Bab 11b
“Ehm, sebenarnya malam itu Anyelir bukan minum alkohol biasa tapi ada sedikit campuran obat perangsang. Aku yang campurin. Susah juga dapat obat kayak gitu, untuk punya kenalan yang bisa bantu beli.”
Kali ini, Brian tidak dapat menahan rasa kaget. Ia mendongak dan menatap Verona yang mengangkat bahu dengan wajah tanpa dosa. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Verona memberi sahabatnya sendiri obat perangsang.
“Kamu aneh, dia itu teman kamu,” tanya Brian heran.
Verona mengangguk. “Memang, aku cuma mau bantu dia. Aku ingat persis, hari-hari itu Anyelir seperti patah semangat dan merasa tak berharga karena Danial. Di merasa jadi wanita yang tak berguna dan tidak diinginkan. Tertekan oleh keluarga Danial yang menganggap kalau semua masalah ada padanya, sementara tunangannya sendiri cenderung acuh. Setelah Anyelir setuju dengan ideku untuk menyerahkan diri pada Danial, aku membantu dengan alkohol. Siapa sangka malah salah sasaran.”
Brian mengangguk dalam diam, mengingat kembali kenangan malam itu. Ia sendiri pun bukan dalam keadaan waras, sama dengan Anyelir juga kena pengaruh alkohol. Hari itu, ia menginap di apartemen Danial karena tempatnya terlalu jauh dari tempat pertemuan. Lagi pula, ada seorang wanita cantik yang menggodanya, dan bersedia menemaninya tidur. Ia sudah memberikan alamat apartemen Danial, siapa sangka malah Anyelir yang datang.
Kini, akibat perbuatan mereka berdampak pada banyak hal. Putusnya hubungan Anyelir, dan hubungan mereka yang makin hari makin tidak jelas.
“Kamu pasti bingung, mendadak punya anak. Yang aku tahu, Anyelir menolak tanggung jawabmu?”
Kali ini Brian menghela napas dan mengangguk. “Memang, menolak semua bantuanku dengan tegas dan keras kepala. Aku jadi bingung, jalan pikiran Anye.”
Keduanya memandang ke arah Anyelir yang kini sibuk di meja kasir, tidak memedulikan mereka. Anyelir bahkan bersikap seakan tidak melihat Brian.
“Beri dia waktu, aku kenal Anyelir. Dia akan luluh pada kebaikan hati seseorang. Itulah yang membuatnya mencintai Danial, karena merasa laki-laki itu telah berbuat baik padanya.”
“Semoga dia berubah pikiran.”
“Berubah pikiran untuk apa?” tanya Verona ingin tahu. “Apa kamu berniat menikahinya?”
Menikah adalah kata-kata ajaib bagi Brian. Ia tidak tahu apakah siap untuk menikahi Anyelir. Namun, dipikir lagi dirinya memang sanggup melakukan itu. Demi anak dalam kandungan Anyelir, ia akan menikahi wanita itu.
“Kalau Anyelir mau,” jawabnya tenang.
“Itu poinnya, kalau dia mau. Setahuku, Anyelir tipe orang yang tidak suka membuat orang lain susah. Jadi, Saudara Brian, kamu harus berusaha.”
Setelah itu keduanya berdiam diri, dengan Brian duduk bersedekap. Ia banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Entah kenapa malah duduk di sini, bercakap dengan Verona sambil memperhatikan Anyelir bekerja.
“Kamu udah makan siang belum?” tanya Verona.
Brian menggeleng. “Belum, tadi langsung kemari.”
“Tunggu!” Verona bangkit dari kursi menuju meja Anyelir. Keduanya terlibat obrolan, dan Brian melihat kening Anyelir berkerut. Tak lama, wanita yang sedang mengandung itu bangkit dan pekerjaannya diganti Verona. Anyelir menghilang ke dapur dan muncul lagi dua puluh menit kemudian dengan tangan menyangga nampan dan meletakkannya di hadapan Brian.
“Nasi telur, silakan makan,” ucapnya sambil menunduk.
Saat hendak beranjak, Brian menyambar tangannya. “Temani aku makan.”
“Aku sibuk.”
“Sepuluh menit saja, please?”
Menarik napas panjang, Anyelir mengenyakkan diri di depan Brian. Menatap tanpa kata pada laki-laki tampan yang kini mengaduk nasi di dalam mangkok. Karena tidak tahu apa kesukaan Brian, ia sengaja memasak sesuatu yang simpel dan cepat. Nasi telur dengan soas mentai dan irisan sosis.
Laki-laki di depannya makan dengan lahap, seakan-akan nasi telurnya adalah makanan paling enak di dunia.
“Ini enak sekali. Aku suka,” ucap Brian di sela kunyahannya. “Kamu pintar memasak.”
Anyelir tidak menjawab, menunggu hingga Brian menadaskan makannya lalu minum air. Setelah pelayan membereskan bekas makannya, ia berdehem.
“Semua sudah aku maafkan. Aku sudah ke dokter sendiri, bayi juga sehat. Sebaiknya jangan terlalu sering datang kemari.”
“Aku salah, aku minta maaf. Kamu pasti melihat berita yang beredar di internet dan TV? Aku dengan Vania itu hanya--,”
Anyelir mengangkat tangan. “Sudah berkali-kali aku bilang, terserah kamu mau bagaimana dengan wanita yang mana. Hanya saja, jangan melibatkan aku. Kamu berjanji lalu kamu ingkari. Aneh sekali kamu, Kak.”
Rentetan ucapan Anyelir hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Brian. Ia tahu salah dan pantas untuk dimarahi. Ia menahan niat untuk merokok, karena biasanya itu yang dilakukan setelah makan. Meneguk perlahan, air putih dari dalam botol, ia mengamati wajah Anyelir yang polos tanpa polesan make-up. Wajah ayu, mata sendu dengan tatapan sedalam danau. Seakan-akan, orang akan tenggelam dalam teduhnya tatapan Anyelir. Bibir yang sexy dengan lipstik yang mulai memudar.
“Kamu cantik, Anye.”
Pujiannya yang di luar dugaan membuat Anyelir mendongak heran. Tak memedulikan wanita itu, Brian meraih tangan Anyelir dan menggenggamnya.
“Sekali lagi aku minta maaf, sudah ingkar. Bisa jadi, ini kesalahan kedua atau ketigaku. Aku minta maaf sudah membuatmu marah, kesal, dan harus menerjang hujan untuk ke dokter. Kalau kamu masih percaya padaku, izinkan aku sekali lagi menunjukkan itikad baikkku untuk bersamamu."
Anyelir mendesah, mencoba melepaskan genggaman Brian di telapaknya. “Lepaskan, banyak orang di sini,” desisnya kesal.
Brian menggeleng. “Nggak, sebelum kamu menyetujui usulku.”
“Usul yang mana? Jelas-jelas kamu yang berjanji, kamu juga yang mengingkari. Aku harus bagaimana? Diam saja setiap kali kamu minta maaf?”
Bantahan Anyelir membuat Brian terdiam. Ia tetap menggenggam tangan wanita itu, tidak peduli meski Anyelir meronta. Sikap Anyelir yang sedang marah seperti sekarang, entah kenapa terlihat amat menggemaskan.
Beberapa tahu silam, saat mereka pertama kali bertemu di acara pertunangan Anyelir dan Danial, ia sudah tahu kalau tunangan sahabatnya adalah wanita yang menarik. Ia suka dengan tampilan Anyelir yang cantik dan ramah. Ternyata, makin ke sini makin banyak yang ia tidak tahu soal Anyelir, termasuk sifanya yang berpendirian teguh jika menyangkut sesuatu.
“Apakah bayi kita sudah bisa menendang?”
“Apa?” Anyelir melongo.
Brian menunjuk perut Anyelir dengan dagunya. “Itu, bayi kita. Kalau nggak ingat sedang banyak orang, ingin mengelus dan merasakan kehadirannya. Tapi, aku takut kamu akan meremukkan kepalaku kalau aku nekat.”
Kali ini Anyelir benar-benar tercengang. Ia menganga dan tidak dapat menahan tawa. Akhirnya, ia membiarkan Brian tetap meremas tangannya dengan dirinya tertawa tiada henti. Ucapan Brian tentang meremukkan kepala, menurutnya sangat lucu.
Dari meja kasir, Verona menatap sahabatnya yang sedang tertawa dengan Brian menggenggam erat tangan Anyelir. Sungguh sebuah adegan yang indah dan sekilas orang-orang akan menerka kalau mereka adalah pasangan kekasih. Orang-orang yang tidak tahu, ada apa di balik tawa mereka. Menghela napas panjang, Verona berharap ada kebahagiaan untuk Anyelir yang sepanjang hidupnya sudah menderita.
**
Malam belum begitu larut, jalanan masih ramai oleh lalu lalang kendaraan. Di dalam apartemen dengan penerangan remang-remang seorang laki-laki merokok dengan tubuh berdiri menghadap jendela yang terbuka.
Asap menyelubungi ruangan, membuat pekat makin gelap dan aroma tembakau terasa kuat menyerbu penciuman. Terlebih, jika diamati sesaat terlihat betapa berantakan keadaan di ruangan.
Di atas sofa tersampir banyak baju dan kain, lalu sandal dan sepatu berserakan di lantai. Putung rokok bertebaran di meja dengan sampah meluber di tiap tempat. Jika ada orang memasuki ruangan ini, bisa dipastikan akan mengira kalau apartemen tidak berpenghuni.
Mendesah resah, Danial menyugar rambutnya. Mengamati putung rokok di tangan. Entah ini bungkus ke berapa yang ia habiskan. Setelah berpisah dari Anyelir, ia membutuhkan rokok dan alkohol untuk bisa tidur.
“Sebenarnya, apa masalah kalian. Memangnya tidak bisa dirundingkan? Setelah sekian tahun bersama? Kenapa berpisah?”
Pertanyaan sang mama, persis dengan pertanyaan dalam hatinya. Ia pun tidak mengerti kenapa Anyelir memutuskannya. Ia selalu mengira, wanita seperti Anyelir adalah tipe yang tidak neko-neko dan banyak menuntut. Salahnya, karena mengundur-undur masalah pernikahan dan membuat Anyelir gamang. Namun, dalam posisi sepertinya, laki-laki mana yang siap menikah?
Ia ingin menikah, bukannya tidak mau. Tapi, ada banyak hal yang mengganjal di hati. Karena itulah, ia kehilangan Anyelir.
Suara bel pintu bergaung nyaring di ruangan. Ia mengernyit, merasa tidak sedang menerima tamu. Danial berniat mengabaikannya karena sedang tidak ingin diganggu. Namun, bel terus menerus berbunyi dan tak lama terdengar teriakan dari luar.
“Kak, Danial! Bukan pintunya!”
Suara Nerisa, Danial sedikit enggan untuk menemui gadis itu. Namun, gedoran di pintu makin menjadi jadi.
“Kak Danial, aku tahu kamu di dalam! Bukaaa!”
Akhirnya, dengan enggan ia melangkah ke pintu. Setelah menyalakan lampu, ia membuka pintu dan mendapati Nerisa berdiri dengan wajah mencebik.
“Lama amat, ngapain aja, sih?” Gadis itu menerobis masuk dan detik itu juga mengernyit saat melihat betapa kotor dan berantakan ruangan. Ia menoleh pada Danial dan berucap ketus. “Kok bisa hidup di sini? Apartemen apa tempat pembuangan sampah?”
Danial mendengkus tidak peduli. “Pulang saja kalau mau ceramah!” jawabnya tak kalah ketus. Biasanya, ada Anyelir yang membantunya membersihkan apartemen. Kini, tanpa wanita itu, ia agak malas untuk memanggil petugas kebersihan.
Nerisa terdiam sesaat, lalu bergerak cepat untuk menyapu dan membersihkan meja serta sofa dari putung rokok. Sementara Danial hanya berdiri mematung. Saat gadis di depannya menunduk, belahan dadanya terlihat jelas dan ia merasa sedikit tergugah.
Ia duduk di sofa, mengawasi Nerisa menyapu dan mengepel. Saat ruangan menjadi lebih enak dipandang, gadis itu berkacak pinggang di depannya.
“Lihat, jadi enak’kan? Ngapain sih, tinggal bayar petugas aja malas!”
Tanpa kata, Danial menarik tangan Nerisa dan membuat gadis itu terjatuh di pangkuannya. Ia menggerayangi tubuh Nerisa, tak sabar membuka resleting bagian belakang. Seketika, tubuh atas Nerisa terbuka.
“Kak, kita harus bicara?” ucap Nerisa saat Danial menyarukkan mulutnya ke dadanya yang montok.
“Mama Haniah memintaku bicara denganmu soal Anyelir.”
Danial mengangkat wajahnya dari dada Nerisa, tanganya bergerak ke arah belakang dan menarik lepas kait bra. Buah dada yang putih dengan puting yang tegak menatang, terpampang di depannya.
“Kita bicara nanti soal itu. Sekarang, bisakah kamu membantuku?” tanya Danial sambil meremas dada Nerisa dan membuat gadis itu mendesah.
“Sudah ke dokter?” tanya Nerisa di sela napasnya yang tersengal.
“Sudah, dan obat-obatan sialan itu tidak banyak membantu. Kemarin baru disuntik, bisakah kita coba?”
Nerisa mengerjap lalu mengangguk. Ia melumat bibir Danial dan keduanya saling melucuti pakaian. Saat Nerisa berjongkok di depannya dan mulut gadis itu terasa intim di kelelakiannya, pikiran Danial justru tertuju pada Anyelir. Seandainya saja keadaan dirinya tidak seperti sekarang, wanita yang ingin sekali ia cumbu adalah Anyelir, bukan Nerisa. Ia melenguh, membiarkan dirinya terbang bersama hasrat yang coba ia bangkitkan.
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro