25. Eksplorasi Energi
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
---------------------------
5, Bulan Fajar. Tahun 1938.
Jamen pasti sudah melakukan perannya untuk membimbing Eran yang, sayangnya, seharusnya menjadi tugas Rayford. Bagaimana pun juga dia yang membentuk tim. Tetapi, oh, tetapi, bisa apa Rayford sekarang?
Hari ini Kamis pagi. Sudah lima hari semenjak Eran bergabung dengan mereka, dan harus Rayford akui, ia tak mampu tidur dengan tenang. Eran tak mungkin bermalam di apartemen mereka terus-terusan, apalagi apartemen gadis itu juga tak jauh dari lokasi mereka, hanya sekitar dua puluh menit berjalan kaki. Pada malam-malam itu pula Jamen yang mengantar Eran pulang, sementara Rayford diam-diam akan menganalisa perbuatan Eran seharian. Apakah ada sesuatu yang mencurigakan dan berbeda dari kemarin? Jika benar, maka U'mbrate datang kepada Eran pada malam-malam tanpa pengawasan itu.
Dan, pada Kamis pagi ini, untuk pertama kalinya Rayford berpikir bahwa sebaiknya dia tidak ambil pusing lagi soal Eran Wilhart. Toh pada hari-hari itu pula sang gadis fokus mengolah Energinya sendiri. Pun, ini yang membuat Rayford tercengang sekaligus merasa waswas dan beruntung; gadis itu mampu meretakkan semua kaca jendela apartemen, memadamkan listrik tiga bangunan, dan menggerakkan bayangan Jamen sendiri untuk merasuk ke dalam dirinya. Ini semua bisa dilakukan hanya dengan segenggam kecil bagian U'mbrate yang menginangi tubuhnya.
Demi Tuhan, dengan Eran, pencarian Kamilla seharusnya bisa dilakukan dengan mudah! Saat Rayford tahu kemampuan Eran untuk menggerakkan bayangan seseorang yang diinjaknya, Rayford nyaris sekali mengajak Eran untuk ikut ke pesta yang akan dihadirinya. Tetapi, apakah dia lupa? Pesta itu mengundang seluruh anggota Aliansi Lima, dan puluhan Cortessian termasuk di dalamnya. Anthoniras juga bilang bahwa pewaris Erfallen akan hadir.
Sementara Rayford sibuk berpikir, pintu apartemen mengayun terbuka dan Eran merentangkan tangan. "Salaam, selamat pagi semua! Oh, mana Jamen?"
"Belanja," kata Rayford, agak tidak fokus karena masih terhanyut pada pemikiran akan pesta. "Ah, Salaam."
Eran menarik kursi di seberang Rayford. "Aku bawa roti isi untuk sarapan. Kau tak masalah dengan mayones, kan?"
"Aku tidak pilih-pilih," kata pria itu, masih tidak juga mengalihkan pandangan dari satu titik yang terus dipandangnya. Eran sadar betul jika ia sedang melamun, maka ia menjentikkan jarinya di depan wajah Rayford. Pria itu melotot. "Apa?"
"Jangan melamun, bukankah Jamen bilang kau adalah seorang Guru Muda?"
Rayford melongo. "Kapan Jamen cerita—hei, seberapa banyak dia cerita padamu?"
"Apa? Memangnya kenapa kalau aku tahu bahwa kau seorang Guru Muda? Bukankah itu menakjubkan?" Eran balas bertanya. Ia mengambil sebuah piring dan menghidangkan roti isi porsi Rayford. "Cobalah. Kalau kau menyukainya, aku akan memberi lebih. Aku membuat cukup banyak."
Rayford tak bergegas makan. Ia balik mengawasi Eran sekarang. "Kau terlihat begitu ceria," katanya, berniat untuk meneruskan bahwa Eran nampak sangat cerah kendati suasana sebenarnya masih muram.
Eran terkekeh. "Tentu saja, kau membebaskanku dari pekerjaan yang mencekik."
Rayford mengangkat alis. "Jangan bilang kalau sesungguhnya kau menyetujui misi ini karena ingin berhenti bekerja."
"Ah ... tidak juga. Itu hanya bonusnya saja. Bukankah sudah kubilang aku benar-benar ingin membantu? Manfaatkan aku dengan baik, Ray."
Rayford menggeleng heran. "Ya Tuhan, aku tidak pernah mengenal orang sepertimu."
"Ya, sekarang kau sudah bertemu aku, bukan?"
Rayford tersenyum masam. "Terima kasih sarapannya," tukasnya, lantas mencomot satu roti dan menggigit dengan cukup besar. Eran menantikannya dengan antusias sementara Rayford mengunyah lamat-lamat, merasakan suatu ledakan kecil yang menyenangkan dan lumer, memanjakan lidahnya yang akhir-akhir ini terlampau sering menyicip jahe pedas atau sup kental. Rayford memandang roti isi itu, membukanya, lantas menatap Eran dengan binar yang tak pernah ditunjukkan sebelumnya.
"Bagaimana? Kau menyukainya?" Eran tersenyum saat Rayford mengangguk cepat. Gadis itu dengan senang hati memindahkan dua potong roti lagi ke piring Rayford. "Habiskan itu dahulu dan akan kuberi lagi kalau mau. Dua potong saja sudah cukup bagiku. Dan apakah porsi Jamen sebanyak engkau?"
"Kalau aku makan empat, dia makan tiga."
"Oke, tiga untuknya. Masih ada sisa satu, kalau kau mau."
"Taruh di sini saja."
"Baiklah. Jadi apa yang akan kita lakukan hari ini?"
Rayford menikmati setiap kunyahan, nyaris lupa kalau Eran sedang bertanya padanya, kalau saja gadis itu tidak terus-terusan menatapnya dengan pandangan yang mengintimidasi. Rayford mengerjap. "Yah, latihan memfokuskan dirimu seperti biasa. Dan, jika kau bisa menguasainya hari ini dengan baik, aku akan mengajarimu untuk mengontrol Energi dengan teknik dasar."
"Oh, benar. Maafkan aku atas kaca-kaca yang pecah itu." Eran mengedarkan pandangannya ke jendela-jendela yang kini dipasangi plester untuk sementara waktu oleh Jamen. Untuk satu ini, mereka tak bisa menutup-nutupinya lagi, dan bagusnya Caellan mau mengganti biaya ruginya. Selama Eran bisa menguasai Energinya, kata Caellan lewat telepon saat itu. Eran makin menghormati sang Cortessian, tetapi tidak dengan Rayford yang menanggapi dengan masam.
"Tak masalah. Mari bicarakan soal pesta sekarang," kata Rayford sembari mencomot roti kedua. "Rencana awalnya adalah aku akan menghadiri pesta itu sendirian sebagai tamu, sementara Jamen bakal menjadi pelayan di sana ... oh, itu memang pekerjaannya sejak dulu, bahkan sebelum bertemu kami. Sudah dengar?"
Eran mengangguk. "Jamen sempat menyinggung kalau dia bertemu Caellan pertama kali di pesta."
Rayford sempat terdiam. "Mm, ya," katanya. "Dan untuk sementara ini kukira kau tak bisa hadir bersama kami. Aku khawatir gelombang Energimu akan mudah diendus oleh mereka. Maksudku ... akan ada banyak sekali Cortessian yang hadir, dan kemungkinan akan muncul para keturunan U'mbrate pula."
Eran menegang. "Erfallen? Covalen?"
"Mm-hm. Orang-orang yang sebaiknya kita hindari saat ini," kata Rayford. "Dan, karena kau akan menunggu di luar pesta—maka aku ingin kau mengawasi tamu-tamu yang berseliweran keluar masuk. Kau sudah mempelajari memori U'mbrate, bukan? Kau pasti akan mengenali beberapa wajah, dan ingat-ingat itu, sebab kau barangkali harus bersembunyi dari sebagian orang."
"Wah, apakah sesengit itu?"
Rayford mendengus. "Segalanya rumit."
"Baiklah, bagaimana dengan pengawal dan sebagainya? Kukira mereka pasti juga memiliki pengawal masing-masing."
Rayford tersenyum. "Soal itu, aku ingin kau menguasai satu hal lagi, dan aku sangat ingin kau menyempurnakannya."
Eran menyetujui dengan antusias. Maka mereka pun menandaskan sarapan itu hingga Jamen datang dengan dua kantong kertas yang penuh sesak. Sementara Eran membantunya menyimpan bahan makanan di lemari, Jamen memuji habis-habisan tiap potong roti isi yang disantapnya, sampai-sampai Rayford harus menantinya selesai sarapan dahulu agar bisa membawa Eran pergi.
Berbeda dengan sebelumnya, di mana Eran cukup menggunakan kamar Rayford untuk melatih fokusnya, pria itu kini membawanya mencari sebuah gang yang bersih, dan ini agak susah bagi mereka. Banyak botol berserakan, atau tumpukan boks kayu milik toko sebelah, atau sekadar pemulung yang mengawasi mereka dengan mata tajam. Satu-satunya gang yang tersisa terletak cukup jauh. Posisinya dekat persimpangan menuju Pelabuhan Paru, dan kendati waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi, gang itu teramat gelap.
"Ini cukup baik," kata Rayford, tetapi Eran tidak berpikir demikian.
"Segelap ini?" Eran terdengar ragu-ragu. Ia bergeming di ujung gang sementara Rayford menyusuri jalan sempit itu, sekadar memastikan hal-hal yang tak terduga.
"Apa kau takut? Mengingatkanmu pada malam itu?"
Eran melipat tangan. "Gang ini lebih sempit dan ... tak ada siapa-siapa."
Rayford mengangkat alis. "Justru itu yang kita perlukan. Kau akan menyaru dengan bayang-bayang, dan ini adalah tempat yang baik."
Rayford menanti Eran menimbang-nimbang sejenak hingga gadis itu menghela napas dengan pasrah. Ia menyusul Rayford dengan mata setia mengawasi balik punggungnya. Apa yang dilakukan gadis itu?
"Tak apa, Eran." Rayford melembutkan suaranya. "Kau akan baik-baik saja."
Pria itu mengira suasana hatinya akan membaik, karena begitulah kebanyakan orang akan bereaksi saat Rayford menghibur mereka, tetapi Eran hanya memasang senyum sarat kecemasan.
"Mari kita mulai saja."
Eran memejamkan mata. Sesuai cara yang telah diajarkan Rayford, ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, berusaha menenangkan diri. Ini tidak susah baginya. Maka dengan cepat ia berkonsentrasi merasakan tiap jengkal tubuhnya, menempatkan fokus pada darah yang mengalir di dalam lorong-lorong nadi. Sekujur kulitnya mulai berasap tipis.
"Bagus." Pujian Rayford terdengar samar di telinganya. Barangkali terhalang oleh asap yang ikut menyembur dari lubang telinga. Oh, ini aneh sekali! "Kau sudah lebih cepat daripada kemarin ... kau harus terbiasa hingga menjadikan ini semudah membalikkan telapak tangan. Kau takkan tahu kapan seseorang menyerangmu, dan tak mungkin ia akan menantimu berkonsentrasi menggunakan Energi, jadi kau harus lebih cepat di latihan selanjutnya."
"Lalu?"
"Sekarang buat asap ini untuk menyelubungi sekujur tubuhmu."
Menggerakkan asap hitam di sekelilingnya seperti belajar menggunakan kaki saat masih bayi, kendati Eran juga tidak bisa mengingat bagaimana caranya dia belajar berjalan. Ia hanya teringat ucapan Rayford di awal penjelasan. Awalnya terasa amat janggal; asap ini seperti anggota tubuh tambahan yang tidak terasa sakit saat dikibas-kibas, namun Eran tahu seseorang tengah mengganggu asapnya. Lebih tepatnya, mengatur pergerakan asap ini seperti mencoba menurunkan kaki yang mati rasa dari kasur. Kau tidak bisa merasakan lantai yang dipijak, atau seprei yang bergesekan dengan kulit, tetapi kau tahu ada permukaan padat di bawah kulit.
Sekarang, Eran mampu menempatkan sekelumit perasaan di sana. Tentu saja cara seperti itu adalah hasil ajar Rayford. Kau butuh bergerak dengan perasaan, bukan dihitung-hitung, begitu katanya. Dan, ternyata cara semacam itu bekerja.
Sehingga, saat asap hitam di sekitar mulai menjulur, saling berpilin untuk melingkari tubuhnya, Eran refleks bergumam riang. Rayford menepukkan tangannya puas dan berkata, "Seandainya aku tidak tahu ada kau di sana, maka sudah pasti aku mengira kau hanyalah tonjolan dari dinding di belakangmu."
Asap pun memburai ke udara, menampakkan wajah Eran yang berseri-seri. "Kalau begitu, aku bisa bersembunyi di kegelapan dengan mudah." Kemudian dia mengatupkan bibir sejenak, memikirkan sesuatu yang baru saja terlintas di benaknya. "Kecuali ... asap hitam ini selalu bergerak-gerak, dan sedikit cahaya saja akan membuatnya tampak."
"Aku yakin mata awam tidak akan mudah mengenalimu." Rayford mengangguk. "Tetapi ini adalah sebuah kemajuan, Eran. Kau bisa sembunyi di sudut tergelap dan mengawasi seseorang. Katakan saja, kau bisa menjulurkan asap dan membawamu melayang di pojok langit-langit, maka itu akan lebih keren."
Eran membeliak. "Oh, kau tahu, ada beberapa memori tuan U'mbrate yang memperlihatkan cukup banyak Erfallen yang bisa melayang di udara dengan asap di sekeliling tubuh mereka. Ini gila. Aku bisa terbang."
"Tentu saja. Sekarang, mau mencoba latihan yang lain? Sejujurnya, aku tidak menyangka kau bisa menguasai teknik-teknik barusan dengan cepat."
Eran tersenyum. Ia tidak mengatakan bahwa sesungguhnya setiap malam ia lalui dengan mencoba merasakan Energinya, mempelajarinya lebih lanjut melalui memori-memori asing pemberian U'mbrate. Seandainya Eran tidak melakukannya, barangkali sekarang dia masih tersendat pada tahap mengenali Energinya sendiri.
Maka Rayford pun menghendaki Eran untuk mengulang kembali berbagai cara yang telah diajarkannya, termasuk teknik terakhir. Mereka melalui satu jam dengan penuh konsentrasi, termasuk mencoba membuat juluran asap yang mampu membawa gadis itu melayang, namun selalu gagal pada upaya mencoba mengangkat diri. Eran sempat frustasi, dan beruntunglah suasana hati Rayford cukup baik hari ini hingga ia menawarkannya mentraktir kue di sebuah kedai. Eran menyanggupi dengan malu-malu.
Hampir dua jam yang lalu, ketika mereka turun dari apartemen untuk mencari gang, trotoar masih lengang. Waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi, dan baru segelintir pekerja yang terlihat. Sekarang hampir pukul sepuluh, dan trotoar tiba-tiba saja penuh sesak seolah ada parade yang melintas di jalanan. Hanya saja orang-orang sibuk dengan koran masing-masing, atau mengobrol dengan rekan kerja yang ditemui di persimpangan, atau sekadar menyesap kopi hitam di Kamis pagi yang melelahkan. Eran, syok dengan keramaian itu, refleks melangkah di belakang Rayford dan berpegangan pada ujung bajunya.
Pria itu menyadarinya. "Apa kau tak apa-apa?"
"Aku mual melihat begitu banyak orang," bisik Eran. Wajahnya mulai pucat.
"Kalau begitu kita mampir ke kedai di depan itu. Kuenya juga enak." Maka mereka segera menepi dari lautan manusia yang tumpah ruah menuju distrik perkantoran yang hanya berjarak satu blok dari situ. Kedai yang mereka masuki juga ramai, namun berbagai sarapan di meja mulai tandas, dan orang-orang mengantri untuk membeli kopi tambahan.
Rayford menyarankan untuk mencari tempat duduk terlebih dahulu, dan sembari melewati beberapa meja, mereka akhirnya tiba di pojokan yang baru saja ditinggalkan tiga pria kantoran, masih dengan piring-piring kotor menumpuk. Seorang pelayan buru-buru menghampiri. Ia dengan cepat menaruh selembar menu dan membereskan meja, sementara kedua pelanggan barunya saling memerhatikan lembar menu.
"Akan kupesankan untukmu," kata Rayford lagi. "Kau cukup duduk saja."
"Oh, terima kasih." Eran tersenyum. "Kalau begitu aku mau susu lavender dingin."
"Itu saja? Sungguh?" Rayford mengangkat alis. "Kalau begitu tunggu sebentar." Pria itu berlalu, masih dengan mata mengawasi tiap-tiap menu yang dianggapnya menggugah, siap untuk sarapan yang kedua. Eran mengawasinya dengan terkesima. Hari ini adalah hari yang baik.
Eran amat menyukai nadanya saat berkata-kata sejak pagi tadi. Oh, selama ini ia membenci ketika para pemuda mulai melembutkan suara saat mengobrol dengannya, tetapi Rayford berbeda. Seolah-olah Rayford di hari ini bukanlah orang yang Eran kenal sejak pertemuan pertama mereka. Eran mulai menduga bahwa beginilah nada Rayford yang sebenarnya, tanpa ada bumbu kekesalan yang menumpuk, apalagi kecurigaan tanpa henti. Ah, sepertinya hari ini Rayford tidak sedang menaruh kecurigaan kepadanya!
Eran menghela napas. Betapa ia iri sekali dengan gadis bernama Kamilla ini. Dia mengenal Rayford sejak dahulu, dan betapa sang ketua tim begitu mengkhawatirkannya.
Eran memainkan jarinya dengan gugup. Ia ... ia juga mau dipikirkan terus-terusan oleh Rayford, tapi bukan sebagai orang yang dicurigai.
Rayford kembali ke meja lima menit kemudian. Ekspresinya lebih cerah, tetapi Eran tahu alasannya bukan karena sarapan kedua yang akan segera mampir ke meja mereka. Eran menelengkan kepala. "Apa kau senang karena sebentar lagi kita bisa menemukan temanmu Kamilla?"
Rayford tersentak. "Bagaimana kau tahu?"
Eran mengunci mulutnya. Berbagai jawaban langsung berkelebat di otaknya, namun satu yang pasti: belum ada siapa pun yang mengatakan soal rencana penyelamatan Kamilla dengan memanfaatkan Eran. Apa yang Caellan Caltine katakan waktu itu hanyalah perintah untuk membentuk tim baru, bahkan Eran diminta menggantikan Kamilla.
Ketika ekspresi Rayford mulai menyiratkan kecurigaan, Eran mengutuk dirinya dalam hati. Dengan pasrah, gadis itu mengangkat bahu. "Aku melihatnya."
"Melihat apa?"
"Melihatmu," kata Eran, amat ragu-ragu sebab Rayford mengangkat alis sekarang. "Maksudku, aku merasakannya ... ah, bukan, aku mengetahuinya setiap kali mengobrol denganmu."
"Itu aneh."
"Ya," kata Eran. "Seperti sekarang ini. Aku bisa mengetahui apa yang ... sebentar." Gadis itu mengernyit. Ia melongok ke bawah meja, membuat Rayford ikut terheran-heran dengan kelakuannya. Eran mengangkat kaki, mencoba berkonsentrasi akan sensasi aneh yang lenyap begitu saja dari benaknya. Lalu ia berpijak kembali dan mendapati sergapan emosi yang bukan miliknya.
"Oh, astaga," bisik Eran. Ia menatap Rayford dengan jantung berdebar-debar. "Apa kau bisa merasakannya? Aku bisa membaca emosimu."
"Apa maksudmu?"
"Aku sedang menginjak bayanganmu," bisik gadis itu. "Lihat dimana sepatuku berada sekarang. Dan akan kupertegas untukmu; apa kau sedang merasa senang saat ini? Kau seperti sedang mengantisipasi sesuatu ... tetapi bukan karena kue-kue. Sesuatu yang besar. Seperti ... beban yang akan segera terangkat."
Rayford tanpa sadar menarik kakinya, dan Eran tahu itu. Sang gadis mendadak merasa malu karena telah menginvasi privasi Rayford, kentara sekali dari perubahan ekspresinya. Rayford tersenyum kaku. "Benar," katanya parau. "Tetapi aku tidak memanfaatkanmu. Kukira kau bisa membantu kami dengan Energimu."
Eran tak bisa menjawab. Bagaimana caranya menanggapi ucapan Rayford selain mengangguk? Gadis itu mencoba menyunggingkan senyum, namun tak bertahan lama karena Rayford juga terlihat canggung sekarang.
Oh, tidak sebaiknya dia melakukan ini lagi ....
"Hei, sebentar," bisik Rayford tiba-tiba, tepat ketika seorang pelayan datang dan menaruh pesanan mereka. Selepas kepergiannya, Rayford baru melanjutkan. "Apa kau bisa membaca pikiran? Maksudku, benar-benar membaca apa yang sedang kupikirkan. Cobalah."
Rayford menjulurkan kaki, menempatkan sepatu Eran pada bayang-bayang tubuhnya lagi. Dengan ragu gadis itu melakukannya. Selama sesaat ia mencoba fokus menganalisa gejolak asing yang mampir ke benaknya.
"Er ... entahlah," ucapnya ragu-ragu. "Aku hanya tahu jika kau sedang merasa waswas kepadaku."
"Oh." Sekarang gejolak Energi Rayford menjadi semakin kacau. Dia sedang panik, sekaligus canggung. "Aku hanya penasaran apakah selama ini kau bisa membaca pikiran."
Eran mengangkat bahu. "Aku baru mengetahuinya sekarang. Dan ... sepertinya aku tak mampu membaca isi pikiran seseorang dengan jelas."
"Maukah kau mencobanya lagi pada orang lain? Bagaimana dengan Jamen?"
"Baiklah." Eran mulai menyeruput susu lavender, merasakan manisnya yang menenangkan kegelisahan di dalam dirinya. "Memang ada apa dengan ini?"
"Sesungguhnya ini terlalu cepat untuk kusimpulkan, tetapi aku punya ide baru," kata Rayford. Sekarang gejolak emosinya naik turun dalam positivitas yang tinggi. Dia sedang berharap! "Jika seandainya kau bisa membaca pikiran, atau minimal emosi seperti yang kau rasakan ... Maukah kau menemukan siapa yang terlibat dalam penculikan Kamilla dengan cara ini?"
Eran mengerjap. "Wah, aku perlu mengetesnya."
"Benar," kata Rayford, dan kini Eran mampu merasakan bahwa dia sedang berusaha keras menahan semangatnya agar tidak terlampau kentara. "Sebab, jika kau bisa, maka kau akan ikut bergabung denganku ke pesta."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro