22. Gadis Gila
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
---------------------------
Wah, ada bekasnya.
Semenjak Rayford dan Eran lenyap begitu saja di hadapannya, Jamen sempat bermalas-malasan sejenak sebelum memutuskan bahwa apartemen ini harus dibersihkan. Ya, siapa lagi kalau bukan dia yang melakukannya? Maka Jamen bertandang selama nyaris seharian. Lokasi terakhir yang menjadi tujuannya tak lain adalah ruang duduk, tepatnya titik dimana Eran yang semalam kerasukan bertikai dengan Rayford. Jamen sengaja menghindarinya. Bagaimana tidak? Lihatlah ruangan ini sekarang.
Sofa tempat Eran berbaring masih ada noda basah bekas rembesan salju dari pakaiannya. Topi lebar gadis itu tergeletak di atas karpet yang—astaga!—juga sama basahnya, dan Jamen tak tahu bagaimana caranya mengeringkan karpet dengan cepat! Saat Jamen tengah menarik karpet itu, ia menyadari bahwa ada sedikit keretak pada dinding tempatnya terhempas semalam. Melihatnya saja membuat punggung Jamen berdenyut-denyut nyeri.
Wah, wah. Ini apartemen sewaan, dan waktu tenggat mereka tinggal seminggu. Bagaimana caranya menutupi dinding retak ini?
Tak ingin berpusing-pusing lebih lama, Jamen menyelinap ke balkon di balik ruang duduk untuk menjemur karpet. Langit telah semburat merah, waktu yang tepat untuk berjemur tanpa ketahuan pemilik apartemen di lantai dasar. Dan, omong-omong, ini sudah malam! Hampir dua belas jam Rayford dan Eran meninggalkan Jamen sendirian, membuatnya mulai cemas. Apakah Eran baik-baik saja?
Ketika Jamen kembali ke dalam, tahu-tahu Rayford keluar dari kamarnya dan menutup pintu.
Jamen melongo. "Tuan? Sejak kapan kau datang?"
"Baru saja." Rayford mengisyaratkan agar memelankan suara mereka. "Eran sangat kelelahan jadi kupinjamkan kamarku. Untuk malam ini saja, jadi aku akan tidur di ruang duduk."
"Oh, tidak. Tidurlah di kamarku, Tuan. Aku akan tidur di sofa."
"Tenang saja. Dan, duh, bukankah aku sudah bilang berhenti memanggilku begitu?" Rayford menghela napas. Dengan gontai ia melangkah menuju dapur untuk menyeduh jahe. Wajahnya pucat dan lemas betul, Jamen menjadi semakin kasihan padanya. Maka ia pun menawarkan diri untuk menjaring air, lantas meminta Rayford untuk mengecek dinding retak yang dimaksud.
"Semalam monster itu melemparku ke dinding," kata Jamen. "Bagaimana menurutmu? Ditutupi saja?"
Rayford mengatupkan bibir saat menyapukan jemarinya di dinding itu. "Aku ... entahlah. Kita pikir nanti saja."
"Baiklah. Apakah urusan kalian berjalan lancar? Kalian pergi cukup lama, sampai-sampai kukira monster itu mengambil alih tubuh Eran lagi dan melawanmu."
Rayford tersenyum sedih mendengar tebakan Jamen. "Nah, sebaliknya," katanya, dan ia pun menceritakan segalanya yang terjadi selama dua belas jam di kediaman Caltine.
Reaksi pertama Jamen sungguh masuk akal. Ia menggelengkan kepala dan menggosok-gosok lengannya, merasakan bulu kuduknya merinding. "Apakah dia bersungguh-sungguh? Sekarang kau menceritakannya seperti itu, aku jadi mengubah pikiranku."
Rayford mengerjap. "Kau tidak mencurigainya sejak awal?"
"Ya, maksudku, aku bukan dehmos sepertimu atau Host macam dirinya, tahu apa aku soal adaptasi sel monster di tubuh manusia?"
Rayford menghela napas. Tak ada perdebatan kalau begitu, dan memang sebaiknya demikian. Jamen pun menuangkan air seduhan jahe untuk mereka berdua, lantas mengambil setoples kukis yang tersisa sedikit sekali.
"Apa menurutmu dia bisa membantu kita, Jamie?"
"Tentu saja," kata Jamen tanpa ragu, dan Rayford cukup skeptis dengan itu. "Tuan Besar benar, Ray. Kita butuh Energi tambahan karena tak mungkin menjalankan ini hanya dengan tenagamu saja. Meski aku tahu bahwa kau seorang dehmos, tetapi tetap saja aku cuma manusia. Apa yang bisa kuperbuat selain menguping dan membersihkan apartemen?"
Senyuman Jamen membuat ekspresi Rayford melunak. Pria itu mengusap wajahnya dan tersenyum kesal. "Kau ini sempat-sempatnya berkata begitu," ujarnya. "Jadi apa aku tanpamu, Jamie?"
Sama sekali tak merasa tersanjung, senyum Jamen memudar kalut. "Masih belum dapat kabar apa-apa tentang Kamilla?"
Rayford menggeleng pelan.
"Kalau Eran sudah bangun, aku akan memberitahunya apa saja yang bisa dilakukan."
"Biarkan saja dia," kata Rayford. "Aku yang akan mengurusnya."
Jamen mengatupkan bibir. Diawasinya sang dehmos mencoba menyesap seduhan jahe yang masih mengepulkan asap. "Kau sama sekali tidak percaya pada Eran, eh? Dia nampaknya gadis yang baik, dan Energinya—"
"Bagaimana bisa kau memintaku memercayainya?" Rayford tiba-tiba mendorong cangkirnya menjauh, entah karena kesal atau karena lidahnya terbakar akibat rebusan jahe. Yang mana pun, matanya berkilat-kilat marah dan Jamen langsung menyesali pertanyaannya. "Kau dan tuanmu bisa bilang begitu karena kalian tidak tahu betapa mengerikannya harus melawan vehemos yang merasukinya. Kau dihempas di dinding? Apa kau tahu rasanya berusaha melawan mati-matian semalam dan vehemos itu sama sekali tidak berkutik? Bagaimana kalau dia sekali menyerangku dan aku mati?"
Jamen membisu. Ini, jelas, tidak bisa dijawabnya.
Rayford meraih cangkirnya dan beranjak. "Dan sebagian kecil vehemos itu ada pada Eran. Para Covalen tentu bisa mengendusnya, dan datang kemari sewaktu-waktu untuk membalas kematian Petre. Sekarang tinggal kau yakinkan aku bagaimana cara memercayainya, sementara si vehemos terus saja menjejali memorinya ke Eran. Hidup matinya pun tergantung monster itu, bukan aku. Kalau terjadi sesuatu, akan sangat mungkin Eran mengkhianati kita! Apa kau paham?"
"Paham. Paham sekali, Ray. Aku akan membeli makan malam sekarang." Jamen ikut-ikutan berdiri dan segera kabur dari Rayford. Lebih baik tidak dekat-dekat dengannya selama sedang kesal. Mendengar ceritanya tentang kejadian dua belas jam di kediaman tuan Caellan Caltine saja sudah membuat Jamen merinding.
Yang jelas satu; gadis itu gila!
+ + +
1, Bulan Fajar. Tahun 1938.
Eran terbangun ketika sayup-sayup terdengar gaung sembahyang Konservatori terdekat. Matanya masih terlalu berat untuk dibuka paksa, tetapi ia tahu betul ini sudah waktunya untuk bangkit. Eran menghela napas, berguling, kemudian mendengar suara sebuah benturan kecil dan desisan Rayford: "Aduh!"
Mata Eran yang merah membeliak kaget dan tubuhnya menyentak bangun, tangannya bahkan refleks mengangkat selimut untuk menutupi.
"Wah, tenang. Tenang." Rayford mengangkat tangan. Ia sedang menggenggam dua botol obat, sementara mejanya sesak dengan kotak-kotak obat yang semalaman belum dirapikan. "Maaf mengganggumu. Aku hanya mengambil ini."
Eran mengembuskan napas lega. Jantungnya yang bertalu-talu perlahan mereda. "Oh, astaga. Tak apa," ujarnya, lantas terdiam sejenak. "Kau ... kau barangkali bisa mengetuk lain kali. Aku tidak masalah untuk terjaga sejenak, asal tidak diam-diam saja."
Rayford mengernyit. Mengetuk di kamarnya sendiri? Meski begitu dia tak mengatakan apa pun selain mengulang permintaan maaf. Bagaimanapun juga gadis ini masihlah seorang tamu. Rayford bergegas keluar dengan dua botol, baru saja akan menutup pintu, lalu berhenti sejenak di ambang.
"Apa kau akan bangun?"
"Ya." Eran merosot turun dari kasur Rayford. Jujur saja, aroma bantalnya terlalu melenakan untuk ditinggal, apalagi wangi yang menggelayut di ruangan itu. Untung saja gadis itu tidak tidur dengan liur menetes sebagaimana pada malam-malam yang terlampau melelahkan.
Eran mengekori Rayford menuju dapur yang tersambung dengan ruang duduk. Pria itu rupanya sedang menjerang air, dan menawarkan dengan kikuk segelas teh lemon balm. Eran menyanggupinya sebelum membasuh wajah. Sudah waktunya Sembahyang Awal.
Kira-kira tiga puluh menit kemudian mereka berkumpul kembali di ruangan itu. Senyap. Tanpa kehadiran Jamen yang Eran duga adalah seorang penggembira tim, suasana menjelang matahari terbit begitu sunyi dan mencekam.
Terlebih-lebih, setelah apa yang terjadi kemarin.
Eran tanpa sadar melirik berulang kali kepada Rayford yang duduk di seberangnya, begitu pula dengan pria itu. Ketika mereka akhirnya saling menangkap basah satu sama lain, Rayford tahu mereka tidak bisa seperti ini terus.
"Jadi ... apa yang kau rasakan?"
Eran mengerjap. "Apa maksudmu?"
"Kau mendapat sel vehemos baru di tubuhmu. Apa kau merasakan sesuatu, atau menemui vehemos itu dalam mimpimu?"
"Ya. Monster yang menakutkan," komentar Eran, dan reaksinya sebatas pada ucapan itu saja. Rayford terheran-heran menyadari bahwa gadis ini tidak heboh mengutarakan betapa mengerikannya Par.
"Dia tidak menghantuimu? Maksudku, bukankah wajahnya benar-benar seperti iblis?" Rayford tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Eran menjawab dengan sebatas anggukan, membuat pria ini menjadi makin curiga. "Apa ... apa kau sudah terbiasa dengan monster, Eran?" tanyanya akhirnya.
"Apa? Tidak mungkin." Eran meringis. "Siapa yang bisa terbiasa dengan kehadiran iblis?"
"Yah, kau terlihat seperti itu," jawab Rayford pelan. Arah pandangnya turun ke cangkir yang masih terisi separuh. Daun lemon balm beriak pelan di permukaan teh, seperti kegemparan kecil di ruangan yang senyap ini. "Sebab aneh sekali jika seseorang awam sepertimu bisa menerima sel vehemos sekuat U'mbrate begitu saja, kemudian ditambah sel Par, dengan waktu yang singkat pula."
Eran memutar bola mata. Lagi-lagi.
"Baiklah, begini saja," kata gadis itu. "Aku akan menjelaskan hal-hal yang masih kau ragukan, bagaimana? Sekarang tanyakan aku apa saja."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro