42. Mengubah Mimpi
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
---------------------------
Eran sudah membuat keputusan. Malam harinya, Ia mengumumkan secara resmi keinginannya membagi waktu secara adil, atau—dalam kasus yang jarang—menuruti suasana hati. Yang pasti ia akan mengikuti Jamen kalau tujuan lokasinya cukup aman dan menarik, dan itu berarti ia takkan keluar apartemen sesering sang informan. Rayford menyetujui, dan kesepakatan itu akhirnya menjadi penutup dari segala perdebatan mereka.
Untuk malam ini, Jamen berangkat sendirian. Ia harus memetakan sekitar apartemen dan sudut-sudut penting di dekat pelabuhan Kota Kornich, maka sudah pasti Eran tak boleh ikut. Saat-saat seperti ini, kata Rayford, adalah saat dimana Jamen tak boleh diikuti siapa pun dan dibiarkan bekerja dengan kemampuannya sendiri.
"Ingat," kata Rayford saat Jamen mengancingkan mantel tipis berkerah tinggi, tepat di depan pintu apartemen. "Jangan mabuk."
"A-yeh, Tuan!"
"Kenapa Jamen tak boleh mabuk?"
Jamen membetulkan fedoranya dengan seringai lebar. "Aku jelek sekali kalau mabuk."
Rayford tersenyum masam. "Dia kacau kalau mabuk. Aku juga tidak suka ada orang mabuk, jadi begitulah. Ber-hati-hatilah, Jamen. Jangan lupa membaca doa."
Jamen tak menunda-nunda lagi untuk berdoa di depan sang Guru Muda, demi kepentingan meyakinkan Rayford agar bisa melepasnya bekerja dengan hati ringan. Setelah mengusap wajah, Jamen melambai girang kepada kedua muda-mudi itu dan menghilang.
Rayford menutup pintu dan berkata, "Aku sebenarnya tak ingin asal bicara, tetapi kau harus tahu bahwa ada orang-orang yang sangat buruk perangainya ketika mabuk. Jamen salah satunya. Terakhir kali dia mabuk, dia membongkar kedok kami untuk mencari Kamilla kepada para veiler Covalen."
"Yah, aku juga tidak suka orang mabuk. Mereka mengingatkanku pada Argent."
Rayford mengangguk kalut. "Bagus. Kalau begitu, jika Jamen terpaksa mabuk saat kau pergi bersamanya, kusarankan kau agar segera pulang. Tak usah khawatirkan keberadaannya, aku pasti akan menyusul."
"Terdengar kau telah melakukannya ratusan kali."
"Dia sudah menjadi asistenku bertahun-tahun." Rayford mengangkat bahu. Ia melipir ke dapur dan memasukkan beberapa potong roti ke mesin pemanggang, menyiapkan makan malam keduanya. Seporsi pasta paprika dan ayam rebus kurang mengenyangkan perutnya.
Eran menghampiri dengan malu-malu. Semenjak Rayford menutup pintu, gadis itu seketika menyadari posisinya yang hanya berduaan dengan sang ketua tim. Meski ini bukan pertama kalinya terjadi, Eran merasa kali ini sedikit berbeda daripada sebelum-sebelumnya. Tak ada desakan untuk memikirkan sesuatu, atau ketegangan yang dahulu biasa tercipta, sehingga menyita seluruh momen untuk menikmati waktu yang ada. Sekarang, setelah Rayford menekankan situasi baru mereka tadi pagi, Eran serta-merta meresapi ketenangan aneh yang meliputi apartemen itu.
"Apa kau punya persediaan kamomil, Ray? Aku ingin teh kamomil."
"Mm, ambil saja." Rayford mengedikkan dagu ke kotak kayu di atas lemari pendingin. "Nah, kau tak perlu meminta izinku lagi. Buat apa saja semaumu, dan akan lebih baik kalau kau membuat satu gelas ekstra. Semua menyukai teh di sini."
"Trims, Kau memang baik," kata Eran. Ia mengerling sejenak kepada pria itu, yang tengah membalik roti di pemanggang, dan berkata lagi, "Kau tahu ... awal bertemu denganmu, kukira kau membenciku. Lambat laun, aku merasa kau sekadar mengabaikan aku karena hilangnya Kamilla dan monster di tubuhku yang berniat jahat kepadamu."
Rayford menyelipkan roti kedua, lantas menatap Eran dengan terkejut. "Sungguh? Ah, benar."
Eran terkejut. Matanya nyaris saja menumpahkan rasa tersinggungnya. "Kau benar-benar membenciku?"
"Bukan begitu. Aku terlalu fokus dengan hilangnya Kamilla," kata Rayford, lantas bibirnya mengerucut samar. "Sampai ... aku menemukan bahwa dia mengkhianatiku. Dan, apa yang terjadi di saat yang bersamaan? Kau dijemput para veiler." Ia menghela napas keras-keras. "Apakah aku sudah bilang kalau aku amat menyesal, Eran? Aku bukan ketua tim yang baik."
"Itu sudah lewat."
"Ya, tapi di situlah letak kesalahanku." Rayford mengotot. Dia mengawasi Eran menjerang air. "Kau sudah terlanjur dijemput kapten veiler, dan aku belum sempat memberimu bekal apa-apa tentang Cortessian."
"Sekarang aku sudah mengenal dua sisi yang berlawanan, kenapa kau tak sampaikan pembekalanmu itu? Siapa tahu kau lebih hebat daripada Edwen yang berkata bahwa aku adalah keluarganya."
"Kau tak memercayai itu?"
"Itu terdengar menggelikan, kau tahu?" ujar Eran. "Aku adalah rakyat biasa, Rayford. Kami terbiasa membenci para Cortessian, berpikir kalian—maksudku, mereka—adalah penjajah abadi di negeri ini dan kita setidaknya mewarisi satu persen darah mereka di tubuh, yang itu berarti percuma saja untuk memberontak dan sebagainya. Kemudian aku tahu-tahu kerasukan monster terhormat para Cortessian, dan diakui sebagai anggota keluarga oleh sebuah klan konglomerat yang memonopoli pasar ekonomi kita. Kalau orang tuaku tahu, aku barangkali bakal dituduh gila oleh mulut mereka yang penuh belas kasih itu."
Rayford mengatupkan bibir. "Jika aku menyampaikan sesuatu kepadamu, apakah kau akan berpikir aku sama konyolnya dengan Erfallen?"
"Kau seorang Guru Muda, itu adalah awal yang baik," kata Eran. "Tapi, jujur saja, segala hal yang telah terjadi membuatku pasrah seutuhnya dengan alur kehidupanku yang ditetapkan Tuhan. Tadi pagi aku memang bilang kalau kau adalah orang yang paling kupercaya sejauh ini, tetapi jika kau melakukan satu kebodohan lagi, maka aku akan pergi darimu."
"Oh, aku semakin menyesal karena tidak membekalimu sejak awal." Rayford mengambil dua lembar roti yang telah terpanggang, lalu menawarkan Eran sisanya dengan isyarat. Gadis itu mengacungkan satu jari.
"Kenapa tidak kau katakan sekarang?"
"Ya, um ... yang ingin kukatakan adalah perlunya berpegang teguh dengan ajaran Tuhan."
"Baiklah ... kukira itu ajaran paling mendasar di agama?"
"Bukan, selami itu dengan lebih jauh lagi. Kaitkan dengan situasimu," kata Rayford. Ia menghela napas. "Karena kau telah mengenal Erfallen, maka aku akan berusaha memberikan pandangan netral kepadamu, Eran, yaitu pandangan para Guru sebagai penunjuk kebenaran."
"Mm-hm. Lanjutkan." Eran menuangkan air mendidih ke masing-masing cangkir, menghanyutkan sekumpulan kamomil kering di air madu.
"Apa yang kau dengar barangkali terdengar mulia, dan apa yang kau lihat bisa saja terasa hangat di hati," kata Rayford. "Aku tidak bermaksud menyinggung, tetapi mari kita ambil satu contoh yang sudah pernah terjadi. Masa laluku, oke? Kau tahu Par, dan dia merasukiku seutuhnya sebelum aku meninggalkan desa. Dia mengatakan sesuatu yang amat menyentuh hatiku dan memuaskan rasa penasaranku; dia menawarkan dongeng petualangan yang seru dan nyata, tidak sekadar cerita-cerita belaka yang selama ini kudengar di desa terpencil. Menggugah dan begitu polos kan? Rasanya mimpi terbesarku bakal terwujud, dan tak ada yang memahamiku sebaik dirinya.
"Kenyataannya ... dia membuatku membelot dari pengasuhku. Keluar dari tempat paling aman di dunia untuk masuk ke jurang neraka. Semua adalah tipuannya untuk memulangkanku ke sebuah dinasti penjajah, yang rupanya adalah keluarga besarku menurut garis biologis."
Eran termangu. "Untuk apa dia melakukan itu?"
"Agar aku mengikuti jejak mendiang kakek dan ayah kandungku, yang berhasil dibujuk Par untuk memberontak dari dinasti. Par menginginkan sebuah perubahan, tetapi dia tak ubahnya seorang munafik yang bakal mencicit kalau ditekan oleh orang yang lebih berkuasa." Rayford meletakkan roti panggang milik Eran ke piring, lantas menyusul gadis itu ke meja makan. Mereka saling menukar hidangan sekarang.
"Yang ingin kusampaikan adalah, jangan pernah melihat menggunakan matamu dan mendengar dengan telingamu jika menghadapi para Cortessian. Mereka adalah dehmos, Eran, yang bercampur dengan para vehemos, musuh sebenarnya dari kita semua. Kau tak bisa mengandalkan sekadar inderamu untuk memahami para makhluk dengan pola pikir dan keinginan yang melampaui manusia biasa. Kau harus benar-benar mengenal mereka, dan salah satu cara adalah melihat efek di sekitar mereka. Edwen boleh saja bilang jika kau dianggap seperti keluarga, tetapi kematian Petre—pada kenyataannya—diabaikan oleh para Covalen."
Eran menyeruput teh kamomil dengan kalut. Wow. Dia tidak menyangka akan mendengar hal ini sebagai pembekalannya. Dia kira Rayford akan mengatakan sesuatu semacam ... entahlah. Bukankah Rayford juga berusaha membelot dari dinasti?
Dia begitu berhati-hati dengan ucapannya, apakah karena dia menyelami posisinya sebagai seorang Guru Muda sekarang?
"Apakah itu alasan mengapa kau ingin keluar dari dinasti seutuhnya? Agar tak menua seperti mereka, atau kau lelah dengan segala tipu daya di sekelilingmu? Bukankah Anthoniras juga menipumu?"
"Itu salah satunya."
"Dan apa alasan utamamu?"
"Menjadi seorang Cortessian saja rasanya sudah cukup berdosa untukku." Rayford terkekeh miris. Ia melahap sebagian rotinya dan menggunakan rentang waktu yang ada untuk menimbang-nimbang apakah tepat memberikan alasan penting itu kepada Eran. Pada akhirnya, ia mencapai keputusan bahwa tak ada kerugian untuk mengatakannya.
"Apalagi aku seorang Guru Muda. Tugas utamaku sesungguhnya adalah menjadi seorang penunjuk kebenaran bagi orang-orang, bukan dianggap sebagai bagian dari penjajah yang menindas dan menyesatkan."
Eran mengangkat alis. "Kalau begitu kenapa kau tak mengubah jalurmu?" tanyanya, membuat Rayford sempat berhenti mengunyah karena dialihkan rasa penasaran yang memuncak. "Tipu daya yang dilakukan Anthoniras tak lain untuk membawamu kembali ke dinasti, dan menurutku, adalah salah satu caranya agar kau merasa kalah dan tak lagi mencoba membelot, apalagi Par sedang menginangi tubuhnya. Sang Cortessor juga mengakui klan kalian. Jadi, pertanyaanku, mengapa kau tak mengubah alur hidup dengan menerima kehadiranmu sebagai seorang Guru Muda di Dinasti Cortess, dan jadilah penunjuk kebenaran bagi para Cortessian saja? Kukira itu bisa menebus rasa berdosamu."
Eran mengira reaksi mata Rayford yang membulat adalah ekspresi kekaguman, tetapi dia salah—amarah mendadak menggelora di balik tatapannya.
"Apa kau bilang?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro