34. Memilih Maut
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
---------------------------
7, Bulan Awal. Tahun 1938.
Hal pertama yang Eran rasakan ketika tersadar adalah tubuhnya yang amat kaku. Eran berusaha mengotot, sempat khawatir jika terperangkap sekali lagi pada kelumpuhan tidur. Sehingga, tatkala dia menggerakkan ujung jari dan menggeser sedikit kakinya, sekujur tubuhnya spontan berdenyut nyeri. Kedua matanya terbelalak lebar.
"Ya Tuhan," erangnya. "Oh Tuhan—oh!"
Eran bangun dengan susah payah. Giginya terkatup rapat-rapat dan desisan mengiringi setiap gerakan yang menyakitkan. Ketika kakinya menapak pada lantai, tubuhnya terkejut seperti disetrum. Astaga, Eran tak pernah merasakan nyeri dan kram separah ini!
Di atas itu semua, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi! Eran harus segera mengabarkan Rayford apa yang terjadi dan bergegas pergi dari sini. Meski Edwen telah mengatakan bahwa tak seorang veiler pun berhak meny-panya sebelum meminta maaf, tak menutup kemungkinan sang kapten Judan takkan tiba-tiba datang untuk meminta maaf sekaligus menjemputnya lagi. Sebelum kekacauan terjadi, ia harus menarik diri.
Bukankah Kamilla juga sudah ketemu? Seharusnya ... seharusnya tak masalah kalau Eran undur diri dari tim.
Eran membuka pintu dan, sesuai dugaannya, semua mata langsung tertuju padanya. Rayford dan Kamilla duduk berhadapan di meja makan, sementara Jamen berada di samping mereka, berdiri sambil melipat tangan. Hanya satu lampu gantung yang dinyalakan membuat Eran tak mampu melihat jelas apa yang tengah terjadi, selain wajah-wajah kusam berminyak yang terpantul cahaya lemah lampu. Aroma kecut keringat dan masakan beraroma bawang menyengat berpadu lengket pada kungkungan udara yang pengap.
Jamen menegakkan tubuhnya terperangah. "Eran!"
"Hei." Eran menghampiri dengan tertatih-tatih. "Kenapa kalian tidak tidur?"
Alih-alih menjawab, semua terdiam. Eran menyadari situasi janggal itu ketika sudah mendekati meja makan. Ia tak segera menarik kursi yang kosong, melainkan menambatkan pandangan pada Kamilla yang tertunduk dengan bahu gemetaran.
"Hei, mengapa kau menangis?" Eran akhirnya duduk, dengan sedikit desisan saat tak sengaja membenturkan lututnya pada kaki meja. Rayford refleks meraihnya, namun Eran menampik dengan sopan. "Aku tak apa."
"Kau seharusnya tidak bangun dari kasur."
"Aku sudah merasa jauh lebih baik. Sungguh, ada yang lebih penting daripada itu," kata Eran. "Dan mengapa Kamilla menangis?"
Masih tak ada jawaban. Eran nyaris saja menggertak, karena orang-orang ini telah membuang setiap detik yang berharga. Jamen pun dengan cepat menyelamatkan situasi itu. Suaranya tercekat saat berkata-kata, "Kamilla mengkhianati kita." Ada jeda sejenak selepasnya, diikuti reaksi Eran yang serta-merta mengangkat alis. Karena tak ada sanggahan dari kedua rekan yang lain, Jamen menambahkan, "Kamilla selama ini tidak diculik. Dia minta diselamatkan oleh para Cortessian sendiri. Maksudku, Cortessian yang di Aliansi Lima. Mereka mengambilnya saat pertikaian kami dengan Fortier di awal itu."
Gadis yang seharusnya terlihat paling bercahaya di ruangan itu kembali mengeluarkan air mata. Kulitnya lama memucat, matanya bengkak, dan Eran terpukau dengan wajah jelita Kamilla yang kini carut-marut karena telah menangis berjam-jam. Bahkan mungkin semalaman.
Eran nyaris tak bisa memahami ucapan Kamilla yang tersendat-sendat dan serak. "Aku—aku teramat menyesal dan minta maaf kepadamu, Eran. Aku sudah mendengar semuanya dari Ray kalau kau mengambil risiko untuk mencariku di pesta lalu. S-sungguh, aku amat menyesal telah melibatkan orang asing yang tak mengenaliku sejak awal!"
Eran menatapnya dengan penuh penghakiman, kendati masih berusaha memasang senyum. "Kenapa kau melakukan itu? Kau seharusnya punya alasan bagus untuk meminta perlindungan kepada Cortessian."
Rayford, yang sedari tadi hanya menunduk lelah, mengangkat kepalanya seolah amat setuju dengan pernyataan Eran. Meski begitu, Kamilla amat ahli dalam menghancurkan sebuah harapan yang tersisa. Ia menggeleng pelan. "Aku ... tak kuasa! Sungguh, apa yang bisa aku lakukan saat menghadapi para Cortessian, apalagi anggota Aliansi Lima? Mereka mengutuk dan hidupku tak pernah tenang saat Rayford berhubungan baik dengan orang-orang tak penting sepertiku. Orang-orang di sekitar merundungku, mengatakan aku bodoh dan tak perhitungan, sementara aku hanya ingin membantu. Tetapi aku semakin takut. Para Cortessian, bahkan indukku sendiri ... mereka terus mengawasiku. Dan aku ... aku tidak bisa apa-apa."
"Bukankah aku sudah bilang?" Rayford menyahut dengan frustasi, membuat Eran refleks menghela napas. "Kau tidak sendirian, Kamilla. Aku melakukan itu dengan kesadaran penuh dan—"
Kamilla menangis lagi, lebih keras. Eran memutar bola matanya sementara tak ada yang mencoba menghibur gadis itu. Barangkali Rayford dan Jamen telah melakukannya, bergantian selama Eran tidur, dan kini mereka semua kembali menunduk dan menyangga kepala dengan tangan. Demi Tuhan, Eran baru saja bertemu Kamilla lima menit, tetapi perasaan jijiknya lebih besar daripada kecemburuannya terhadap gadis ini.
Heh. Kenapa pula ia harus cemburu pada gadis macam ini sekarang?
"Wah, seandainya kau tahu, Kamilla." Eran mengangkat kedua tangannya dan memerhatikan setiap goresan di kulitnya yang seharusnya semulus sutra. Sekarang ada belasan sayatan kecil yang perih dan menyakitkan, yang senantiasa menguarkan asap hitam tipis tiap Eran menggerakkan lengannya. "Kau tahu kenapa aku terluka begini? Karena aku menerima risiko untuk mencari petunjuk tentangmu di pesta lalu, mengekspos keberadaanku pada ... beberapa orang. Salah satunya menculikku kemarin sore, ke tempat para veiler."
Seisi meja menegang, dan Rayford yang paling merasakan hantaman rasa bersalah. Jamen pun menyahut, "Kenapa kau tak memanggil Rayford?"
"Sabar, dengarkan aku dulu!" Eran terkekeh, memesona ketiga orang lainnya karena gadis itu sempat-sempatnya tertawa di situasi yang amat muram ini. kedua pria sepakat dalam hati bahwa Eran memang sinting. "Mereka minta aku pulang ke Erfallen karena di sanalah aku seharusnya berada. Tentu aku tak bisa melakukan itu, karena aku masih terikat janji denganmu"—kata Eran saat menatap Rayford, lalu menoleh ke Kamilla—"dan aku masih belum tahu situasimu yang sebenarnya. Jadi mereka menyiksaku karena tak kunjung pulang ke sana. Dan, oh, mereka tahu tentangmu juga, Rayford. Karena itulah aku harus pergi dari kalian sekarang, sebab jika tidak, mereka akan datang kepadamu dan menghancurkan tim ini. Jadi beginilah, maafkan aku yang harus menyampaikan kabar buruk di sela kabar buruk lainnya, tapi ini penting sekali. Sayangnya, aku ternyata membahayakan diriku sendiri tanpa hasil." Eran menghela napas berlebih. "Terima kasih Rayford, dan juga Jamen, aku harus pergi setelah ini."
Ketika Eran beranjak, Rayford segera meraih lengannya. Eran mendesis kesakitan. "Eran, kau tidak bisa seperti itu. Duduklah lagi dan mari kita bicarakan ini."
"Apa kau lupa kalau sedang mengikat janji dengan Tuan Besar?" Jamen melolong. "Dia akan—oh, dia tidak main-main dengan penalti kalau kau mengingkari tim ini dan pindah ke Erfallen!"
"Caellan biar menjadi urusanku," kata Rayford gusar. "Menyerahkanmu ke Erfallen adalah hal bodoh, Eran. Kalau memperingatkanmu saja mereka sudah berbuat sejauh ini, apa jadinya kalau kau benar-benar bergabung dengan mereka?"
Eran rasanya ingin menangis lagi, tetapi dia tak mau menyaingi gadis goblok, cengeng, dan pengkhianat yang mematung di kursinya, berlumur rasa bersalah. "Yah, jalan apa pun yang kupilih, aku tetap akan mati, bukan?" ujarnya. "Tuan U'mbrate sampai saat ini sepertinya masih tak memedulikanku, tetapi sekalinya dia tahu dan marah, dia pasti takkan membiarkanku hidup. Kalau aku bergabung dengan Erfallen, Caellan akan menagihku. Kalau aku kembali ke orang tuaku, aku justru akan membahayakan keluargaku. Dan, kalau aku tak memilih semua, Erfallen yang akan menghabisiku."
Eran menggigit lidahnya sendiri saat mengucapkan kalimat terakhir. Sudah pasti itu takkan terjadi. Edwen mengatakan bahwa mereka adalah keluarga, tetapi apakah sang pewaris tahu apa yang sebenarnya terjadi antara ayahnya dan Eran?
Ketika ruangan itu menghening, Eran menambahkan dengan pelan. "Karena itulah aku memilih yang paling damai di antara semua. Sejak awal aku milik Erfallen, dan biarkan aku kembali ke sana. Bukankah kalian sudah lengkap bertiga? Ini tim yang memang direncanakan sejak awal, bukan begitu? Kalian bisa menjalankannya tanpaku."
"Eran, kami membutuhkanmu," kata Jamen cepat. "Kau punya Energi yang sangat membantu, dan tanpamu kami pasti masih duduk-duduk di sofa memikirkan ribuan cara untuk menyelamatkan Kamilla."
Ucapan Jamen niscaya membuat Kamilla semakin tertunduk malu. Eran senang melihatnya tenggelam dalam kubangan dosa sekarang.
"Eran?" kentara sekali bahwa Rayford mencoba tenang. "Kalau ada hal yang bisa kunasihatkan kepadamu sekarang, kuberitahu kalau mayoritas Cortessian membenciku dan Caellan, bahkan berusaha melenyapkan kami semua. Tetapi aku masih di sini, sekiranya baik-baik saja untuk sekarang, jadi hal yang sama akan terjadi padamu juga. Jadi tetaplah bersama kami."
"Nah, aku tak mau membagi masalahku dengan kalian semua," sergah Eran dengan sumpek, lantas melirik Kamilla yang tak berani menatapnya sama sekali. Eran memicing. "Lagipula, seandainya aku masih berada di sini, siapa tahu dia akan merusak rencanaku selanjutnya?"
"Eran. Sudahlah."
Eran melirik sinis kepada Rayford, lantas menghakimi Kamilla sekali lagi. "Maafkan aku karena mengatakan ini, tapi—wow, Rayford amat peduli kepadamu dan selalu memikirkanmu setiap hari, dan inikah cara yang kau pilih? Kalau kau memang ragu melakukannya sejak awal, kenapa tidak terbuka saja sejak Rayford mengajakmu? Apa yang menahanmu untuk menyampaikannya?"
Pertanyaan Eran sekonyong-konyong membuat Rayford dan Kamilla bertatapan, dan Eran amat membenci kenyataan bahwa semakin lama Kamilla menghabiskan waktu untuk merangkai jawaban, Rayford terlihat makin tersinggung. Pada akhirnya, pria itu menghela napas. "Kau tak perlu menjawabnya."
"Wow, sungguh?"
"Eran, sudahlah. Ini tidak akan selesai." Rayford mengusap wajahnya. "Dan kau, duduklah kembali, tolong. Tetaplah di sini dan kita akan menyelesaikannya bersama; masalahmu, dan juga misi Fortier."
"Oh, tidak. Terima kasih. Aku tidak mau bekerja bersamanya." Eran mendengus saat melirik Kamilla. "Ini masalah besar, dan kalau kau lebih memberatkan perasaan takut ketimbang melakukan sesuatu untuk mengatasinya, aku tak mau kerja denganmu."
"Eran, tolong maafkan aku—"
"Jangan minta maaf kepadaku. Minta maaflah ke Rayford." Eran tersenyum kecut. "Dan aku amat lega sudah mengatakannya. Aku benar-benar harus pergi sekarang. Ini urusanku dengan Erfallen."
"Eran!" Jamen beranjak, namun Eran segera mengangkat tangannya, seolah-olah akan menghempas Jamen seperti sedia kala. Tindakannya itu sontak membuat Jamen terhenti begitu saja, terbayang akan rasa sakit di punggungnya yang seolah tak pernah hilang saat mengingatnya lagi.
"Oh, Eran, tolong jangan pergi." Kamilla beranjak, bersiap-siap menyahut Eran, yang segera direspon dengan langkah mundur.
"Jangan mendekat, aku tak suka drama," ujarnya mengingatkan. Ucapannya cukup untuk menahan siapa pun bergerak mendekat, dan kendati Eran puas dengan ketaatan itu, dia tak bisa menahan kekecewaan yang bertunas subur di dalam hatinya. Ia menghela napas.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, gadis itu pun melebur hilang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro