40. Kota Kornich
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
---------------------------
14, Bulan Tanam. Tahun 1938.
Rayford dan tim kecilnya adalah yang pertama kali tiba di Kota Kornich, sebuah kota pelabuhan di ujung Provinsi Gerbang Utara yang berjarak sehari semalam pelayaran dari Kota Paru. Kornich barangkali sedikit berbeda daripada kebanyakan kota di Provinsi Utara, seperti kota kecil Migel yang berada di kaki bukit desa perguruan Rayford dahulu. Masih terdapat gedung-gedung yang menjulang, meski bisa dihitung jari dan amat mencolok di tengah kota. Jumlah mobil yang berseliweran pun hanya sepersekian dari banyaknya mobil di Ibukota Stentin, namun trem tak pernah berhenti beroperasi di sini. Dan barangkali hanya Kornich yang memiliki trem-trem pengangkut barang di atap mereka, yang bergetar dan bergeruduk acap kali berangkat dari sebuah halte yang penuh sesak.
Dan, ah ... kota ini sarat dengan bau pesing. Entah karena jumlah kucing liar yag membeludak atau rimbunnya tanaman bunga limonium. Yang jelas Eran kerap mengernyit, sementara Rayford mencecap dalam-dalam aroma itu bagai manisnya vanila. Jamen, yang menyadari bahwa tim kecil itu nampaknya takkan pernah damai seutuhnya, memutuskan untuk mencari penginapan yang hanya berjarak tiga blok dari pelabuhan, cukup jauh dari himpunan limonium mana pun, kendati invasi kucing liar tak bisa dihindari.
"Jangan salah," komentar Eran saat seekor kucing liar membelit kaki Rayford. "Aku pernah memelihara sepuluh kucing di rumah, tetapi bukan berarti aku akan menghirup bau pesingnya kayak aromaterapi yang pernah kau berikan kepadaku dulu."
"Kau tahu kunci kebahagiaan? Menerima keindahan alam apa adanya dengan segala hal naturalnya."
"Wow, ucapanmu membuat sebuah gagasan terlintas di benakku, tetapi aku tak mau mengatakannya."
"Semua gagasanmu memang liar sekali, Eran. Kenapa aku tidak heran?"
Jamen, yang semula menghampiri seraya mengacungkan kunci apartemen dengan riang, sontak menghela napas lesu. "Bisakah kalian berhenti berdebat setidaknya, oh Tuhan, tiga hari saja?"
Bagai saudara kembar yang bertikai sejak di dalam kandungan, Rayford dan Eran mendengus kesal. Mereka spontan bertatapan, yang disusul gelengan Rayford, dan pria itu bergegas menyahut kunci apartemen. Jamen buru-buru mengekori dengan membawa dua koper, sementara Eran menyusul dengan cibiran sebal.
Setidaknya itulah keseharian mereka selama sebulan terakhir.
Apartemen yang disewa kali ini lebih nyaman daripada sebelumnya. Jika apartemen sewaan di Kota Paru terkesan panas, sesak, dan definisi ruang hirup adalah derum mesin dan amisnya ikan, maka apartemen ini adalah kebalikannya. Dapurnya lebih luas, cukup untuk disesaki tiga orang yang ricuh mempersiapkan makan malam bersama-sama. Sebuah meja makan untuk empat orang menjadi penanda batas antar dapur dan ruang duduk yang semu. Dua sofa panjang saling bersinggungan dan menghadap balkon mungil yang terletak di ujung lorong. Terdapat empat pintu berjajar pada sisi lain lorong di seberang ruang paduan ini. Eran secara otomatis menempati kamar dekat balkon, Rayford di tengah, dan Jamen selalu memilih kamar yang dekat dengan pintu keluar. Itu sudah menjadi kebiasaannya sebagai sang informan sekaligus tukang belanja sehari-hari.
Kemudian, tentu saja, wangi lavender sungguhan yang memenuhi ruangan, bukan pesingnya limonium atau kucing-kucing liar yang sesekali mampir ke balkon saat mengendus aroma makan malam.
"Omong-omong," kata Jamen setelah menaruh koper. "Pemilik apartemen ini juga anak buah Tuan Besar."
Rayford memutar bola mata. "Jangan bilang sejak awal kau sengaja memilih apartemen ini. Bukankah sudah kutekankan agar tak ada yang mengetahui sama sekali perpindahan kita kemari?"
Jamen meringis. "Ini untuk antisipasi saja. Lagipula akan semakin mudah mengumpulkan informasi kalau aku sudah mengenal seseorang di kota asing begini."
"Dan apakah kau akan memberitahu mereka tujuan kita kemari?"
"Tidak perlu. Mereka takkan bertanya macam-macam lagi kalau kedatanganku atas perintah rahasia Tuan Besar!"
"Bagaimana bisa?" gumam Eran, dan ketidakpercayaannya cukup menjadi penyebab akurnya ia dengan Rayford kembali. Sang ketua tim serta-merta mengangguk menyetujui.
"Aku tidak suka kalau Caellan menyertakan anak-anak suruhannya."
"Apakah selalu seperti itu?"
"Sangat sering." Rayford mengeluarkan kotak-kotak kayunya dari koper, dengan penuh kehati-hatian memindahkannya ke meja di dalam kamarnya. "Dia suka sekali membuat dirinya merasa begitu penting dan berkuasa dengan membiarkan orang tahu ... dengan menyuruh-nyuruh mereka. Heh, dia selalu berkedok mengatakannya sebagai permintaan persahabatan."
"Dan kuingatkan kepadamu, Jamie," kata Rayford sekali lagi. "Jangan sampai kita mengulang kesalahan seperti kasus dengan para veilernya Covalen saat itu. Sungguh, Tuhan melindungi kita ketika para Covalen memutuskan untuk meninggalkan semua begitu saja, yang sebenarnya masih tak kupahami mengapa! Tetapi kita tak boleh mengulanginya lagi—tidak dengan para pengawal Fortier. Mereka benar-benar berada di kubu yang berseberangan dengan kita, dan sama sekali tak memiliki hubungan persaudaraan."
"Ahh. Aku tahu mengapa Covalen tak mempermasalahkan kematian Petre, sehingga mereka tak mengejarmu sama sekali," balas Eran, sekonyong-konyong mengundang perhatian kedua pria lainnya.
Jamen membeliak. "Apa? Mengapa?"
"Karena Covalen sesungguhnya hanyalah sekumpulan veiler pelayan Erfallen—mereka dijadikan sebuah klan terpisah sekadar untuk perluasan kekuasaan saja," jawaban Eran benar-benar persis dengan penjelasan Anthoniras yang pernah diterima Rayford. Hebat. "Dan ikatan kekeluargaan mereka begitu erat, sampai-sampai dianggap laiknya saudara sepupu."
Jamen tercenung. "Tapi ... meski dianggap sebagai keluarga, bagaimana pun juga kematian pengawal tidak sama dengan kematian seorang anggota keluarga sungguhan."
Eran menjentikkan jari sebagai tanda pembenaran, lantas mengerling pada Rayford yang dahinya masih berkerut-kerut. "Apa kau tidak memahami penjelasanku?"
Rayford menggeleng suram. "Aku hanya tak memahami pola pikir mereka yang seperti itu. Maksudku, tak peduli apakah mendiang Petre hanya sekadar veiler atau bukan ... bukankah dia tetap saja seorang pendamping yang setia? Maksudku, dia tewas, dan apakah para Covalen pergi begitu saja tanpa ... entahlah, bukan berarti aku mengharapkannya, tetapi—bukankah mereka seharusnya merasa marah?"
"Memori Tuan U'mbrate tidak selengkap itu untuk membuatku paham seutuhnya." Eran mengangkat bahu. "Tetapi jika ada satu hal yang bisa kutangkap dengan jelas, maka kematian pengawal sudah biasa bagi para Cortessian."
"Nah, mereka membunuh jutaan nyawa sejak menjajah negeri ini. Sudah pantas merasa demikian." Jamen memutar bola mata. "Kau tak perlu memikirkan mereka sejauh itu, Tuan. Bukankah mereka juga biasa saja saat menerimamu di dinasti, setelah apa yang terjadi padamu sebelumnya?"
Eran, yang saat itu sudah menepi ke lemari pendingin untuk menyimpan isi kantong belanjaan, seketika berhenti. "Apa? Apa yang terjadi sebelumnya?"
Seandainya Eran tidak bertanya demikian, maka Jamen dan Rayford kemungkinan akan terus mengobrol yang berkaitan dengan masa lalu, melupakan kenyataan bahwa gadis itu adalah anggota tim baru yang sama sekali awam dengan latar belakang kedua pria lainnya.
"Perbudakan sepuluhan tahun lalu itu," kata Rayford, "aku terjebak di sana selama kurang lebih setahun."
Eran terkesiap. Sudah pasti. "Kau?"
"Mm-hm."
"Apa mereka tidak sadar seorang Cortessian terseret ke perbudakan?"
"Nah. Mereka bahkan tak tahu aku hidup sampai seorang ilmuwan pengikut con Caltine mendapat tugas untuk mengurusku." Rayford akhirnya selesai mengosongkan kopernya. Pakaian-pakaian telah berpindah ke lemari. Mereka memang tidak akan tinggal hanya beberapa hari saja, maka koper-koper pun ditumpuk di pojok koridor.
Eran ingin sekali bertanya lebih lanjut, tetapi melihat Rayford tak memberikan tanda-tanda untuk mempersilakannya, maka gadis itu mengurungkan niat. Wah, Eran sungguh tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Rayford pernah jadi korban perbudakan? Bukankah itu sesuatu yang ... ironis?
Eran lantas teringat sesuatu. Rayford tidak suka disamakan dengan para Cortessian lainnya. Eran mengira itu hanya sekadar upayanya untuk tampil beda, atau—jika Rayford dan abangnya waras—maka mereka merasa amat malu dengan kelakuan Dinasti Cortess. Ditambah lagi klan mereka sangat kecil, hanya terdiri dari sepasang kakak beradik, seorang istri, dan sama sekali belum memiliki keturunan. Eran juga sempat mengira merekaberupaya untuk memperbesar eksistensi klan dengan melakukan sesuatu yang mencolok, yaitu membuat pengakuan kontradiktif ...
Tetapi, ternyata! Oh, Eran merasa bersalah sekaligus malu sekarang. Rayford ternyata memiliki alasan amat kuat dan tak terbantahkan di balik kebenciannya dianggap sebagai bagian dari Cortessian.
Lagipula Guru suci mana yang mau disamakan dengan para iblis?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro