35. Menerobos Markas
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
---------------------------
"Kenapa kau tidak menghentikan Eran?" Jamen menghardik Rayford. "Kau tahu dia mendengarkanmu!"
"Jangan mendesakku!" Rayford balas berseru. Jamen terhenyak saat Rayford menatapnya dengan amarah yang tertahan. Apakah Jamen tak melihat kantung hitam di bawah kedua mata pucat Rayford, atau gurat-gurat kelelahan di sekujur wajahnya yang tegang?
"Aku tahu, aku tahu. Aku juga tidak ingin Eran pergi ke sana karena—yah! Itu Erfallen! Pikirkan dengan realistis, kita sedang membicarakan salah satu klan terkuat Cortess yang dilindungi vehemos tertua mereka, dan seandainya kau lupa, monster itu sama sekali tak bergerak untuk melemparmu bolak-balik ke dinding!"
"Yah, tapi kita punya Kamilla sekarang. Kau tidak sendirian untuk membawa Eran pulang!"
Rayford mengerling pada gadis yang terkesiap itu. Seandainya Rayford tidak mengingat-ingat kekesalan Eran yang tumpah-ruah bagaikan doa rapalan di benaknya, Rayford mungkin akan memaksa Kamilla untuk membalas kebaikan Eran untuknya.
Sayangnya, Rayford tak bisa memikirkan hal benar selain ucapan Eran, dan ini membuatnya gusar.
"Apakah kau mau melakukannya?" Rayford bertanya dengan lirih. "Maukah kau datang bersamaku ke tempat Erfallen dan menjemput Eran lagi?"
Kamilla masih takut menjawab, cukup untuk mendorong Rayford menghela napas besar. Ia menoleh kepada Jamen, "Lihat?" katanya, merasakan denyut perih di dadanya lagi. "Erfallen tidak main-main, Jamie. Mereka tidak seperti Vandalone, yang meski ditakuti, tetapi tidak mengontrol negeri ini."
Jamen mengumpat. "Kalau begitu pikirkan cara lain! Kalau tidak, bodoh amat, aku akan cari cara ke Erfallen sekarang."
Rayford tak menggubrisnya. "Aku tidak akan memaksamu lagi, Kamilla. Kembalilah ke Elentaire sekarang."
"A-aku tidak bisa. Aku harus menebus kesalahanku ...."
Rayford beranjak. "Kalau begitu rawat Profesor. Pastikan dia baik-baik saja, dan kalau dia tahu sesuatu tentang penyerangnya, sampaikan kepadaku."
"Setidaknya bawa seorang dehmos bersamamu, Ray," ujar Kamilla kalut. "Kau sedang menantang Erfallen."
Alih-alih menjawab, Rayford menyelinap ke kamarnya sendiri, kemudian menyibukkan diri dengan memasukkan beberapa botol obat ke sakunya. Ia berkata selepas meninggalkan kamar: "Aku membawa Tuhan bersamaku." Ekspresinya yang muram perlahan lenyap, digantikan seutas senyum penuh penyesalan. "Kalau Eran berani menyambut kematiannya, bahkan memilih caranya, kenapa tidak denganku? Aku malu sekali untuk menganggap diriku sebagai seorang Guru Muda sekarang."
Kemudian, sebelum Rayford benar-benar menghilang dari pandangan mereka, matanya tertuju pada Jamen. "Kalau aku tidak kembali dalam tiga hari, pulanglah kepada Caellan dan ceritakan segalanya."
Jamen menelan ludah. "Baiklah."
"Dan antar Kamilla pulang setelah ini."
"Oh, Ray ... aku teramat menyesal. Aku akan selalu mengingatnya."
"Aku tahu. Dan aku juga menyesal karena tak bisa memercayaimu untuk bergabung dengan kami lagi," kata Rayford, meninggalkan Kamilla terbengong-bengong di tempatnya. Selebihnya Rayford tak tahu lagi, sebab udara memadat di sekelilingnya dan tubuhnya melumat ke ruang kosong.
Ketika Rayford menginjakkan kaki lagi di suatu tempat, suhu dingin menusuknya.
"Oh!" giginya bergemeletuk. Ia lupa musim semi di Nordale terasa bagaikan musim dingin kedua, dan Erfallen ... bukankah mereka semua adalah keturunan U'mbrate, sang monster bayangan, yang tinggal dalam tiap sudut gelap yang dingin dan tak tersentuh matahari? Rayford memerhatikan sekelilingnya yang begitu pekat. Bukankah seharusnya sudah jam sembilan pagi di Nordale? Itu, kalau tempat ini memang di Nordale. Sejauh mata memandang, Rayford hanya melihat puing-puing pilar dan air mancur kering di depannya. Debu dan kotoran sebesar gumpalan salju turun bagaikan hujan, dan aroma besi terpanggang tercium samar. Rayford memicingkan mata, berusaha terbiasa pada sinar matahari yang nyaris tak mampu menembus awan-awan pekat yang menggantung rendah di atas kepalanya.
Tempat apa ini? Rayford bisa datang kemari karena berusaha menghubungkan dirinya dengan sel Par di tubuh Eran. Ia sama sekali tak mengira akan mampir ke tempat yang lebih mengerikan daripada rumah abangnya sendiri.
Rayford baru saja melangkah beberapa kali, saat menyadari kemunculan gelayut asap di sekelilingnya, yang segera memadat menjadi sosok-sosok tinggi berjubah asap, persis seperti para pengawal di pesta lalu. Rayford sontak waspada, tetapi para veiler tidak bergeming. Mereka hanya berdiri di tempat bagaikan roh pilar-pilar yang telah tumbang. Satu-satunya pergerakan hanya datang dari arah seberang Rayford; seorang pria di pertengahan usia empat puluhan muncul, caranya melangkah seolah-olah ia telah menanti kedatangan Rayford sembari diselubungi kegelapan sudut.
"Tunggu." Rayford langsung mengangkat tangan. "Tunggu sebentar. Aku tidak sedang mencari masalah."
"Setiap pencari masalah selalu berkata demikian." Pria itu tersenyum dalam lengkungan bibir yang aneh, seolah ia tak diciptakan untuk tersenyum. Berbeda dengan pasukan veilernya, ia justru mengenakan jas berekor merah pekat, membuat Rayford seketika yakin pria ini memiliki posisi di Erfallen. Kebanggaan yang tersemat di bahunya—apakah dia seorang kepala pengawal? Tangan kanan seorang kepala keluarga? Atau, ah, jangan-jangan dia kapten veiler yang menyamar menjadi Jamen!
Pria itu mengangkat hidungnya dan mengendus sesuatu. "Aku heran bagaimana kau bisa ke sini, Rayford ... dan aku begitu telat untuk menyadari bahwa ternyata aroma aneh di tubuh Eran ternyata berasal darimu. Ada aroma ... pemberontak." Matanya berkilat saat mengatakannya, membuat Rayford nyaris saja mengambil langkah mundur. "Mau menculik Eran dari kami?"
"Aku tahu apa yang terjadi," kata Rayford tegang. "Aku tahu betul Eran adalah milik U'm—"
"Tuan U'mbrate."
Rayford menelan ludah. "Aku tahu etika, dan aku paham betul siapa yang sedang kuhadapi. Aku hanya ingin meminjam Eran."
"Apa?" Judan mendengus.
"Demi Tuhan, Eran sedang mengikat kontrak dengan klanku," Rayford berkata. Ia mengacungkan bagian dalam pergelangan tangannya, menunjukkan sedikit tanda Par yang mengular samar di sepanjang lengan kanannya. Judan mengangkat alis. "Dan kalau ia tidak memenuhinya sampai kontrak tuntas, maka ada harga yang harus dibayar, barangkali di tangan tuan kami pula. Kau tak menginginkan itu."
"Par, eh?" Pria itu menyeringai. "Si badut yang selalu mengganggu tuan kami U'mbrate, dan kini bergantung pada Anthoniras Alvaguer," katanya sembari mengedarkan pandangan ke para pasukannya. Rayford berani bersumpah, suara kekeh geli para veiler akan membawa mimpi buruk ke waktu-waktu tidur Rayford kelak. Tawa mereka melengking dan tipis, memekik dan menusuk kuping, namun anehnya cukup rendah untuk membuat bulu kuduk Rayford merinding.
Apakah mereka sepasukan roh?
"Asal kau tahu." Rayford masih tidak menyerah. "Kontrak ini juga terjadi atas kehendak Flarteus Cortess, karena kami sedang menyelesaikan permasalahan melawan Fortier. Aku takkan membeberkan lebih dari ini." Rayford tahu, menyebut nama Flarteus sudah cukup menyentil setiap orang yang mengenalnya. Pria ini sudah pasti tahu siapa Flarteus, dan keangkuhan di wajahnya seketika lenyap, berganti ekspresi yang tak bisa diterka Rayford. Yang jelas perpaduan antara kesal, bingung, penasaran, sekaligus tertarik.
"Aku janji aku akan mengembalikan Eran kepada kalian setelah semua ini selesai, atau tergantung apa keinginan tuan kalian."
Seharusnya Judan menyanggah, tetapi rahangnya masih terkatup rapat. Setelah berdetik-detik yang terasa seperti satu jam, ia mengedikkan dagu kepada Rayford. "Biarkan dia masuk."
Rayford kira para veiler akan mencengkeramnya dan menggiring masuk, ketika kenyataannya mereka kembali melebur menjadi asap dan hanya meninggalkan sang kapten. Ia membalikkan badan dan Rayford cepat-cepat membuntutinya.
Kabut demi kabut menyibak, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah lapangan kosong beralaskan daun-daun kering kecokelatan. Ada monumen air mancur yang lebih besar lagi, kali ini masih berfungsi, kendati air yang terpancar berwarna kelabu kotor menjijikkan. Debu-debu dan kotoran tipis mengapung, anehnya berpadu indah dengan tanaman serupa teratai kecil, berkuncup tajam dan seputih salju.
Sang kapten mengibaskan jemarinya pelan dan kabut kelam terempas dari hadapan Rayford. Ia terpukau mendapati sebuah bangunan menjulang tepat di depannya, tak percaya bahwa kabut mampu menyembunyikannya. Kira-kira setinggi empat lantai, bangunan gelap yang nyaris tanpa ornamen itu serupa tugu pengenang kematian pahlawan dari ribuan tahun lalu. Pilar-pilarnya bersudut tajam, dengan lekukan menjorok ke dalam sepanjang dinding sebagai satu-satunya unsur keindahan dari bangunan yang amat membosankan dan mencekam ini. tak ada daun, hanya batang-batang sulur dengan ribuan ranting merekah yang merambati sekujur bangunan dan teras.
Bendera raksasa hitam beraksen poppy merah digantung dari atap, mengelepak lembut ketika angin tanpa arah menerpanya. Pada saat yang sama pula Rayford merasakan tubuhnya menggigil. Ia cepat-cepat mendaki tangga, melewati teras paling lebar yang pernah dilaluinya, dan mengikuti sang kapten memasuki bangunan yang tak kalah gelap.
"Apa kalian terbiasa hidup tanpa cahaya?" Rayford tak kuasa untuk bertanya.
Judan menyeringai. Ia mengibaskan tangannya sekali lagi dan seketika seluruh lilin dalam sangkar menyala. Mereka berkelompok, serupa kotak-kotak kaca lilin di sepanjang kediaman Caltine, namun masih dalam kepekatan hitam yang menjemukan. Nyala apinya besar, setidaknya tak memerlukan penerangan tambahan untuk tahu apakah di depannya ada lubang perangkap atau tidak.
Rayford mendongak. Tiap lantainya terbuka, dan semua beratapkan atap kaca di puncak gedung, yang masih saja tak mampu ditembus cahaya matahari secerah apa pun, kecuali akan terbiaskan sebagai sinar lemah serupa di puncak musim dingin. Namun bukan itu yang membuatnya terbengong-bengong. Berbagai benda rusak—pigura pecah, serpihan kaca besar, kaki lemari yang patah, pipa-pipa berkarat—melayang-layang setinggi empat lantai. Asap hitam tipis bergelung di sekitar, yang bergerak-gerak dalam irama janggal, sesekali melebur dan muncul kembali, namun Rayford tak paham apa gunanya.
Judan membawa Rayford melewati serangkaian tangga naik turun dan beratus-ratus lukisan U'mbrate dalam berbagai rupa—dan ini yang paling mengerikan; mengetahui sosok vehemos itu dalam tubuh manusia, dengan kulit selegam arang dan mata sekelam kematian. Rayford baru saja akan menduga bahwa pria ini sedang menjebaknya, ketika ia mendorong pintu kesekian, dan tampaklah Eran di dalam ruang luas dengan sejumlah veiler mendampingi. Salah seorang sedang bersalaman dengan gadis itu dan Eran menjabat dengan senyum tipis.
Rayford belum berkata-kata, tetapi Eran sudah terperanjat duluan. "Apa yang kau lakukan di sini! Oh, tolonglah, jangan tambah masalahku!"
Rayford melotot malu. "Tidak!"
Judan mengejek. "Dia bilang kau sedang mengikat kontrak dengan klannya, Eran, dan kalau kau meninggalkannya, kau akan dalam bahaya."
Eran menelan ludah. "Um, ya."
"Kenapa kau tidak bilang?" nada pria itu niscaya membuat Rayford mengira Eran sudah bersahabat dengannya. Bukankah dia seharusnya yang menyiksa Eran kemarin? Bukan? Rayford mendadak tak paham tentang apa yang terjadi. "Sayangnya, satu-satunya yang berhak memutuskan hanyalah Tuan Muda." Ia menghela napas. "Aku hanya bisa sejauh memberikanmu peringatan."
Eran mengerjap. "Kalau begitu aku boleh menyelesaikan kontrakku dulu, Judan?"
"Oh, terima kasih," Rayford menyahut. Mari segera selesaikan. Ia tak betah berlama-lama di tempat ini.
Judan tersenyum tipis kepadanya. "Tak masalah," katanya. "Hanya kalau kau berhasil mengalahkanku."
Rayford kalah cepat saat Judan tahu-tahu melontarkan gelombang Energi. Pria itu terhempas hingga ke pilar terdekat. Eran nyaris saja ikut campur, tetapi serangan Judan mengingatkannya akan beribu hantaman dari para veiler kemarin. Lagipula tubuhnya masih nyeri di sana-sini. Ia hanya mampu menyaksikan Rayford bangkit dengan susah payah, kendati cukup cepat untuk menghindari serangan lain yang mampir ke pilar sandaran.
Rayford berguling. Judan menoleh, mengangkat tangan dengan bola asap hitam bergelung di telapak. Saat sang kapten menerjangnya, Rayford menghalau dengan kesepuluh bilah tulang yang tumbuh dari jemarinya. Muncul percikan. Judan mendorongnya, walau Rayford telah melompat menjauh duluan dan melemparkan potongan bilah tajam. Judan spontan mengibaskan tangan dan bilah-bilah tajam itu menancap ke segala arah. Seorang veiler mengumpat saat sebuah bilah nyaris merobek lengannya.
Oh, tidak. Kalau para veiler berniat ikut bergabung, maka Rayford takkan memenangi perkelahian ini! Eran dengan penuh konsentrasi mengawasi pergerakan kedua orang di aula, bergabung dengan belasan veiler yang menonton dari sudut-sudut ruangan.
Seorang veiler di dekatnya berbisik, "Itukah Caltine?"
Eran sesungguhnya enggan untuk menjawab, namun ia tak punya pilihan. Para veiler ini tak boleh dijadikan musuh lagi. Maka ia mengangguk ragu.
Respon veiler lain membuat Eran sedikit terkejut. "Lihatlah dia, pantas saja Petre bisa tewas."
Eran mengatupkan bibir untuk menahan senyumnya. Yah, Rayford memang kuat.
Dan, tepat saat itu, Judan melancarkan serangan lain yang tak bisa ditangkis Rayford. Ia terhempas sekali lagi ke sisi lain ruangan, melewati bermeter-meter jauhnya dan terdengar suara keretak menyakitkan yang keras. Senyum Eran melenyap dan para veiler di sekelilingnya sontak ber-ooh.
Gawat.
Eran tak bisa membiarkan Rayford mengalami apa yang dialaminya kemarin—astaga!
Apa yang ditakutkannya terjadi. Judan memanfaatkan kelemahan Rayford dan melebur ke hadapannya, melontarkan juluran asap tajam yang menyayat-nyayat kulitnya. Rayford mendesis kesakitan, dan meski ia telah mengeraskan sekujur kulitnya menjadi serupa tulang, muncul retakan-retakan pengganti lebam.
O-oh. Eran tak bisa diam saja. Maka gadis itu melirik sekeliling, memastikan bahwa perhatian para veiler telah tersedot seutuhnya ke pembantaian kecil itu. Kebetulan sekali Judan tengah melempar Rayford ke sisi lain ruangan, maka Eran pun meleburkan diri ke tempat yang tertuju, dan muncul tepat sebelum tubuh Rayford menghantamnya.
Eran merenggut Rayford, melebur ke udara, dan mereka terlontar kembali ke penginapan. Erangan dan desisan kesakitan memenuhi ruang saat keduanya ambruk dengan keras.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro