Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41. Riuh Resah

Note:

Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.

Selamat membaca!

---------------------------

Rayford tiba-tiba menepuk tangan. "Semua sudah beres? Ayo kita berkumpul sebentar." Permintaannya secara otomatis menggiring mereka ke meja makan. Buku catatan Jamen dan Kamilla dihampar di atas meja, kertasnya berkerut-kerut akibat terlalu sering dibaca dan dioret-oret Eran. Selama sebulan terakhir, mereka bertiga memenuhi sisa buku dengan ribuan rencana, yang selalu berakhir ditentang keras salah satu, biasanya Rayford atau Eran. Jamen nyaris selalu mengikuti siapa saja yang dirasanya lebih cocok.

Eran sontak melipat tangan. Ia tak mengatakan apa pun, hanya mengangkat alis dengan tatapan yang sudah dihapal pria di seberangnya. Rayford membolak-balik buku sembari meliriknya.

"Karena kita sudah di Kornich," katanya, "aku ingin menegaskan apa yang akan kita lakukan di sini, sebab jika tidak, seseorang akan terus menerorku untuk menanyakan kepastian."

Eran memutar bola mata. "Tentu saja. Satu bulan kemarin begitu membuang-buang waktu. Aku bisa saja pulang dan menjenguk orang tuaku sungguhan ketimbang sekadar bertelepon saja."

"Itu tidak membuang-buang waktu, Eran, kecuali kau sekarang tidak mau menghargai usahaku dan memilih untuk pulang ke Erfallen saja!"

Jamen bersandar pada kedua telapak tangannya. Ia bergumam, "Oh, lagi-lagi ...."

Namun, alih-alih membalas perkataan Rayford seperti biasanya, Eran bungkam. Tak hanya mengatupkan bibir, gadis itu bahkan merenggut, dan setelah beberapa saat, ia menghela napas.

"Aku tidak mau," gumamnya lirih.

Rayford mendesah. "Jadi apa kau akan berhenti mendesakku sekarang?" tanyanya, yang dijawab dengan anggukan pelan. "Bagus! Kalau begitu kita lupakan semua rencana yang ada di sini." Ia mengacungkan buku saku Kamilla. Eran sontak melongo. "Dan mulai saat ini kita berpegang pada segala informasi yang Jamen kumpulkan. Lupakan rencana-rencana, sebab itu tak membuat kita mencapai apapun selain merasa semakin terdesak."

Reaksi Eran selanjutnya sesuai dengan dugaan Rayford. Mula-mula wajahnya memucat. Matanya melotot pada buku Kamilla yang dilempar Rayford ke belakang, membentur punggung sofa sebelum mendarat di lantai dengan menyedihkan. Dengan penuh dramatis, ia menatap Rayford dengan gelengan pelan.

"Rencana-rencanaku," bisiknya tak percaya.

"Itu hanya akan menimbulkan perdebatan kita, dan aku tak mau kita berdebat lagi. Apa kau paham?"

Eran sama sekali tak bergerak. Tak ada anggukan maupun gelengan. Satu-satunya yang terlontar hanyalah sepatah kata. "Lalu?"

"Selama satu minggu ke depan, Jamen akan mengumpulkan informasi tentang situasi kota seperti biasa. Kau akan mengikuti alur kerja tim ini, sebagaimana patuhnya engkau di awal pertemuan kita dulu."

"Ya, tapi ... tik tok tik tok."

Jamen refleks menyeringai geli mendengar respon Eran. "Aku punya ide, kawan-kawan," katanya. "Ketimbang kau menyuruh Eran untuk menunggu dan berdiam—sesuatu yang aku yakin sekali justru membuatnya resah—kupikir aku akan membawa Eran bersamaku sesekali. Toh para veiler sudah mengetahui eksistensi Eran."

"Kalau ada yang harus sembunyi, kupikir itu kau, Ray," tambah Eran. "Karena kaulah yang paling dikenal orang-orang daripada kami."

"Orang-orang siapa?" Rayford mengernyit. "Aku sudah bilang, tak ada rencana. Termasuk rencanamu yang terakhir itu."

"Berjaga-jaga apa salahnya?"

"Lihat? Eran memang tidak bisa kau suruh melupakan semuanya dan bersikap tenang," kata Jamen. "Biarkan dia ikut bersamaku agar dia tahu cara kerja kita, Ray."

"Kau hanya ketakutan," komentar Rayford sebal.

Sejujurnya, sejak Rayford melempar buku saku Kamilla, Eran merasa ada bagian di dalam dirinya yang hancur berkeping-keping. Entah apa, tetapi serpihan itu menusuk segala sudut di dalam otaknya hingga tak ada lagi yang mampu dipikirkan. Satu-satunya yang terputar adalah riuh rendah kepanikan yang dengan cepat merayap ke sekujur kulitnya.

Dan komentar pria itu adalah puncak dari segalanya.

"Aku tidak—maksudku, aku tidak tahu dunia macam apa yang sedang kumasuki! Aku hanya berusaha memastikan semuanya aman dan memahami apa yang sedang kujalani, oke?"

Eran sama sekali tak bermaksud untuk menangis, tetapi bulir air mata menetes begitu saja tanpa berkumpul di pelupuk. Tak ada rasa sakit di hati, kecuali kepala yang terasa tumpul dan berdentam-dentam ringan. Kedua pria di depannya tak siap dengan reaksi itu.

Apa yang akan terjadi setelah ini?

Jamen refleks mengangkat tangan untuk menepuk pundaknya, tetapi Eran menghindar. Ia tak tahu kalau Eran punya trauma terkait Argent Erfallen.

"Oh, Eran. Kami hanya ...."

Gadis itu menyeka air matanya dengan malu. Wajahnya kini memerah niscaya karena perasaan itu. "Tidak apa," gerutunya. "Aku juga egois karena terus bertanya dan mendesak, mengganggu waktu istirahat kalian setelah sekian lama kebingungan dan sebagainya. Mungkin aku seharusnya lebih tenang dan mengikuti alur saja."

"Kita semua kebingungan, aku yakin itu," balas Jamen lembut. "Hanya saja kami lupa kalau kau adalah orang baru di sini, Eran. Segala sesuatu pasti berkali-kali lipat lebih berat bagimu, dan sejujurnya, itu pula yang kurasakan saat pertama kali membantu Rayford! Aku hanya manusia, itulah yang kupikirkan, dan begitu takut untuk menghadapi hari selanjutnya. Tetapi di sinilah aku, selalu menjadi yang pertama untuk bekerja setelah delapan tahun terus bersamanya. Kau akan terbiasa, Eran. Kau hanya perlu tenang."

"Kau benar, terima kasih," kata Eran parau. "Kecuali aku tidak yakin dengan rentang waktu selama itu. Aku harus kembali ke Erfallen setelah ini berakhir."

"Kita pasti akan menemukan cara untuk membantumu, Eran! Benar, Ray?"

Alih-alih menjawab, Rayford bersandar pada punggung kursi dengan kalut. Matanya memandang lekat-lekat kepada Eran tanpa perkataan mendukung macam apa pun, membuat sang gadis akhirnya menghindari tatapannya dengan grogi. Jamen mengatupkan bibir, merutuki jeda yang melebar seiring dengan berlalunya waktu dalam kecanggungan.

"Aku ingin bertanya satu hal kepadamu, Eran," kata Rayford akhirnya, lebih tenang dan nyaris tanpa emosi. Kernyitan di dahinya menghilang, tergantikan oleh tatapan yang memandang jauh ke puluhan rencana di dalam benaknya. "Apa kau percaya padaku?"

Eran mengernyit. Butuh waktu yang cukup lama baginya pula untuk menjawab, kendati sudah jelas terpatri di alis-nya yang berkedut. "Hanya kau yang paling kupercaya sejauh ini."

"Meskipun Edwen Erfallen telah mengklaimmu sebagai keluarga?"

"Yah ... tak ada bukti untuk itu. Dia juga tidak melakukan apa pun selain menahan para veiler untuk tidak memukulku lagi."

Rayford mengangguk pelan. "Kalau begitu kau tak perlu gelisah, Eran. Tak ada yang mengejarmu, dan sebaiknya kau penuhi hari-hari ini dengan sepenuh hati. Aku sudah pernah mengatakan kepadamu soal risiko kematian itu, bukan? Kita memang tak tahu tepatnya kapan kita mati, tetapi setidaknya kau takkan mati penuh penyesalan kalau memenuhi hari-hari ini dengan hal-hal yang baik untukmu. Mengisi hari dengan memikirkan rencana yang tak terwujud, apalagi keresahan, hanya akan membuatmu lelah."

Eran menatapnya dengan berkaca-kaca. "Oh?"

Rayford tersenyum tipis. Sesuatu terasa bergejolak di dalam dirinya. Sesuatu yang membuatnya teringat kembali akan lembar-lembar kitab suci yang terakhir disentuhnya saat Sembahyang Awal, atau bisikan lembut seorang Guru tabib acap kali mengobati luka cambuknya di masa muda.

"Jadi, kalau kau ingin mengikuti Jamen dan mempelajari cara kerjanya, lakukanlah. Kalau kau mau tinggal di sini dan menanti kabar bersamaku, silakan saja. Dan sebenarnya, situasimu barusan membuatku sadar akan sesuatu, Eran. Aku akan menunjukkanmu dunia yang baru kau masuki ini, dan kuharap, itu akan cukup untuk membekalimu sebelum bergabung dengan Erfallen."

Jamen tersentak. "Apa kau sekarang berubah pikiran untuk merelakan Eran ke Erfallen?"

"Tentu tidak." Rayford menghela napas. "Ini hanya berjaga-jaga saja, sebab aku tak mungkin membiarkan gadis ini penasaran akan hal paling mendasar dan salah meyakini jawaban. Setidaknya tak akan mengulang kesalahan fatal sepertiku dulu."

Ucapan Rayford spontan menimbulkan belasan pertanyaan, dan Eran kesulitan memilih mana yang paling utama untuk dilontarkan. Pada akhirnya, ia menyuarakan pertanyaan yang paling menggelitik.

"Apa kesalahan fatalmu?"

"Membelot dari kamitua pengasuhku dan terseret ke perbudakan."

"Oh." Eran mengerjap. Rasa sakit di kepala sudah tak terlalu dirasakannya sekarang. "Dan hal paling mendasar apa itu?"

Senyum Rayford memudar penuh kesedihan. "Tidak semua hal di dunia ini pantas kau coba hanya karena rasa penasaran yang kuat, Eran. Kau harus tahu apakah rasa penasaran itu didorong untuk mengenal Tuhanmu lebih jauh, atau itu adalah godaan setan agar kau terjebak ke perangkapnya. Itu adalah salah satu ajaran penting bagi para murid perguruan. Dan, dalam kasus kita, kau harus tahu kapan sebaiknya mengabaikan bujukan iblis yang menginangi tubuhmu dan mewariskan kutukannya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro