Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Remember Me, Amanda!

Oleh : Nanae Zha

Desember menoreh cerita di sudut hati, tapi ia memilih pergi ....

Aku masih mengingat hari itu, pertama kalinya bertemu di Desember yang dingin. Stasiun Kiara Condong-Bandung, menjadi saksi pertemuan kami. Saat itu hujan deras, ia merapatkan tubuhnya ke dinding menghindari cipratan air hujan, tepat di sampingku. Tangannya gemetar, kusodorkan saputangan untuk mengelap buliran air di dahinya. Ia tersenyum, matanya bersinar penuh kehangatan.

"Terima kasih," ucapnya. Aku pun hanya bisa mengangguk kikuk.

"Mau ke mana?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.

"Jogja."

Sesaat hening, waktu seakan membeku hingga suara operator menyadarkan dari lamunan. Penumpang kereta dengan jurusan stasiun Lempuyangan-Jogja segera bersiap-siap. Ia melirik jam tangannya, tepat pukul 20.00 WIB.

"Terima kasih saputangannya."

"Pakai saja, itu untukmu."

"Baiklah, saya harus pergi."

"Tunggu! Siapa namamu?"

Gadis itu tersenyum, mungkin ia melihat gelagat tegang di wajahku. Tentu saja, aku cukup tegang untuk mendengar keputusan terakhirnya yang akan menjadi harga mati. Bersediakah ia menyebutkan namanya? Karena kesempatan lain belum tentu bisa kutemukan.

"Amanda."

Ia mengucapkan namanya dengan tegas, untuk pertama kali dalam hidup yang membuat hatiku bergetar. Akhirnya, kami berpisah di saat itu.

Amanda ... senang berkenalan denganmu. Namaku Adrian.

Desember yang dingin di stasiun Kiara Condong, aku menyukai tempat ini.

***

Aku menyusuri sepanjang jalan Dago. Tepat di depan sebuah cafe yang eksentrik, tidak terlalu besar, namun ketika melangkah ke dalam, suasana perpustakaan bisa dirasakan di sini. Di depan pintu, sebuah rak kecil dengan berbagai jenis buku berjejer. Wangi aroma berbagai jenis kopi menguar ke setiap sudut ruangan. Cokotetra Cafe­ ̶ cokelat, kopi, teh, dan sastra­ ­̶ begitulah asal mula nama cafe ini. Terkenal sebagai tempat yang cocok untuk pecinta kopi dan buku.

"Dark chocolate, Kang," ucapku pada satu-satunya barista di sana.

Dengan senyum ramah ia membiarkanku berkeliling mencari buku yang belum sempat dibaca. Kuedarkan pandangan, mata tertumbuk ke sudut ruangan dekat jendela. Di dekat rak buku, seorang gadis duduk menatap jalanan dari balik kaca. Dia gadis yang beberapa bulan lalu kutemui di stasiun Kiara Condong. Amanda, nama itu masih melekat dalam ingatan. Berharap akan ada keajaiban yang mempertemukan kami kembali.

"Amanda? Ah, tidak menyangka bisa ketemu di sini."

Ia menoleh, keningnya tampak berkerut mencoba mengingat tampangku yang tak seberapa.

"Oh, pemilik sapu tangan itu ya?"

"Adrian." Aku mengulurkan tangan berharap ini bukan menjadi yang terakhir. Ia tersenyum dan menyambut tanganku dengan hangat.

"Kamu sering ke sini?" tanyanya.

"Lumayan, sesekali kalau lagi butuh referensi buku atau butuh sedikit cafein untuk menenangkan diri dari tugas."

"Kuliah di mana?"

"UNPAD. Aku asli Jakarta. Kamu?"

"Aku mah asli mojang Priangan," jawabnya dengan logat Sunda yang kental.

"Lalu, waktu itu kenapa ke Jogja?"

"Liburan ke tempat kakak, suaminya wong Jogja."

Pertemuan kedua yang mengantarkan pada pertemuan selanjutnya. Hari-hari penuh cinta yang tak mudah diraih. Hingga hari bersejarah itu mengubah hubungan yang telah lama terjalin. Dengan sweater peach, rambutnya yang sebahu tidak dibiarkan tergerai melainkan diikat seperti ekor kuda. Kacamata putih membuat penampilan tampak lebih manis. Moment penting ini telah dikonsep rapi. Kata itu meluncur begitu jelas dan lugas sepanjang yang aku ingat.

"Would you marry me?"

Pertanyaanku hampir saja membuatnya terperenyak, ekspresi bingung tergurat di wajah. Jika ada pria yang selalu mencintai, menerima segala hal dalam diri baik kekurangan maupun kelebihan, lalu masih adakah alasan bagi wanita untuk menolak? Aku harap, Amanda bisa dengan bijak mengambil keputusan. Lama ia terdiam, akhirnya gadis bermata bulat menjawab dengan anggukan yang menghempaskanku jauh dalam rasa suka cita.

***

Aku memandang kagum wajahnya di cermin. Setelah seharian menjalani perawatan, mulai dari facial, luluran, hingga massage. Akhirnya the big day, bolak-balik ia mengepas gaun pengantin, kiri, kanan, belakang, belum puas memutar tubuhnya di depan cermin. Hari ini ia mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang menjuntai panjang. Dihiasi ornamen simple yang sangat indah, namun terlihat elegan. Hiasan rambut dan riasan di wajah tidak berlebihan, cukup minimalis, tapi sudah mewakili kecantikannya. Aku sendiri dengan jas berwarna putih, tampak gagah untuk berdiri di sampingnya.

"Bagus enggak, Ma? Atau kelihatan aneh mungkin? Aku deg-degan banget nih," tanya Amanda pada mamanya yang terus tersenyum melihat tingkah yang kekanakkan.

"Tenang Sayang, semua akan baik-baik saja." Mamanya mencoba menenangkan.

Aku berjalan menghampirinya, menatap dengan penuh keyakinan bahwa akan selalu berada di sampingnya apa pun yang terjadi.

"Kamu cantik, sangat luar biasa ... seperti biasanya," ucapku membuat wajahnya tampak merona.

"Kamu juga cakep, meski lebih cakepan Lee Min Ho hehe ...," candanya membuat ketegangan kami menjadi lebih rileks.

Amanda berjalan menyusuri taman yang di kanan-kirinya penuh hiasan bunga. Garden Party yang indah. Layaknya Princess Kate Middleton ia terus menebar senyum kepada setiap mata memandang. Di sampingnya berdiri pendamping wanita, iringan musik menemani berjalan menuju altar. Di atas altar ia tak berhenti tersenyum, kebahagiaan terpancar. Di sana pendeta telah berdiri memimpin acara.

"Saya Adrian, menerima orang yang sangat kucintai Amanda sebagai istri, saat sakit maupun sehat, saat kaya maupun miskin, saat suka maupun duka, akan tetap mencintai untuk selamanya sampai Tuhan memisahkan ...."

"Amanda, apakah kamu bersedia menikah dan akan tetap mencintai dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, dalam suka dan duka hingga Tuhan memisahkan?" tanya pendeta.

"Aku bersedia," ucapnya.

Janji pernikahan itu terdengar begitu jelas, waktu terasa berjalan lebih cepat. Setiap detik menjadi sangat bermakna. Semua mata terpana, suasana begitu haru dan terhanyut dalam romantisme. Amanda mengucapkan ikrar yang sama, lalu memasangkan cincin bergantian yang di akhiri dengan ciuman manis. Itulah, kali pertama aku menitikkan air mata bahagia.

***

Waktu begitu cepat berlalu, namun masa lalu tetap saja merindu ....

Tahun telah berganti, semua berubah, tidak ada masa depan yang pasti. Aku menyapanya dan melihat ia tersenyum bahagia, senyum lama yang sering kurindukan. Kami berbincang meski hanya obrolan pendek yang jawabannya seringkali antara 'iya' dan 'tidak'. Entah ia ingin bungkam atau memilih misterius. Tak apa karena aku menyukainya dalam kemisteriusan.

Bertemu lagi setelah hari-hari lelah merupakan recharge bagiku. Menunggunya seperti biasa, tapi sayang keasingan itu semakin melekat. Begitu angkuh, enggan menyapa apalagi tersenyum. Ada apa dengan semua perubahan ini? Aku terus bertanya. Semakin banyak pertanyaan, ia semakin menghindar.

"Pergi!" teriaknya singkat dan jelas.

Ada rasa sakit yang tak mudah ditepis, semua menghilang seiring waktu berjalan. Aku masih ingin mengenalnya, mengingat setiap moment yang dilalui. Saat dia tertawa, terlalu banyak beban yang menggelayuti pikiran. Ada banyak mata mengikuti langkah kakinya. Aku dekat, tapi terasa jauh saat pikirannya menerawang bersama angan.

"Adrian," ucapku sambil mengulurkan tangan untuk mengulang kembali pertemuan yang telah lalu.

Ia masih tampak angkuh, berpura-pura tidak melihat apalagi kenal. Kulihat jemarinya memainkan sebuah kotak puzzle di genggaman. Matanya fokus pada benda yang dipegang, tangannya sedikit berkeringat. Ia gemetar, seperti kebingungan untuk menyusun warna yang sesuai.

Kuraih puzzle box dari tangannya, kumainkan beberapa trik dan hasilnya membuat ia berdecak kagum.

"Bagaimana caramu melakukannya secepat itu?" tanyanya begitu antusias.

"Sssttt ... rahasia!"

"Apa kamu tidak akan memberitahuku?"

"Tidak! Aku tidak akan memberitahumu kecuali kalau kamu mau tersenyum."

Lengkung senyum terkembang dari bibirnya, ia kembali seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, aku pun banyak bercerita dan memainkan trik untuk menyusun puzzle dengan cepat. Sungguh menyenangkan melihatnya bekerja keras, meski kadang sering melihat keganjilan dalam dirinya. Apakah sesulit itu memainkan puzzle box? Ia selalu salah memutar padahal tinggal satu langkah yang benar. Mungkin akulah raja puzzle yang sulit dikalahkan.

Untuk waktu dan hari-hari selanjutnya, sering ia bertingkah yang membuatku terus bertanya bahkan hampir menggila. Ada apa dengannya? Mungkinkah hari ini pun ia lupa cara berdandan, rambut kusut, pakaian berantakan, wajah pucat tanpa riasan. Bukan! Bukan karena itu semua aku bicara, tanpa berdandan pun ia sudah cantik. Hanya saja banyak hal yang mulai ia lupakan, apalagi aku yang mungkin tak pernah ada dalam daftar utamanya.

***

Aroma dedaunan dan segarnya udara kota Bandung di Taman Lansia ini menjadi saksi. Puluhan waktu terbuang di sini, namun tak pernah kusesali meski tanpa harapan. Memandangnya dari kejauhan sudah cukup bagiku, lebih beruntung jika bisa mengajaknya ngobrol seperti beberapa waktu yang lalu. Meski keberuntungan itu tak selalu kudapatkan. Biarlah nasibku yang hanya menjadi pengagum rahasia.

Amanda, apakah hidupmu bahagia?

Matahari yang hangat menemani lelahku, otot punggung terasa kebas. Bahkan bangku taman ini pun menjadi begitu reyot. Aku masih mengenang semua moment yang terasa singkat. Bahkan saat putri pertama lahir, ada buliran bening yang tak mampu dibendung. Ia tertawa dalam haru, menangis dalam bahagia. Dulu, ia sering mendorong kereta bayinya di taman ini.

Kuhela napas panjang. Kini, ia dalam rupa yang berbeda, terlihat beberapa helai rambutnya mulai memutih. Bayi dahulu yang digendong telah menjelma menjadi gadis lain. Seperti gadis yang pernah kutemui di Desember yang dingin. Mata, hidung, bibir bahkan suaranya pun percis dirinya. Ah, putri kecil itu kini beranjak remaja, adanya dia membuatku tenang meninggalkan wanita pujaan.

Malaikat cantik berusia delapan belas tahun itu memapah. Ada album keluarga di tangannya, membuatku terasa sesak apalagi melihat kedekatan mereka. Andaikan bisa bergabung dalam jarak sedekat itu. Oh, sungguh! Aku merindukan mereka. Gadis kecilku sesekali mengajak bercanda, meski hal-hal lucu yang ia utarakan tak mampu membuatnya tertawa. Beruntung Amanda memiliki cinta lain, ia dengan sabar bersedia menerima segala luapan emosi dari Amanda.

"Ma, saatnya minum obat," ucap gadis manis di sampingnya.

Matanya nanar, ada rasa takut di balik mata itu. Amanda menatap gadis itu lekat.

"Kamu siapa?" tanyanya membuat gadis itu hampir saja menangis.

"Aku Sean," jawabnya dengan nada bergetar.

Ia mengangguk, lalu kembali menekuri album foto di tangannya. Kembali membuka lembaran album berulang kali. Sean membantu dengan membuka halaman selanjutnya yang kali ini arahnya benar.

"Itu Sean, waktu masih bayi." Sean menunjuk pada foto seorang bayi dalam pangkuan. "Yang menggendong itu, Mama."

"Mama?"

"Iya, Ma. Ini Sean, anakmu."

Sean mengambil cermin dari dalam tasnya. Amanda berkaca menatap wajahnya dengan saksama.

"Lihat, kita mirip kan?!" ucap Sean meyakinkan.

Amanda berteriak histeris, bahkan ia tidak mengenali dirinya sendiri. Ingin rasanya aku berlari menghampiri, tak peduli dia akan berkata apa. Mencaci maki atau mungkin mengusir ratusan kali, aku akan tetap kembali. Hanya untuk menenangkannya, dan meyakinkan bahwa masih ada orang yang peduli bagaimanapun keadaannya.

"Amanda, tenanglah! Kamu baik-baik saja." Langkahku terhenti ketika papanya menghampiri dan memeluknya erat.

"Dia pembohong!" Tunjuknya pada Sean.

"Kenapa dia harus berbohong?"

"Katanya dia anakku, katanya dalam foto itu aku. Itu bukan aku! Dia bukan anakku!" Amanda terus berteriak, emosinya tidak terkontrol. Sean menangis, dari kejauhan kuisyaratkan agar ia bersabar karena aku tahu bagaimana rasanya dilupakan.

***

Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat, terlalu banyak kenangan yang berserakan. Namun, aku masih menunggu, mencintainya di tempat yang sama. Meski seiring waktu ia terus berubah. Semua yang terjalin dalam kenang merupakan emosi batin yang tak terlupakan.

"Kapan Mama sembuh?" ucap Sean, merindukan mamanya yang dulu. Meski cukup dewasa dan mandiri, ia hanya seorang remaja yang masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian.

Rumah mungil itu dihias begitu rupa. Hari ini perayaan pernikahan yang ke dua puluh lima ̶ pernikahan perak. Keluarga kecil harmonis, mungkin tidak sempurna, tapi kekurangan itu menyempurnakan tali kasih antar keluarga.

Aku pun hadir, tidak ingin ketinggalan acara meskipun belum tentu ia mengingat. Satu bingkisan telah disiapkan, memang tidak mahal, aku membuatnya sendiri. Scrapbook berisi foto dirinya yang dicuri diam-diam saat pertama bertemu, atau saat ia menggendong bayi di taman. Dan hari-hari selanjutnya yang tak pernah terlewat untuk mengikutinya. Aku gila? Benar! Gila ini karena dirinya. Andai dia menyadari itu.

Amanda mulai menuruni tangga, terlihat elegan dengan longdress yang ia kenakan. Semua orang berdecak kagum, tidak ketinggalan seperti halnya diriku. Ia tampak malu-malu, sanak saudara menghampiri dan menyalami, mengucapkan anniversary. Ia sedikit bingung dengan kejutan yang telah dipersiapkan keluarganya.

"Ini ada acara apa? Ulang tahun?" tanyanya ragu.

"Iya, Manda ini ulang tahun pernikahanmu yang ke dua puluh lima, selamat Sayang." Papa dan mamanya bergantian menciumi dan memeluknya erat.

"Oh, Papa terima kasih. Ini sangat luar biasa, tapi ...."

Ia berhenti melanjutkan kalimatnya, otaknya tampak berpikir keras, sesaat ia melirik ke arahku. Setengah ragu aku melangkah, mungkinkah lebih baik berdiri di sini saja. Namun, setelah semua pengorbanan, sekarang bukan waktunya untuk menyerah. Biarlah jika ia melupakan, apa sulitnya kembali mengulurkan tangan dan mengajaknya berkenalan?

Dengan segenap keyakinan meski sedikit risih dengan tatapan mata yang mengiringi langkah. Aku berhasil menghampirinya. Mata kami bertemu, jantung berdegup kencang. Ah, padahal ini bukan kali pertama kami saling menatap, tapi kali ini berbeda, semua mata memandang ke arahku.

"Happy anniversary."

"Siapa nama kamu?"

"Adrian."

Kembali pada kenangan beberapa tahun lalu. Janji kedua yang terucap, seolah mengendap pada ingatan terdalam. Alzheimer yang ia derita selama delapan tahun hampir melupakan janji sakral. Berulang kali Amanda mengusirku karena tak mampu mengingat sedikit pun. Oleh sebab itu, aku kehilangan kesempatan untuk ikut merawatnya dalam jarak dekat.

"Happy anniversary to you too, Honey," ucapnya membuatku lega.

Kami berpelukan, seperti telah lama kehilangan dan kini kembali di saat yang tepat. Sean menghambur ke arah kami, ia menangis.

"Sudah lama kunantikan masa-masa ini. Keluarga yang utuh dan saling mengingat. Ma, Pa, Sean sayang kalian," ucapnya terasa bergetar di dada.

Bukan hanya kami yang menangis, seluruh tamu undangan yang menyaksikan terhanyut dalam suasana. Mereka tahu, seberapa sulit menjadi aku. Setiap hari menghabiskan waktu hanya untuk mengulang kembali perkenalanku dengan Amanda.

Bandung merajut semua hikayat cinta kami. Perjalanan panjang yang melelahkan. Bertahan dalam ketidakpastian dan entah sampai kapan. Meski seumur hidup harus menjadi pengagum rahasia yang melihatnya dari kejauhan. Namun, di kota ini akan menjadi awal dan akhir saat jatuh cinta atau pun mati.

Amanda ... jika besok kamu lupa, aku akan tetap menunggu untuk mengulurkan tangan dan menyebut kembali namaku, Adrian. Kumohon, ingat namaku sekali lagi.

***

-END-

Cianjur, 19 Maret 2015

Hallo, Readers 😍

Terima kasih untuk kalian yang telah mengapresiasi cerita ini. Cukup panjang, semoga tidak membosankan.

Silakan vote jika suka.
Tinggalkan komen jika masih banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna, masih belajar merangkai kata.

Cerita ini telah termaktub dalam antologi cerpen "Unlimited Love Stories Over The World"

Penerbit: Phoenix Publish (2015)

Terima kasih. Just keep reading.

Love you all 😘😘😘



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro