Bab 13a
“Apa restoranmu rame?”
“Di Lombok? Lumayan, aku ada rencana mau buka satu lagi di suatu tempat.”
“Di mana?”
Ares menunjukkan satu foto pada Anyelir. “Lihat, indah’kan?”
“Sangat.”
Anyelir tersenyum cerah, menatap foto-foto yang terpampang di layar ponsel. Ia suka sekali mengobrol dengan Ares dan mendengarkan pemikiran-pemikiran pemuda itu. Selain karena mereka punya hobi yang sama di bidang kuliner, Anyelir mengakui kalau Ares adalah tipe orang yang punya tujuan dan arah hidup yang jelas. Tidak malu mengakui kalau sekarang sedang butuh uang demi mengembangkan ide usahanya.
“Restoranmu yang sekarang, aku dengar warisan turun temurun.”
Ares mengangguk. “Iya, sudah hampir lima puluh tahun kami kelola. Kesulitan kami adalah mempertahankan cita rasa agar tetap sama, sementara yang mengelola sudah beda generasinya.”
“Pasti sulit ya.”
“Sangat, apalagi yang memasak beda tangan. Meski memakai resep yang sama.”
Kedai dalam keadaan sepi. Setengah jam menjelang tutup, tidak banyak pelanggan datang. Beberapa pegawai sedang membersihkan meja dan peralatan, sementara Anyelir duduk mengobrol dengan Ares.
Selama tiga hari Ares bekerja di kedainya, mereka banyak bertukar pikiran. Bukan hanya soal resep makanan tapi juga hal-hal lain, tentang film, musik, dan hal lain. Kehadiran Ares sedikit mengalihkan perhatian Anyelir dari Brian. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan laki-laki itu, karena sudah beberapa hari ini tidak datang.
Minggu lalu, Brian memang sempat mengirim pesan yang mengabarkan akan pergi ke luar kota. Namun, tidak ada kejelasan lebih lanjut, apakah kepergiannya jadi dilakukan atau tidak. Selanjutnya, Brian bagai menghilang tanpa kabar dan membuat Anyelir resah.
“Kamu juga hebat, Anyelir.”
Pujian Ares membuyarkan lamunan Anyelir. Ia mendongak dan mengangkat sebelah alis. “Hebat kenapa?”
“Yah, hidup seorang diri dengan sangat mandiri. Aku bahkan tidak tahu apa yang aku lakukan tanpa orang tuaku.”
Anyelir tertawa lirih. “Kalau begitu, kamu harusnya bersyukur masih ada orang tua yang menjagamu.”
“Iya, sih. Di usiaku sekarang, punya kedua orang tua yang masih sehat adalah sebuah anugrah.”
“Nah, betul itu.”
Percakapan keduanya terjeda, saat dari pintu kedai yang terbuka, muncul sosok Danial. Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran dan matanya menemukan Anyelir. Danial melangkah ke arah meja Anyelir, dan melayangkan tatapan menyelidik pada Ares.
“Anyelir, apa kabar?” sapanya dengan suara rendah.
Anyelir tersenyum. “Kak, tumben datang. Ada apa?” tanyanya tanpa bangkit dari kursi.
Danial berdiri kikuk, menatap bergantian pada mantan kekasihnya dan seorang pemuda berambut ikal yang entah kenapa, tidak beranjak dari sisi Anyelir saat melihat kedatangannya.
Ia belum pernah bertemu dengan pemuda ini, yang sekarang tersenyum dan memandang Anyelir dengan tatapan seolah-olah telah saling kenal sudah lama.
“Siapa dia?” tanya Danial jengkel, menunjuk Ares dengan dagunya.
“Oh, kenalkan ini Ares. Orang yang membantuku di kedai ini.”
Ares bangkit dari kursi dan mengulurkan tangan ke arah Danial. “Apa kabar?” Ia menyapa ramah dan sambutan Danial membuatnya kembali melipat tangan.
“Bisa nggak kamu pergi dulu, aku ada urusan dengan Anyelir.”
“Kak ….” Anyelir menegur halus.
Senyum di wajah Ares menghilang. Ia menatap Danial sesaat pada Danial yang arogan lalu berpaling pada Anyelir yang terlihat tidak enak hati.
“Aku ke belakang dulu,” pamitnya sopan. Melangkah tergesa meninggalkan meja Anyelir dan menghilang di dapur.
Tanpa menunggu dipersilakan duduk, Danial menarik kursi dan mengenyakkan diri di seberang Anyelir. Menatap tajam pada wanita yang pernah menjadi tunangannya. Rasa tidak sukanya karena Anyelir akrab dengan laki-laki lain selain dirinya, kini menyeruak.
“Apa laki-laki itu tinggal di sini?”
“Siapa?” tanya Anyelir balik.
“Jangan pura-pura nggak tahu Anyelir. Kamu jelas tahu siapa yang aku maksud.”
Menghela napas panjang, Anyelir menyipit kesal ke arah Danial. Tidak pernah berubah, sifat Danial dari dulu selalu sama. Tanpa mencari tahu lebih dulu tentang apa yang terjadi, laki-laki itu akan melontarkan tuduhan.
“Ares bekerja di sini tapi tidak tinggal di sini.” Akhirnya, ia menjawab pertanyaan Danial. “lagi pula, apa yang dia lakukan di sini nggak ada hubungannya denganmu, Kak!”
“Anyelir! Mulai kapan kamu berubah jadi genit begini?”
Mendengar kata genit, membuat Anyelir menunjuk dadanya sendiri. Ia tidak terima Danial menuduhnya macam-macam hanya karena asumsi dan pandangan sekilas, tanpa tahu kebenarannya.
“Aku genit? Lalu kenapa kalau aku genit? Toh, urusanku bukan lagi urusanmu, Kak.”
Bantahan Anyelir membuat Danial terdiam. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Mencoba menenangkan diri karena kaget melihat Anyelir akrab dengan laki-laki lain selain dirinya.
Mereka memang tidak lagi bersama, tapi ada rasa cemburu yang menyelinap jika menyangkut Anyelir. Ia masih belum bisa menerima, jika mantan kekasihnya menjadi milik orang lain.
“Aku merindukanmu.”
Tanpa diduga, Danial mengatakan itu. Ungkapan isi hati yang membuat laki-laki itu menunduk dan Anyelir terdiam saat mendengarnya. Mereka saling berdiam diri, hingga Anyelir berucap pelan.
“Gimana kabar mamamu? Sehat?”
Danial menggeleng. “Nggak, makin hari makin terlihat murung. Setiap hari tak henti-hentinya mengoceh, agar aku berbaikan denganmu. Mama, masih tidak bisa terima kalau kamu … membuangku.”
“Kak, please.”
Anyelir menatap laki-laki yang menunduk di depannya dengan perasaan bersalah. Ia yang telah ternoda, dengan terpaksa memutuskan Danial. Padahal ia tahu, sudah banyak yang dilakukan laki-laki itu untuknya. Termasuk, di masa lalu mereka.
Jika bukan karena bayi dalam kandungan, jika bukan karena Brian, tentu sekarang ia masih bersama Danial.
“Memang itu kenyataannya. Kamu membuangku, saat aku sedang membutuhkan seseorang untuk bersandar. Apa kamu tahu, kalau perusahaanku sedang bermasalah?”
Tanpa jeda, Danial terus bercerita tentang kondisi perusahaannya. Ia mengeluh, mencurahkan rasa kuatir dan kesedihannya pada Anyelir yang terdiam mendengarkan. Setelah penuturan panjang, selama hampir dua puluh menit tanpa disela, Danial menyandarkan kepala pada punggung kursi dan memejam.
Anyelir yang sedari tadi mendengarkan, tidak tahu harus bicara apa. Ia menatap mantan tuanngannya yang terlihat kurus dengan wajah kusut. Rupanya, laki-laki itu sedang membutuhkan teman bercerita, itulah kenapa mendatanginya.
Anyelir memandang prihatin pada tubuh Danila yang mengurus. Ada lingkar hitam di bawah mata yang menandakan kurang tidur dan wajahnya pun tak setampan dulu karena terlalu tirus. Berusaha mengenyahkan rasa bersalah, ia berucap dalam hati kalau apa yang terjadi dengan Danial, tidak ada hubungan dengan dirinya.
Waktu tutup kedai tiba, para pegawai termasuk Ares berpamitan pulang. Tertinggal Anyelir duduk berdua, berhadapan dengan sang mantan tunangan yang sepertinya enggan bergerak. Meletakkan ponsel di atas meja, ia bertanya pada laki-laki di depannya.
“Lapar, Kak? Mau aku buatkan makan?”
Tanpa ragu Danial mengangguk. “Iya, siang lupa makan.”
“Tunggu sebentar.”
Sosok Anyelir menghilang di ruang belakang. Danial mengamati sekeliling kedai. Terbersit rasa nyeri, karena semenjak mereka tak lagi bersama, usaha Anyelir justru terlihat ramai. Dari dulu ia tahu, kalau Anyelir adalah sosok mandiri. Tidak suka merepotkan orang lain, termasuk dirinya saat masih menjadi tunangan.
Bagi banyak laki-laki, Anyelir adalah tipe wanita idaman. Punya usaha sendiri, bisa memasak, keibuan dan penuh kasih sayang. Dulu, saat mereka masih bersama, nyaris semua kebutuhannya diurus oleh Anyelir. Dari mulai soal makan, pakaian, hingga hal-hal yang menyangkut keluarganya. Ia tidak pernah menyadari peran penting wanita itu, karena saat itu menganggap memang tugas seorang calon istri. Kini, setelah mereka tak lagi bersama, ia menyadari bahwa cintalah yang membuat Anyelir rela melakukan itu semua. Ia kehilangan cinta itu karena hal yang tidak ia mengerti.
Lamunannya buyar, saat ponsel Anyelir di atas meja berdering. Keningnya berkerut saat melihat nama Brian tertera di layar. Rasa penasaran bangkit, saat sahabatnya menelepon mantan kekasihnya. Tanpa ragu, ia mengangkat panggilan itu.
“Hallo!”
Tak ada jawaban, sepertinya Brian tidak yakin tentang suara yang didengarnya.
“Brian, ada apa?” tanya Danial tidak sabar.
“Danial?”
“Iya, ini aku. Ada apa kamu telepon Anyelir?”
“Oh, kamu lagi di tempat Anye?”
“Ada apa, Brian?” Danial bertanya ketus, di luar kemauannya.
Hening sesaat, hanya terdengar deru kendaraan. Sepertinya Brian sedang berada di jalan.
“Nggak ada apa-apa, cuma mau tanya Anye masalah harga makanan per paket. Untuk rapat di toko cabang, niat mau pesan.”
“Kalau gitu nanti aku tanya.”
Tidak memberi kesempatan pada Brian untuk bicara lebih panjang, Danial memutuskan sambungan. Ia menimang ponsel Anyelir, berniat membukanya tapi layarnya terkunci. Ada ikon pesan masuk di bagian atas, dan ia penasaran itu siapa.
“Kak, kenapa ponselku di tanganmu?”
Anyelir bertanya heran. Meletakkan sepiring nasi goreng dengan es teh manis di depan Danial.
Dengan enggan Danial menyerahkan ponsel pada Anyelir. “Ada telepon barusan, dari Brian.”
“Lalu?”
“Nggak ada apa-apa, Brian hanya ingin tanya harga paket makanan.”
Anyelir mengerjap, menatap ponselnya. Sementara Danial makan, ia membuka layar ponsel dan membaca pesan masuk. Rupanya, Brian mengirim pesan dan karena tidak dibaca, laki-laki itu menelepon.
“Apakah kamu ada di rumah? Aku mau mampir.”
Anyelir mengabaikan pesan dari Brian. Laki-laki itu sudah menelepon, berarti tahu kalau sekarang ada Danial. Ia tidak perlu menjawabnya lagi.
Danial makan dengan lahap, seolah-olah tidak makan dalam jangka waktu yang lama. Nasi goreng sepiring, habis dalam beberapa menit. Setelah menandaskan es teh manis, laki-laki itu berdecak puas.
“Enak sekali masakanmu. Jadi kangen kamu masak di rumah.”
Anyelir tidak menjawab, entah kenapa ia merasa kesal dengan sikap Danial yang sembarangan. Meski yang menelepon adalah Brian, tidak seharusnya laki-laki itu mengangkatnya.
Tadinya, Anyelir berpikir kalau Danial akan pergi setelah makan. Ternyata, dugaannya salah, laki-laki itu tetap duduk dan berusaha mengajaknya mengobrol, meski ia menanggapinya sambil lalu. Setelah melihatnya menguap berkali-kali tanda lelah, barulah Danial pamitan.
Di depan pintu, laki-laki itu menatap Anyelir dengan intens. Mengulurkan tangan untuk mengelus pundak Anyelir dan berucap sendu.
“Terima kasih untuk malam ini. Aku bahagia sekali. Aku harap, kita bisa kembali seperti dulu.”
Anyelir mendesah lalu menggeleng. “Kak ….”
Seakan tidak ingin mendengar penolakannya, Danial membalikkan tubuh dan masuk ke dalam mobil. Anyelir terpaku di tempatnya berdiri, tercabik pada perasaan bersalah pada Danial, dan rindu pada Brian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro