Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 ☕ Sortez de L'obscurité

#jatuhbangun #bangkit #tenggelam #jatidiri

-☕-

Sebelum aku sadar, aku sudah kehilangan diriku—ya, aku tidak tahu siapa aku. Aku berusaha terus mencari tapi percuma, tidak dapat apa-apa—memang benar kata orang itu, “Jangan mencari supaya mendapatkan sesuatu, tapi percaya saja yang dicari pasti akan muncul tanpa kamu sadar.” Pria itu … aku bahkan lupa namanya, wajahnya juga aku lupa-ingat-lupa-ingat, tapi aku tidak akan melupakan kata-katanya juga coklat yang dia berikan. Tunggu, dengan percaya saja katanya? Tapi bagaimana denganku sekarang ini? Kepercayaanku bahkan entah ke mana, mungkin saja sudah tenggelam di dasar samudra yang sangat gelap—hingga mustahil akan ditemukan lagi.

Sudah terlalu jauh aku melangkah hingga tak tahu jalan pulang. Sudah terlalu lama aku tak bercermin hingga lupa diri. Sudah terlalu dalam aku menyelam dan akhirnya tenggelam. Sudah terlalu tinggi aku terbang dan akhirnya jatuh.

Jati diri … apa itu?

Aku memang tahu namaku Kirana. Nama yang berasal dari Bahasa Sanskerta yang memiliki arti sinar, molek dan elok—namun itu berbanding jauh dengan diriku sekarang yang kelam.

Aku mulai resah. Bosan. Ragu. Aku lelah dengan semuanya.

Memang banyak yang aku miliki sekarang ini, namun … aku tidak pernah puas dengan semua kepunyaanku itu. Semua itu rasanya bukan apa-apa dan kurasa sama saja seperti tidak memiliki apa-apa.

Senyum?

Senyumku hanya sekedar polesan di wajah, layaknya make up. Bisa juga dibilang sebagai topeng di depan orang-orang. Senyum yang tak berarti dan senyum yang tak terkandung kebahagiaan.

Kemarin … menjadi memori yang aku rindukan. Sekarang … aku menyia-nyiakannya—sekarang ini pasti akan menjadi memori juga pada akhirnya. Besok … aku memikirkannya namun tidak mempersiapkan apa-apa. Waktu terus berjalan. Sedangkan aku? Aku hanya diam, diam dalam pikiran yang layaknya rel kereta tak berujung.

Dulu … ketika aku baru saja tersadar, semangat perjuanganku begitu bergelora layaknya api. Banyak kata-kata yang aku koar-koarkan demi kebenaran dan keadilan. Sekarang … ketika aku mengenal sistim yang kulawan, aku terbungkam. Sistim yang dulu aku lawan malah merantaiku. Hmn … bangkit melawan? Bahkan digampar aku masih tidur pulas. Bagaimana membangkitkan orang mati sepertiku? Memang aku masih bernafas ketika menulis ini. Tapi … orang mati dengan orang yang hangus terbakar ambisinya sendiri dan orang yang menyerah terhadap sistim yang dia lawan—sama saja—tetap dia sudah gugur, dia sudah mati, dia orang mati!

Dan dari situlah aku mengenal kehidupanku yang berjalan bersamaan dengan kematianku. Oh, aku teringat perkataan Mbah Sujiwo Tejo, “Oksigen itu merawat kita, menciptakan kita, tapi juga mematikan kita. Karena dengan menghirup oksigen kita hidup, tapi pada saat yang bersamaan kita juga mati—karena oksigen itu membuat sel-sel kita menua dan mati. Sehingga kematian itu sebenarnya sudah berlangsung pada saat kita hidup.”

***

Setiap akhir pekan Kirana terdiam di atas bukit rerumputan yang paling tinggi. Sepasang netra coklatnya menatap lara tak tahu arah. Di ketinggian bukit itu angin datang menerpa kulit putih pucatnya. Rambut hitam gelamnya dibiarkan tergerai dan terkobar-kobar dimainkan angin. Bunga-bunga yang terhampar di sekitar bukit rerumputan, layaknya warna-warni yang yang tersebar di mana-mana. Semerbak harum bunga-bunga itu dibawa angin—lebah-lebah pun yang terpikat datang untuk menyesap madunya. Dari rerantingan pohon, siul burung-burung terdengar mengumandangkan melodi alam. Dan dari angkasa ada juga burung-burung yang terbang menikmati kebebasannya. Safir biru lautan yang luas membentang di depan bukit rerumputan, menjadi saksi bisu kehampaan Kirana. Pepohonan nyiur yang tumbuh di bibir pantai, seakan mencoba menghibur Kirana dengan gerakan melambai-lambainya. Namun, semua upaya alam itu tak dapat mengembalikan dirinya yang dulu. Memang sangat indah pemandangan sekitar, namun tetap saja Kirana tak merasakan apa-apa selain kehampaan.

Derap langkah kaki seseorang yang datang mendekati Kirana tak dihiraukannya sama sekali. Netra gadis itu terus memandang ke depan dengan kosong ….

Bonjour!*” sebuah suara yang terdengar ceria menyapa Kirana.

Kirana menoleh ke sumber suara itu. Seorang pria jangkung berambut gondrong hingga ke bahu, dengan beret hat berwarna coklat khas seorang pelukis ternyata adalah sumber suaranya.

“Apa kamu masih lama di sini, Kirana?”

“Kamu siapa, ya?” tanya balik Kirana.

Pria itu meletakkan kanvas, palet dan perlengkapan melukisnya yang lain di rerumputan. Dia kemudian melangkah dengan tenang menghampiri Kirana.

“Museum Louvre, Paris. Kamu ingat?”

Kirana menatap lekat-lekat pria itu. Dia bersikeras mencoba mengingat. Tak hampir semenit, akhirnya Kirana berucap, “Oh! Kamu ... si pria penyebar coklat, bukan?”

“Eugene Ducreux, panggil saja Eugene. Salam kenal lagi!”

“Ah, iya! Eugene. Maaf aku tidak pandai mengingat nama orang. Hmn ... apalagi namamu susah sekali.”

Mendengar pengutaraan blak-blakan Kirana, Eugene hanya bisa terkekeh pelan. Kemudian pria itu berucap, “Yap, setidaknya aku bisa mengingat nama seindah Kirana.”

Kirana hanya tersenyum tipis menanggapinya. Di detik selanjutnya wajahnya kembali datar.

“Apa kamu masih lama di sini, Kirana?” Eugene mengulang pertanyaan yang tidak terjawab tadi.

“Hu’um ...,” jawab Kirana sembari menganggukkan kepalanya pelan.

“Kalau begitu ... boleh aku mengikutsertakanmu di dalam lukisanku?”

Lama Kirana terdiam. Tak terdengar jawaban balasan dari gadis itu. Netranya masih setia memandang ke safir biru lautan dengan sendu.

Setengah menit, satu menit, hingga lima menit kemudian tak ada jawaban. Keadaan sangat hening.

Eugene kembali bertanya, “Apa boleh—”

“Ya, lakukan saja,” potong Kirana lekas.

Mendengar persetujuan Kirana, Eugene membuka kursi lipatnya kemudian duduk. Di hadapannya kanvas kosong itu sudah siap untuk dicorat-coret. Di atas palet, cat warna-warni dicampur dan siap untuk membentuk suatu lukisan.

Dari atas bukit rerumputan berdiri seorang gadis yang tengah memandang kosong di depan. Di depannya ombak berdebur kencang dan burung-burung beterbangan membentuk barisan seperti huruf V. Senja tiba, bayangannya terlihat gemetar di lautan—cakrawala berwarna kuning kemerah-merahan. Semua pemandangan itu dilukis Eugene, sangat detail—bahkan kehampaan seorang Kirana terikut serta masuk ke dalamnya.

Untuk hati yang terluka. Tenanglah, kau tak sendiri. Untuk jiwa yang teriris, tenang ku 'kan temani ...,” sembari melukis Eugene bersenandung kan lagu ciptaan seorang musisi hebat, Isyana Sarasvati.

Kirana memandang si pelukis yang atensinya sementara sibuk memandang juga ke arahnya. Gadis itu kemudian menyambung lagunya, “Hidup itu sandiwara, yang nyata ternyata delusi. Terlarut posesi berujung ku gila sendiri ....”

Kini Eugene yang menyanyi. “Jika kau tak dapatkan yang kau impikan bukan berarti kau telah usai. Jika kau tak dapatkan yang kau impikan bukan berarti kau telah usai ...,” Pria itu menghentikan nyanyiannya ketika netra mereka terkunci dalam satu pandangan.

Perlahan Kirana melangkah mendekat dan Eugene menggeser dari kursi—memberi gadis itu tempat di sampingnya. Netra mereka masih saling memandang tak mau lepas, seakan ada benang merah yang terikat erat. Dan di detik yang bersamaan mereka melanjutkan nyanyiannya.

Biarkan kegelapanmu menemukan titik terang baru. Pasukanmu kan kembali memelukmu yang baru ....” Kirana berhenti menyanyi, tapi Eugene terus menyanyi. “Untuk hati yang terluka ... tenanglah kau tak sendiri. Untuk jiwa yang teriris, tenang ku 'kan temani ....”

Kehangatan yang melanda di dalam diri mereka masing-masing membuat rona merah terbit di pipi mereka. Netra keduanya masih terkunci satu sama lain. Sadar dengan sesuatu yang terasa menggelitik entah karena apa, Kirana dan Eugene spontan tertawa secara bersamaan.

“Terima kasih sudah berhasil membuatku tertawa,” ucap Kirana.

“Jadi, bagaimana kabar dirimu yang ceritanya jatuh di lembah yang kelam?”

“Aku rasa diriku itu akan segera kutemukan dan akan ku selamatkan dari lembah kekelaman.”

Eugene merogoh kantongnya. “Prendre un chocolat!*” ucapnya sembari memberi coklat bar dengan senyum yang tidak kalah manis dari coklat itu.

Merci, monsieur!*”

Vous êtes la bienvenue ma dame!*”

***

Mart Bee,
09/06/2021

.

.

.

T e r j e m a h a n
Sortez de L'obscurité : Keluar dari Kegelapan
Bonjour! : Halo!
Prendre un chocolat! : Ambil coklat!
Merci, monsieur! : Terima kasih, tuan!
Vous êtes la bienvenue ma dame! : Sama-sama nona!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro