Bab 1
Jakarta, tiga tahun lalu
Laki-laki itu pemilik senyum paling menawan. Bisa dikatakan dia punya aura yang memikat. Tubuh tinggi, dengan rambut kecoklatan yang panjang melebihi leher, dia pemilik sinar memuja dari tiap wanita yang ada di ruangan.
Anyelir baru saja mengenalnya. Nama laki-laki itu Brian Winata. Sahabat terbaik dari Danial, calon suaminya.
"Brian ini adalah pemikat wanita. Nggak ada satu pun wanita yang mampu lolos dari jerat pesonnya." Begitu Danial memperkenalkan sahabatnya pada wanita yang baru saja bertunangan dengannya. "Lihat, tinggi dan bentuk postur tubuh kami hampir sama,'kan?"
"Banyak yang bilang kami seperti saudara kembar." Brian menimpali sambil tertawa. "Seandainya potongan rambut kami sama pendek, dari belakang pasti orang tidak bisa membedakan."
"Iya, kita memang mirip. Kecuali bagian dari kamu yang playboy itu. Sorry, bertahun-tahun aku hanya setia sama Anyelir."
"Iya, deh. Iyaa, kamu paling hebat."
Dua sahabat itu berpelukan sambil menepuk bahu dengan akrab. Anyelir melihat mereka dengan senyum terkulum. Bahagia rasanya, bisa melihat Danial gembira. Jarang-jarang laki-laki itu mempunya teman, karena setiap hari berkutat dengan pekerjaan. Di hari pertunangan mereka, Brian datang. Itu adalah kebahagiaan untuk Danial.
"Kalau aku masih single, aku gebet itu Brian." Verona, sahabat Anyelir datang sambil berbisik. "Tinggi, tampan, dan rahang yang kokoh. Apa kamu tahu, tipe bibirnya itu kissable."
"Nggak tahu malu!" Anyelir memukul bahu sahabatnya dengan buket bunga di tangannya.
"Diih, aku jujur."
"Iyaa, ingat suami, Sayang."
Verona berdecak. "Makanya, kubilang juga apa. Untung aku bukan single."
Keduanya terus mengobrol, tentang gaun yang dipakai para wanita juga para laki-laki tampan yang lewat di depan mereka. Mata Anyelir tak bisa lepas dari tunangannya, yang terlihat tampan dalam balutan tuxedo hitam. Bergerak ke sana kemari untuk menyapa teman-temannya yang datang. Hati Anyelir dilanda kehangatan, saat menatap senyum Danial. Akhirnya, setelah menjalin hubungan selama satu tahun, laki-laki itu mengajaknya bertunangan. Hal yang sedari dulu menjadi impiannya. Ia jatuh cinta dengan Daniel dari remaja, tujuan hidupnya adalah menikah dengan laki-laki pujaannya. Kini, semakin dekat apa yang menjadi cita-citanya. Semoga saja, tahun depan mereka bisa ke jenjang pernikahan.
Sementara para tamu berlalu lalang dengan minuman atau hidangan di tangan mereka. Anyelir merasa kakinya kram karena berdiri terlalu lama. Verona menghilang di keramaian. Tidak tahan lagi, ia berniat mencari kursi. Saat berbalik, tanpa tanpa sengaja tubuhnya menabrak pramusaji dengan nampan di tangan. Untunglah, ada lengan kokoh yang menyangganya dari belakang dan membantunya terhindar dari kecelakaan.
"Kamu nggak apa-apa?"
Jantung Anyelir berdetak kencang, bukan hanya karena kaget tapi sentuhan laki-laki itu di lengannya. Ia menegakkan tubuh dan menggeleng.
"Makasih."
"Sama-sama. Hati-hati Anye."
Anye, hanya dia yang memanggilnya begitu. Mereka bertatapa dalam diam, sebelum Brian menghilang di keramain. Meninggalkan Anyelir dengan jantung berdetak tak terkendali.
**
Jakarta kini
"Sudah tiga tahun kalian bertunangan. Bukan masa yang sebentar. Kenapa anakku tetap kekeh untuk tidak menikah buru-buru, Anyelir. Ada apa dengan hubungan kalian."
Anyelir terdiam, menatap hidangan yang menumpuk di atas piringnya. Sementara di depannya, tiga orang wanita menatapnya tajam. Terutama Heniah, sang calon ibu mertua. Wanita setengah baya yang suka memakai pakaian warna kuning itu berkali-kali menggelengkan kepala. Seakan-akan, dia tidak habis pikir dengan Anyelir yang dianggap tidak kompeten dalam memikat hati Danial.
"Kamu kenal kami dari kecil, Anyelir. Mama selama ini sayang sama kamu, sama seperti sayang dengan anak sendiri. Danial sudah 32 tahun. Usia yang cocok untuk menikah. Kenapa, sampai sekarang belum tercetus ide pernikahan?"
Mendesah pelan, Anyelir menggeleng. "Nggak tahu, Ma. Aku sudah hampir tiap hari merengek."
"Huft, wanita macam apa yang merengek untuk dinikahi. Jangan-jangan, Danial bertunangan denganmu karena terpaksa."
Kali ini yang bicara adalah wanita seumuran dengan Danial bernama Nerisa, yang diakui sebagai sepupu jauh keluarga ini. Namun, satu yang Anyelir tahu adalah, Nerisa mendambakan cinta tunangannya. Dan, anggota keluarga yang lain tahu masalah ini. Hanya saja, mereka menghormati hubungan Danial dan Anyelir.
Haniah menatap Anyelir yang sedari tadi terdiam, mengulurkan tangan untuk mengelus lengan wanita itu dan berucap pelan.
"Kamu sudah 25 tahun. Usia yang tidak lagi muda. Apa nggak mau menikah?"
Memejamkan mata, Anyelir mengangguk. "Mau, Maaa. Ingin sekali aku menikah dengan Kak Danial. Tapi, gimanaa. Setiap kali aku singgung masalah itu, dia menghindar." Rasa pilu terlintas di hati Anyelir saat mengatakan tentang tunangannya. Meski ditutupi, semua orang bisa melihat kalau hubungan mereka memang bermasalah.
"Kakak bagaimana? Harusnya jarak antara bertunangan sama menikah, itu nggak lebih dari setahun. Ini tiga tahun, loh." Davira, adik dari sang tunangan ikut menyerangnya."Jangan-jangan memang kalian nggak minat menikah?"
Meraba dadanya yang perih, Anyelir merasa tertekan. Penghakiman mereka seolah menyatakan jika semua kesalahan ada padanya. Bukankah yang bertunangan adalah dia dan Danial. Tapi, kenapa seolah semua orang menyerangnya.
"Suamiku sudah ngebet ingin menimang cucu, Anyelir. Kamu wanita yang baik, penurut, dan aku yakin akan menjadi istri yang baik juga untuk anakku. Tapi, hubungan kalian yang tidak ada kejelasan, membuat kami para orang tua ini kuatir." Haniah menerangkan dengan gamblang. "Coba, kamu tuangkan teh buat kami. Dari tadi ngobrol terus bikin haus."
"Baik, Ma." Anyelir bangkit dari kursi, menuju dispeser dan mengisi teko berisi daun teh dengan air panas.
"Aku minta es teh, Kak." Davira berteriak.
"Aku juga mau es teh." Kali ini Nerisa yang meminta.
Setelah mengantar teko berisi teh panas ke hadapan Haniah, Anyelir melesat ke dapur untuk membuat es teh. Ini memang bukan rumahnya tapi, dia sudah terbiasa berkutat di dapur atau melakukan pekerjaan rumah tangga untuk membantu Haniah. Karena ia selalu menganggap, keluarga ini adalah keluarganya juga.
Semenjak ayah ibunya meninggal, dan Anyelir diasuh sang nenek, keluarga Haniah yang paling banyak membantunya. Haniah adalah sahabat almarhum ibunya. Bagaimana pun Anyelir merasa berutang budi, karena keluarga ini banyak membantunya saat ia sendiri. Terlebih saat sang nenek meninggal selang tiga tahun setelah orang tuanya, pada keluarga inilah Anyelir bersandar.
Saat mengaduk teh dengan gula, pikiran Anyelir dipenuhi tentang Danial. Satu-satunya laki-laki yang ada di hati dan kini membuatnya sedih. Rencana pernikahan yang tidak kunjung terbentuk, membuatnya merasa gagal sebagai wanita. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Danial soal pernikahan, juga alasan kenapa laki-laki itu tidak kunjung menjadikannya istri. Yang orang-orang tahu adalah, keengganan Danial untuk melanjutkan hubungan.
Selesai menyeduh teh, Anyelir membawa ke meja makan. Saat pembicaraan kembali bergulir tentang pernikahannya, ia terdiam. Membiarkan mereka memberinya nasihat, saran, tak lupa celaan. Ia sudah terbiasa mendengarnya, dan kali ini pun tidak terlalu berpengaruh untuknya.
"Aku kasih tahu kamu, Anyelir. Kalau sampai pergantian tahun, yang artinya tiga bulan lagi Danial tidak kunjung meresmikan hubungan kalian, maka aku akan maju. Siap-siap saja kamu kehilangan dia." Narisa berbisik serius, saat ia pamitan pulang. Perkataan wanita itu membuatnya tersentak. Ia tahu, Narisa akan mewujudkan perkataannya. Terlebih, Haniah juga memberi sinyal akan mendukung wanita mana pun yang bisa mengikat anaknya dalam pernikahan. Di atas motor yang melaju di jalan raya, Anyelir tenggelam dalam pikirannya.
**
"Kamu diam aja? Saat dia mengancammu seperti itu?" Verona menatap sahabatnya dengan pandangan tak percaya.
Anyelir mendesah, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mau gimana? Kenyataan Danial selalu menghindari masalah pernikahan. Lalu, aku harus bagaimana?"
Verona memandang prihatin pada Anyelir. Mereka sudah bersahabat sekian lama, dari semenjak dia belum menikah. Ini bukan pertama kalinya, Anyelir tertekan.
"Danial laki-laki yang baik. Terbukti dari caranya memperlakukanmu. Tapi, memang ini harus ditanyakan padanya."
Anyelir mendesah. "Sudah, nyaris hampir setiap kali kami bertemu. Akhir-akhir ini kami jadi jarang berkencan. Aku rasa, dia mulai nggak suka karena aku menekannya."
Mengetukkan tangan ke meja, Verona memutar otak. "Tunggu, Danial sekarang tinggal di mana?"
"Apartemen."
"Kamu ada kuncinya?"
Anyelir mengangguk. "Aku yang membersihkan tiap Minggu."
"Bagus, kalau begitu aku ada ide. Sini memdekat."
"Ide apaan?"
"Dengar dulu pokoknya."
Anyelir mendengar penuturan sahabatnya dengan mata makin lama makin terbeliak ngeri. Ide Verona sangat bagus, masalahnya ia belum tentu sanggup melakukannya.
"Kamu ingin aku menjebak Danial?"
Verona mengangguk. "Yup, renggut keperjakaannya dan buat dia menghamilimu!"
Anyelir melotot. "Itu ide gilaaa! Aku sa-sama sekali belum pernah anu--,"
"Sex bukan? Aku akan memberimu teori. Secara kalau sudah telanjang nggak perlu teori, sih."
"Ini ide gila. Benar-benat gila."
"Tapi, juga paling masuk akal. Serahkan dirimu, buat dia jatuh dalam pesonamu. Kecuali kamu mau kehilangan dia."
Anyelir menarik napas, merasa jika perkataan Verona di luar perkiraannya. Ia saa sekali tidak pernah terpikir akan memikat Danial menggunakan sex. Namun, dipikir lagi itu adalah satu-satunya jalan keluar paling baik saat ini.
"Aku nggak berani, Vero."
"Aku ada akal untuk meningkatkan keberanianmu. Percaya padaku. Yang perlu kamu lakukan hanya menyelinap ke apartemennya.
Gila, tidak masuk akal dan membuat malu. Itu adalah pendapatnya soal saran Verona. Namun, setelah bertemu Danial sekali dan nyatanya sikap sang tunangan makin dingin terhadapnya, Anyelir berubah pikiran. Akhinya, ia memutuskan untuk menjalankan saran sahabatnya.
"Kamu butuh lingere sexy. Satu lagi, akohol. Buatlah dirimu mabuk dan jebaklah dia."
Sekarang, dia berdiri di depan pintu apartemen Danial. Dalam balutan jubah panjang hitam untuk menutupi tubuhnya yang memakai lingere sexy. Pukul 12 malam, jam segini biasanya Danial ada di unitnya. Waktunya untuk beraksi. Tubuhnya sedikit limbung karena reaksi minuman yang ia tengguk sebelum datang. Kepalanya terasa ringan. Namun anehnya, keberaniannya untuk menghampiri Danial, muncul dan menggebu-gebu. Membayangkan akan memeluk tubuh Danial yang kokoh dan telanjang, membuat Anyelir terkikik di depan pintu.
"Aku datang, Sayang." Menggumam pelan, Anyelir membuka pintu apartemen Danial. Ruang tamu gelap, sepertinya sang tunangan sudah ada di kamar.
Melangkah sempoyongan, Anyelir menuju kamar Danial. Saat ia membuka pintu, kegelapan menyergapnya. Menyesuaikan sejenak dengan gelap, ia meraba ujung ranjang dan mendapati Danial ada di atasnya.
Dengan gugup, ia membuka jubah kulitnya. Menggigil sejenak karena terpaan angin dari pendingin ruangan. Menarik napas panjang, ia menghampiri ranjang. Menyingkap selimut dan menyelusup masuk ke dalamnya.
"Sayang, ini aku," bisiknya dengan bibir mencari bibir Danial.
Terdengar erangan maskulin, penolakan sesaat sebelum Anyelir menghentikan penolakan laki-laki itu dengan menindih tubuhnya. Ia memagut bibir Daniel, mengulum, menghisap, dan melumat dengan panas. Jika sebelumnya, laki-laki di bawahnya menolak. Kini, tubuhnya direngkuh dalam dekapan.
Anyelir mengerang, saat bibir Danial mencumbu leher, bagian belakang telinganya dan turun ke belahan dadanya. Ia tidak pernah merasaka hal seperti ini sebelumnya. Dalam gelap, ia merasakan hasrat yang tidak pernah ia rasakan. Mendesak, menekan kuat.
"Sayaang, ooh." Ia merintih, saat merasakan tangan Danial menyentak lepas bra yang dipakai. Detik itu pula, digantikan dengan remasan lembut di sana. Saat ia belum siap, puncak dadanya yang menegang dikulum dan dihisap. Anyelir menggelinjang dalam gairah.
"Kamu basah."
Danial berbisik, saat tangan laki-laki itu menyelinap masuk ke dalam celana dalam yang dipakainya. Anyelir tak mampu menolak. Ia menikmati bagaimana jari-jari laki-laki itu menyentuh dan membelai kewanitaannya.
Sama seperti bra yang dia pakai, kini celana dalamnya pun terlepas. Menahan napas, Anyelir merasakan sesuatu menekan perutnya. Saat tangannya bergerak, tanpa sengaja menyentuh kejantanan Danial yang menegang. Perasaan was-was dan ingin tahu menyergapnya. Ia menyentuh bagian itu dan mendengar Danial menggeram.
Mereka bergulat dalam kegelapan, saling melumat, saling membelai, dan menjilat bagian-bagian sensitive. Hingga pada satu titik, saat gairah tidak dapat lagi ditahan, Danial membuka paha Anyelir.
"Bersiaplah, Sayang," bisik Danial di telinga Anyelir. Bisa jadi karena gairah, Anyelir merasa jika suara Daniel terdengar berbeda.
"Iya, aku siap." Tanpa sungkan ia menyatakan kepasrahannya.
Danial menindihnya dengan posesif. Tangan laki-laki itu membelai area intimnya sekali lagi sebelum memosisikan diri. Dalam satu gerakan kuat, mereka menyatukan diri.
Anyelir menegang, merasaka nyeri di area intimnya. Danial pun sama. Tidak ingin merusak rencana, Anyelir meraih kepala Dania dan mencium bibir laki-laki itu.
"Terus, Sayaang."
"Ta-tapi, kamu."
"Ayo, bergerak."
Anyelir kembali mendesah, saat merasakan Danial mulai bergerak. Keduanya saling berciuman dengan tubuh menyatuh dalam gairah. Anyelir membuka tidak hanya tubuh tapi juga hatinya. Ia memeluk tubuh telanjang sang tunangan dan membelainya. Sementara di atasnya, laki-laki itu memasukinya. Awalnya pelan dan lembut, lalu berubah cepat dan intens. Rasanya seperti dilambungkan lalu dihantam ke tanah, Anyelir merasa dirinya tercabik-cabik gairah.
Saat mencapai puncak, Danial terkulai di atasnya. Anyelir merasa tubuhnya melemas. Setelah napas mereda, ia mulai mengantuk. Mengesampingkan tubuh Danial, ia jatuh tertidur.
Anyelir bermimpi, tentang bunga, lilin, dan tubuh yang berkeringat. Ia terbangun, saat sebuah pelukan merengkuhnya. Dalam gelap, ia kembali dicumbu dan terbakar gairah. Sekali lagi, mereka bercinta. Kali ini lebih lambat, lebih intens. Percintaan dan pergumulan mereka berlangsung lama, seakan tidak pusa satu sama lain, mereka bercinta lagi dan lagi, hingga matahari mulai bersinar dari ufuk barat. Erangan dan rintihan bergema di kamar yang sunyi. Anyelir tidak tahu, berapa kali ia mencapai puncak kepuasan. Begitu pula dengan Danial, karena laki-laki itu hanya bernapas sebentar sebelum menyatukan tubuh mereka lagi.
Hingga pada satu titik, Anyelir terbelalak. Menatap wajah laki-laki yang sedang bergerak keluar masuk di tubuhnya. Matahari bersinar terang, menyelusup masuk ke dalam kamar melalui celah gorden, memperjelas wajah laki-laki itu.
Kekagetan melandanya, ia berteriak dan menyingkirkan tubuh laki-laki itu. Lalu berdiri dengan gemetar di sisi ranjang.
"Si-siapa kamu?" tanyanya dengan telunjung teracung.
Laki-laki asing itu mengerjap. Kekagetan terlintas di wajah. Untuk sesaat keduanya berpandang.
"Anye?"
Anyelir melotot, mengenali suara itu termasuk wajah tampan yang kini terlihat jelas karena penerangan matahari. Menutup mata, Anyelir menahan kaget.
"Brian."
Ia menyebut nama itu, dalam kekalutan dan kebingungan. Pada akhirnya, ia menyerahkan diri pada laki-laki yang bukan pasangannya. Semalam, ia bukan bercinta dengan Danial, melainkan dengan Brian. Dalam kekagetan, tubuh Anyelir limbung ke pinggir ranjang.
.
.
.
Tersedia di google playbook dan cetak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro