Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36. Keputusan Ketua

Note:

Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.

Selamat membaca!

---------------------------

"AH!"

"Maaf!"

"Tidak, tidak. Aku yang menimpamu." Rayford mengerang. Ia bersusah payah beranjak sementara kedua lengannya belepotan darah seperti Eran kemarin. Gadis itu buru-buru bangkit dan tertatih menuju kamar Rayford.

"Apa yang bisa kuambilkan untukmu?"

Rayford menyusul dengan sempoyongan. "Ah, semua obat oles di situ—bukan, sampingnya. Nah. Perban. Apa lagi? Oh, kapas dan air ... ya Tuhan, ini perih sekali."

Sementara Eran dengan panik mengambilkan sebaskom air, Rayford berbaring di kasur dengan jantung berdentam-dentam. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia dihantam hingga berbekas luka! Biasanya dia bisa menyembuhkan sendiri luka di sekujur tubuh, atau sekadar menahannya dengan mengeraskan kulit, namun Judan bukanlah sekadar pengawal. Dia tentu takkan menjadi kapten para veiler kalau kemampuan bertarungnya biasa-biasa saja. Dia meninggalkan belasan sayatan yang tak bisa disembuhkan sendiri dalam waktu sehari saja. Dia jauh lebih gila daripada Eran yang bisa menertawakan rasa sakit.

"Sungguh, ada apa denganmu?" keluh Eran saat memasuki kamar. Ia mengikuti instruksi Rayford untuk membersihkan lukanya.

Rayford, tak disangka-sangka, justru terkekeh pelan. Eran sempat berhenti mengelap darah yang merembes saat kekehan itu tumbuh menjadi tawa, namun itu tak bertahan lama. Rayford mengerang lagi karena tawanya menyakiti ujung bibirnya yang sobek.

"Kenapa kau malah tertawa?"

Rayford mendesis saat mencecap darah di bibir. "Yah, aku ingin mencoba bagaimana rasanya menjadi dirimu, yang saat terluka begini pun masih bisa tertawa."

Eran mendengus. "Oh, aku melakukannya untuk meringankan rasa sakitku. Aku benci berlarut-larut mengaduh."

"Aku tahu sekarang." Rayford mendesah. "Kami memang membutuhkanmu. Sekumpulan orang bodoh nan emosional di tim takkan bisa mencapai Fortier bahkan hingga sepuluh tahun lagi, kukira."

Eran menggeleng pelan. Seutas senyum terpaut di wajahnya yang penuh penyesalan. "Tapi Kamilla ... aku sudah menyinggungnya."

"Aku menyuruhnya pulang."

"Ya—apa?"

"Dia mengecewakanku. Apa yang kuharap?" ujung bibir Rayford berkedut. Untuk kesekian kalinya dia menghela napas. "Dua kali. Dan aku sadar ini bukan misi sesederhana menangkap penjahat seperti para polisi. Kita menghadapi sebuah dinasti, dan entah siapa yang melukai Profesor. Belum juga hal-hal yang lain. Aku tidak ingin keberadaannya menyeret kita semua dalam kekacauan lebih besar lagi."

"Oh, aku senang kau berpikir seperti itu," kata Eran lega. "Dan ... kau perlu tahu kalau aku tidak membenci Kamilla seperti itu. Aku hanya ingin dia benar-benar menempatkan pikirannya dengan tepat, dan ... kau tahulah."

"Memang benar. Kuminta ia agar menjaga Profesor saja," kata Rayford, lantas terdiam sejenak. "Lagipula, aku tidak mengatakan ini kepada siapa pun, dan akan kuberitahu kepadamu sekarang ... kalau ada kemungkinan mati meski kita menang."

"Sebesar itukah risikonya?"

Rayford mengangguk pelan. "Kita menghadapi bahaya besar. Karena itu aku terkesima denganmu yang bersikap begitu realistis hingga tak takut dengan kematian, bahkan memilih cara yang menurutmu paling damai—sementara itu jalan yang paling riskan menurutku. Tapi kualitas macam itulah yang amat kubutuhkan sekarang. Aku butuh pengingat akan apa yang sedang kuhadapi."

"Nah. Pada akhirnya, kita memang akan mati, bukan?"

"Setidaknya mati sebagai pahlawan."

Eran tertawa. Mati sebagai pahlawan? Kau harap!

Rayford memandang gadis itu dengan heran. "Kau ini memang sinting. Bagaimana bisa kau tertawa?"

"Hei, kau juga tertawa sekarang!"

Selama sesaat keduanya terkekeh, hingga Rayford tak sengaja memperlebar luka di ujung bibirnya lagi. Dengan desis kesakitan ia menghentikan tawa, lalu meminta Eran untuk meneruskan pengobatan di luka-luka sayatan. Selama sesaat obrolan mereka terhenti, kecuali Rayford yang menunjukkan sisa-sisa darah yang belum dilap dengan bersih.

"Omong-omong," kata Rayford, setelah beberapa menit yang senyap.

"Ya?"

"Aku minta maaf ... lagi." Ia mendesah. "Tetapi rasanya meminta maaf saja tidak cukup. Eran, aku amat menyesal dengan apa yang lagi-lagi terjadi padamu. Kalau kau ingin pulang sekarang, aku pasti akan mengantarmu hingga ke pagar rumah, tetapi jujur saja aku sedang membutuhkan bantuanmu."

"Huh. Aku tak berniat pulang. Bukankah aku sudah bilang kalau situasinya masih riskan? Aku akan menuntaskan kontrakku dengan kalian dan kembali ke Erfallen setelah itu."

"Apa kau benar-benar ingin kembali ke sana?" tanya Rayford, dan saat Eran berhenti menandangi lukanya, ia menambahkan dengan pelan. "Bukankah kau ada trauma dengan Argent?"

Butuh waktu agak lama hingga Eran mengangguk dengan enggan. "Tetapi aku telah mendengar bahwa ia sibuk di Demania Raya dan tak pernah pulang ke Nordale kecuali untuk acara tertentu. Tak mungkin pula aku membelot dari mereka, bukan? Rasanya mustahil, Rayford ... jadi kupikir ... aku harus mengesampingkannya. Argent tidak mungkin masih mengingatku."

"Apa kau baik-baik saja untuk berkumpul dengan pria sebanyak itu?"

Eran menghela napas. "Tentu saja tidak."

"Kalau begitu jangan kembali," tukas Rayford. Eran menatapnya dengan bingung. "Pengadaan pesta besar Tremaine masih lama, sekitar lima bulan lagi. Pencarian pelaku yang menyakiti Profesor juga tidak segenting menyelamatkan komoditi para Tremaine, jadi kukira kita bisa mencarinya nanti, atau bahkan setelah para Tremaine memenangkan Fortier. Itu akan lebih mudah. Sehingga, selama rentang waktu itu, kita akan mencari cara agar kau bisa terhindar dari mereka."

"Rayford, itu mustahil."

"Tak ada yang mustahil, Eran." Dahi Rayford mengerut. "Buktinya aku masih bisa menghindari Aliansi Lima sampai sekarang."

"Ya, tapi lihat apa yang terjadi padamu," balas gadis itu, berusaha untuk tidak terdengar sengit. Ketika ekspresi Rayford mengeruh, Eran pun membasahi lap untuk mengusap noda di sekeliling luka-luka sayatan, sekadar mengalihkan perhatiannya. "Maaf, Rayford, aku tak bermaksud sok tahu, tetapi itulah yang terjadi."

"Akan selalu ada cara, Eran."

"Ya, aku tahu. Tetapi kita hanya manusia—atau setidaknya, asalnya—dan kita masih punya keterbatasan. Kita bukan monster yang bisa mengabaikan para manusia karena saking kuatnya. Kita bukan pula sang Cortessor, yang tahan banting dengan ancaman seribu Cortessian sekalipun."

Rayford menatapnya dengan muram. Ada binar kekecewaan di sana, seolah harapan yang berusaha dipertahankannya untuk terakhir kali akhirnya lenyap tanpa kesempatan lagi.

Eran mengawasi ekspresi Rayford dengan seksama. Ia tak bisa menahan senyum tipis yang terbit di bibirnya. "Sehingga ...," bisiknya, "kadang-kadang, satu-satunya cara yang tersisa adalah dengan memanfaatkan kesempatan."

"Apa maksudmu?"

"Edwen mengatakan bahwa aku adalah keluarganya." Rayford membeliak mendengarnya. Ini adalah informasi baru baginya. "Dan kukira, jika Edwen tahu bahwa ternyata aku pernah ditandai oleh ayahnya, maka aku bisa mengharapkan belas kasih Edwen. Atau hal lain, apa pun itu, pasti ada jalan untuk menghindari Argent, meski aku telah menjadi bagian dari mereka."

"Ya, tapi ... kalau kau bisa menghindari mereka seutuhnya, kenapa tidak?"

"Aku mengerti maksudmu." Senyum Eran melebar. Ia mengoleskan obat ke luka di sekujur lengan Rayford sekarang. "Tetapi, mari kita anggap tak ada cara selain yang sudah ditawarkan, maka itu berarti tak ada penghindaran. Sudah kubilang, kita hanyalah seonggok daging yang tak punya kuasa dan kecerdasan terbatas." Eran mengangkat bahu. "Sepertimu, yang ingin terlepas dari kekangan dinasti, tetapi selalu dibayang-bayangi oleh Alvaguer. Apa yang terjadi padamu sekarang hanya sebatas terkaman Alvaguer, bagaimana jika semua klan sekaligus?"

"Eran, apa kau lupa? Ada Tuhan. Tuhan memungkinkan segalanya, bahkan hal-hal yang tak tercapai oleh kita sekalipun."

"Ya, tetapi apa kau tahu persisnya apa kehendak Tuhan?" balasan Eran menyentak sang Guru Muda. "Kau menghendaki dirimu untuk terlepas seutuhnya, tetapi bagaimana jika jalan terbaik adalah menjadi bagian dari mereka, dan mengubah sesuatu di dalamnya? Rayford, itulah yang sebenarnya disampaikan oleh para Guru yang pernah kudengar di konservatori dekat rumah.

"Tetapi," tambah Eran dengan lembut. "Apa yang kudengar ... kukira itu ditujukan untuk kami, para rakyat Nordale, yang tak mampu melakukan apa-apa selain menerima kenyataan bahwa kita tak pernah mampu terlepas dari kekangan Dinasti Cortess. Kita diajarkan pasrah dari dulu. Hal yang berbeda boleh jadi hanya berlaku buat para Guru, yang barangkali memiliki kekuatan untuk mewujudkan sesuatu karena bantuan Tuhan lebih mudah kalian dapatkan. Apalagi kau seorang Cortessian, Ray. Kau punya hak dua kali lipat untuk berpikir demikian, tetapi tidak denganku."

"Baiklah jika kau berpikir demikian," balas Rayford. "Kalau begitu sekarang tatap aku, Eran, dan jawab pertanyaanku."

Gadis itu berhenti mengoles luka terakhir dan mengangkat pandangannya. Kedua matanya yang gelap mulai memucat, menunjukkan ciri fisik paling umum dari seorang pembawa sel monster. Kepasrahan terlihat jelas di sana, kendati Rayford yakin sekali gadis itu tidak mungkin sekadar menerima keadaan tanpa berencana. Seperti yang sudah Eran katakan, mengizinkan kekejaman terjadi bukan berarti tak ada perubahan yang bisa dilakukan.

Tetapi itu berlaku bagi Eran, bukan Rayford.

"Aku adalah ketua tim di sini, benar?" tanyanya, dan Eran mengangguk. "Dan kau telah mengatakannya; aku punya hak dua kali lipat untuk meneguhkan keyakinanku. Maka sebagai ketua tim, Eran, kau akan mengikuti rencanaku, dan aku menginginkanmu tetap di sini sampai aku menemukan cara agar kau tak terlibat."

Eran mengerjap. "Apa kau paham maksudku? Aku mengatakan ini juga demi keselamatan tim! Kalau Edwen tahu aku sengaja berlama-lama, dia akan mengirimkan Judan untuk menjemputku."

"Dia tidak berhak menjemput selama kontrak belum selesai." Desis Rayford. "Jadi berhenti protes, dan sibukkan dirimu untuk memelajari apa yang terjadi pada Tremaine."

"Oh, Rayford ...."

"Sudahlah. Aku tak mau membiarkan hal-hal seperti ini terus terjadi di sekelilingku, jadi menurutlah. Kau ingat siapa aku?"

Eran memutar bola mata, meski begitu bibirnya tak mampu menahan senyum untuk muncul kembali. "Duh ... baiklah. Dasar ketua tim."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro