62. Perenung Pagi
"Ray!" Eran mengejar. "Hei, kenapa kau berjalan secepat ini?"
Eran akhirnya berhasil menyusul Rayford yang menyusuri lorong terpanjang di rumah, tetapi pria itu telah menghentikan langkah. Eran refleks berhenti sebelum menabrak punggungnya.
"Kau tak perlu semarah itu," kata Eran pelan.
Rayford mendesah. "Kau bisa berkata demikian, tetapi apa jaminannya masalah takkan bertambah?"
"Mengapa pula? Toh dia hanya menungguku pulang!"
Alis Rayford berkedut. "Oh, sekarang kau menyebut Erfallen sebagai tempat untuk pulang? Mengapa kau tak menerima saja usulan Thony untuk menyertakan Judan sebelum aku menolaknya?"
Eran merenggut takut. "Aku juga tidak mau. Maksudku, kau tak perlu semarah itu." Dan kau selalu marah setiap kali sesuatu mengusikmu, sekecil apa pun. Eran ingin sekali menambahkan itu, tetapi dengan bijak menahan komentar.
Rayford tercenung sesaat. Satu-satunya respon yang diberikan hanyalah dengusan kesal. "Aku mengantuk," tukasnya. "Besok kita berangkat, jadi aku mau istirahat dengan benar."
Eran tak boleh menghentikannya. Itu adalah isyarat lain. Eran tidak yakin Rayford akan benar-benar tidur, meski entah darimana keyakinan itu berasal. Dia bahkan baru mengenal Rayford beberapa bulan. Bisa saja pria itu ingin menyendiri dalam ibadahnya atau lainnya.
Eran kembali ke ruang duduk, tempat Caellan bertumpu kaki di atas meja dengan kepala terkulai di punggung sofa. Ashten dan Anthoniras telah kembali sepuluh menit yang lalu, tepat sebelum perang mulut meletus di antara Pewaris Alvaguer dan Rayford.
"Apa yang Ray lakukan?"
"Katanya dia mau istirahat."
"Kau tidak?"
"Aku tak merasa butuh istirahat." Eran tersenyum kelu. "Aku tidak ingin waktu berlalu dengan cepat ketika akan menghadapi masalah besar nanti."
"Benar. Mengapa tidak memikirkan rencana-rencana cadangan?" Caellan menyeringai. Ia menegakkan tubuhnya. "Kenapa wajahmu begitu?"
Bibir Eran mengerucut sendu. "Apakah Rayford memang mudah marah?"
"Tidak," jawaban Caellan sesungguhnya tidak mengejutkan, namun Eran merasakan hatinya mencelos. "Dia adalah orang paling sabar dengan segala macam ujian kami. Sehingga, ketika Ray bersikap seperti itu tadi, kupikir Anthoniras memang sudah kelewatan."
"Kupikir puncaknya adalah celakanya Jamen."
"Celakanya Jamen dan kau, Eran. Orang-orang di sekelilingnya celaka dan dia marah karena itu," kata Caellan, kemudian terdiam cukup lama. Eran mengira Caellan akan menambahkan sesuatu, tetapi tidak. Meski kata-kata nampak menanti di ujung lidah sang kepala keluarga, Caellan memilih untuk memejamkan mata dan mengeluh kelelahan, dan menyesal telah menyuruh Luna untuk menyibukkan diri di luar.
+ + +
27, Bulan Air. Tahun 1938.
Eran bangun dengan perasaan gelisah. Jika biasanya Eran malas beranjak, gadis itu sekarang dengan sukarela merosot turun dari kasur. Alih-alih menyusuri lorong ke sayap kanan, ia berbelok ke sisi kiri, terus melangkah hingga mencapai lorong gelap yang dirambati sulur. Eran belum pernah mendekati sudut ini, tetapi dia tahu di sinilah letak kamar Rayford berada.
Oh, sisi traumatisnya tergelitik. Ingin sekali dia membawa kakinya pergi menjauh dari situ.
Namun, alih-alih mengarah ke pintu kamar Rayford, ia berbelok ke pintu di ujung lorong. Di baliknya ada tangga, mengarah pada sebuah aula berdinding gelap yang dirambati lumen habis-habisan. Lantai batunya dibanjiri tanaman melimpah dan akar runcing yang mencuat tajam. Sebuah air mancur tinggi menjulang dari dinding tertinggi di aula itu, menghadap balkon kamar Rayford yang terletak di lantai dua.
Sesuai dugaan Eran, pria itu sedang merenung di alas kayu sembahyang, memunggunginya.
Eran turun dari tangga dengan penuh kehati-hatian, berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi, tetapi aula sembahyang kelewat sepi selain suara gerojok air. Setiap langkahnya akan terpantul pada lantai berbatu.
Meski begitu, Rayford tidak bergerak. Eran pun menghampiri. "Ray? Aku minta maaf."
Tak ada jawaban. Eran penasaran apakah pria itu sedang resitasi, namun Eran tak mendengarkan suara lirih. Ia pun merangkak ke sampingnya, menyadari bahwa Rayford hanya memandang ke air mancur dengan kosong. Bibirnya memang menggumamkan serentetan pujian kepada Tuhan tanpa suara.
"Aku minta maaf," ulang Eran ragu. "Karena ... karena aku merasa kau pasti kesal dengan ucapanku kemarin. Aku tidak bermaksud seperti itu. Sungguh. Aku sama sekali tak ingin siapa pun yang disarankan Thony untuk ikut, dan aku lebih nyaman dengan tim saat ini. Sungguh. Aku hanya tak mau kau lagi-lagi marah karena sesuatu hal ... marah tidak baik untukmu."
Rayford mengerling kepadanya. Dengan helaan napas, dia membalas, "Aku tahu," katanya. Ia memandang jemarinya yang pucat. "Aku marah kepada diriku sendiri. Akhir-akhir ini aku selalu marah."
"Kenapa?"
Rayford bungkam. Eran mengira pertanyaan sesederhana itu sudah melewati batas keamanan saat ini. Maka Eran ikut terdiam di sana, merasakan tiap detik yang berlalu menambah kadar kecanggungan. Apa sebaiknya dia menarik diri? Bukankah saat seseorang marah, dia membutuhkan waktu untuk tenang? Rasanya Rayford adalah orang paling aman saat ditinggal sendirian ketika marah. Dia selalu berakhir bersandar pada Tuhannya.
Eran sudah bertekad untuk pergi, ketika Rayford akhirnya menjawab dengan teramat pelan. "Aku berpikir ... seandainya aku mengubah arah tujuanku, apakah semuanya juga akan mengikuti? Kau mungkin tak tahu, tetapi aku merasa semua hal ini berakar pada kehidupanku ... pilihanku ... sejak bertahun-tahun lalu."
Eran mengernyit, berpikir bagaimana pertikaian Tremaine dan Fortier bisa bermula darinya, namun Eran yakin bahwa yang dimaksud Rayford adalah pilihannya untuk melibatkan diri.
"Aku hanya merasa ...," Rayford berkata lagi, kali ini nadanya dipenuhi dengan rasa penasaran. "Jika aku memilih jalan lain, aku tak punya sesuatu sebagai petunjuk. Maksudku, aku tak tahu kemana aku harus pergi, apa yang harus kulakukan, dan semacam itu. Jalan yang kutempuh saat ini—maksudku, kami para Caltine tempuh—adalah jalan yang telah dibuka oleh pendahulu kami. Namun, jika aku mengubah arah, bagaimana aku tahu jika jalan yang kubuka bakal baik atau tidak?"
Mulut Eran gatal sekali untuk memberi saran, namun berkaca pada pengalamannya sejak setahun terakhir, ia tidak boleh memberi saran sembarangan. Meski begitu tubuh Eran bereaksi begitu natural, dia mulai mengetuk-ngetuk jemarinya di lutut dan menggigit bibir, menahan diri untuk tidak berkomentar.
Rayford pun sepertinya paham. Bukankah gadis itu selalu meresponnya? Maka Rayford menoleh kepadanya dan memberi lampu hijau yang begitu terang benderang. "Bagaimana menurutmu?"
"Menurutku?" Eran menyahut lebih cepat daripada yang dikiranya. Matanya membeliak senang dan napasnya terembus lega, sebuah reaksi yang membuat Rayford mengangguk dengan geli sekaligus jengkel. "Ahhh, menurutku, kau tak perlu memikirkannya terlalu jauh. Kalau kau bisa memilih jalan lain, mengapa tidak? Kau punya Tuhan. Jika ternyata jalan yang kelak kau pilih nampak salah ... kupikir itu hanyalah sebuah tahapan yang harus kau pelajari. Bukankah begitu? Bagaimana pun juga, apa pun pilihanmu sebenarnya sudah tertulis sebagai takdir."
"Dan," tambah Eran dengan menggebu-gebu, sekaligus menahannya dengan penuh kehati-hatian. "Sebaiknya, sudah saatnya kau mencoba cara baru. Meski sudah ada jalan yang dibukakan oleh mendiang kakekmu, tetapi jika para pendahulumu tewas saat melaluinya, apa kau tidak merasa sebaiknya mencari arah lain?"
Alis Rayford berkedut. Ucapan Eran serta-merta membuatnya berpikir keras, dan Rayford kurang suka memeras otaknya kala emosinya masih berusaha diredam. Eran sendiri mengawasi Rayford dengan waswas, takut jika ucapannya akan menyinggung sang Guru Muda.
"Lantas, Eran," ujarnya lambat-lambat. "Aku sebenarnya bertanya-tanya, bagaimana ...."
Ucapan Rayford terpotong ketika pintu aula dijeblak, kemudian Caellan dan Ashten menyerbu masuk. Rayford terperanjat. Apa yang dilakukan Ashten dengan bertamu di pagi-pagi buta begini?
"Darurat!" lolong sang Tremaine. "Perkebunan tavva kami sedang dihancurkan!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro