Tak Selamanya Panas itu Gersang
Bapak tua mulai menyeka keringat yang mengucur di dahi. Jam menunjukkan pukul 12.00 WIB, padahal ia baru menarik becaknya dua kali. Kehidupan tukang becak yang semakin tergusur dengan modernisasi. Setiap orang telah memiliki kendaraan pribadi. Wajah renta itu masih berharap ada yang menggunakan jasanya.
"Mari, mendekatlah pada-Ku jika hidupmu ingin selamat!"
Seperti itulah Tuhan memanggil. Namun, semua telinga seolah ditutup dengan duniawi, earphone yang terpasang di kedua telinga dengan musik keras sehingga tak mendengar ajakan Tuhan. Atau telinga yang tertutup dengan uang dan pundi-pundi rupiah, ya, semua tentang duniawi sehingga manusia mudah meninggalkan Tuhan.
Paras tua dengan kerut tergurat hingga menggelambir itu terduduk di bawah pohon rindang. Menatap setiap anak yang bermain dengan riang, teringat anaknya yang terpaksa bekerja ke luar negeri bahkan setelah enam bulan masih belum ada kabar. Ia membuka bungkusan kecil, di dalamnya ada sekepal nasi putih dan lauk tak seberapa.
"Hore, Bapak pulang!" seru Atik sambil berlari menghampiri sore itu.
"Bapak jadi membeli sepatu, kan?" tanyanya dengan sinar mata penuh harap.
"Maaf, mungkin besok, Tik, hari ini tokonya tutup."
Lagi-lagi Bapak tua itu harus berbohong. Bukan karena tutup, tapi ia belum memiliki uang untuk membeli sepatu. Atik menunduk tampak kecewa, lalu ia mengangkat kepala sembari tersenyum.
"Nggak apa-apa, Pak, lagipula sepatu yang lama masih bisa dipakai kok," terangnya.
Atik tahu Bapak nggak punya duit, geremet hati Atik.
***
Panas terik matahari mengantar Bapak mengayuh sepeda lagi. Kali ini, ia harus dapat penumpang, untuk membeli sepatu anak bungsunya.
"Becak, Bu?" tanyanya pada wanita paruh baya yang kelimpungan mencari angkutan umum.
"Iya, Pak tolong bawa belanjaan saya."
Alhamdulillah, tutur hatinya.
"Eh, copet!" Tiba-tiba si ibu berteriak. Bapak tua terkesiap, mengejar dengan tenaga sisa dan berhasil menggaet tangan pelaku hingga terjatuh. Dompet telah terselamatkan, tapi nahas, di ujung gang pelaku berbelok, sekumpulan preman telah siaga. Wajah tua dan rapuh dikeroyok, tangannya masih menggenggam erat dompet.
Cuaca yang semula panas, tiba-tiba mendung, langit mencurahkan air matanya. Luka, perih mengoyak hati Pak tua.
"Hey!!!" teriakan warga yang mulai berdatangan mengagetkan hingga akhirnya mereka lari tunggang langgang.
"Tolong ... tolong!" teriak si Ibu menghampiri. "Bapak, baik-baik saja? Saya antar ke rumah sakit!" ujarnya.
"Tidak usah, Bu, saya harus menarik becak lagi!" terangnya, "Ini dompet Ibu." Seraya menyerahkan dompetnya.
"Alhamdulillah, Ini terima Pak, untuk biaya berobat Bapak!" Mengeluarkan selembar berwarna merah.
"Jangan, Bu!"
"Ini sebagai ucapan terima kasih, Pak! Mohon diterima," paksanya.
Alhamdulillah, Nduk akhirnya Bapak punya uang buat beli sepatu kamu.
Ia mengayuh becaknya kencang. Setelah panas selalu ada hujan. Reda hujan, pelangi melintang mewarnai cakrawala. Panas tak selamanya gersang, tak selalu gerah. Masih bermanfaat mengeringkan pakaian yang dijemur. Begitu pun hidup, tak ada yang buruk selagi kita bisa mensyukuri segala nikmat-Nya.
****
Cianjur, Mei 2015
*Just simple story.
Semoga amanat cerita sampai ke pembaca, tetap rendah hati, jujur, pantang menyerah.
Terima kasih atas segala bentuk apresiasi, tinggalkan vomment untuk karya yang lebih baik.
Kisah di atas telah terbit dalam "Antologi Cerita Asa"
Penerbit : Pena House-Dunia Dekik
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro