berterus terang pada Danial soal kehamilannya? Brian dihinggapi rasa ingin tahu sekaligus cemburu  yang tak beralasan, hanya saja ia tak berdaya untuk mengungkapkannya.

Seandainya benar, Anyelir kembali pada Danial bisa dikatakan semua karena salahnya. Ia yang tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat dan membuat wanita itu terombang-ambing dalam resah. Kalau seandainya ia bisa memaksa, akan ia seret Anyelir ke KUA dan membuat wanita itu menjadi miliknya. Namun, Anyelir menolak melakukan itu. Ia bahkan putus asa, bagaimana menjelaskan perasaannya pada wanita yang mengandung anaknya.

Mungkin aku harus lebih tegas, harus lebih kuat berusaha mendekatinya, merangkulnya meski dia menolak, Brian tenggelam dalam kata hatinya yang tak menentu.

“Hai, datang juga akhirnya.” Vania melambai dari pintu gerbang yang membuka saat Brian baru saja masuk ke halaman rumahnya.

“Kok belum tidur?” sapa Brian saat turun dari mobil.

“Nungguin kamu,” jawab Vania, melangkah gemulai menuju tempat Brian. “Mamamu bilang tadi sore, kalau kamu mau datang. Jadi aku tunggu.”

Brian mengernyit. “Ada yang penting?”

Reflek Vania menggeleng. “Nggak, sih. Kangen aja pingin ngobrol.”

Brina terdiam, menyandarkan tubuhnya pada bodi mobil. Matanya menatap wanita cantik yang berdiri di depannya. Meski cahaya lampu yang bersinar tidak seberapa, tapi kecantikan Vania terpancar sempurna. Jenis kecantikan berbeda dengan wajah Anyelir yang cenderung sendu, Vania penuh percaya diri. Bisa jadi, karena latar kehidupan keduanya yang membuat mereka berbeda.

“Mau bicara sesuatu? Kita duduk di situ.” Brian menunjuk kursi di teras.

Vania mengikuti langkah Brian dan mengenyakkan diri di samping laki-laki itu. Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. Entah kenapa, ia merasa amat grogi malam ini. Padahal, biasanya ia tidak pernah salting saat bersama Brian. Namun, sikap Brian yang tenang justru membuat kepercayaan dirinya sedikit goyah.

“Ada apa, Vania?”

Desakan Brian membuat Vania mengulum senyum. Menyingkirkan rasa malu ia berucap bahagia. “Aku dapat kontrak dari produk kecantikan terkenal. Mereka ingin mengangkatku jadi brand ambassador selama dua tahun penuh.”

Brian yang sedang mencopot sepatu, mendongak. Senyum seketika merekah di bibirnya. “Wah, keren kamu. Hebaaat, selamat Vania."

Vania seketika tertawa. Rasa bangga yang tadi tersembunyi, kini mencuat dan pujian  Brian membuatnya bahagia. Ia menatap Brian lekat-lekat, membasahi bibir dan berusaha menghilangkan grogi.

“Tapi, ada satu kendala dengan kontrak itu.”

“Apa? Bayaran tidak sesuai?”

Vania menggeleng. “Bukan, justru bayarannya sangat bagus. Maksudku, ada klausa dalam kontrak yang akan sulit untuk ditepati.”

Brian menatap Vania tidak mengerti. Namun, ia menunggu dengan sabar hingga wanita di sampingnya bicara. Ia tidak tahu, apa yang memberatkan Vania, hingga malu-malu untuk mengatakan yang sesungguhnya.

“Kenapa terdengar seolah-olah kontrak itu jadi beban untukmu?”

“Menyangkut masa depan,” jawab Vania kalem. Ia berdehem sesaat, menatap langit malam dengan pandangan menerawang. “Dalam kontrak tertulis, dilarang menikah hingga masa dua tahun selesai.”
Vania menoleh saat tidak terdengar tanggapan apa pun dari Brian. Laki-laki itu hanya menatapnya sambil tersenyum.

“Ba-bagimana menurutmu?” Ia bertanya gugup.

“Menurutku?” tanya Brian bingung. “Itu pilihanmu, Vania. Lakukan apa yang menurutmu benar. Kalau kamu tanya pendapatku, jelas harus diterima kontrak itu. Kapan lagi, kamu bisa menjadi brand ambassador produk terkenal? Ini bagus juga untuk karirmu.”

“Begitukah?” tanya Vania balik.

“Tentu saja, kenapa kamu kelihatan bingung, Vania. Bukankah semua orang yang bekerja di bidang entertaimen punya impian menjadi bagian dari sebuah produk terkenal?”

Vania menunduk, hatinya terasa dipilin. Rasa bahagia yang terlintas di wajah Brian membuatnya sedih. Padahal, laki-laki itu mengatakan hal yang sesungguhnya. Memang, menjadi brand ambassador  dari produk terkenal adalah impiannya. Namun, entah kenapa hatinya tidak menyukainya. Entah apa yang salah dengan dirinya. Ia juga memendam kesal, karena Brian justru terlihat amat antusias.

“Kamu lupa tentang klausa satu lagi,” ucapnya pelan.

“Yang mana?”

“Itu, tidak boleh menikah.”

Entah apa yang lucu, Brian tertawa lirih. Laki-laki itu menatap Vania sambil berdecak heran. “Vania, memangnya kamu berniat menikah secepat itu? Yakin, kamu? Sudah ada calonnya sampai bingung antara terima kontrak atau menikah?”

Vania menggeleng lemah. Ada sesuatu yang retak dalam hatinya saat mendengar ucapan Brian. Entah laki-laki itu yang tidak peka, atau memang dia yang kurang menunjukkan perasaannya. Seandainya Brian paham, saat ia mengatakan tentang pernikahan dan kontrak, harusnya cepat dimengerti.

“Kenapa diam, Vania? Apa kamu punya kekasih yang tak rela kamu harus melajang selama dua tahun?”

“Nggak ada,” jawab Vania lemah.

“Nah, apa lagi yang kamu tunggu. Terima kontrak itu, dan semoga itu menjadi pembuka bagi karir cemerlangmu.”

Vania tidak sanggup lagi bicara. Sudah cukup yang ia dengar dari Brian dan bagaimana pendapat laki-laki itu soal dirinya. Memang tidak ada yang salah dengan menjadi single selama dua tahun ke depan. Meski bukan itu yang ia harapkan sebenarnya. Seandainya Brian memintanya untuk tidak mengambil kontrak, ia akan menuruti dengan senang hati. Sayangnya, yang ia dengar justru sebaliknya. Hingga pembicaraan mereka berakhir, hati Vania gundah gulana.

Sepeninggal Vania, Brian menemui orang tuanya yang sedang berada di ruang makan. Ia mengucapkan salam, mencuci tangan dan duduk di antara papa dan mamanya, menikmati secangkir kopi panas.

“Kamu bicara dengan Vania?” tanya sang mama padanya.

Brian mengangguk, menyeruput minuman di tangan. “Iya, soal kontrak barunya.”

“Wah, makin hebat saja gadis itu. Lalu, apa lagi?”

Brian mengangkat bahu. “Nggak ada, hanya itu.”
Sinta menatap anak laki-lakinya dengan tidak puas. Bertukar pandang dengan suaminya, ia berdehem kecil.

“Ehm, mama rasa sudah saatnya kita bicara serius.”
Brian meletakkan gelas kopinya, menatap mamanya sambil mengangkat bahu. “Ada apa, Ma? Kenapa kedengarannya penting.”

“Memang, ini tentang masa depanmu."

“Maksud, Mama?”

“Pak Rusliwan sudah mengajukan permintaan secara resmi, untuk kamu dan Vania.” Kali ini, sang papa yang bicara. “Dia secara khusus mengatakan, ingin menjalin hubungan keluarga dengan kita. Dengan kata lain adalah, kamu menikah dengan Vania.”

Perkataan sang papa disambut dengan helaan napas panjang dari Brian. Ia merasa, hal ini sedikit menyulitkannya. Ia bukannya tidak tahu, kalau orang tuanya menginginkannnya menikah dengan Vania, hanya saja ia selalu merasa asalkan tidak menanggapi serius, maka tidak akan terjadi pernikahan. Siapa sangka, antar orang tua justru punya pikiran berbeda saat dirinya dan Vania, malah tidak pernah membahas itu.

“Bagaimana, Brian?” desak Sinta. “Sudah saatnya kalian memasuki jenjang hubungan yang serius.”
Brian mendesah, menyugar rambut dan berusaha menyusun kata-kata. Permintaan kedua orang tuanya terasa berat, karena hatinya memikirkan wanita lain.

“Ma, Pa, maaf aku nggak bisa dengan Vania. Karena selama ini hanya menganggapnya tak lebih dari teman.”

Sinta mengernyit bingung. “Tapi, bukannya kalian dekat?”

“Memang.” Brian mengakui. “tapi, tidak lebih dari teman baik. Mungkin banyak dari sikap dan perkataanku pada Vania yang menimbulkan salah paham kalian, tapi terus terang aku nggak pernah terpikir untuk menjalin hubungan apa lagi menikah.”

“Kenapa, Brian.” Sinta menyambar perkataan anaknya cepat. “Apa yang salah dengan Vania sampai kamu menolaknya?”

Menimbang sesaat, Brian akhirnya memantapkan hati untuk mengatakan yang sebenarnya pada kedua orang tuanya. Toh, memang tidak ada hal yang harus ditutupi. Sudah saatnya membuka apa yang sesungguhnya ia rasakan.

“Ma, aku menyukai wanita lain, bukan Vania.”

Sinta menatap bingung pada anak laki-lakinya lalu berpaling pada sang suami yang terlihat juga sama herannya.

“Maksudmu? Kamu punya kekasih?” tanya Sinta.
Brian tersenyum kecil dan mengangguk. “Bisa dikatakan begitu. Saat ini aku belum bisa mengatakan kalau dia kekasihku karena satu dan lain hal. Wanita yang aku sukai itu, sampai sekarang belum bisa menerima kehadiranku. Makanya, aku belum bisa bicara panjang lebar.”

Saat bicara, dalam hati dan pikiran Brian ada bayangan Anyelir. Ia tidak salah bicara dan sudah mengatakan yang sesungguhnya kalau memang mengharapkan Anyelir. Hanya saja, wanita itu masih belum mau menerimanya.

“Siapa dia? Apa kami mengenalnya? Kenapa kamu baru bilang sekarang?” ucap Sinta agak histeris.

“Tenang, Maa. Aku nggak bisa bilang, karena hubungan kami memang belum jelas. Tapi, aku mengatakan sekarang, agar Mama dan Papa tahu kalau bukan Vania, wanita yang ingin kunikahi!”

“Bagaimana dengan Vania kalau dia sampai tahu masalah ini?”

“Ma, aku nggak pernah bicara macam-macam dengan Vania. Apalagi soal perasaan. Kmai tidak pernah berkomitmen apa pun!”

Malam itu, pembicaraan diakhiri dengan kesedihan yang dirasakan kedua orang tuanya. Brian tahu, ia sudah salah. Membuat mereka kecewa tapi, ia harus mengatakan yang sebenarnya. Tidak mungkin ia menikahi Vania sementara hatinya justru tertuju pada wanita lain.

Keesokan harinya, saat jeda istirahat jam kerja, Brian melarikan kendaraannya menuju kedai Anyelir. Perasaannya digayut rindu dan ingin bertemu. Ia menyusun rencana, tentang apa yang akan ia lakukan saat bertemu wanita itu.

Kedai dalam keadaan ramai. Lumayan banyak pengunjung yang sepertinya datang untuk makan siang. Mengedarkan pandangan dan melangkah masul, kaki Brian terhenti di dekat meja kasir. Saat menatap Anyelir yang sedang bicara dengan laki-laki tampan berambut ikal. Ia tidak pernah mengenal laki-laki itu sebelumnya dan dilihat dari cara mereka bicara, sepertinya keduanya sangat akrab. Bagaimana Anyelir tertawa dan berwajah semringah saat mendengar perkataan laki-laki itu, membuat dadanya bergolak tidak nyaman. Melanjutkan langkahnya, Brian menghampiri keduanya.

“Anye.”

Sapaannya membuat Anyelir spontan mendongak. “Kak, baru datang?”

Brian mengangguk, mengalihkan pandangan pada laki-laki muda yang juga sedang menatapnya.

“Oh, Kak Brian, kenalkan ini Ares, sepupu Verona. Untuk sementara dia membantuku di kedai ini.”

Brian mengulurkan tangan dan disambut oleh Ares. Keduanya bertukar senyum kaku.

“Apa kabar?” sapa Ares.

“Kabar baik. Maaf, aku akan menculik wanitaku sebentar. Tolong, jaga kedainya.”

Tanpa menunggu Anyelir menjawab, Brian meraih pergelangan tangan wanita itu dan setengah menyeretnya ke pintu.

“Hei, Kak. Apa-apaan ini, aku sibuk!” Anyelir berusaha melepaskan pegangan Brian tapi tidak mau terlalu kentara, takut menjadi tontonan pengunjung.

“Jangan menarik perhatian Anye. Ikut saja sebentar."

“Aku sibuk.”

“Ada Ares.”

Perdebatan mereka terdengar oleh Ares yang termangu di dekat meja kasir. Ia mengernyit tak mengerti saat melihat Anyelir digandeng keluar dan dipaksa masuk ke mobil laki-laki itu. Kalau tidak salah dengar, ia mendengar Brian menyebut Anyelir, wanitaku. Kalau begitu, apa hubungan mereka. Lalu, bagaimana dengan laki-laki yang datang kemarin? Ares menggaruk kepalanya, merasa pusing dengan Anyelir yang dikelilingi para laki-laki tampan.

“Mau ke mana kita?” tanya Anyelir saat kendaraan melaju di jalan raya.

“Ke suatu tempat,” jawab Brian pelan.

“Kak, aku sibuk.”

Brian menoleh, mengelus wajah Anyelir. “Sama, aku juga. Tapi, ini penting. Tentang kita berdua.”

Anyelir terdiam, menyerah pada keinginan Brian. Ia tidak tahu akan dibawa ke mana, dan tidak punya dugaan sama sekali. Sementara lagu when loves break down dari Eliot Kennedy mengalun dari stereo mobil, memecah kesunyian di antara keduanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro