Isyarat Cinta Agung
Masa lalu terlalu perih untuk dibayangkan. Semua tercecer tanpa ingin kurangkai kembali membentuk kenangan yang kelam. Angan kehilangan sayap untuk terbang, tetapi tak berarti harus mati di bumi. Ada banyak alasan untuk bertahan dan kamu salah satunya.
***
"Apakah sudah kau siapkan nama untuk anakmu, Pram?" tanya ibu mertua begitu antusias menyambut cucu pertamanya.
Apalagi aku, pertama kalinya dalam hidup akan merasakan kesempurnaan menjadi wanita seutuhnya. Sembilan bulan janin berkembang di rahim. Semua terasa nikmat, mual, pusing, bahkan sesuatu yang tak bisa ditolak, misalnya tidak ingin melihat wajah suami seharian. Dia pun cukup mengerti, beruntungnya memiliki suami sebaik dirinya.
Kisah cintaku memang tidak berjalan mulus. Hubungan kami sempat tidak direstui. Mas Pram terbilang dari keluarga terpandang sedangkan aku gadis kampung tidak berpendidikan tinggi. Akhirnya, ketulusan cinta dan usaha keras dari Mas Pram meyakinkan keluarganya tak sia-sia. Setahun sudah pernikahan, kini aku sedang mengandung buah hati kami.
Hari-hari menunggu kelahirannya menjadi momen spesial. Sengaja kami tidak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelaminnya. "Biar surprise," kata Mas Pram. Hingga hari itu tiba, kurasakan mulas yang sangat, keringat mengucur di seluruh tubuh, rasanya kematian akan menghampiri seketika.
Aku berserah pasrah pada Sang Pemilik kehidupan. Banyak doa terlantun disetiap jeritan, hanya satu nama yang kuingat, Allah. Dokter pun panik, operasi sesar harus dilakukan. Dilema menghampiri keluarga, mereka harus memilih salah satu, nyawaku atau nyawa anakku?
Dengan yakin aku memohon agar mereka menyelamatkan bayi ini. Terdengar perdebatan di antara rintihan dan isak tangisku.
"Aku akan menyelamatkan istriku, Bu." Mas Pram berkata tegas. Aku ingin berteriak, tapi tidak berdaya, akhirnya terkulai lemah. Sejurus kemudian mereka membawaku ke ruangan lain.
Ya, Allah kumohon selamatkan anakku! jerit batinku.
Sesaat setelah ia lahir ke dunia, semua mata nanar, perasaan haru, kacau dan segudang rasa yang tak mudah dijabarkan campur aduk menjadi satu. Senyum keluarga terkembang, suami mengucap syukur, lengkap sudah kebahagiaan keluarga. Allah telah menyelamatkan kami berdua, tetapi senyumku saat itu terbalut rasa khawatir, seketika duniaku berubah.
Engkau tak menangis, Nak? Senyum itu hilang dan memudar.
Dokter dan perawat mulai kalut, mereka memeriksa berulang-ulang. Tidak ada yang salah, jantung berdenyut normal, tapi ia masih tidak menangis. Akhirnya, laun terdengar erangan membuatku lega, engkau yang akan menyempurnakan hidup kami."Agung Prambudi" nama yang agung, semoga berbudi luhur, itulah doaku.
Semenjak keluar dari inkubator dan diboyong ke rumah, tak sekali pun kudengar suara tangisan bayi di sini. Sering kubunyikan mainan di dekat telinga, tetapi ia tetap geming dengan dunianya. Akhirnya, dokter mengatakan, bahwa anakku tunawicara yang efeknya juga akan memengaruhi pendengarannya. Kekecewaan tergambar di wajah mereka, bahkan suamiku seolah membenci, tak mau menggendong, apalagi menggantikan popok.
"Bagaimana bisa kau melahirkan anak cacat?!" Dia berteriak nyaring di telingaku.
"Bikin malu saja, lebih baik kamu menikah lagi, Pram! Makanya cari istri tuh yang bibit, bebet, bobotnya jelas!" Ibu mertua ikut menimpali. Aku terluka, bukan mauku melahirkan anak cacat. Sirna sudah mimpi masa depan yang indah.
***
Malam terberat sepanjang sejarah hidupku. Hujan turun deras, suamiku mengeluarkan kata terakhir yang menyayat hati. Di sampingnya, seorang gadis yang katanya memiliki bibit, bebet, bobot yang jelas menggamit lengannya mesra. Ibu mertua tersenyum bangga. Dialah wanita dengan derajat sama yang akan memberikan keturunan normal tanpa cacat seperti anakku. Mas Pram mengusir dan menceraikanku.
"Mas, kumohon ... demi Agung, anak kita?!" lirihku di sela isak tangis.
Mas Pram bergeming tanpa memandangku, wanita itu telah menjeratnya dengan segala pesona. Aku pergi, Agung kecil berlindung dalam pelukan. Hujan terus mengguyur bumi, menyamarkan air mata, entah di mana cinta yang dulu Mas Pram punya. Hancur semua kepercayaan dan cinta saat dia memilih wanita itu dibanding aku dan anaknya. Jika bukan karena Agung, sudah pasti aku memilih mati.
Kembali terngiang pesan ibu sebelum pergi. "Mereka terlalu tinggi buat keluarga kita. Sekali saja melakukan kesalahan, maka dengan mudah mengembalikan pada derajat semula dan mencampakkan begitu saja."
Saat itu kuabaikan nasihatnya. Tidak kupungkiri, rasa ingin mengubah masa depan, menikah dengan orang berada akan mengangkat harkat dan derajat. Aku lelah hidup menderita, mengenyam banyak air mata berdua dengan ibu tanpa memiliki sanak saudara. Keyakinan akan cinta Mas Pram membutakan mata dan membawa pada penyesalan. Namun, satu hal yang tak pernah kusesali, memiliki Agung di sisiku.
***
Peluh membanjiri tubuh akibat panasnya cuaca siang ini. Aku mengayunkan langkah menuju masjid yang telah mengumandangkan azan zuhur. Kuambil air wudhu sebagai obat untuk membasuh panas yang menyengat wajah. Di rumah Tuhan ini, kudapatkan kedamaian, suara azan memanggil umat untuk lebih mendekatkan diri.
Selesai berdoa, kuraih kotak kecil dari dalam tas. Teringat parasnya sebelum tadi berangkat kerja, segera kuberanjak, rindu menyeruak, ingin mendekap malaikat kecilku. Setiap kali harus bekerja menjajakan kue di pasar, dengan sangat terpaksa kutitipkan Agung pada tetangga. Apa daya, aku pun butuh uang untuk biaya hidup.
Harum bunga merebak di setiap penjuru ruangan. Aku menata satu–persatu ornamen dan balon berwarna-warni. Hari ini, ulang tahun Agung yang ke lima. Namun, tak ada pesta mewah atau iringan musik pengantar ulang tahun. Karena bagi Agung rasanya akan percuma, ia tak bisa mendengar apa pun.
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucapku dengan kecupan di kening yang masih menatap tanpa berkedip. "Bagaimana dekorasinya? Bagus, kan? Ruangannya jadi penuh warna, ada balon, kamu suka?" tanyaku tetap tak ada jawaban.
Setiap malam terlantun doa dengan air mata yang tak pernah kering. Tak pernah terbayang menjadi single parent dari anak yang memiliki kebutuhan khusus. Tak lelah aku bicara di setiap bangun bahkan tidurnya. Seperti orang gila, bicara sendiri. Bahasa isyarat Agung yang menghubungkan kami meski tanpa kata, tanpa suara, tetapi aku bisa membaca isi hatinya. Semua tergurat jelas dalam binar matanya.
"Ini kado untuk Agung, ayo buka!" Kusodorkan kotak kecil yang tadi siang telah kusiapkan. Hanya mobil-mobilan mini yang bisa kupersembahkan. Ia tersenyum bahagia. Bagiku, tak butuh syarat mencintainya karena tidak ada kekurangan dalam diri Agung. Kelahiran Agung telah menyempurnakan hidupku.
"Ma ...," ucapnya lirih. Aku terlonjak kaget, tak percaya dengan pendengaran. Ingin kudengar sekali lagi.
"Apa sayang? Agung bilang apa barusan? Coba Mama mau dengar sekali lagi," pintaku dengan perasaan berdebar dan tangan gemetar.
"Ma-ma ...," ucap Agung lebih jelas.
Kristal bening itu tak mampu kubendung. Aku bersujud untuk mengungkapkan rasa syukur yang tak terhingga. Perlahan tapi pasti, semuanya tidak ada yang sia-sia meski hanya satu kata aku bangga. Setidaknya kata pertama yang ia ucapkan adalah namaku. Aku berjanji akan mengajarkan seribu kata lagi meski rambut memutih, tulang membungkuk, yakin kau akan mengucapkan jutaan kata dalam banyak bahasa. Agung adalah nikmat terindah yang aku miliki.
****
~Sebuah ungkapan untuk cinta tak bersyarat~
Antologi kumpulan cerpen Unconditional Love
Mazaya Publishing House, Agustus 2015
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro