Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10b


Anyelir menatap wanita tua yang terlihat pucat dan rapuh di depannya. Ada semacam rasa sakit yang tersirat di wajah wanita itu. Bahkan Anyelir yang tidak mengalaminya, ikut merasakan rasa sakitnya. Dari senyum yang terlihat dipaksa, hingga suara yang berat, ia tahu Haniah masih belum sepenuhnya sehat.

Atas pertimbangan mendalam, tentang hubungan baik yang tercipta antara mereka selama ini, Anyelir setuju untuk menjenguk Haniah di rumah wanita itu. Pertama kali menginjak rumah Haniah, ia merasa terganggu. Bukan karena keadaan rumah yang berantakan, atau juga karena kondisi Haniah yang tidak juga membaik.

Mengabaikan kondisi tubuhnya yang agak lemas, Anyelir membantu Haniah memasak bubur dan membuat makanan. Setelah itu membawanya ke kamar Haniah dan membujuk wanita itu untuk makan.

“Masakanmu enak, Anyelir. Beberapa minggu kamu nggak datang, tidak ada yang memasak seenak ini,” ucap Haniah tulus, sambil mencecap makanan di mulutnya.

“Ada Nerisa dan Devira, Ma. Harusnya diajari mereka pasti bisa.”

Haniah menggeleng, menatap Anyelir dengan bola mata sendu. “Mereka tidak sedewasa kamu dalam bertindak. Masih suka main, terutama Devira.”

“Rumah siapa yang membersihkan?” tanya Anyelir sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar dan mendapati kalau tata letaknya tidak serapi biasanya.

“Ada orang datang membersihkan tapi bukan membereskan.”

Anyelir mengangguk. Sementara tangannya sibuk menyuapi Haniah,  terbersit rasa sedih karena wanita di hadapannya yang tidak terurus. Ia mencoba menepeskan rasa kasihan karena tidak ingin terbelenggu dalam perasaan iba terus menerus.

“Danial, orang yang aktif di luar untuk bekerja dan berkarir. Sangat cocok denganmu yang telaten merawatnya. Sekarang, dia kurus karena tidak ada yang memperhatikan.”

Anyelir terdiam, tidak berminat menanggapi perkataan Haniah. Wanita itu tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya. Sekarang, ia bukan lagi Anyelir yang sama. Ada banyak hal yang berubah, terutama soal perasaannya. Ia tidak mungkin menerima Danial kembali dengan keadaannya sekarang. Pernikahan, bukan lagi prioritas untuknya. Ada banyak hal yang dipikirkan sekarang, terutama soal masa depan bayinya.

Ia terdiam, sementara Haniah terus mengoceh soal Danial. Dari perkataannya bisaa dilihat kalau bagi wanita itu, anak laki-lakinya adalah prioritas utama. Haniah bahkan tidak peduli dirinya sakit, asalkan jangan Danial.

“Seandainya dengan permohonan bisa melunakkan hatimu, aku akan memohon padamu Anyelir. Kembalilah pada anakku.”

Tidak ingin terlibat dalam urusan hati yang berkepanjangan dengan Haniah, ia terdiam. Setelah menuntaskan pekerjaannya, pamit pulang. Haniah terlihat berat hati melepaskanya. Di ruang tamu, ia bertemu Nerisa. Gadis itu menatapnya dengan pandangan tertarik yang terang-terangan ditunjukkan.

“Wow, wanita yang paling diingkan di rumah ini , akhirnya muncul. Bagaimana kabar Nona Besar? Senang sekarang semua orang mengharapkanmu?”

Anyelir mengernyit tak mengerti. “Maksudmu apa?”

Nerisa tersenyum kecil, berdiri dengan tangan bersedekap. Posisi berdirinya yang berada di tengah pintu, seakan bermaksud menghalangi langkah Anyelir. Sementara matanya menatap tajam dengan wajah sedikit pongah.

“Masih tanya maksudku apa? Bilang saja kamu sedang cari perhatian. Pura-pura meminta putus hubungan padahal kamu ingin Danial mengejar dan memohon padamu’kan?”

Menghela napas panjang, Anyelir menyugar rambutnya. Merasa kesal dalam hati karena harus terlibat urusan dengan Nerisa. Dari dulu, ia tahu kalau gadis ini tidak pernah menyukainya. Nerisa secara langsung menganggapnya saingan dalam mendapatkan Danial. Dulu, ia akan sangat terganggu. Dulu, ia akan cemburu saat Danial memperlihatkan kedekatan dengan Nerisa. Kini, semua berubah dan cemburunya menguap pergi.
Menghela napas panjang, ia menatap Nerisa tajam lalu berujar ringan. “Bukankah bagus kalau aku dan Danial putus? Jadi kamu bisa mengejarnya?
Bukankah dari dulu kamu juga suka padanya?”

“Memang, ini kesempatan bagus. Seandainya bukan karena Mama Haniah yang terus menerus merengek dan meminta kalian kembali, pasti Danial akan merapat padaku.”

Maju selangkah dan menepuk pundak Nerisa ringan, Anyelir berbisik lembut. “Kalau begitu, ini kesempatanmu. Go! Jangan menyerah.”

Berjalan  ke samping, Anyelir melanjutkan langkahnya. Ia tidak menoleh lagi dan berharap bisa meninggalkan rumah Danila secepatnya. Ia sudah memenuhi janjinya untuk menjenguk Haniah dan tidak ingin berpanjang kata dengan Nerisa.

“Hei, tunggu. Aku belum selesai bicara!”

Nerisa meraih bahunya dan mau tidak mau, Anyelir menghentikan langkah. Ia menoleh heran. “Ada apa lagi? Bukannya sudah jelas soal aku dan Danial?”

“Hah, jelas apanya? Jelas-jelas alasanmu minta putus itu mengada-ada dan membuat Kak Danial makin penasaran.”

Mengangkat bahu tak peduli, Anyelir bersiap meneruskan lamgkah.

“Anyelir, apa kamu nggak minat ingin tahu kenapa Danial selalu mengundur-undur pernikahan kalian?”

Perkataan Nerisa membuat Anyelir menoleh. “Nggak penting lagi buatku, Nerisa. Kami sudah berpisah.”

Mendekat dengan wajah tanpa senyum, Nerisa menatap Anyelir lekat-lekat. Mereka berpandangan sesaat, sebelum akhirnya Nerisa membuang muka dan menghela napas panjang. Kembali mengalihkan perhatian pada Anyelir.

“Bagaimana kalau alasan sebenarnya justru berhubungan sama kamu?”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, ada hubungan sama masa lalu kalian. Hal-hal yang melukai Kak Danial dan membuatnya enggan untuk menikah denganmu.”

“Masa lalu apa?”

“Entahlah, kamu harusnya cari tahu dari Kak Danial. Coba bicara dari hati ke hati biar tahu, bukannya malah minta putus. Tapi, bagus juga. Biar dia tahu kalau kamu memang nggak layak dipertahankan. Hanya saja, aku kasihan sama dia. Semua yang terjadi  dan membuatnya jadi begini, gara-gara kamu.”

Meninggalkan teka-teki dengan perkataannya, Nerisa berbalik dan tanpa menoleh masuk ke rumah. Terdiam sendiri di halaman yang sepi, Anyelir memikirkan perkataan Neris tentang apa yang terjadi dengan Danial di masa lalu.

Seiingatnya, yang melibatkan mereka di masa lalu adalah kecelakaan yang menimpa keduanya. Lalu, kenapa itu menjadi alasan Danial untuk tidak menikah? Anyelir menghela napas, merasa kalau Nerisa mengada-ada.

Setelah ia menjenguk Haniah, rentetan pesan dari Danial kembali menghiasi ponselnya. Ia mengabaikan banyak di antaranya dan membalas hanya yang perlu saja. Tidak ingin memberi harapan lebih pada laki-laki itu.

Begitu juga dengan Brian. Laki-laki itu juga intens menanyakan keadaannya. Hal-hal sepele tentang makan, jam tidur, dan kebutuhan dasar selalu ditanyakan laki-laki itu. Verona menganalogikan mereka sebagai suami nomor satu dan suami nomor dua.

“Biasanya, wanita yang terbiasa di poligami. Dalam kasusmu ini kayaknya terbalik. Coba tanya Brian dan Danial, mau nggak poliandri.”

Cubitan bertubi-tubi mendarat di tubuh Verona dan membuat wanita itu menjerit kecil. Sungguh sebuah saran yang aneh. Mana mungkin ia bisa punya dua suami, sedangkan untuk memilih salah satu di antara mereka saja, ia tidak mau. Baik Danial maupun Brian, berhak bersama wanita yang mereka mau dan itu bukan dirinya. Kalau pun Brian berlaku baik padanya, itu hanya bagian dari tanggung jawab pada anak yang dikandungnya.

Hari ini, adalah waktunya untuk chek up. Anyelir bersiap-siap pergi dan cemas melihat mendung hitam di langit. Kalau misalnya harus naik motor, ia yakin pasti kehujanan. Untunglah Brian mengatakan akan mengantarnya.

Tadi pagi, ia sudah mengkonfirmasi pada laki-laki itu tentang waktunya dan Brian menjawab tak lama kemudian. Ia menunggu, hingga satu jam kemudian sosok Brian tidak terlihat. Ia menduga, laki-laki itu terkena macet karena kini gerimis mulai turun. Bukan rahasia lagi, jalanan akan mengalami kemacetan kalau sedang hujan.

Ia mengirim pesan dan mendapati hanya conteng satu. Penasaran, ia menelepon dan ponsel Brian tidak aktif. Entah apa yang terjadi pada laki-laki itu, ia tidak punya dugaan. Akhirnya, setelah menunggu dua jam dari waktu yang dijanjikan, Anyelir memutuskan untuk pergi sendiri ke dokter. Menaiki ojek online, ia menerjang hujan.

Untunglah, dokter masih buka. Setelah mengeringkan rambut dan baju, ia mengambil nomor antrian. Duduk di ruang tunggu bersama dua wanita hamil bersama suami mereka. Hanya dirinya yang datang seorang diri.

Mengisi kebosanan, ia menatap layar TV besar di dinding. Ada berita tentang artis dan  tak lama host wanita membacakan berita di mana seorang laki-laki terlibat baku hantam bersama seorang pengusaha karena memperebutkan seorang selebgram cantik.

Anyelir tercengang, saat di layar nampak video Brian yang memukul seorang model laki-laki tak dikenal. Pukulan dibalas pukulan dan membuat para awak media heboh.

“Waah, senang sekali jadi Vania, ya? Direbutkan dua laki-laki tampan.” Salah seorang pasien berucap sambil tersenyum.

“Dia cantik, sih.” Sang suami menimpali ucapan istrinya.

“Hooh, apa juga sah untuk orang cantik mah.”
Panggilan dari suster membuat Anyelir beranjak dan omongan sepasang suami istri tentang Brian dan Vania tidak lagi terdengar. Meski begitu, ada getar perih yang entah kenapa menyisip masuk ke dalam relung hatinya.

Menyingkirkan Brian dari pikirannya, ia berkonsentrasi pada ucapan sang dokter. Satu jam kemudian, ia sudah di jalan arah pulang dan lagi-lagi menerobos hujan. Sampai di kedainya, sosok Brian tidak terlihat. Ia menelan kekecewaannya dengan mandi, mengganti baju dan bekerja di kedai hingga tutup.

Pukul sembilan malam, hujan turun dengan deras. Anyelir yang sedang menutup pintu, kaget mendapati sosok Brian menetang hujan dan berlari ke arahnya. Laki-laki itu mengibaskan rambut dan berucap  dengan suara agak ngos-ngosan.

“Anye, aku minta maaf. Ada masalah jadi nggak bisa anterin kamu ke dokter. Apa kamu jadi pergi?”

Anyelir tidak menjawab, menatap Brian dari atas ke bawah. Lalu, berbalik untuk menutup pintu. Langkahnya terhenti saat tangan Brian berada di kusen dan menghalangi niatnya.

“Minggir!" perintahnya dingin.

“Anye, kamu marah? Aku benar-benar minta maaf. Semua terjadi di luar kendali, aku--,”

“Stop! Aku nggak butuh penjelasan. Urus saja sendiri urusanmu, asal jangan berjanji seenak udel!”

Dengan kasar, Anyelir menyingkirkan tangan Brian dari kusen dan mau tidak mau laki-laki itu menyingkir.

“Anye, tolonglah. Aku minta maaf, jangan marah. Please, aku bisa jelaskan.”

Berdiri di ambang pintu, menatap Brian yang tubuh dan rambutnya basah, ia kembali merasakan kejengkelan karena laki-laki itu ingkar janji. Menghela napas panjang, ia menatap Brian lekat-lekat lalu berucap lantang.

“Mati saja kau!”

Dengan kekuatan penuh, ia menutup pintu hingga menimbulkan getar. Tak lama terdengar gedoran Brian dan ia mengabaikannya.

“Anye, buka pintu! Kita harus bicara!”

Setelah mematikan lampu kedai, ia pergi ke kamarnya dan merebahkan diri. Menatap nyalang ke arah langit-langit, ia menunggung hingga suara Brian menghilang. Ia lega, saat bunyi mobil distarter dan Brian pergi menerjang curah hujan yang membasahi malam. Menenangkan diri, ia berharap bisa tidur pulas malam ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro