Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mahasiswa dan Muridnya - 2

"Aku lapar. Potongan 8 atau 16?"

"Kau bilang lapar tapi tidak menyembelihku sejak semalam. Kau malah membiarkanku tidur nyenyak padahal aku ini seorang tawanan. Dasar aneh."

"Habis kau bercerita sih. Aku sudah bosan berada di hutan ini terus."

Suara itu. Aku ingat suara yang bergema dari bibir gua. Suara besar yang berasal dari sosok raksasa yang merunduk di bibir gua.

"Halo."

"Raksasa jelek! Enyah kau dari sini!"

Telingaku berdengung setiap kali raksasa itu bicara. Suaranya lebih menusuk telinga daripada gebukan drum.

"Kau tidak memakannya? Padahal aku menemukan manusia di dekat hutan. Kupikir kau akan senang memakan manusia," ucap si raksasa yang sama polosnya dengan pemuda itu.

"Aku lapar namun aku tak bisa. Ia bercerita padaku soal pasar jadi lebih baik aku pergi ke pasar saja."

"Pasar? Kau lagi-lagi ingin pergi meninggalkan hutan lalu pergi ke desa tempat manusia itu berada?" dia mengangguk.

"Memangnya di dekat sini ada pasar?" tanyaku.

"Ada sebuah pasar yang menjadi batas antara desa night elf dengan desa manusia. Tempatnya tidak jauh dari sini. Bahkan lebih dekat ke pasar jika lewat sini daripada harus melewati desa night elf."

"Hei, bantu aku mencari uang! Aku ingin ke pasar."

Baguslah mereka pergi. Aku bisa mengambil pisau lalu berusaha kembali ke desa. Syukurlah hari ini tidak ada kabut. Aku bisa melihat desa Stygwyr dari kejauhan. Saat kembali ke desa, aku seperti seorang pejuang yang kembali dari medan perang.

"Shireen. Kudengar kau terjebak di dalam hutan. Kau tidak apa-apa 'kan? Ia tidak melukaimu 'kan?"

Ini Salita. Dia lycan yang selalu kubicarakan. Kebetulan kami satu kelompok dalam tugas ini.

"Lita. Kau ingin dengar gosip yang bagus tidak. Aku menemukan ras Tidak Teridentifikasi di dalam hutan."

"Wah, benarkah?" Lita membawaku pergi menuju sebuah rumah penduduk. Rumah itu memang didiami mahasiswi seperti kami. Kebetulan pemilik rumahnya sangat ramah.

"Hebat sekali kau bisa lolos dari Hutan Terlarang itu. Bahkan kau bisa menyelamatkan kepala desa dan dua pemuda yang hilang tiga hari silam."

"Hutan Terlarang? Tempat apa itu?" Lita bingung.

"Itu adalah tempat yang tidak boleh dimasuki siapapun termasuk orang asing seperti kalian. Siapapun yang memasukinya konon takkan bisa kembali dengan selamat. Tapi kejadian kemarin adalah sebuah mukjizat. Kalian bisa pulang dengan selamat."

"Memangnya di dalam hutan itu ada apa?"

"Hutan itu dihuni oleh makhluk mistis yang sering memangsa kami. Hutan itu sering diselimuti kabut pada saat tertentu. Aku pernah melihat raksasa yang sedang duduk berjaga di dekat perbatasan desa sewaktu masih muda dulu. Selebihnya aku tak tahu lagi."

"Sepertinya itu adalah tempat yang bagus untuk mengasingkan diri selama bulan purnama," ucap Lita.

"Kau yakin akan pergi ke sana?"

"Ya. Aku ini lycan. Aku bisa kembali ke desa dengan selamat berbekal penciumanku yang tajam. Setidaknya aku takkan terkena tendangan yang keras lagi setiap bulan purnama tiba."

Aku mengajar pada satu-satunya Sekolah Dasar di sini. Setidaknya ada satu hal yang bisa kulakukan dengan senang hati di sini. Sayang sekali kondisi sekolahnya pun seadanya padahal minat belajar mereka sangat tinggi. Berbeda dengan di kota yang memiliki fasilitas lengkap. Ada sarana olahraga juga tempat bermain anak-anak. Satu-satunya olahraga yang kukuasai hanyalah renang. Sayangnya banyak warga yang protes saat aku ingin mengajari mereka berenang. Belakangan ini cuaca sedang tidak bersahabat untuk berenang di sungai.

Beban di kepalaku semuanya lenyap ketika melihat anak-anak belajar dengan riang gembira. Rasanya aku sudah lupa bebanku sebagai mahasiswa setelah melihat mereka.

Sejak tadi aku merasa ada yang ganjil. Seseorang seakan membuntutiku selama di sekolah. Apa firasatku itu benar?

Ya begitulah keseharianku selama di desa. Aku mengajar Matematika dan Olahraga di Sekolah Dasar. Aku juga membantu kegiatan para penduduk di desa, membawa air dari sungai, membersihkan rumah induk semangku, menggarap ladang, memimpin pertemuan rutin kelompok, dan menulis jurnal kegiatan.

Tidak terasa dua minggu berlalu. Rasanya aku merasa sangat nyaman berada di desa.

Tempat ini memang memiliki keterbatasan. Tidak ada akses jalan yang memadai untuk mencapai tempat ini. Begitupun dengan desa manusia yang berada dekat dari sini. Pasar di sana tidak seramai pasar di kota. Sekolah yang dibangun pun seadanya. Beratapkan jerami beralaskan tanah. Tidak banyak anak-anak yang belajar di sana. Suasana berbanding terbalik dengan tempat pelatihan. Aku melihat banyak penduduk menghabiskan waktu untuk mengasah pisaunya, menajamkan bidikan panah agar tepat sasaran, dan berlatih bela diri sepanjang hari. Di tengah ketidakpastian seperti ini. Mereka bisa saja diserang penduduk desa lain atau tidak sengaja menerobos batas Hutan Terlarang. Aku tak melihat sedikitpun rasa takut atau gelisah. Mereka menjalani kehidupan desa yang damai dan apa adanya.

Kulihat para mahasiswa sedang mengayunkan gancu untuk memecah bebatuan yang besar. Di sisi lain terlihat warga yang membantu membersihkan batu lalu mencangkul tanah di sekitarnya. Sepertinya aku melihat pembangunan saluran air bersih menuju desa sudah mulai terlihat. Saluran air yang ada hanya sebatas pada ladang-ladang yang terletak di dekat sungai. Sedangkan kami, para mahasiswi, sedang mengadakan penyuluhan pada sebagian penduduk wanita yang ada. Sebagian lainnya bertugas di dapur umum mempersiapkan konsumsi untuk mereka.

"Ilmu adalah bekal yang takkan meninggalkan kita di saat sulit. Tidak akan sia-sia waktu yang kita habiskan untuk belajar.

Kita akan lebih waspada terhadap serangan yang tidak terduga seperti bencana alam atau serbuan desa lain.

Kita tidak akan mudah ditipu orang lain selama kita berpegang pada ilmu.

Kita bisa lebih menyayangi alam dan sesama dengan ilmu. Kita juga bisa melindungi orang-orang yang kita sayangi dengan ilmu yang kita miliki.

Jadi, tidak ada kata tidak untuk belajar. Meskipun kita ini perempuan dan banyak di antara kita yang sudah berumah tangga."

Aku memang buruk saat bicara di depan banyak orang. Lebih mudah mengajari anak-anak di sekolah daripada harus melakukan penyuluhan seperti ini.

Hutan Terlarang hanyalah sebuah nama bagiku. Rasanya aku ingin menyelidikinya lebih dalam lagi. Tentang mereka, habitat alami di sekitar hutan, dan semua pertanyaan yang melayang-layang di kepalaku seperti gumpalan awan tebal di langit hari ini. Lagipula masih banyak sisi lain desa yang belum kuketahui. Semua ini membuatku semakin penasaran untuk menjelajahinya.

"Nona, kau mau ke mana?" induk semangku bertanya di dekat pintu.

"Aku ingin pergi ke Hutan Terlarang. Aku ingin menjelajahinya."

"Nona. Hentikan. Kau takkan bisa kembali lagi setelah memasukinya."

"Jangan khawatir, Bibi. Aku sudah pernah berada di sana lalu kembali dengan selamat."

"Hei, aku juga ikut! Kau ini selalu membuatku cemas," dan kini aku pergi bersama dengan Lita. Setidaknya pergi bersama lycan membuatku lebih tenang. Aku berjalan menembus kabut yang sehalus kapas membatasi hutan. Lita berubah cemas.

"Aneh. Biasanya aku mencium bau dari penduduk desa di sekitar sini. Kenapa sekarang baunya jadi kacau balau?"

"Kau tidak sedang pilek 'kan?"

"Aku tidak pilek kok. Saat bulan purnama kemarin, aku masih bisa berkeliaran di sekitar batas desa lalu kembali dengan selamat. Kenapa sekarang jadi aneh seperti ini?"

Kami tidak tahu apa yang terjadi di hadapan kami. Kabut semakin meliputi lebatnya hutan. Padahal kami baru saja melewati batas desa sejauh 5 meter. Aku bahkan tak bisa mengenali arah. Begitupun Lita. Apa ini akhir dari semuanya? Andai saja aku tidak mengabaikan peringatan induk semangku tadi. Aku melihat bayangan yang menembus kabut begitu samar.

"Manusia dan serigala kecil. Ternyata aku tidak salah lihat selama ini. Aku tidak bisa membiarkan kalian seenaknya datang dan masuk di wilayah kami. Tapi siapa yang aku santap terlebih dahulu? Manusia yang jelek ataukah serigala berdaging tebal?"

Sebagian tubuhnya terbalut kabut. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Kurasa ia sejenis dengan pemuda yang belakangan ini sering kutemui. Ia juga dalam wujud setengah manusia. Aku melihat kaki hewan namun itu tidak seperti satyr ataupun lycan dalam setengah wujudnya. Itu lebih mirip dengan ... buntut ular yang terlihat semakin jelas. Apakah ia adalah lamia? Tubuhnya meliuk-liuk begitu cepat membelit tubuhku dan Lita. Lita yang kuat pun tak bisa melepas belitan ekor ular raksasa yang berdesis. Yaiks. Apa ia tak pernah ganti kulit? Bau sekali.

Kini ia mendekat. Posisi kami berada sekitar 2 meter di udara dengan sosok setengah ular yang siap membuka mulutnya lebar-lebar. Kulitnya tebal dan berat. Meremas kedua kakiku begitu kuat hingga tak bisa bergerak. Tolong. Siapapun selamatkan aku. Aku berjanji takkan menerobos Hutan Terlarang lagi.

Di saat aku benar-benar pasrah dan tak sadarkan diri teramat cepat. Aku sadar aku sudah berada di rumah induk semangku dengan para anggota kelompok yang memakiku begitu kesal.

"Dasar bodoh. Kau ini ketua tapi selalu saja mencari masalah. Apa kami tidak khawatir setelah kami tahu kau pergi menuju kawasan terlarang?" bentak Lehan si nymph.

"Pantas saja penciuman lycan tidak berfungsi sama sekali. Pelakunya menggunakan sejenis halusinogen yang dapat mengacaukan fungsi semua alat indera. Barangkali ini berasal dari sejenis bunga langka yang tidak diketahui wujudnya," sambung Iure si elf berkacamata. "Jangan khawatir. Efeknya sangat ringan jadi mudah ditawarkan dengan menghirup udara segar."

"Di mana Lita?"

"Salita berada di luar bersama Eirin. Ia terkena efek halusinogen yang lebih kuat jadi ia perlu penanganan khusus di luar."

Tapi siapa yang menolong kami lalu membawa kami ke desa?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro