37. Ketenangan Klasik
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
---------------------------
8, Bulan Awal. Tahun 1938.
Sesekali, Eran ingin memulai harinya dengan sesuatu yang klasik dan tidak penuh kejutan seperti hidup barunya belakangan ini. Ia merindukan momen selepas berpisah dari alam mimpi, ketika hanya ada helaan napas karena memikirkan beban pekerjaan yang perlu ditanggungnya selama sehari ke depan. Duduk menghadap mesin ketik dan belasan kritik tak ada apa-apanya dibanding dihantui ketakutan diserang, mendadak diculik, atau dilempar oleh puluhan orang yang berebut untuk menghantamnya.
Oh Tuhan, bangun tidur saat ini saja rasanya ingin dimulai dengan sebuah jeritan!
Tidak, tidak. Mari mulai hari ini dengan membosankan. Eran menarik napas dalam-dalam, merasakan denyut samar yang masih membekas di tubuh. Bagusnya, tak ada serangan atau penjemputan dadakan kedua, dan Rayford telah memastikan bahwa Jamen yang pulang membawa makan malam bukanlah penyamaran lagi.
Eran mencoba tersenyum. Hari baru, rencana baru. Ayolah!
Gadis itu lantas merosot turun dari kasur dan melipir ke toilet. Penginapan masih remang-remang. Satu jam yang lalu Eran sempat terbangun karena mendengar suara percakapan Rayford dan Jamen di luar ruangan, tengah bersiap untuk Sembahyang Awal. Karena gadis itu sedang datang bulan, maka dia memejamkan mata lagi. Sekarang, dia satu-satunya jiwa yang bangun sementara keduanya kembali terlelap.
Setelah membasuh muka, Eran memandang wajahnya yang sudah lama sekali tak ditatapnya sendiri. Lebam-lebam sudah mulai menghilang dari pipinya yang sebening air. Hidung jambunya sedikit memerah dan agak sakit, membuat Eran curiga sebuah jerawat akan muncul di sana. Rambut sebahunya berwarna hitam kecoklatan, mengilap di bawah timpaan cahaya lampu gantung. Sudah waktunya dia keramas. Dan, oh, matanya yang coklat gelap telah memucat sekarang! Keren! Jika ada satu hal yang selalu dikaguminya dari para Host atau dehmos, maka itu adalah mata mereka yang pucat dan memikat. Rayford, hingga saat ini, menempati posisi puncak sebagai pemilik mata terindah yang pernah Eran temui. Ia tak begitu mengingat warna mata Argent, tetapi putranya Edwen memiliki mata kelabu pucat yang kelam.
Eran mematut cukup lama di depan kaca hingga perutnya bergemuruh. Oke. Usai sudah waktunya mengagumi diri. Ia perlu kembali ke rutinitas menyiapkan sarapan, kemudian mandi sebelum para pria itu bangun. Hari ini ia akan memelajari kasus Tremaine seperti permintaan Rayford, dan karena sang ketua tim menghendaki agar ia tak terburu-buru, maka Rayford akan mulai mengenalkannya kepada para Tremaine di sini sebagai pengganti Kamilla. Bagus. Eran merasa makin tegang sekarang.
Rayford adalah yang pertama kali bangun, kira-kira satu jam kemudian. Eran telah selesai merebus telur, memanggang roti, mengeluarkan susu dari lemari pendingin dan membuka kemasan sereal jagung. Rayford menghampiri dengan limbung. Pria itu membasuh wajah dan berjengit saat mengusap luka wajahnya terlalu kasar, lantas menatap Eran dengan mata yang terbuka seutuhnya.
"Selamat pagi, Ray." Eran tersenyum. Ia menyodorkan sebuah botol selai jeruk. "Apa kau sudah merasa lebih baik? Bisa bukakan tutup selai?"
"Oh, beruntunglah aku punya ini," gumamnya, dan Rayford menumbuhkan satu bilah tulang pada telunjuknya. Ia mencongkel tutup selai dengan begitu mudah. "Bisa kau rebuskan air untukku? Aku mau menyeduh teh."
"Tentu," jawab Eran, dan selang beberapa saat sembari mengisi ketel dengan air, ia berkata lagi. "Pagi yang normal, eh?"
Komentarnya spontan mengundang seringai di bibir Rayford. "Begitu berbeda dari kehidupan lamamu, ya?"
"Aku bertanya-tanya sejak awal, apakah hidupmu selalu penuh kejutan semacam ini? Serangan, drama dinasti, dan sebagainya?"
"Dulu, sebelum aku masuk ke institut, hidupku sempat penuh lika-liku dan sama hebohnya dengan saat ini." Rayford bersandar pada konter sembari menuangkan sejumput kamomil ke tiga cangkir. "Ada begitu banyak hal yang ... katakan saja, perlu kuketahui kebenarannya. Lalu klanku mulai diakui sang Cortessor dan, sesungguhnya, itu tak berhenti sampai di situ saja. Meski begitu kekacauan mulai berkurang, hingga akhirnya teredam dengan sendirinya saat aku pindah kemari dan Caellan kembali mengurus pekerjaannya. Bukan berarti tak ada masalah sama sekali ... tentu saja ada, tetapi kami menanganinya dengan cara yang berbeda."
"Klanmu," tanya Eran dengan hati-hati, "apa bedanya dengan con Caltine?"
"Tak ada 'con' pada marga kami."
"Hei, aku serius."
"Aku juga serius." Rayford mendengus geli. "Dan, maksudku, itu berarti klan kecil kami berusaha untuk membelot keluar dari bayang-bayang con Caltine. Semoga suatu saat berhasil."
"Jadi sebenarnya kalau kalian tak membelot, kau adalah seorang con Caltine?" tanya Eran memastikan, dan saat Rayford mengangguk enggan, gadis itu menggeleng takjub. "Woah. Aku ... aku terlibat dengan tim seseorang yang begitu hebat."
"Apa karena aku seharusnya seorang con Caltine?"
"Bukan. Kau, dirimu sendiri, yang menakjubkan," kata Eran. "Segala hal tentang dirimu yang kudengar membuatku merasa kau lebih keren daripada Alvaguer yang kutemui di pesta. Maksudku, ambisimu yang begitu besar untuk membelot dari dinasti yang telah mengakar begitu kuat di negeri ini ... dan klanmu yang masih kecil ... sungguh, aku amat takjub dengan kegigihanmu mempertahankan itu semua setelah berbagai hal yang menimpamu."
Pipi Rayford merona. "Aku berusaha melihatnya melalui sudut pandang seorang Guru." Ia berdeham. "Setiap cobaan yang datang pasti adalah ujian dari Tuhan untuk menguji kecakapan kita. Kalau aku tetap gigih dan tak menyerah ... aku yakin aku bisa mencapai apa yang kuinginkan. Atau, kalau tidak, maka Tuhan mengarahkan aku kepada sesuatu yang lebih baik."
"Kalian para Guru memiliki pandangan yang begitu positif dalam hidup, ya?" Eran mengangkat alis. "Kualitas yang cocok untuk para pembelot dinasti raksasa yang kejam!"
"Kau ini ... tidak semua Cortessian seperti itu, kau tahu? Tremaine yang tengah kita tolong adalah klan yang baik! Kau akan segera tahu, dan itulah pentingnya kau belajar, Eran. Ada pihak-pihak yang perlu kaubela di antara kepungan musuh."
"Yah, bukankah kau menyuruhku untuk belajar dengan pelan-pelan?"
Rayford merasa sedikit janggal dengan kenormalan pagi itu. Entah bagaimana, posisi Kamilla yang tergantikan oleh Eran terasa begitu natural, sampai-sampai pagi ini terasa seperti pagi-pagi yang telah lewat sebagaimana biasanya. Kehadiran Kamilla kemarin justru membuat gempar, dan mendapati ketiadaan Eran di antara mereka justru membuat resah.
Bukankah begitu? Apa kau juga merasakannya, atau ini hanya dirasakan oleh ketiganya yang memilih untuk menyimpan di dalam hati saja?
Rayford mengira ini semua karena Caellan yang berulang kali mengafirmasi bahwa Eran adalah gadis yang lebih tepat untuk berada di tim.
"Oh ya," Jamen menyentak lamunannya. "Aku lupa. Kamilla kemarin menitipkan bukunya kepadaku." Pria itu beranjak dari kursi, buru-buru masuk ke kamarnya dan kembali dengan sebuah buku saku kecil. Rayford mengingatnya sebagai buku yang dibawa-bawa Kamilla saat mengumpulkan informasi ke kediaman Profesor dulu. "Ini untukmu, Eran. Kau barangkali membutuhkannya."
"Oh, terima kasih." Eran menerima pemberian itu dengan sukacita, lantas membuka-bukanya dengan penuh ketertarikan. Kalau dilihat-lihat, gadis itu juga sama sekali tak merasa bersalah atau sungkan untuk posisinya yang menggantikan pemilik buku itu.
Tunggu. Rayford mengernyit pada dirinya sendiri. Kenapa pula Eran harus merasa demikian?
"Aku sepertinya mulai memahami sesuatu, tetapi aku akan bertanya nanti saja," gumam Eran. Ia menyimpan buku saku itu ke kantong sweaternya dan melanjutkan sarapan. Tinggal beberapa suap lagi untuk menandaskan sereal di mangkuknya.
"Kita pergi ke pondok Tuan Rikarden setelah ini?" tanya Jamen, yang disambut dengan anggukan Rayford. "Kalau begitu kita harus bergegas. Aku sempat bertemu dengan Tremaine bersaudara di pesta lalu dan mereka mencarimu. Tetapi karena tak menemukanmu, maka mereka bercerita sedikit kepadaku; Tuan Rikarden akan dirawat sementara waktu ke kediamannya di Nordale. Mereka ingin kau menjenguknya ke sana, tetapi karena kita masih berada di sini ... kenapa kita tidak membantunya berbenah sekalian?"
"Sungguh?" Rayford mengangkat alis. "Tentu aku akan membantunya. Apa Kamilla juga tahu soal itu?"
"Ya, tetapi dia tidak sempat mengatakannya kepada kita." Jamen membersihkan rempahan roti di meja, meraih gelas susu dan menandaskannya, lantas beranjak. "Nah, mengapa kita tak bersiap-siap sekarang? Segeralah mandi, teman-teman! Biar kubereskan ini semua."
"Oh, biar kubantu, Jamen."
"Tak apa, Manis." Jamen tersenyum sumringah kepada Eran. "Kau olesi saja luka-lukamu lagi. Berberes sudah menjadi tugasku sehari-hari."
Maka ketiganya beralih ke rutinitas masing-masing. Jamen sudah hapal betul kebiasaan Rayford yang suka menepi ke toilet selama hampir tiga puluh menit selepas sarapan. Namun, waktu yang dihabiskannya kali ini sudah pasti lebih lama. Ia menenteng kotak obat.
Rayford mengisi bak mandi, berpindah ke depan kaca wastafel, lantas memandang bayangannya dengan lekat-lekat. Oh, lihatlah wajah itu ... Kapan terakhir kali dia mendapatkan luka sayatan di wajah? Satu-satunya bekas luka yang bertahan sepanjang masa adalah sayatan tongkat mendiang Kamitua di rahang kiri, dan kini bertambah lagi di tepi pipi kanannya. Rayford melabur salep ke sekelilingnya dan berjengit kecil. Lukanya kecil, namun begitu dalam. Bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan cepat dan terampil.
Buset. Kapten veiler itu tidak main-main.
Dan memikirkannya membuat Rayford kembali teringat akan beban lain yang perlu ditanggungnya saat ini. Penculikan Kamilla seolah tak ada apa-apanya dibanding risiko yang ditanggung kalau memulangkan Eran kepada Erfallen.
Tahu apa gadis itu soal Erfallen? Apa dia tahu alasan mengapa Erfallen menjadi klan tertinggi kedua di dinasti, padahal dahulu Erfallen adalah klan pendatang? Apakah dia juga tahu mengapa Erfallen lebih tinggi derajatnya ketimbang klan Alvaguer, klan Cortessor saat ini?
Tahukah Eran jika U'mbrate—vehemos yang menaungi Erfallen dan Covalen—adalah salah satu vehemos terkuat di Cortess yang menganggap Par, monster penyebab mimpi buruk, tak lebih dari seorang badut?
Demi Tuhan, gadis itu awalnya cuma rakyat jelata yang kebetulan pernah tersandung Argent dan nyaris diperkosa. Apa bedanya Eran dengan Rayford, murid perguruan terpencil yang juga tersandung perbudakan di masa muda, dan tahu-tahu terungkap identitasnya sebagai bagian dari dinasti penjajah Nordale?
Rayford melepas baju dengan helaan napas besar. Masih banyak luka yang perlu dioles salep sebelum mandi. Dan, selepas itu, dia akan mengoleskan lebih banyak lagi salep.
Omong-omong, mari kembali ke bahasan tentang Eran. Semalaman Rayford memikirkannya hingga menyadari sesuatu. Gadis yang lebih muda lima tahun darinya itu seperti perwujudan sempurna dari—
"Ray!" Eran mengetuk pintu. "Obat salepku sudah habis. Apa kau masih punya cadangannya? Jamen tak menemukannya di kotakmu!"
Rayford membuka pintu, mengejutkan gadis itu dengan penampilan yang tak diduganya. Meski demikian Eran sama sekali tak mengalihkan pandangan. Matanya tak berkedip saat menyadari Rayford tengah bertelanjang dada, dengan salep yang tengah dioleskan ke pundak kanannya. Rayford menyerahkan satu botol kecil yang belum dipakai.
"Hei, ini." Rayford mengayunkan botol di depan wajahnya. Sadar bahwa Eran tengah mengawasi tubuhnya tanpa kedip, Rayford berusaha menutupi dengan malu. Bagaimana bisa gadis ini menatapnya dengan begitu vulgar?
Eran mengerjap, lantas menunjuk punggung Rayford. "Bekas apa itu? Apakah Judan yang membuatnya?"
Rayford, mendapati bahwa Eran ternyata tidak memiliki niatan seperti dugaannya, menjawab dengan tersipu. "Oh, bukan. Ini ... bekas cambukan dari mendiang kamitua pengasuhku dulu."
Eran menatapnya dengan senyum lebar. "Begitu indah!" pujinya. "Dan aku jadi teringat Papa. Oh, betapa aku merindukannya."
Rayford spontan meraba punggungnya dengan kernyitan. "Ayahmu juga memilikinya?"
"Ya, sebab beliau amat bandel di masa mudanya." Eran terkekeh, meski matanya mulai berkaca-kaca. "Ahh, sepertinya aku akan menelepon orang tuaku setelah ini."
Rayford tersenyum. "Lakukanlah," katanya. "Jangan sampai mereka bertanya-tanya apa yang sedang kaulakukan sekarang."
"Oh, tenang saja. Mereka mengira aku masih sibuk menjadi sekretaris keluarga Caltine. Heh, bagus sekali peran yang diberikan Caellan kepadaku, bukan?" kata Eran, dan selama sesaat gadis itu termenung. Ia sepertinya akan mengatakan sesuatu, namun urung karena menyadari air bak mandi di belakang Rayford mulai tumpah. Eran pun menyingkir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro