Bab 10a
Tiga pasang mata saling menatap tanpa kata, berdiri di antara aroma ruangan yang dipenuhi wangi telur bercampur mentega. Ketegangan terasa nyata, bahkan jika diibaratkan ruangan yang membara maka satu sulutan api akan membakar semuanya.
Anyelir meneguk ludah, berusaha meredam jantug yang berdetak tak karuan. Ia harus tenang, tidak boleh panik, terlebih di depan Danial yang sedang curiga sekaligus heran. Laki-kaki itu berdiri di dekat pintu dengan mata menyipit ke arah mereka.
“Ada martabak, dan sepertinya kalian sedang bicara serius. Ada apa?” Danial mendekat dan kini berdiri di dekat Anyelir.
Brian tersenyum kecil, mengangkat bahu. “Nggak ada, karena mampir jadi sengaja aku bawa martabak buat Anyelir.”
“Oh, tumben kamu mampir. Ada masalah apa sama Anyelir?”
Brian bertatapan dengan Anyelir, mencoba mencari tahu apa yang dipikirkan wanita itu. Tersirat permohonan dalam gelengan samar dari Anyelir. Menarik napas panjang, ia mengalihkan tatapan pada sahabatnya.
“Kunci Anyelir jatuh di mobilku. Aku cuma balikin.”
Danial mengangguk. “Begitu, kenapa diantar sendiri? Kamu bisa titipkan aku.”
“Kamu sedang di rumah sakit, sedang sibuk. Mana tega aku begitu.”
“Lah, ini buktinya aku bisa kemari.”
Anyelir berdehem, mencoba menghentikan perdebatan dua laki-laki di depannya. Sikap Danial yang keras kepala, sejajar dengan Brian yang tidak sabaran. Heran juga ia, mendapati mereka bisa bersahabat selama bertahun-tahun dengan kepribadian sama yang suka berdebat. Bisa jadi, justru karena itu keduanya bisa sali terbuka. Seandainya dulu, Danial juga terbuka padanya pasti nasib percintaan mereka akan berbeda. Kini, nasi sudah jadi bubur dan ia tidak mungkin kembali ke masa lalu.
“Kak Danial, kamu sibuk mengurus Mama. Mana tega orang-orang merepotkanmu.” Tanpa bermaksud membela Brian, ia mengutarakan pendapatnya.
Dania sesaat tercengang lalu mengangguk enggan. “Iya, juga sih. Tapi, agak kaget aja lihat Brian di sini.”
Perkataan yang diucapkan dengan nada bingung, membuat Brian bertukar pandang dengan Anyelir.
“Udah makan malam belum? Kayaknya kamu kurusan.” Brian mencoba menetralisir keadaan dengan bertanya pada Danial. “Duduk, martabaknya banyak.”
“Biar aku buatkan kopi.”
Anyelir bangkit dari kursi menuju dapur, meninggalkan dua laki-laki yang dekat dengan hidupnya. Sepanjang menyeduh kopi, hatinya berdebar tak karuan. Kedatangan Danial yang tidak disangka-sangka membuatnya kaget. Begitu juga Brian.
“Martabak enak. Kamu pasti beli di sekitar tokomu,” ucap Danial mencomot satu potong martabak manis.
“Memang, bagaimana keadaan mamamu?”
Dania mengangkat bahu, lalu mendesah sedih. Ia menunduk, mengunyah martabaknya perlahan.
“Ada apa?” tanya Brian tak sabar.
Menoleh ke arah dapur, Danial terdiam sesaat. Lalu mengalihkan pandangannya pada sahabatnya yang menunggu perkataannya.
“Mamaku ingin bertemu Anyelir. Tapi—“
“Tapi, apa?”
“Anyelir menolak.” Danial meraih tisu dan membasuh mulutnya. “Dia menolak datang ke rumah. Tidak peduli seberapa besar aku berusaha membujuknya. Semua jadwalku jadi berantakan karena mengurus Mama dan adikku kurang bisa diandalkan. Tadinya, aku pikir dengan bantuan Anyelir semua masalah akan sedikit ringan.”
Brian mengangguk sambil mengernyit, menatap sahabatnya yang menunduk. “Danial, apa itu bukan suatu hal yang aneh?”
Danial mendongak. “Aneh kenapa?”
“Yah, semacam kamu mengharapkan Anyelir datang hanya karena kamu butuh bantuan.”
“Eh, bukan seperti itu. Dari dulu, Anyelir terbiasa mengurus ibuku. Dia membantu kami dalam banyak hal jadi, kami terbiasa.”
“Kalian terlalu bergantung padanya.”
“Memang.” Danial mengaku tanpa ragu. “Dia wanita yang cakap, rajin, dan perhatian. Selama Anyelir ada di rumahku, biasanya membuat kami semua merasa terbantu.
Menarik napas panjang, Brian berucap pelan. “Danial, dia tunangananmu bukan pembantu.”
Danial menggeleng cepat mendengar ucapan Brian “Memang bukan, aku menganggapnya wanita paling dekat dalam hidup.”
“Sangat dekat sampai kalian nggak tanya bagaimana rasanya menjadi dia?”
Pernyataan Brian yang memberi kesan membela Anyelir dan menyalahkan dirinya, membuat Danial heran. Entah kenapa ia tidak suka mendengarnya. Brian yang selama ini ia kenal, terbiasa fokus pada pekerjaan dan jarang sekali melibatkan tentang wanita dalam percakapan mereka. Kini, topik tentang Anyelir justru membuat mereka bersilang pendapat. Danial menyimpan dugaan, tentang seberapa dekat Brian dan Anyelir. Sangkaan yang membuat hati tergelitik tidak nyaman.
“Kenapa aku mendapat kesan kalau kamu membela Anyelir dan seolah-olah menyalahkan kami?”
Brian tersenyum kecil, membenarkan ucapan Danial dalam hatinya. Namun, mulutnya berkata lain.“Benarkah? Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan sebagai orang luar yang dekat dengan kalian. Aku takut kalau sikapmu tidak diubah, Anye akan merasa dirinya dimanfaatkan.”
“Tapi, tidak begitu.”
Percakapan mereka terjeda oleh kedatangan Anyelir dengan nampan di tangan. Wanita itu meletakkan kopi panas di depan Danial lalu mendudukkan diri di antara dua laki-laki yang menurutnya terlihat tegang.
“Ada apa? Kenapa kalian terlihat aneh,” tanyanya bingung.
“Aneh bagaimana?” Brian yang bertanya.
“Entahlah.”
Danial menyesap kopi dengan mata memandang ke mantan tunangannya. Wajah Anyelir sedikit pucat dan entah kenapa makin memikat. Memang selama ini Anyelir adalah wanita cantik tapi makin terlihat cantik setelah mereka tidak bersama. Apakah ia buta selama ini atau wanita itu yang berubah?
Merasakan hangat kopi mengguyur tenggorokannya, ia mengakui sentuhan tangan Anyelir dalam meracik makanan atau minuman memang lihai. Apapun bahan masakannya, kalau Anyelir yang mengolah akan terasa enak.
“Anyelir, bisakah kamu datang ke rumah kalau ada waktu?” Meletakkan kopi ke atas meja, Danial tidak bisa menahan permohonannya. “Mama merindukanmu. Di sana, kamu tidak harus memasak atau membersihkan rumah. Hanya datang saja menengok mamaku.”
Menarik napas panjang, Anyelir mengangguk. “Baiklah, Kak.”
Mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Anyelir, sebuah senyum terselip di bibir Danial. “Terima kasih, aku senang mendengarnya. Dari dulu, kamu memang baik. Wanita satu-satunya yang paling bisa diandalkan.”
Hanya baik, dan bukan hal lain, pikir Anyelir getir tentang perkataan Danial padanya. Ia tidak menolak genggaman tangan Danial, karena tidak ingin memberikan kecuruigaan pada laki-laki itu.
Dalam diam, Brian menatap tangan Danial dan Anyelir yang bertautan di atas meja. Ia menahan perasaannya untuk merenggut lepas genggaman mereka. Dulu, ia sering melihat mereka melakukan ini tapi tidak terbersit perasaan apa pun. Kini, berbeda. Ada rasa jengkel yang diam-diam menyelusup dalam hati dan ia mencoba menyingkirkannya.
**
Pembukaan toko baru, mengecekan barang, dan melakukan pertemuan dengan beberapa investor, seperti menguras waktu dan pikiran Brian. Ia memutuskan kembali ke apartemen. Lebih nyaman baginya tinggal sendiri, karena tidak harus menjelaskan banyak hal pada orang tuanya.
Ia mendengar kalau keluarga Vania susah mulai pindahan. Berarti sekarang, mereka bertetangga dekat lagi seperti dulu.
“Sering-sering pulang. Ingat, ada Vania di sini. Jangan mengabaikan wanita cantik dan baik yang jelas-jelas menunjukkan perasaannya padmu.”
Ucapan sang mama yang meneleponnya tadi siang, terngiang terus menerus di kepalanya. Ia hanya menjawab ala kadarnya. Ada Anyelir yang menghantui pikirannya dan PR terbesarnya adalah mengungkapkan kebenaran pada keluarganya. Kandungan wanita itu semakin lama akan semakin membesar dan tidak perlu waktu lama untuk orang-orang melihatnya.
Malam itu, saat Danial mengajaknya bicara di samping mobil mereka yang terparkir di halaman kedaai Anyelir. Terlihat jelas kalau sahabatnya tidak mau kehilangan Anyelir.
“Aku mencintainya, Bro. Benar-benar cinta. Mungkin selama ini aku terlihat cuek atau tidak peduli tapi, aku nggak mau kehilangan dia.”
Brian tidak bereaksi, karena terlalu sering mendengar hal yang sama.
“Bisakah aku meminta tolong padamu?”
“Tentang apa?”
Danial mengangkat bahu. “Yah, aku lihat kamu lumayan akrab dengan Anyelir. Bisakah kamu mempengaruhinya untuk kembali padaku?”
Saat itu, Brian hanya mengangguk tanpa kata. Ia pun merasa sangsi dengan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa mempengaruhi Anyelir untuk kembali pada Danial. Sedangkan alasan wanita itu menjauh adalah dirinya. Bagaimana mungkin ia mempengaruhi Anyeloir untuk kembali menerima Danial, sedangkan saat ini ia tengah berjuang untuk mencari jalan keluar bagi bayi dalam kandungan Anyelir.
Sempat terbersit untuk memaksa Anyelir menikah dan mengabaikan penolakan wanita itu. Namun, ia tidak yakin akan mampu melakukannya. Terlalu banyak yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan tentang dirinya, Anyelir, dan anak mereka.
Brian tenggelam dalam lamunannya. Tidak memedulikan keramaian di sekelilingnya. Saat ini, ia duduk di sebuah restoran besar dengan seorang sekretaris di sampingnya. Sebentar lagi, seorang investor akan datang. Mereka setuju untuk pembangunan pabrik yang lebih besar dan berharap pertemuan kali ini akan mempertegas kerja sama mereka.
“Selamat malam.”
Sapaan lembut terdengar dari arah samping. Brian mengangkat wajah dan bertatapan dengan seorang wanita cantik berambut pirang. Wanita itu bergaun hitam sexy yang menunjukkan belahan dadanya. Untuk sesaat Brian kebingungan sebelum wanita itu mengulurkan tangan. “Saya Megan dari Sony Adipala Enterprises.” Ada dua orang di belakang wanita itu yang sepertinya asisten.
Brian tersadar lalu bangkit dari kursi dan menjabat tangan Megan. “Apa kabar, Bu. Saya pikir Pak Sony yang akan datang.”
Megan tertawa lirih. “Papaku sedang sibuk jadi beliau memintaku datang. Lagi pula, pengembangan usaha ini, aku yang mencetuskan.”
Setelah Megan duduk di depannnya, Brian bertanya ramah. “Anda, anak Pak Sony?”
Megan mengangguk. “Iya, dan bisakah kita menghilangkan sapaan secara formal. Umurku bisa jadi hanya lebih tua darimu tiga tahun, dan karena belum menikah maka tidak mau dipanggil Ibu. Langsung nama saja, Megan."
Tersenyum sopan, Brian memanggil pelayan dan meminta mereka menghidangkan minuman beserta makanan kecil. Para asisten duduk sopan di sekitar mereka saat keduanya terlibat pembicaraan tentang bisnis. Sungguh di luar dugaan ternyata Megan sangat paham seluk beluk berbisnis. Wanita mandiri dan sedikit ambisius dalam mencapai tujuannya.
“Pembangunan pabrik bisa kita mulai tahun depan. Untuk konsep design dan market, kamu bisa memulai dari sekarang.”
Brian mengangguk. “Untuk itu serahkan pada kami. Ada beberapa influencer yang kami gandeng untuk membantu pemasaran, terutama anak muda. Juga terlibat secara aktif dalam pameran dan amal.”
“Good poin. Orang cenderung terpengaruh kalau yang kita perlihatkan adalah hal baik.”
Mereka terus berdiskusi hingga tiga jam kedepan yang diakhiri dengan sesi tanda tangan untuk kontrak awal. Kerja sama resmu dilakukan, Brian merasa dadanya mengembang bahagia.
Selesai semua, mereka bersam-sama meninggalkan restoran. Sebagai bentuk kepantasan, Brian mengantar Megan ke mobil. Saat hendak masuk ke jok belakang, perkataan wanita itu membuat Brian tercenung kaget.
“Apa kamu lupa denganku? Beberapa tahun lalu kita bertemu di sebuah seminar. Di antara semua pengusaha yang datang, kamu paling menonjol. Saat itu, kamu membantuku mengatasi masalah dengan penginapan.”
“Kita pernah bertemu?” tanya Brian bingung.
Megan tersenyum. “Kita pernah bertemu dan kamu memperlakukanku dengan sangat baik dan santun, tidak peduli bagaimana penampilanku.” Ia meraih ponsel dan memperlihatkan sebuah foto di layar ponsel. “Ini aku yang dulu. Ingat?”
Brian tercengang, menyadari perubahan drastis pada penampilan Megan yang dulu dan sekarang. Melihat kekagetannya, Megan tersenyum dan masuk ke mobil.
“Kita akan bertemu lagi, Brian. Kali ini, aku yang akan memperlakukanmu dengan baik.”
Meninggalkan perkataan yang ambigu, Megan menghilang ke dalam kendaraanya. Brian terdiam sesaat, sebelum beranjak dengan kebingungan di otaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro