Senja
'Aku sekarat. Aku pingin kumpul bareng kalian.'
Pesan itu sampai. Diterima oleh empat orang pada waktu yang bersamaan. Di empat kota berbeda.
***
Nesta menganggukan kepalanya kepada tiga orang yang telah sampai terlebih dahulu. Mendudukan diri di salah satu kursi kosong yang melingkari meja.
"Mau pesan apa?" Adi membuka suara, mencoba memecahkan kecanggungan.
"Aku masih banyak pekerjaan." Thalita berujar singkat.
"Bukan cuma lo yang banyak kerjaan, Thalit." Zafa memandang Thalita tajam. Namun, gadis itu tak menghiraukan.
Adi tersenyum kecut. Nyatanya, usahanya tak berarti. "Gimana kalau sore ini?"
"Lebih cepat, lebih baik."
"Gue setuju sama, Nesta." Zafa menganggukan kepala.
Dan Thalita hanya memandang mereka dengan bosan. Situasi ini sungguh tak menyenangkan.
***
Orang paling dekat adalah orang yang memiliki potensi paling besar untuk melukai. Begitu yang mereka tahu setelah apa yang terjadi beberapa tahun silam.
Keempatnya berdiri dengan kaku di sisi ranjang rawat Dila. Sahabat mereka. Atau mantan sahabat tepatnya. Tak tahu sebutan apa yang lebih pas. Dila yang dulu primadona sekolah. Gadis cantik yang begitu periang, kini terlihat begitu mengenaskan.
"Udah makan?" Nesta yang pertama kali membuka suara.
Dila dengan segala peralatan medis yang menempel pada tubuhnya mengangguk. Sorot matanya hampir tak dikenali lagi, terlihat begitu frustasi. Dila mengangguk lemah.
Thalita menggenggam tangan Dila yang terdapat jarum infus. Tersenyum kecil. Mencoba memberikan sedikit kekuatan pada orang yang bersamanya dia habiskan masa sekolahnya.
Adi dan Zafa berusaha menekan ego mereka sampai ke dasar. Pada akhirnya hanya mengangguk pada Dila.
Nesta dan Thalita tiba-tiba saja memeluk Dila di kanan dan kiri. Usaha yang sedikit sulit dilakukan karena adanya peralatan medis.
"Kalian... apa kabar?" tanya Dila dengan susah payah. Dadanya bergumuruh hebat.
"Sekarang cengeng ya, Dil? Padahal mau gue traktir bakso lho." Adi mengeluarkan cengiran khasnya. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Sok kaya ya, Di, sekarang? Dulu aja makan gorengan empat, bayarnya dua." Zafa mendengus kasar. Membuat Adi juga melakukan hal yang sama.
"Kalian makin cantik aja." ujar Dila begitu Thalita dan Nesta melepaskan pelukannya, dan duduk di tepian ranjang.
Nesta tertawa, "Cantik itu mahal dan sakit. Gue harus kerja ekstra buat cantik kayak gini."
"Cantik apanya kayak gitu? Halah." Adi tak terima.
"Ya lumayan ya, Nes, daripada lo yang dulu. Kusam, jarang mandi, suka ngupil." Zafa berkata datar. Menyilangkan kedua tangannya.
Thalita, Dila, dan Adi tertawa. Nesta dan Zafa memang seperti itu dari dulu. Saling debat satu sama lain.
Dalam hati, mereka meminta untuk satu hari saja, untuk hari ini saja, biar seperti ini. Tak perlu dulu mengungkit segala benci yang ada disudut hati.
Dan obrolan mereka berlanjut. Mengenang masa sekolah. Adi yang easy going dan digemari para gadis. Zafa yang pendiam, namun bawel saat bersama mereka. Dila si primadona sekolah. Thalita dan Nesta yang wajahnya seperti anak kembar, namun memiliki sifat yang berbeda.
***
Adila Permata. Nisan itu masih terlihat baru. Gundukan tanahnya pun masih basah. Hujan turun dengan deras. Adila pergi setelah keinginan terakhirnya terpenuhi, berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatnya.
Tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro