45. Kaku Kekecewaan
Pasta udang itu memang enak, tetapi Eran tak mampu menikmatinya. Matanya secara otomatis mengedar panik tiap beberapa menit, dan Jamen menyadari gerak-gerik aneh itu. Eran tak bisa ditahan lagi. Ia harus dipulangkan.
"Maaf, Eran," katanya penuh penyesalan. "Tetapi kau bisa mengacaukan kedokku, karena itu pulanglah setelah ini. Kunci pintunya dan jangan khawatirkan aku, sebab aku akan pulang esok siang."
"Aku yang seharusnya meminta maaf," Eran menyanggupi dengan lesu. Ia hanya berharap semoga para pengawal Fortier tidak sedang mencarinya di luar sana. Setelah pasta udangnya tandas dan Jamen menolak untuk dibayar, Eran segera beranjak.
Ia lupa bertanya kepada Judan apa yang harus dilakukan kalau usahanya hampir diketahui musuh. Apakah melawan balik, atau lari? Menurut logika kemampuan Eran saat ini, tentu gadis itu harus kabur. Tetapi kemana dia kabur? Kembali ke apartemen atau pergi ke markas veiler? Atau, entahlah, kemana saja yang tak ada siapa pun dikenal?
Beruntungnya, perjalanan pulang Eran hanya diwarnai dengan kepanikan di dalam diri. Tak ada sesuatu yang benar-benar terjadi selain tubuh dan otaknya yang terasa letih tak berkesudahan. Ketika Eran membuka pintu apartemen, ia terperanjat menyadari keberadaan Rayford yang sedang menuang peterseli kering di dapur.
"Ray?" bisik Eran, dan kendati bingung, gadis itu merasakan ketenteraman menyeruak di dalam hatinya. Badai kepanikan yang sia-sia telah menguras stamina, dan ia sama sekali tak menyangka kemunculan pria itu akan membuatnya refleks menghela napas panjang. "Apa ... apa urusanmu sudah selesai?"
Rayford meliriknya sekilas. "Ya," tukasnya, kemudian menyadari bahwa jawabannya terlampau singkat, ia menambahkan dengan sedikit canggung. "Lebih cepat daripada yang kuduga."
Eran tersenyum lega. "Aku senang kau kembali."
Rayford menatap Eran tanpa reaksi, barangkali terheran-heran dengan ekspresi sang gadis yang meluncur begitu saja dari mulutnya. Bukankah Eran juga sedang gondok kepadanya? Apa yang terjadi?
"Kau juga kembali lebih awal," kata Rayford saat Eran melepas sepatu dan menggantung topinya di kapstok. Eran memijit-mijit kakinya. "Bukankah ini masih belum tengah malam?"
Pertanyaan Rayford spontan memunculkan gerak-gerik mencurigakan pada mata Eran. Gadis itu mengedarkan pandangan, sebuah kekhasan yang Rayford mulai hapal ketika Eran tak tahu harus merespon apa.
"Aku ingin mengatakan ini kepadamu, tapi berjanjilah kau takkan marah."
"Ada apa?"
Eran menarik napas dalam-dalam. "Jadi, um, karena kupikir aku bisa membantu Jamen, aku memutuskan untuk ... naik ke atap dan mencoba menyisir Energi di sekitar. Siapa tahu aku menemukan sesuatu, maksudku, itu bukan hal yang bisa dilakukan Jamen kan?" katanya memulai. Rayford tak merespon sama sekali, bahkan sekadar anggukan saja. Eran merasa perutnya melilit sekarang. "Dan ... aku menemukan beberapa pengawal Fortier tersebar di atap-atap bangunan di sekitar pelabuhan."
"Kenapa kau memintaku untuk tidak marah?"
Eran mencicit teramat cepat. "Sebab aku tidak tahu apakah mereka akan mengenaliku, lantas aku kembali ke kedai. Aku terlalu panik sehingga Jamen menyuruhku pulang, dan kenyataannya tak ada yang terjadi sepanjang perjalanan. Tetapi aku takut mereka akan menemukanku! Jadi, katakan, apa aku salah?"
Rayford mengangkat alis. "Aku yakin kalau kau tidak berlama-lama di atap dan segera pergi, mereka tak sempat melihatmu."
"Oh, kuharap begitu!"
"Tenanglah. Mereka tak semudah itu mampu menemukanmu, maksudku, ada berapa banyak dehmos di negeri ini, coba? Tak semua hapal Energi siapa milik siapa."
Eran mendekat ke dapur, menuangkan air, lalu mengatupkan bibir dengan sendu. "Aku memang tidak tahu apa-apa, dan jika begitu, maka aku bisa bernapas dengan lega sekarang."
"Kau perlu menenangkan diri, Eran. Tak ada yang sedang mengejarmu. Kalau pun ada, keluarga Erfallenmu itu pasti akan segera datang."
Eran menangkap cemoohan pada nada Rayford dan sontak merasa malu. Tunggu, kenapa dia harus merasa demikian? Eran merenggut. "Omong-omong, aku tidak mau ikut dengan Jamen. Lagipula dengan kaki pincang begitu dia masih bisa beraktivitas sesuka ria kecuali berlari, sepertinya dia baik-baik saja tanpa perlu ditemani."
"Kenapa lagi?"
Eran menimbang-nimbang sejenak, sebelum dengan berat hati mengucapkannya. "Aku ... merasa tidak nyaman dengannya. Dan, kau tahu, barangkali kau lupa, sesuatu pernah terjadi kepadaku. Maksudku, tentu aku tidak menuduh Jamen akan hal-hal buruk, tetapi entah mengapa aku merasakan sesuatu yang ... tidak mengenakkan tiap kali di dekatnya. Itu saja. Aku harap kau mau mengerti."
Eran tak tahu mengapa ekspresi Rayford sempat menegang. Gadis itu takut Rayford akan mengomelinya lagi, tetapi ia hanya mengangguk pelan. "Ah ... begitu? Tidak masalah," katanya. "Lagipula ini bukan kewajibanmu. Kau ... sebaiknya ... mendekam di apartemen saja."
"Terima kasih." Eran tersenyum tulus. "Dan, oh—ada sekitar tujuh pengawal Fortier yang bisa kusisir. Kukira itu jumlah yang cukup banyak untuk sekadar mengawasi saja, bukankah begitu?"
Rayford mengernyit. "Benar," katanya. "Tujuh itu terlalu banyak, kecuali ...."
Rayford memotong ucapannya sendiri. Ia menggantungnya begitu saja dan nampaknya memilih untuk bespekulasi di dalam hati, enggan membaginya dengan Eran. Gadis itu tentu juga menyadarinya setelah menduga-duga sepanjang perjalanan pulang.
Jika ada terlalu banyak pengawal yang berjaga, bukankah itu berarti mereka sudah tahu sesuatu akan terjadi? Atau, ah, mungkin Eran hanya berpikir terlalu jauh saja? Kapal jebakan yang akan dikirim itu memang berlayar pada tanggal di mana kapal tavva sungguhan seharusnya berangkat.
"Mereka sudah bersiap-siap," kata Eran pelan. Ia tak mungkin menyuarakan gagasan yang mampu memecah pertengkaran lagi.
Untungnya Rayford membenarkan, meski penuh dengan enggan. "Apa kau tak merasakan tanda-tanda keberadaan Tremaine?"
"Nihil. Kalau pun ada, bukankah kedua klan itu bisa-bisa bakal bertikai?"
Rayford mengangguk gelisah. "Kita hubungi Tremaine besok."
+ + +
16, Bulan Tanam. Tahun 1938.
Jamen pulang pada jam makan siang. Ia bertemu kedua rekannya yang baru saja keluar dari bilik telepon di lantai dasar apartemen. Alisnya terangkat, dan matanya otomatis terarah kepada Eran. Gadis itu mengalihkan pandangan ke pintu di belakang sang pria.
"Oh, Tuan!" Jamen buru-buru menyapa Rayford. "Apakah urusanmu di Nordale sudah tuntas?"
"Yah. Kau mendapatkan sesuatu?"
"Tidak banyak, tetapi mari kita bicarakan di atas," kata Jamen, otomatis menggiring mereka menaiki tangga. Rayford pun membantu Jamen menapak anak tangga dengan kaki yang masih pincang. Butuh waktu tiga kali lipat lebih lama untuk mencapai apartemen mereka di lantai tiga, dan Jamen sempat meracau bahwa mereka sebaiknya pindah di lantai dasar saja.
"Omong-omong apa yang kalian lakukan di bilik?" tanya Jamen seketika Rayford menutup pintu. "Apakah benih-benih cinta mulai bersemi?"
Rayford berdeham. "Semalam Eran menemukan beberapa pengawal Fortier dan jumlah mereka terlalu banyak. Sekitar tujuh, Eran? Ya, tujuh. Tadi pagi kami juga berbelanja keluar untuk memastikan situasi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pengawal Tremaine sama sekali."
Jamen memucat. "Oh, tidak. Apakah sesuatu terjadi? Ini aneh. Kalau para pengawal Tremaine tidak diberitahu soal kapal jebakan itu, seharusnya mereka tetap berjaga."
"Itulah sebabnya," kata Rayford muram. "Kami barusan melapor kepada Tremaine bersaudara dan mereka terkejut. Nampaknya terjadi sesuatu, tetapi karena tim kita sifatnya rahasia, maka kita tak bisa melakukan apa pun lebih dari ini. Tremaine sedang mengirim pasukan lagi kemari, dan jika terjadi sesuatu, kita harus sembunyi."
Jamen bersandar lemas di punggung sofa, merenung sejenak, lantas berkata, "Baiklah, mari dengarkan apa yang kudapat semalam."
Jamen menyampaikan bahwa ada seorang informan kenalannya yang sempat berinteraksi dengan seorang bangsawan Fortier, kira-kira seminggu yang lalu. Sang Fortier adalah wanita berambut panjang, dengan ekspresi angkuh yang khas dan suara melengking. Rayford seketika menyebutnya sebagai Jessine Fortier, sang Lady pewaris yang bertikai dengan Anthoniras di Kelab Parasian.
"Lady itu tidak mengatakan alasannya datang kemari sih," kata Jamen melanjutkan. "Tetapi ada kapal tanpa nama yang menyertai kehadirannya saat itu. Sepertinya ia juga akan memberangkatkan kapal dagang Fortier sendiri."
"Apa Lady Jess masih terlihat sampai sekarang?"
Jamen mengangkat bahu. "Tak ada informasi apa-apa selepas itu, tetapi jika menurut pada informasi Eran, sepertinya dia masih berada di sini. Atau, dia meninggalkan para pengawalnya untuk mengawasi kalau-kalau ada yang mengacaukan kapal mereka."
"Maksudmu ... bisa saja ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan Tremaine, begitu?" tanya Eran.
"Tetapi para pengawal Tremaine tidak terlihat." Rayford mengingatkan. "Eran, bisa kau kembali ke bawah dan sampaikan berita Jamen kepada mereka? Demi Tuhan, aku ingin menyewa telepon untuk disambungkan kemari!"
Eran menurut. Tanpa berlama-lama lagi ia kembali menghilang ke balik pintu utama apartemen. Rayford pun mengisyaratkan Jamen untuk mengangkat kakinya. Sudah waktunya untuk mengganti kapas dan perban yang membalut lukanya.
"Omong-omong, kenapa Eran semalam kembali lebih awal?" tanya Rayford. "Apa dia mengganggumu?"
"Dia terlalu panik, itu saja," jawab Jamen. "Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, tetapi sikapnya mudah menarik perhatian para informan lain. Jadi aku memintanya untuk pulang."
"Dia mengatakan kepadaku kalau semalam dia menemukan beberapa pengawal Fortier, kemudian kau sudah mendengar sisa ceritanya tadi." Rayford mengoleskan salep ke sekeliling luka. "Itulah alasan dia panik."
Jamen tercenung. Lantas mengapa Rayford bertanya kalau sudah tahu?
"Untuk sementara waktu dia takkan ikut denganmu."
"Ah ... lalu bagaimana dengan kakiku?"
Rayford tertawa kecil. "Kulihat kau baik-baik saja, bukankah kau pernah terluka lebih parah daripada ini dan masih mampu berkeliling memenuhi tugas Caellan?"
"Oh, tidak, maksudku ... lupakan saja." Jamen meringis. Ia mengawasi Rayford melilitkan perban baru ke sekeliling kakinya. "Aku akan tidur setelah ini."
"Sebaiknya begitu." Rayford tersenyum, membiarkan Jamen beranjak ke kamar. Langkahnya pun tidak sepincang yang kemarin. Pria itu memang seharusnya baik-baik saja.
Eran kembali tak lama kemudian. Jamen mendengar suara pintu ditutup, salamnya yang khas, dan balasan Rayford. Serta, obrolan pelan yang nyaris tak terdengar seandainya Jamen tak menempelkan telinga di pintu.
"Apa kau mengatakannya?" Eran bertanya, dan sepertinya Rayford mengangguk karena gadis itu terdengar lebih lega setelahnya. "Terima kasih. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Aku mati kutu kalau harus berinteraksi dengan orang-orang semacam itu."
Pintu kamar Jamen mendadak dibuka dan, sesuai perkiraannya, kedua muda-mudi di dapur itu terperanjat. Jamen bahkan tak tahu mengapa tangannya begitu saja bergerak untuk membuka pintu, dan kini mereka bertiga saling tatap dalam kecanggungan.
Rayford memecahkan kesenyapan janggal itu dengan kaku. "Kau tidak tidur, Jamie?"
"Tidak," tukas Jamen, dan matanya tak bisa beralih dari Eran yang enggan menatapnya balik. Gadis itu bahkan secara otomatis melipir ke belakang Rayford, atau tepatnya merapat ke konter dapur dan menyibukkan diri. Alis Jamen berkedut.
"Apa kau sudah makan siang?" Rayford bertanya lagi, kali ini lebih tenang. "Kau sepertinya belum makan apa-apa sejak pulang."
"Aku sudah makan," jawab Jamen. "Dan ... aku butuh minum."
Itu berarti Jamen akan melangkah menuju dapur, dan Eran kalang kabut di dalam hatinya. Apakah Jamen mendengar pembicaraan mereka? Eran meyakinkan diri bahwa obrolan tadi sudah disampaikan dengan berbisik-bisik, dan seharusnya Jamen tak mampu mendengar itu. Namun tak ada cengiran maupun senyum seperti biasa di bibir sang pria. Rayford pun tak beralih dari tempatnya selain mengawasi Jamen melangkah.
"Kupikir kau harus beristirahat malam ini," kata Rayford lagi. Jamen sekarang meraih gelas di atas lemari pendingin. Tangannya melintang di depan Eran, sehingga gadis itu refleks mundur. Gerakan sesederhana menghindar kemungkinan tersenggol itu membuat ubun-ubun Jamen memanas. Alih-alih meraih gelas, ia menarik pundak Eran dan memutarnya untuk menatap. Eran memekik. "Jangan!"
"Apa?" Jamen terkesiap. Ia sama sekali tak menyangka Eran akan menyeru sekeras itu, dan ia sontak melepas tangannya. Jamen merasakan embusan angin menyapu tengkuk. Rayford telah melompat ke belakang punggungnya.
Situasi macam apa ini? Jamen merasa seperti ... dipojokkan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Eran. Suaranya gemetaran dan wajahnya memucat.
"Apa?" ulang Jamen tak percaya. "Aku hanya ingin berbicara padamu!"
"Kau tak perlu menarikku seperti itu." Eran melangkah mundur. Ia melirik Rayford di balik punggung Jamen, yang mengawasi dengan mata membeliak dan jantung bertalu-talu. Jamen merasakan denyut nyeri di dadanya.
"Maaf," katanya lirih. "Aku hanya mengira, kalau kau salah menangkap maksudku semalam, dan entah apa yang kau katakan kepada Tuan Rayford, tetapi"—Jamen menelan ludah dengan susah payah—"aku bukanlah orang semacam itu."
Eran tertegun. Jamen ternyata mendengar pembicaraan bisik-bisik itu. Dia menguping.
Yo, situasi apa lagi ini?
"Bukan, Jamie," katanya tak percaya. "Bukan itu maksudku!" namun Eran tak mampu menemukan kata-kata lain untuk menyertakan alasannya. Waktu yang dihabiskannya untuk berpikir membuat Jamen frustasi.
"Sudah kubilang, rileks saja, oke? Kau tak perlu menganggap segala sesuatu dengan serius," katanya lesu. "Kecuali ... kecuali kau tahu sesuatu," tambahnya teramat pelan, sarat akan kekecewaan, ketika dia mengerling kepada Rayford. Kenyataan bahwa sang tabib tak mampu menjelaskan situasi membuat Jamen memutuskan untuk pergi. Dia bahkan mengenakan sepatunya kembali dan meraih topi.
"Jamie? Kau tidak beristirahat?" tanya Rayford bingung. Suaranya tercekat.
"Nanti malam," tukasnya. "Kudengar pengawal Fortier sesekali mengunjungi Bar Mortega di sore hari."
Dengan langkah pincang sang asisten menutup pintu, meninggalkan sang tuan dan gadis yang terbengong-bengong dengan rasa bersalah memuncak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro