Bab 11a
“Setelah menikah, kita akan tinggal di rumah Mama.”
“Hah, memangnya muat?”
“Aku akan bangun bagian atas, jadi kita bisa tinggal di sana.”
“Memangnya kenapa kalau tinggal di kedaiku? Aku rasa akan lebih bagus bagi kita kalau tinggal terpisah dengan orang tua.”
“Anyelir, kamu harus tahu kalau aku anak tertua dan satu-satunya anak laki-laki di keluarga itu. Jadi, susah sewajarnya kalau aku yang menjaga Mama, dibantu olehmu tentu saja.”
Anyelir menghela napas, membayangkan hari-hari saat tinggal bersama di rumah Danial, bersama Haniah dan Devira. Tentu saja, ia yang harus mengurus semua hal di rumah itu. Dari mulai membersihkan rumah, memasak, dan hal lainnya.
Ia tidak pernah mengeluh soal itu, karena memang pada dasarnya menyukai Haniah. Namun, jauh di lubuk hati, ia ingin tinggal berdua hanya dengan suaminya. Kalaupun nanti punya anak, mereka akan hidup terpisah. Karena masih ada Devira yang tinggal bersama Haniah, ia masih tenang. Kecuali wanita itu tinggal sendiri, mau tidak mau mereka harus menemani.
“Please, jadi wanita jangan egois, Anyelir. Jika bukan karena Mama, hubungan kita tidak akan sejauh ini.”
Jangan egois sebagai wanita, adalah kata-kata andalan Danial untuk membungkam mulutnya. Mau tidak mau, Anyelir memilih diam agar tidak ada perdebatan panjang.
Kini, setelah hubungan mereka putus dan ia sendiri, Danial masih kerap mengiriminya pesan dan mengatakan hal yang sama. Seakan-akan, keputusan Anyelir untuk tidak sering datang ke rumah laki-laki itu adalah perbuatan paling egois.
Anyelir berusaha mengabaikanya, menyingkirkan juga perasaan tidak enak pada Haniah. Semenjak sang nenek meninggal, dan ia sebatang kara di dunia, Haniahlah yang merangkul dan menghiburnya. Ia sungguh berterima kasih pada perhatian wanita itu. Namun, kini sadar kalau rasa terima kasih saja tidak cukup menjadi pondasi dalam sebuah pernikahan.
Begitu juga Brian, tidak ada bedanya dengan Danial, alasan laki-laki itu ingin menikahinya juga bukan sesuatu yang kuat. Jika pernikahan hanya demi bayi yang dikandungnya, maka ia memilih untuk sendiri. Karena ia bukan tipe orang yang akan menuntut orang lain. Terlebih, ia tahu kalau Brian suka dengan Vania.
Berita tentang Brian dan Vania, merajai infotaimen selama berhari-hari. Banyak yang memuji tindakan Brian, yang melindungin Vania. Para awak media, mengejar-ngejar ke mana pun laki-laki itu pergi, hanya demi mendapatkan sebuah wawancara.
“Jadi terkenal dia, gara-gara wanita selebgram itu,” ucap Verona dengan mata menatap layar ponsel yang terbuka. “Nggak di TV, nggak di youtube, semua berita tentang mereka. “ Menoleh pada sahabatnya yang sedang meminum teh, ia kembali berucap. “Kamu nggak apa-apa?”
“Kenapa aku?” tanya Anyelir balik.
“Lah, kok malah tanya balik? Maksudku, tentang Brian dan selebgram itu, lalu hubungan kalian?”
Anyelir mengangguk kecil, meletakkan teh panas ke meja lalu melirik sahabatnya. “Aku baik-baik saja dan nggak terganggu dengan berita tentang mereka.”
“Yakin?”
“Yes, karena aku juga mengharapkan Brian harus berbuat ini dan itu padaku. So, sejauh ini aku nggak peduli, sih.”
Verona mengerjap lalu mengangguk kecil. “Aku sih mengerti soal itu. Tapi ingat, kandunganmu makin lama makin membesar dan tidak bisa disembunyikan lagi. Lalu, bagaimana kalau orang-orang tahu? Bagiamana kalau Danial tanya, anak siapa yang kamu kandung?”
Anyelir terdiam, mengelus perutnya yang masih rata. Untunglah, anak dalam kandungannya makin hari makin tenang. Tidak rewel seperti awal-awalnya. Meski nafsu makannya belum membaik, tapi setidaknya tidak muntah-muntah terus. Dan itu cukup membuatnya senang.
“Aku belum tahu nanti bagaimana. Tapi, aku terpikir untuk pindah dari sini dan menjauh dari Danial.”
Mata Verona melebar saat mendengar ucapan Anyelir. “Hah, serius? Mau pindah ke mana?”
Kali ini Anyelir yang menggeleng. “Nggak tahu, nanti dipikir. Itu kalau Danial terus datang menganggu. Tapi, kalau ternyuata di tengah jalan, dia menjaga jarak dan tidak lagi mengangguku, sukur-syukur punya kekasih baru, maka aku tetap di sini.”
Verona menghela napas, lalu berujar ringan. “Mulai minggu depan aku jarang datang.”
Anyelir menoleh. “Kenapa?”
“Sepupu dari Lombok datang. Mau bawa mereka lihat-lihat.”
“Oh, mampir kalau bisa. Biar kenal.”
Verona tidak menjawab, menatap Anyelir yang sibuk dengan otak rumit. Ia cukup pusing memikirkan dalam hati opsi-opsi masa depan ala Anyelir. Ia tahu, keduanya akan sulit dilakukan karena banyak faktor. Kalau pindah, sahabatnya tidak mengenal dunia luar, jadi tidak akan akan tujuan pasti akan ke mana. Kalau tetap di sini dengan harapan Danial tidak merecoki, itu juga hal sulit. Karena sekarang, masalah bukan hanya pada Danila tapi juga ada Brian. Verona memijat kepalanya, merasa pusing dengan peliknya urusan Anyelir.
**
Brian menyentuh pelipisnya yang luka. Ada sobekan kecil di sana, masih terasa perih. Ia mengoleskan salep tipis-tipis, dengan harapan bisa meredakan rasa sakit. Selesai merawat lukanya, ia kembali duduk di meja. Meraih ponsel baru yang tadi pagi baru saja ia beli. Untung saja, kartunya tidak rusak. Jadi, ia tetap bisa menggunakan nomor lama dengan ponsel baru.
Ia memencet nomor Anyelir, berniat meminta maaf tapi kecewa karena teleponnya tidak diangkat. Ia mencoba mengirim pesan tapi sama sekali tidak dibuka. Mendesah kecewa, ia menyandarkan kepala pada kursi.
Sebenarnya, semua bukan salah Anyelir. Ia yang salah karena sudah mengingkari janji. Kalau dari awal ia tidak menawarkan diri untuk mengantar, pasti semua tidak akan terjadi. Padahal, ia ingin tahu bagaimana keadaan janin di kandungan Anyelir. Ia ingin memastikan kalau bayi itu sehat.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya, tak lama sosok Vania muncul dari balik pintu yang terbuka. Wanita itu tersenyum lebar, memutari meja dan merengkul Brian dari belakang.
“Bagaimana keadaanmu?” bisik Vania dengan kepala berada di pundak laki-laki itu.
“Baik, nggak usah kuatir.” Brian berusaha melepaskan pelukan Vania. Merasa tidak enak hati karena pelukan wanita itu. “Tumben kamu datang siang-siang begini?”
Vania melepaskan pelukannya, kini duduk di meja Brian dengan tangan mengelus wajah tampan laki-laki itu.
“Aku kuatir pada keadaanmu, makanya datang. Semalam, setelah pulang dari kantor polisi aku mencarimu tapi kamu sudah nggak ada.”
“Aku ada urusan.”
“Itulah, makanya aku kuatir.” Vania mengelus dagu Brian yang ditumbuhi bulu-bulu halus, lalu berucap penuh kasih sayang. “Terima kasih, sudah membelaku. Kalau tidak ada kamu, entah apa yang dilakukan laki-laki itu.”
Brian termenung, membayangkan kejadian kemarin. Saat keluar dari studio, dan sedang melamgkah menuju parkiran, seorang laki-laki tak dikenal berusaha menyentuh Vania. Brian sudah memintanya berhenti tapi laki-laki itu tidak menggubris, bahkan nekat ingin memeluk Vania.
Brian yang ingin melindungi Vania, menyentakkan tubuh laki-laki itu hingga terpelanting ke belakang. Tidak terima didorong hingga jatuh, laki-laki itu menyerang membabi buta ke arah Brian dan membuat ponselnya jatuh lalu pecah terinjak. Jika bukan dua petugas keamanan memisahkan mereka, bisa jadi Brian akan membunuhnya.
Kejadian itu berlanjut hingga ke kantor polisi, ditambah dengan ponsel Brian rusak, itulah yang membuatnya tidak bisa menghubungi Anyelir. Namun, ia tidak heran saat mendapati Anyelir marah padanya. Ia pun sama, jika ada orang yang sudah berjanji ternyata tidak menepati.
“Udha makan siang belum? Kalau belum, bisakah aku mentraktirmu?”
Brian menatap layar ponsel barunya lalu menggeleng. “Maaf, aku ada pertemuan di luar.”
“Hah, sekarang?” tanya Vania heran.
“Iya, sekarang. Pertemuan penting.” Memundurkan kursi, Brian bangkit dan meraih jas yang tergantung di punggung kursi dan memakainya. Menatap Vania yang terlihat kecewa, ia berujar pelan. “Lain kali, ya. Ini penting soalnya.”
Meski kecewa, Vania mengangguk. Menatap Brian yang terlihat begitu menawan dalam balutan jas hitam. Hatinya bergetar tak karuan. Jika tidak ingat rasa malu, ingin rasanya memeluk laki-laki itu dan merebahkan kepalanya pada dada yang bidang. Sekarang, ia cukup tahu diri dengan berterima kasih pada Brian yang sudah membelanya.
“Kabari aku kalau nanti malam kita bisa makan bersama,” ucap Vania saat menjajari langkah Brian menuju tempat parkir.
Brian tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, nanti aku kabari.”
Tanpa berkata-kata lagi, Bria melesat lebih dulu menuju mobilnya dan sesaat kemudia melaju meninggalkan halaman parkir. Dalam pikirannya sekarang, tertuju pada satu tempat dan ia berharap orang yang akan ditemuinya ada di sana.
Siang hari, lalu lintas tidak seberapa macet. Namun, parkiran kedai penuh saat Brian tiba di sana. Rupanya, kedatangannya bertepatan dengan jam makan siang. Ia sedikit kesulitan mencari parkir. Setelah kendaraannya berada di tempat yang seharusnya, Brian melangkah tergesa menuju kedai.
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai yang ramai dan mencari sosok Anyelir. Matanya menangkap bayangan wanita itu berada di balik meja kasir. Ia menghampiri dan berdehem saat tiba di sana.
“Anye, sibuk? Perlu bantuan?”
Anyelir mendongak lalu kembali menunduk. Bersikap seakan-akan tidak mengenal Brian.
“Anye, biar aku yang melakukan pekerjaanmu. Sebaiknya kamu istirahat.”
Tidak ada jawaban, Anyelir kini bahkan tersenyum pada salah seorang kostumer yang berniat membayar. Brian menghela napas, menatap wanita cantik yang berusaha mengabaikan kehadirannya.
“Ssst, cowok! Sini dong!”
Panggilan disertai suitan terdengar dari arah samping. Brian menoleh dan bertatapan dengan seorang wanita berambut pendek. Wanita itu terus melambai untuk memintanya mendekat. Sesaat Brian bingung, merasa seperti pernah bertemu wanita itu tapi lupa di mana. Akhirnya, ia putuskan untuk mendekati tempat wanita berambut pendek.
“Hai, mau minta maaf sama Anyelir, ya? Lagian, sih, pakai acara ingkar. Payah kamu!”
Wanita itu menyerocos dan membuat Brian tercengang. “Kamu tahu? Tentang aku dan Anye?” tanyanya sedikit sangsi.
Verona mengangguk. “Tahu, kalian tidur bersama. Malam itu kalau nggak salah kalian melakukan sebanyak tiga atau empat ronde. Lalu, Anyelir hamil dan kamu bingung, iya’kan?”
Tidak mampu menahan rasa terkejutnya, Brian menarik kursi dan menatap wanita di depannya. “Tahu apa lagi kamu?”
Verona tertawa lirih. “Pasti kamu lupa siapa aku, makanya heran aku tahu semua bukan? Coba ingat-ingat, Brian. Di mana kita bertemu sebelumnya?”
Brian mengernyit, mencoba menggali memori lalu samar-samar ia ingat tentang Verona. “Pertunangan Danial dan Anyelir.”
Verona bertepuk tangan gembira. “Horee, akhirnya kamu ingat juga. Asal kamu tahu, aku yang mengusulkan Anyelir untuk mendatangi Danial dan merayu laki-laki itu untuk tidur bersama. Siapa sangka, malah kamu yang jadi sasarannya? Eh, empat ronde berarti kalian hot juga.”
Tawa Verona menggelegar saat menatap wajah Brian yang tercengang. Hiburan baginya, bisa menggoda laki-laki tampan yang sedang dilanda rasa bersalah. Dari ujung matanya, Verona melihat Anyelir sedang sibuk dan ia melanjutkan aksinya untuk meggoda Brian.
“Ini rahasia antar kita saja, sini kukasih tahu.” Verona mendekatkan diri ke telinga Brian. “Jangan sampai siapa pun tahu, termasuk Anyelir.”
“Ada apa lagi?”
“Ehm, sebenarnya malam itu Anyelir bukan minum alkohol biasa tapi ada sedikit campuran obat perangsang. Aku yang campurin. Susah juga dapat obat kayak gitu, untuk punya kenalan yang bisa bantu beli.”
Kali ini, Brian tidak dapat menahan rasa kaget. Ia mendongak dan menatap Verona yang mengangkat bahu dengan wajah tanpa dosa. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Verona memberi sahabatnya sendiri obat perangsang.
***
Next Rabu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro