Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kesempatan Kedua

Aku berjalan dengan wajah lusuh, tersirat bimbang menyapa kerut di dahi. Langkah tak menentu, tanpa tahu tujuan ke mana harus pulang. Telah lama tersesat dan masih berdiri di persimpangan. Wajah sendu penuh ragu, tercurah di sorot mata. Apa yang kutunggu? Sebuah kepastian menentukan pilihan, sulit menemukan jati diri.

"Ma, kenapa kita berbeda?"

Pertanyaan yang cukup dijawab dengan helaan napas panjang. Ia pun terdiam. Begitu sulit menjalani hidup, berada di antara hitam dan putih. Bahkan keduanya pun sulit dikenali, entah mana hitam, entah mana putih, yang pasti aku berdiri di garis abu-abu. Karena kedua orang tuaku berbeda, perbedaan itu adalah hal paling mendasar dalam hidup.

Keyakinan. Ya, itu yang membuat kami berbeda. Papa keturunan China, menganut agama Budha. Mama seorang muslim, tak sedikit pun ingin berpaling dari keimanannya. Entah hukum mana yang mengesahkan pernikahan mereka. Keluarga dari mama, tidak merestui hubungan ini, artinya kelahiranku pun mungkin tak diharapkan oleh kedua keluarga besar.

"Kakek tinggal di mana, Ma?" Lagi-lagi otakku dijejali pertanyaan yang tak pernah mereka jawab.

Hidup tanpa teman dan keluarga rasanya seperti dikucilkan, aku hampir terisolasi dari dunia luar. Hanya saja, cukup beruntung berada di lingkungan yang demokrat, lebih tepatnya lingkungan tanpa sosialisasi. Meski selentingan itu, tetap terdengar sayup di telinga. Pernikahan haram!

Dulu saat papa masih ada, hampir seminggu sekali mengajak ke Wihara. Atau jika papa sibuk, bisa satu bulan sekali kami ke sana. Membakar dupa dan menyembah para dewa. Saat berdoa sering kupandangi patung dewa diam-diam, bentuknya lucu. Tapi, aku tidak pernah berani tertawa. Sebagai anak hanya mengikuti tanpa tahu apa artinya agama dan keyakinan.

Di sisi lain mama pun tidak mau kalah, ia mengajari salat, mengaji, dan puasa. Sejujurnya saat masih kanak-kanak, tidak menyukai ritual yang membosankan seperti ini. Harus berdoa lima kali lebih banyak dari biasanya. Tapi, aku menyukai gerakan salat itu indah. Meski belum hafal doanya kadang biar terlihat keren, aku menirukan bunyi 'was wes wos' seolah-olah memang benar doanya seperti itu.

"Kenapa doa yang diajarin Mama beda sama Papa, sih? Wisnu kan jadi bingung." Pertanyaan masa kecil yang tak pernah habis dalam benakku.

Setiap kali salat Jumat, aku merasa iri dengan teman-temanku. Papa tidak seperti yang lain, mengajak anaknya ke masjid. Atau saat salat Idul fitri, hanya mama yang menuntun, dan aku terpaksa berada di jajaran ibu-ibu karena tidak berani terlalu jauh dari mama.

Ritual dua agama itu telah cukup dikenyam, tanpa rasa bersalah. Lalu di mana aku berada? Pertanyaan sama dan berulang-ulang yang sering dilontarkan teman-teman SD sampai SMA. Keyakinan yang ambigu, aku sendiri masih gamang. Dibesarkan dengan dua adat, dua keyakinan, dan dua perbedaan, rasanya tidak adil bagiku.

"Wisnu, agama kamu sebenarnya apa sih?"

"Kalau Islam harusnya kamu salat ke masjid, jangan-jangan kamu belum disunat ya?!" ucap salah satu temanku dengan nada meledek.

"Aku udah disunat kok waktu kecil. Kata dokter itu buat kesehatan," jawabku.

"Tapi, kok kamu sering datang ke kuil itu sih?"

"Ingat, kata Pak Wildan seseorang yang menyembah selain Allah itu musrik, dan tidak ada ampunan yang lebih pedih dari siksa neraka."

Mereka terus bicara, melontarkan pertanyaan yang tak pernah bisa kujawab. Mama belum pernah bilang apa itu musrik. Meski begitu mendengar kata neraka, membuatku bergidik ngeri. Papa pun sering berbicara tentang surga dan neraka dalam versinya. Entah mana yang benar.

Sampai suatu hari papa meninggal karena sakit. Aku sendiri bingung, entah tuhan mana yang memanggil papa. Papa disemayamkan dengan caranya sesuai amanat, dan mama mengadakan tahlilan selama tujuh hari. Terdengar bisik-bisik yang cukup menyayat hatiku, mereka yang tahlilan di rumah ternyata di belakang membicarakan kami.

"Percuma mengaji juga, toh enggak bakalan sampai buat almarhum. Dia kan beda agama."

"Ssttt ... kita di sini cuma menghormati tuan rumah. Tentang almarhum itu urusan Tuhan."

"Nah, kita yang ngaji di sini, ikut dosa enggak?"

"Wallahualam bissawab ...."

Ucapan mereka terus mengiang di telinga. Benar-benar buta agama, entah seperti apa lagi hukumnya. Apakah mendoakan non-muslim sebuah dosa? Aku masih belum mengerti padahal saat itu sudah SMA. Mereka beranggapan aku poli agama, atau mungkin sebenarnya atheis, tidak memiliki kepercayaan kepada Tuhan?

Satu-satunya kesalahan saat mencintaimu adalah kamu mengimani apa yang tidak aku yakini.

Begitulah kata mama dalam suratnya setelah papa pergi. Kutemukan surat itu tanpa sengaja, terselip dalam album kenangan. Entah mama menyesal atau tidak telah menikah dengan papa. Yang aku tahu saat itu, ada yang salah dengan keluarga ini.

***

Hari itu pulang sekolah, aku menjalankan motor dengan kencang. Di balik tikungan seorang anak menyeberang jalan. Spontan kubelokkan ke arah kiri hingga akhirnya menabrak pembatas jalan. Aku pun terlempar jauh ke depan.

Dalam masa ketidaksadaran, merasa di dua dunia, melihat tubuhku sendiri terkulai lemah. Sosok berjubah hitam menghampiri, perawakannya tinggi besar. Ia menyeringai lalu menarik paksa lenganku. Mungkinkah ia Malaikat? Aku pun tidak berani bertanya, hanya bisa menduga-duga.

"Aku mau dibawa ke mana?"

Tanpa menjawab sosok itu mengajak ke suatu tempat yang gelap, pengap. Terdengar jeritan tak henti. Di sana kulihat papa terbaring penuh luka, tapi ia tak mengenaliku. Berusaha berontak untuk menolong papa, tapi tak berdaya. Rasanya di depan mata, tapi setiap melangkah sekali, seolah papa menjauh seratus langkah dariku. Dipukul berkali-kali dalam kegelapan.

"Papa? Ini Wisnu. Kenapa mereka menyiksa Papa? Lepaskan papaku!"

Aku kalut, berteriak, tidak ingin melihat ini semua. Sosok berjubah hitam itu menghilang, aku menangis, ditinggalkan sendiri di sana hingga satu cahaya muncul dari atas. Beruntung bisa membacanya. Mama pernah mengajari membaca Al-Quran dan sering kulihat tulisan itu tertera di sana. Cahaya bertuliskan "Muhammad".

Saat siuman dari masa kritis, rasa takut dan sesak masih menyelubungi dada. Kulihat sekeliling, bersyukur masih hidup, terdengar mama membisikkan kalimat syahadat berulang-ulang di telinga.

"Ashadualla IlahaIlallah Waashaduanna Muhammadarrasulullah."

Saat itulah hati bergetar mengucapkan kata-kata itu. Saat pencarian jati diri yang berat. Meski lama menyadarinya, namun bersyukur Allah telah memberikan hidayah tepat pada waktunya. Allah memberikan kesempatan kedua untukku, meski menyesal tidak bisa menolong papa yang mengalami penderitaan di sana.

Entah kejadian itu nyata atau halusinasi. Tiap kali mengingat, keimananku selalu bertambah pada-Nya. Kuceritakan pengalaman spiritual itu pada mama, ia menangis, mengucap istigfar berkali-kali. Aku dan mama sama-sama belajar memperbaiki diri, kesalahan kami di masa lalu semoga terampuni.

Setelah peristiwa yang menyengat batin juga pikir. Aku dan mama memutuskan kembali pada keluarga besar untuk silaturahmi. Meski berat awalnya, ternyata tak sesulit yang kukira. Keluarga menyambut kedatangan kami dengan hangat. Mama meminta maaf atas segala khilaf, karena cinta ia lupa segalanya.

"Maaf, Ibu, Bapak, Ranti khilaf," ucap mama di sela tangisnya.

Yang tak pernah aku dapatkan selama enam belas tahun, kini aku merasakan peluk cium dari nenek dan kakekku. Menjadi bagian dari keluarga besar adalah hal yang kurindukan. Suatu saat nanti akan mengunjungi keluarga papa. Darah papa masih mengalir, dengan mata sipit yang menjadi ciri khas rasanya mereka tidak mungkin menolak. Aku bersyukur atas apa yang diberikan, nikmat hidayah tidak akan pernah didapatkan jika tidak kualami masa sulit itu.

"Wisnu, sudah azan mari salat berjamaah di masjid," kata kakek.

Ajakan itu yang kuinginkan keluar dari mulut papa, tapi kudapatkan dari kakek. Rasa haru dan bahagia itu tidak ada yang tahu. Ingin rasanya menunjukan pada teman-teman SD bahwa kini punya kakek yang mengajak salat berjamaah.

Menjalankan ibadah bukan lagi karena perintah mama, tapi karena kesadaran. Setiap mahluk yang ada akan kembali pada sang Pemilik. Dari tiada, menjadi ada, dan kembali lagi ke tiada. Begitulah hidup, dunia adalah tempat sementara, kita akan kembali. Dari tanah kembali ke tanah. Semoga Allah selalu melindungi dan menunjukan jalan yang terbaik.

"Oh, Wisnu, mungkin kita tidak akan pernah bertemu Papa lagi di tempat lain," ucap mama suatu hari.

"Kenapa, Ma? Bukankah suatu saat kita akan dipertemukan lagi, di surga kelak."

Mama menggeleng, ia menangis tersedu. Mengingat semua hal tentang papa begitu menyakitkan. Tertutupkah pintu surga untuk keluarga kami? Astagfirullah ....

Ya Allah ... terima kasih atas kesempatan kedua yang telah Engkau berikan pada hamba. Kuatkanlah ketakwaan sampai akhir hayat, jangan pernah Engkau mencabut iman dan islamku. Lindungilah keluarga kami dari panasnya api neraka jahanam.

Ya Rabb ... ampuni dosa papa, hamba yang bodoh ini enggak pernah tahu, dosakah mendoakan papa? Namun, jika doa ini tak pernah terucap, hamba merasa menjadi anak yang tidak berbakti. Jika ada sedikit saja kebaikan dari dalam diri, hamba rela setiap pahala ini untuk melebur dosa orang tuaku. Bukankah doa anak saleh akan menjadi penolong bagi orang tuanya? Ah, ampuni hamba yang merasa menjadi suci dan mengharap pahala-Mu ya Allah.

Hamba yang berlumur dosa ini mungkin tak berhak meminta. Namun, Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tersimpan harapan besar sebelum Engkau memanggil. Izinkan hamba mengajak mama ke tanah suci. Semoga setiap tetes air mata ini mampu membasuh dosa. Ya, Rabbi ... atas segala kehendak-Mu, dari ratusan pintu surga semoga ada satu yang terbuka, izinkan kami berkumpul kembali di tempat yang paling Engkau ridhoi. Aamiin.

***

-END-

Cianjur, 11 Maret 2015

Sebuah kisah tentang pencarian jati diri. Semoga semakin mempertebal keimanan kita pada Allah, khususnya untuk saya yang menulis. Umumnya bagi seluruh pembaca yang budiman. Selalu istiqomah di jalan Allah.

Cerita yang telah terbit dalam Antologi Cerpen Kisah Islami event KBM
"Menggapai Hidayah-Mu"

Penerbit : LovRinz Publishing

Semoga berkenan membaca, tinggalkan jejak ya. Vote dan komen sangat berharga demi perbaikan karya.

Big hug for apreciate. 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro