17. Manusia Mencurigakan
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
---------------------------
Jamen kembali tak lama setelah itu. Ia membawa sekantong roti dan sup telur dari kedai lain. Napasnya terengah-engah saat menjeblak pintu dan berkata, "Mereka pergi!"
Rayford, yang tengah ditimpa keheningan dan kecurigaan besar atas gadis asing di seberangnya, spontan menoleh. "Apa?"
Alih-alih menjawab, Jamen lebih terkejut lagi dengan situasi sang gadis. Ia mengacungkan tangannya. "Kau sudah bangun!"
"Bicarakan nanti saja," ujar Rayford. "Apa maksudmu tadi?"
"Covalen." Jamen menutup pintu dengan punggungnya. "Para Covalen mendadak pergi. Bersama semua pengawalnya. Vila itu sekarang sudah kosong dan menurut salah seorang rekan, mereka pergi dengan mobil-mobil dua jam lalu. Tak ada huru-hara atau semacamnya. Kepergian mereka begitu santai sampai-sampai para rekan mengira memang sudah jadwalnya para Covalen kembali."
"Bagaimana dengan mayat Petre?"
"Tak ada keramaian sama sekali. Sepertinya mereka juga membawanya," kata Jamen, sekonyong-konyong membuat ruangan itu kembali menghening dan meliputi masing-masing insan dengan beribu pertanyaan.
Rayford adalah yang pertama kali memecahkan kesenyapan itu. Ia berkata kepada sang gadis, "Kau bisa membaca memori monstermu, bukan? Apa kau tahu sesuatu?"
Sang gadis menggeleng. "Memori yang masuk ke otakku acak dan semuanya adalah masa lampau yang jauh."
Rayford mendesah. "Baiklah. Selama mereka tidak mengejar kita ... untuk sementara itu lebih baik. Kita punya gadis ini."
"Er, namaku Eran."
"Benar, kenapa kita tidak berkenalan saja?" kata Jamen. Ia pun sama leganya saat mendengar kebaikan dari ucapan Rayford. Kantong roti segera diletakkannya di meja, kemudian ia menyusul mereka di sofa. Eran duduk di seberang dengan kikuk, sementara Rayford mengawasinya dengan waspada.
Jamen, tentu saja, yang memulai perkenalan itu. "Ini Rayford, tu—maksudku, tabib andalan kita, dan aku Jamen ... asistennya."
Eran tersenyum mendengar perkenalan itu. apa yang akan dikatakan Jamen tadi? Apalagi Rayford sempat memelototinya. Sepertinya peran yang lebih penting daripada sekadar tabib, eh? Tetapi untuk sementara ini sudah cukup menjawab rasa penasaran Eran. Rayford adalah tabib, wajar saja dia banyak berdoa dan memiliki obat-obatan! Dan, Jamen, asistennya? Apakah mereka berdua sedang dalam perjalanan untuk menunaikan sesuatu?
"Namaku Eran. Eran Wilhart. Aku baru merantau ke kota ini setahun lalu untuk bekerja dan ... sebentar. Kalau kau tak membiarkanku pulang, apa aku masih bisa bekerja?"
Jamen mengernyit, lantas menoleh kepada Rayford. "Apa kau mencegahnya pulang, Ray?"
Rayford, yang sedari tadi menyangga kepalanya dengan tangan seolah-olah lehernya tak mampu berfungsi lagi, mengangguk samar. Tuhan, kalau pria itu beranjak dari sofa itu hanya untuk sekadar kencing, barangkali dia akan ambruk setelah beberapa langkah. Jamen buru-buru mengambil secangkir madu hangat untuknya.
"Bagaimana?" desak Eran. "Atau kau akan membuatkan untukku surat cuti dan semacam itu dengan alasan aku sakit? Maksudku aku bisa saja menunjukkan sisa asap di monster ini ...."
Dahi Rayford makin berkerut-kerut mendengar usulnya. "Ini masih hari Sabtu, pikirkan nanti saja. Kalau aku bisa mengeluarkan monster itu dari tubuhmu sebelum Senin, maka tak ada yang perlu kau khawatirkan."
Jamen sontak menatap keduanya bergantian dengan kaget, dan nampaknya tak ada yang perlu menjelaskan maksud sesungguhnya ucapan Rayford, sebab Eran sendiri telah mencernanya dengan jeli. Gadis itu kembali mengeluarkan ekspresi itu—fokus, dan masih mencari-cari asal suara yang bergema di benaknya. Luar biasa, Jamen pun tak pernah melihat seseorang berubah menjadi Host sedemikian cepat.
Seusai mendapatkan jawabannya, Eran menatap Rayford dengan datar. Terlalu banyak emosi yang bisa dicurahkan hingga wajahnya tak mampu berekspresi. "Oh ... maksudmu dua hari ini bisa jadi adalah hari terakhir aku hidup. Seperti si Petre."
"Maafkan aku, tetapi sekali kau menjadi Host, kau tak bisa dipisahkan dengan sel monstermu atau kau akan segera ... kau sudah tahu, bukan?"
"Meski aku sangat sehat sekarang?"
"Meski ...." Rayford berhenti mengulang ucapan Eran, lantas menghela napas panjang-panjang. Ia memilih untuk menyesap minuman yang disodorkan Jamen. "Ini masih tidak masuk akal bagiku. Tak ada Host semacammu. mak-sudku, tentu saja pasti ada, meski hanya beberapa di dunia ini, tetapi itu kasus spesial. Apa kau yakin kau benar-benar hanya seorang manusia sebelum ini?"
"Aku tak pernah berasap seperti orang terbakar begini, jadi, yah." Eran mengangkat bahu.
Jamen menatap Rayford dengan penuh pertanyaan. Gadis itu pasti menyembunyikan sesuatu, mereka berdua sama-sama yakin. Bahkan Rayford, yang terlahir sebagai manusia dengan sedikit sel vehemos di tubuhnya, menerima kehadiran Par di usianya yang masih awal puber dengan amat menyakitkan. Rayford bahkan bolak-balik berkata bahwa tubuhnya sering berdenyut nyeri di berbagai titik dimana suntik-suntik besar dahulu menancap, menyusupkan cairan hitam berkedut-kedut yang mengubah Rayford remaja menjadi dehmos berkekuatan besar.
Jadi bagaimana bisa, gadis yang mengaku manusia seutuhnya ini, menerima sel monster yang lebih hebat dan berbahaya, dalam waktu beberapa jam saja dan bangun dalam keadaan teramat sehat? Jika Rayford dan Jamen belum menemukan jawabannya dalam dua hari ini, maka gadis itu harus ditawan.
Dan, tentu saja Eran paham apa yang sedang terjadi. Selama dua jam terakhir sejak obrolan pertamanya dengan Rayford, Eran terus menerima potongan kejadian aneh yang muncul di benaknya, seolah monster asap—yang belakangan diketahui dipanggil sebagai U'mbrate—telah menyatu seutuhnya dengan Eran dan mengizinkannya membaca apa yang terjadi. U'mbrate dengan detail membeberkan apa yang terjadi sebelum bertemu Eran; serentetan kejadian selama seharian penuh yang dipenuhi dengan sindiran, kejar-kejaran, dan ujaran amarah serta sumpah hingga berujung pada puncak kejadian semalam.
Tentu, tentu. Posisi Eran tak lain adalah tawanan Rayford sekarang.
"Yah, tak apa. Aku tak keberatan kalau mati, apalagi di tangan orang setampan dirimu," kata Eran tiba-tiba, membuat kedua pria di hadapannya terkesiap ngeri. Gadis itu sedang tersenyum, demi Tuhan, dan keduanya mengartikan sikap Eran dengan perspektif yang amat berbeda. Rayford masih kukuh Eran bukanlah manusia biasa, dan menganggap ucapan Eran sebagai tantangan oleh sebab monster yang bersemayam di tubuhnya. Jamen berpikiran lebih sederhana; gadis ini, meski sehat dan baik-baik saja, barangkali telah pasrah dengan situasi yang menimpanya dan tahu betul tak ada gunanya melawan dua pria, ditambah monster-monster yang menginangi tubuh Rayford.
"Tapi," imbuhnya, "izinkan aku menulis surat untuk kedua orang tuaku dan mengirimkan mereka semua uangku. Setelah itu aku rela mati dan takkan melawanmu, ambil saja monster di dalam tubuhku ini."
Ucapan Eran justru disambut dengan helaan napas dan gelengan kepala. Eran mengernyit. "Kenapa? Aku memberikan solusi damai."
"Oh, Eran, masalahnya ... aku bukan pembunuh," jawaban Rayford membuat hati Eran mencelos dan malu luar biasa. "Aku tak ingin melakukan itu padamu sebenarnya. Karena itulah, tolong jawab aku dengan sungguh-sungguh, apa kau benar-benar seorang manusia? sebab jika kau sudah memiliki sedikit sel monster saja di tubuhmu sebelum kejadian semalam, maka kau barangkali masih bisa bertahan hidup setelah kulepaskan U'mbrate dari dirimu. Aku bisa membantumu untuk menguatkan sedikit saja sel monster yang sudah lama berada di dalam tubuhmu."
"Sungguh?" Eran mengangkat alis. Saat Rayford membenarkan, gadis itu termenung sejenak. Ia berusaha memanggil kembali segala memori dari dirinya. "Aku memang pernah bertemu monster tetapi itu tak mengubah apa-apa dariku. Maksudku, semua juga pasti pernah bertemu mereka, bukan? Dan aku ... aku tak punya kekuatan hebat macam itu."
"Kenapa tak lakukan itu saja?" ujar Jamen tiba-tiba, lalu berbisik kepada sang tabib. Usulannya kali ini tak bisa dipahami oleh Eran maupun potongan-potongan memori U'mbrate, yang membuat Eran yakin bahwa sang monster tidak serba tahu kendati gelombang Energinya yang tak terkalahkan. Ia hanya bisa menyaksikan Rayford mengernyit saat bertukar kata tanpa suara bersama Jamen.
" ... kau waras?" hanya itu yang bisa ditangkap Eran di sela-sela obrolan bisu mereka.
"Ya, maksudku ... dan kau dapat ... baru. Dari sisi sana, pula."
Rayford menolak mempertimbangkannya. "Tapi dia bakal kesenangan."
"Apa sedikit saja akan berpengaruh sebesar itu? Bukannya kau sendiri yang melumpuhkan iblis itu?" kata Jamen, kali ini mulai bersuara, barangkali tak sadar bahwa Eran mampu mendengarnya. Saat tak ada sahutan selain cicit burung di luar jendela, ia melanjutkan lagi, dengan amat berhati-hati dan berbelas kasih, seolah tahu usulannya akan ditolak lagi. "Atau kau tanyakan pada Tuan Besar ... bagaimana? Jawabannya paling kau butuhkan di situasi saat ini, kurasa."
Eran mendengarkan dengan saksama dan berusaha mencernanya. Oh, mereka punya tuan? Kalau begitu kemungkinan mereka adalah suruhan si Tuan Besar itu untuk menangkap U'mbrate ... oh, tidak? Eran kembali memutar memori sang monster dengan saksama.
Rayford terpaksa menerima saran tersebut kendati merasa enggan. Dengan lega, Jamen pun berkata, "Kalau begitu aku akan berjaga di sini. Pergilah dengannya."
Maka Rayford pun beranjak. Eran mengawasinya menghampiri dan mengulurkan tangan.
"Apa? Kita akan pergi ke suatu tempat?"
Rayford mengangguk. "Berdoalah dan tahan sebisamu agar tidak muntah."
"Memang kita akan pergi dengan apa?" Alih-alih menerima uluran tangan Rayford, ia menggenggam lapisan lengan kemejanya.
Rayford memandang lekat-lekat jemari Eran yang terkalung di pergelangan tangannya, lantas tersenyum tipis, yang cukup untuk membuat Eran semakin yakin bahwa mati di tangannya takkan seburuk kedengarannya. Dengan senang hati Eran akan menyambut kematian sembari menatap kedua mata hijau pucat itu, kemudian menyebut nama Tuhan sebagai penutupnya.
"Berdoalah sekarang," bisiknya, dan sepintas kemudian udara memadat di sekeliling Eran. Tubuhnya melumat dan mereka berdua pun tersedot ke ruang kosong. Eran terkesiap—kepalanya terasa sepeti dibanting batu berujung tajam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro