Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

☞Sekolah Mencari Ilmu atau Nilai? | Julysevi☜

Tidak biasanya Eryna tidak bersemangat ke sekolah. Biasanya, ia akan menjadi orang yang paling heboh ketika memasuki tahun ajaran baru. Namun, tahun ini ia berangkat telat dan lemas sekali.

"Er, kamu lagi sakit?"

"Tumben ketua kelas kita lemah, letih, lesu, letoi begini."

"Er, bentar lagi hari ultah RI, tapi kamu semangatnya lagi padam."

Berbagai macam komentar terlontar dari bibir teman-teman sekelasnya semenjak ia memasuki ruang kelas. Biasanya, ia akan menanggapi satu per satu atau sekadar mencebikkan bibir. Namun, kali ini, ia hanya melirik sebentar sebelum kembali berjalan ke bangkunya yang sudah disediakan oleh teman-temannya, di depan papan tulis pas. Mereka bahkan sudah sangat tahu Eryna akan memilih tempat duduk itu.

Beberapa grasak-grusuk itu menjadi lebih lirih saat guru wali kelas datang memasuki kelas. Meskipun demikian, masih ada yang membicarakan keganjilan Eryna hari ini. Hingga sebuah celetukan membuat mata Eryna terbuka lebar.

"Mungkin dia masih nggak terima dikalahkan Abian di ujian sebelumnya. Egois banget, nggak, sih?"

"Iya, maunya juara satu terus. Padahal, ternyata kemampuannya sampai situ doang."

Bisikan itu terdengar jelas karena berada tepat di belakangnya. Sontak emosi Eryna menyembul ke ubun-ubun, hendak meledak apabila guru wali kelas itu tidak segera mengucapkan salam pembuka.

"Memasuki bulan kemerdekaan, seperti biasa sekolah kita akan mengadakan karnaval dan berbagai pertunjukan seni," ujar Bu Renna akhirnya setelah selesai mengucap salam dan beberapa kalimat-kalimat perkenalan lainnya. "Kelas kita akan ikut berpartisipasi. Sebentar lagi pengurus OSIS akan datang untuk membagikan tema dan pertunjukan apa saja yang diperbolehkan."

Lagi-lagi para siswa sibuk berbisik-bisik antusias. Mereka bercerita sendiri-sendiri tentang ingin berdandan apa. Mulai dari ada yang ingin menjadi maskot, membawa bendera, ikut drumband, dan lain-lain.

Sedang mereka antusias, tidak dengan Eryna yang masih kepikiran tentang hal itu. Iya, ucapan Adeeva dan Aquila, dua perempuan yang duduk di belakangnya itu.

Benar.

Ia merasa sedih dan tidak bersemangat karena ujian kenaikan kelas yang kemarin telah dikalahkan oleh Abian dalam mendapat ranking pertama. Bagaimana tidak kesal kalau Abian adalah sosok laki-laki yang hanya suka bermain game di ponselnya tanpa pernah belajar giat. Jangankan untuk mendapat juara 1, Abian tidak pernah masuk ranking sepuluh besar.

Eryna tahu, Abian pasti mencontek. Semua teman sekelasnya juga tahu itu. Namun, entah mengapa mereka menormalisasi budaya mencontek. Apalagi yang lain juga meminta lembar jawaban untuk ditulis plek ketiplek.

"Hoi, Er! Ngelamun mulu!"

Bahu Eryna disenggol oleh teman sebangkunya. Ia langsung sadar dan mengerjap beberapa kali. Ternyata guru wali kelas tadi sudah keluar kelas digantikan pengurus OSIS yang berdiri di depan kelas.

"Kenapa?" tanyanya polos.

"Kamu, loh, ketua kelasnya. Buruan maju!"

Eryna menurut saja berjalan maju meskipun tidak tahu disuruh melakukan apa.

"Tolong bantu kami mengisi data siapa saja yang akan ikut. Tema kelas kalian kali ini Jawa Timur, udah tahu, 'kan?" tanya kakak OSIS yang ber-name tag Queensha.

Tidak. Sedari tadi Eryna melamun, mana ia tahu informasi tersebut? Namun, gadis itu tetap saja mengangguk.

Eryna mulai mendata siapa saja yang akan menjadi penari, membawa lambang Bhinneka, cosplay menjadi bagian dari kerajaan, dan lain-lain yang berhubungan dengan Jawa Timur. Apalagi ada beberapa yang bagian dari OSIS, drumband, dan PMR, yang mana akan dikecualikan dari mengikuti karnaval.

Setelah selesai, Eryna kembali melemas. Ia meletakkan kepalanya di atas meja. Matanya berkedip sekali, menatap kosong jendela yang menyuguhkan pemandangan sawah berundak. Sungguh menyenangkan memang tinggal di desa, bisa menikmati keindahan alam yang masih alami.

Tiba-tiba telinganya terganggu oleh suara-suara di belakang. Anak laki-laki memang suka sekali bernyanyi sembari menggunakan meja sebagai kendang.

Namun, kali ini, lagu yang dinyanyikan adalah lagu Indonesia Raya. Eryna awalnya menikmati saja sebelum akhirnya sadar ada suara Abian dan sebuah lirik yang menyentil hatinya.

Lirik paling terakhir.

Indonesia raya, merdeka, merdeka!

Hiduplah Indonesia raya ....

"Merdeka!" seru Abian. "Entar aku cosplay Bung Tomo, dong!" Ia menunjuk dirinya sendiri dengan bangga.

Brak!

Ucapan dan kerusuhan di belakang langsung berhenti ketika Eryna menggebrak meja. Sampai tangan gadis itu memerah saking kerasnya ia menggebrak. Kepalanya menoleh dengan cepat seolah kepala burung hantu yang bisa berputar 270 derajat.

"Heh, Abian!" teriaknya lantang. "Apa menurutmu merdeka itu, hah? Jangan sok mau jadi Bung Tomo padahal nggak ngerti bagaimana perjuangan mereka di masa dulu!"

Abian yang awalnya duduk di kursi sembari mengendangi meja, kini berdiri karena merasa tertantang.

"Emang apa? Urusan guweh?" Sengaja sekali ia memonyongkan bibirnya.

"Kalian di kelas ini semuanya juga sama! Kalian sadar nggak, sih? Negaranya aja yang merdeka 79 tahun lalu! Pikiran rakyatnya masih stuck nggak pernah merdeka!" teriak Eryna lantang.

Tanpa menjelaskan apa-apa lagi, gadis itu pergi dari ruang kelas. Membiarkan semua siswa terbengong dengan asumsi Eryna sedang PMS.

Gadis itu ternyata berdiam diri di dalam toilet seharian. Ia tidak mau keluar bahkan sampai bel pulang berbunyi. Tidak tahu saja bahwa semua orang mencarinya. Mulai dari anak-anak kelas hingga pengurus OSIS dan guru-guru.

Secara ia masih tetap menjadi ketua kelas rajin yang sering dibanggakan. Jadi, sekalinya menghilang sudah pasti dicari.

Itu semua menjadi serius. Eryna benar-benar marah dan mogok sekolah setelahnya. Setelah menangis puas selama lima menit saja, ia di dalam kamar memikirkan bagaimana caranya agar suaranya didengar.

Seminggu ia bolos. Kedua orang tuanya juga tidak tahu bagaimana cara membujuk anak itu. Mereka membuat surat izin Eryna sedang sakit, padahal tidak ada yang sakit kecuali hati Eryna. Ia sakit hati usahanya belajar selama ini dikalahkan oleh otak Google yang bahkan bisa diakses gratis, sedangkan ia sekolah selama sepuluh tahun begitu banyak biaya yang telah dikeluarkan.

"Nak, keluar, dong. Kamu udah seminggu kayak gini di dalam kamar terus. Sebenarnya ada apa, sih? Cerita sama Mama Papa, jangan dipendam sendiri." Setiap hari, mama Eryna pasti mengetuk pintu dan mencoba membujuk gadis itu agar keluar kamar. "Guru kamu nanyain kamu sakit apa. Mama cuma bisa jawab belum sembuh doang. Kamu nggak sakit, 'kan?"

Cklek!

Setelah kalimat tersebut, Eryna baru keluar kamar. Bahkan, belum ada lima detik saja sudah muncul di hadapan mamanya.

Wanita itu tersenyum melihat putrinya mau menampakkan diri. Akhirnya, setelah sekian lama hanya beraktivitas di dalam kamar tanpa keluar, kali ini keluar juga. Memang, sang mama tahu kalau Eryna diam-diam sering keluar saat semua orang sedang tidur, tetapi kali ini terang-terangan.

Tiba-tiba senyum wanita itu pudar saat didapati sang putri menatapnya murka.

"Apa Mama bilang? Mama bilang ke guru-guru kalau aku sakit?!"

Sang mama mengangguk, merasa tidak ada yang ganjal dengan pertanyaan tersebut.

"Mama pembohong! Aku bahkan nggak sakit! Aku bolos dan Mama tahu! Harusnya Mama bilang aja aku bolos, kenapa sampai berbohong segala?"

Wanita yang baru memasuki usia kepala empat itu kelabakan sendiri. "Ya, kamu nggak keluar rumah, sih, jadi ... Mama kira kamu sakit. Daripada kamu dapat alfa seminggu dan nanti malah bahaya buat nilai kamu-"

"Nggak! Dengan Mama berbohong kayak gitu malah bikin semuanya runyam tahu, Ma! Oh, apa pikiran semua orang tua sama kayak gini? Lembek dan selalu takut? Pantas saja semua siswa-siswa di sekolah sama buruknya! Mereka cuma mau nilai bagus tanpa mau usaha! Didikan orang tua saja kayak gini! Dari rumah udah ditanamkan budaya berbohong!" Napas Eryna sampai naik-turun saking kesalnya dan emosi yang meledak-ledak.

Sang mama syok mendengar ucapan dan teriakan putrinya tersebut. "Kamu ngomong apa, Ryn?"

"Asal Mama tahu alasan aku nggak sekolah, aku bolos, Ma! Aku nggak mau sekolah! Buat apa sekolah kalau ada Google dan internet?! Percuma mengenyam pendidikan yang mahal kalau nyatanya bisa didapat dengan gratis dari ponsel. Negara kita ini nggak jelas masa depannya! Lihat gen Z, genku sekarang, mereka orang-orang malas. Anak-anak berpendidikan tinggi, tapi aslinya gelar doang. Otak mereka di internet! Semuanya apa-apa dari Google!

"Mama nggak tahu apa kalau AI jauh lebih pintar daripada manusia? Itu di luar negeri. Kalau di sini, sekelas brainly lebih pintar daripada murid SMA. Dan murid SMA mengandalkan brainly untuk ujian dan lain sebagainya. Seolah mereka sekolah hanya mencari nilai, bukan ilmu!"

Setelah mengucapkan kalimat panjang yang membuat mamanya speechless itu, Eryna kembali masuk kamar. Ia banting pintu kamar sampai berbunyi keras padahal sang mama masih berada di depan.

Ia telanjur emosi, tidak bisa mengendalikan diri.

***

Setelah kejadian di rumah itu, Eryna kembali bersekolah. Padahal sudah jam 10 siang, ia memakai seragam lengkap dan mencangklong tas gendongnya.

Tidak peduli ditatap aneh oleh orang-orang, Eryna memasuki gerbang sekolah dengan santai. Ia yang biasanya menyapa satpam sekolah, kali ini melirik saja.

Langkahnya mengantarnya ke kelas yang sedang rusuh membicarakan acara karnaval. Terdapat guru wali kelas di sana.

"Heh, Eryna datang!"

Baru menyembulkan kepala di depan pintu, seseorang menyadari kehadirannya. Sontak seluruh pandangan mengarah padanya penuh keheranan.

"Udah sembuh, Er?"

"Udah jam segini baru masuk? Kenapa nggak besok aja sekalian?"

Eryna mengetuk pintu kelas, lalu menyalami bu guru wali kelas. "Maaf, Bu, saya telat," ucapnya dengan suaranya yang memang bawaannya tidak bisa lemah lembut.

Guru wali kelas tersenyum, sedang para siswa tertawa mengejek. "Apakah kamu sudah sembuh?" tanya beliau lembut.

"Saya tidak sakit, Bu. Maaf, surat sebelumnya hanyalah karangan mama saya. Saya sengaja bolos," jelas Eryna.

Ucapannya mendapat reaksi terkejut bahkan dari Bu Renna juga.

"Saya merasa buat apa saya sekolah kalau ilmu bisa didapat dari internet. Zaman sekarang canggih, guru pun bisa disewa secara online, lebih murah, mudah, dan cepat. Ke sekolah hanya untuk mendapatkan nilai, agak merepotkan."

Eryna berbicara dengan sungguh-sungguh di hadapan Bu Renna. Akan tetapi, guru wanita itu memotong agar Eryna tidak berbicara lebih lanjut.

"Oke, stop dulu, ya, Nak. Saat ini kita berada di tengah pelajaran, jadi, penjelasan panjang itu bisakah ditahan sampai jam istirahat nanti di ruang konseling?" tanya Bu Renna dengan nada sangat ramah. Senyum manisnya tidak pudar.

Eryna memberengut. Ia aslinya tidak ingin menampakkan ekspresi buruknya itu, tetapi bagaimana pun ia ingin segera mengeluarkan unek-uneknya. Selain itu, ruang konseling? Ia ingin mengajukan aspirasi, tetapi malah dikira jiwanya kurang sehat?

"Tidak bisa. Saya akan ke ruang konseling sekarang juga. Apakah Bu Renna akan datang juga?" Sepatu pantofel Eryna sedikit mengentak-entak di bawah.

"Maa-"

"Baiklah." Kali ini, Eryna yang memotong kalimat guru itu. Tidak sopan sekali. "Saya akan mengkonsultasikan ini dengan bapak ibu guru yang lain."

Eryna berjalan dengan cepat setelah mengucapkan permisi kepada Bu Renna.

Tidak ada yang bisa menghentikan Eryna saat ini. Dengan langkah panjangnya itu, ia telah sampai di ruang bimbingan konseling. Padahal ia tidak membutuhkan itu, tetapi tetap saja ia ingin ada seseorang lain yang mendengarkan serta mendukung pendapatnya itu.

Tentu saja ia langsung pada intinya setelah berbasa-basi nama dan kelas. Ada dua guru di dalam ruangan itu. Ia tidak mau ketika ditawari guru BK untuk konsultasi di ruangan yang lebih tertutup.

"Jadi, saya tidak ingin kejadian ini terulang lagi. Memang, sekolah kita hanyalah berada di desa, tetapi setidaknya kualitas harus nomor satu, dong. Siapa tahu dengan begitu desa kecil ini bisa melahirkan anak-anak hebat berpendidikan tinggi dan memajukan bangsa."

Itu hanyalah kalimat penutup. Sebelumnya, Eryna sudah menjelaskan berpanjang lebar, lagi. Namun, dua guru konseling itu tersenyum saja. Tatapan mereka seolah mengatakan, "Anak ini mabuk pelajaran Matematika."

Tentu saja karena untuk anak seusia SMA, jarang memikirkan hal sejauh itu, menurut dua guru itu. Namun, bagi Eryna, usia 17 bukanlah anak kecil lagi. Pemikiran mereka sudah seharusnya lebih terbuka dan hal seperti ini seharusnya lumrah.

"Nak, tidak apa-apa. Kamu istirahat dulu, ya. Kalau terlalu lelah belajar memang kadang membuat kita pusing dan tertekan."

Eryna hampir saja mengamuk sebelum disambung oleh kalimat guru satunya. "Tenang saja. Nanti akan kami urus sisanya. Terima kasih sudah mengutarakan pendapatmu. Kamu bisa kembali ke kelas."

Awalnya, gadis itu hendak menolak karena ia tidak ada niat untuk kembali ke kelas. Akan tetapi, ia tetap keluar dengan kepala berat.

***

Hari-hari selanjutnya, Eryna masih lemas. Ia menunggu tindakan apa yang guru-guru itu akan lakukan selanjutnya. Namun, tidak ada. Ia bahkan semakin stres saja. Ia tidak mau mengurusi kelas lagi.

"Er, kamu lagi kenapa, sih? Coba kamu urusi, deh, kelas kita. Tanpa kamu, rasanya kayak nggak terarah, kacau balau," lapor seorang gadis kelas.

"Iya, Er, masa Abian marahin anak kelas sebelah katanya mereka nyuri konsep kelas kita. Padahal, kan, bisa aja emang kebetulan sama." Satunya lagi ikut menambahi.

Salah seorang ikut menggerutu. "Lagian Abian emang dapat ide konsep itu dari mana, sih?"

Tidak peduli. Eryna sungguh tidak ingin berurusan lagi dengan itu karena saat ini pikirannya penuh. Namun, setelah kalimat gerutuan salah satu temannya itu, mata Eryna yang awalnya sendu, kini berkobar api. Ia tersenyum menyeringai. Langkahnya lebar menuju kelas di mana Abian tengah memarahi anak kelas lain.

Dilihatnya siswa itu tengah menghadap seorang siswa lain. "Heh, Cheater! Kamu lagi ngapain?" tanya Eryna lantang. Tangannya bersedekap dada dengan wajah penuh percaya diri.

Abian menoleh. "Kamu bantuin lah sebagai ketua kelas. Masa mereka mencuri ide kita! Nggak kreatif banget!"

Eryna mendengkus, padahal yang ia panggil cheater itu Abian. "Coba aku tanya dulu, kamu dapat ide itu dari mana?"

Wajah Abian setengah keki ditanya seperti itu. Pikirnya, ia yang merupakan teman sekelas Eryna, malah ia yang dihakimi. "Mikir sendirilah," jawab Abian.

"Yakin? Bukan lihat dari Google?"

"Ya ... lihat dikit terus terinspirasi."

Eryna mendekat. "Kamu mengklaim ide yang bukan seratus persen murni idemu sendiri, terus memarahi orang yang mempunyai ide sama? Bisa saja dia juga nyontek dari Google yang sama denganmu."

"Beda, Ryn!" bantah Abian yang malah entah kenapa memanggilnya 'Ryn' alih-alih 'Er' seperti teman yang lain. Namun, saat ini itu tidak penting.

"Ini yang kamu sebut negara merdeka? Budaya mencontek?" Eryna mendengkus, bersiap mengeluarkan ceramah kultumnya. "Coba bayangin, budaya kalian diklaim sama negara lain. Kayak yang pernah viral itu, Malaysia mengklaim budaya reog yang aslinya dari Ponorogo dan memamerkan ke dunia bahwa itu asli dari Malaysia. Gimana perasaan kalian? Dongkol, 'kan?"

Kali ini, Eryna menatap semua orang yang tengah berkumpul di depan kelas itu, semua teman-teman yang sedari tadi menyaksikan perdebatan Abian.

"Hal kecil yang barusan aja nggak kalian terima bagaimana dengan hal besar? Lalu, apa? Ujian pun kalian semua mencontek! Kalian pikir itu seru? Hebat? Dapat nilai bagus, tapi otak kosong? Coba kalian bayangin, kalian kecelakaan dan harus melakukan operasi. Terus, dokternya mau operasi lihat tutorial dari YouTube. Apa nggak ketar-ketir? Kalian udah umur 17 tahun, pasti ngerti, 'kan, maksudku ngomong seperti ini?"

Hening. Semua energi seolah diserap oleh sosok gadis bersuara lantang itu. Bahkan, suara burung-burung yang biasanya berkicau pun kini tidak terdengar. Hanya beberapa kali suara daun yang jatuh dan melayang di udara mengisi keheningan sejenak itu.

"Terutama kamu, Bi. Kamu nggak malu apa dapat juara 1 hasil nyontek? Mamamu nggak malu apa punya anak tukang contek? Cih, kalian juga sama aja! Di pelajaran Kewarganegaraan saja kalian bilang menyikapi kemerdekaan Indonesia, aslinya omong kosong!"

Semua orang benar-benar masih terdiam. Sampai Eryna pergi dari sana pun tidak ada yang menyambungi ataupun sekadar berkecap bibir.

Oke, sekarang, kita lihat tindakan apa yang dilakukan guru konseling kemarin, batin Eryna.

***

Tidak ada.

Seminggu, dua minggu, satu bulan, keadaan masih sama. Mungkin sedang sibuk mengurusi acara hari kemerdekaan. Akan tetapi, sampai bulan Desember pun, masih tidak ada perubahan. Hingga ujian semester ganjil di awal bulan Desember, semuanya masih sama.

Kecuali teman-temannya.

Ya, perubahan yang terjadi sangat dapat Eryna rasakan. Teman-temannya yang biasanya saling mencontek, kali itu sangat sepi. Tidak ada kertas yang melayang ke sana kemari ataupun kegaduhan sekalipun guru pengawas tidak ada.

Memang cukup, batin Eryna, tetapi ada satu hal yang masih belum bisa ia terima.

Masih ada beberapa siswa yang mencontek, membuka buku, Google, chat GPT, dan lain-lain, tentu saja secara diam-diam. Juga guru-guru yang tidak begitu peduli.

Alhasil, sesuai yang sudah Eryna pikirkan sejak ia membolos seminggu itu, ia membuat petisi dan surat keluh dan saran untuk kepala sekolah. Tidak hanya ia taruh ke dalam kotak saran, tetapi langsung ia berikan kepada orangnya.

Lagian siapa yang bisa menghentikan Eryna?

"Saya sangat berharap Bapak memikirkannya dan melakukan tindakan."

Juga siapa yang bisa menolak permintaan Eryna si murid berbakat serta harapan sekolah underrated itu?

Barulah setelah itu, kepala sekolah mengadakan rapat antarguru, kemudian pertemuan dengan para wali murid. Mereka membahas betapa pentingnya menanamkan budaya jujur, disiplin, dan toleransi pendapat.

Tidak hanya itu, Eryna dibuat puas dengan adanya pendisiplinan saat kelas berlangsung. Siapa pun yang melanggar peraturan sekolah, akan mendapat hukuman baik ringan maupun berat.

Lalu, Abian. Ia kena skors selama seminggu. Beberapa teman-teman lain juga mendapat hukuman mulai dari bersih-bersih, mengerjakan PR banyak, kelas tambahan sampai sore, dan lain-lain.

"Kamu ngapain ikutan ngerjain PR?" tanya Abian saat Eryna belum pulang setelah kelas sudah kosong.

"Emang kenapa? Aku juga pengen pintar."

"Bukan karena merasa bersalah udah lapor, 'kan?"

Eryna mengangkat kepalanya, berhenti sejenak dari mengerjakan tugasnya. "Hah, aku malah seneng, tuh."

"Oh, iya, sih. Omong-omong, aku mau minta maaf ke kamu. Maaf waktu itu udah merebut posisi juara satu kamu. Maaf udah curang dan bikin kamu sedih. Padahal kamu belajar keras mati-matian, tapi malah kalah sama aku yang mencontek. Bukan maksudku merendahkanmu, tapi aku tulus. Jujur, aku malu. Sekarang orang tuaku menghukumku les sampai malam dan membatasi setiap apa yang aku lakukan."

Eryna tersenyum. "Baguslah."

"Makasih, ya, udah menyadarkanku. Aku sekarang tahu, dewasa ini, Indonesia merdeka berasa nggak ada artinya. Berasa hanya omongan belaka."

Menghela napas, Eryna menyetujui hal tersebut. "Maka dari itu ...."

"Generasi kita yang akan kembali memerdekakan Indonesia."

Mereka sama-sama tersenyum. Kali ini, Abian benar-benar tulus dan mau berusaha keras.

"Oh, iya, kali ini, aku nggak akan kalah lagi dari kamu," ujar Eryna tersenyum miring.

Abian tergelak.

Selanjutnya, teman-teman sekelas juga melakukan hal yang sama. Mereka mulai menyadari betapa menyedihkan masa depan Indonesia jika generasi mereka lembek seperti itu. Semangat kembali dikobarkan oleh Eryna yang menjabat sebagai ketua kelas lagi. Juga Abian sebagai wakilnya.

End.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro