Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Antusiasme Abnormal

Note:

Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.

Selamat membaca!

---------------------------

29, Bulan Putih. Tahun 1938.

Lima jam kemudian, semuanya ibarat mimpi yang membekas erat.

Rayford merasa seperti baru terbangun lima detik lalu. Lengkap dengan napas yang tersengal-sengal, kepala yang berdentam-dentam, dan jantung yang berdegup keras.

Satu-satunya perbedaan adalah Rayford tidak tidur malam ini. Kedua matanya bahkan sama sekali tak beralih dari botol yang kini menggelinding ke sana kemari. Botol kaca itu pekat, beriak, dan itu tak lain karena sebagian kecil sang monster berhasil ditangkapnya. Sisanya, tentu saja, melarikan diri melalui celah-celah jendela, mencampakkan gadis asing yang tergolek lemas di lantai, sementara Rayford dan Jamen sama-sama tenggelam dalam ketakutan dan lelah teramat sangat.

Dan anehnya, selama itu pula tak ada veiler yang mencari mereka sama sekali, termasuk Stefan dan Cezar.

Kini, setelah lima jam berlalu selepas pertikaian dengan sesosok monster, Rayford bersandar lemas di tepi tempat tidur. Botol berisi secercah bagian dari sosok asap itu terus menggelinding marah, membentur-benturkan badan botol ke dinding dengan harapan bisa melepaskan diri dan kembali menyatu dengan bagian lain dirinya yang lolos. Jamen sendiri meninggalkan apartemen usai menyelimuti gadis asing itu di sofa, mencari tahu apa yang para Covalen dan pengawalnya lakukan. Sementara Rayford mengistirahatkan fisik di kamar, melewati sisa malam hingga subuh dengan badan yang tak kuasa lagi digerakkan, setelah perdebatan akan nasib sang gadis.

"Curim itu seharusnya berhasil karena monsternya keluar, bukan? Kenapa dia tak bangun?" adalah pertanyaan Jamen selepas kepergian sang vehemos, beberapa jam lalu.

Rayford, yang sedang mengumpulkan sisa tenaga selepas menerima hantaman bertubi-tubi dari sang vehemos, menatapnya dengan bingung. "Monster itu meninggalkan tubuh manusia bukan karena Curim."

Jawaban Rayford serta-merta membuat wajah Jamen memucat. "Jadi Curimnya bekerja atau tidak? Kau bilang ini adalah obat paling sukar dibuat dan ampuh."

"Ya, tapi kasusnya berbeda; gadis ini dirasuki demikian cepat dengan monster sekuat itu. Kita hanya bisa berdoa, Jamie. Sekian mili Curim tak bisa melawan Energi vehemos yang langsung merasuk tanpa perantara apa pun seperti ini."

Jamen sempat terperangah. "Apa maksudmu dia akan mati?"

"Dia sedang sekarat," Rayford membalas dengan frustasi. "Kecil kemungkinan untuknya bertahan hidup, dan seandainya Tuhan masih belum menutup garis takdirnya, maka gadis itu akan hidup di sisa usianya dengan tak berdaya. Monster tadi bukan monster sembarangan—dia makhluk yang setara dengan Ma'an. Dia ternyata induknya para Erfallen dan Covalen."

Jamen membungkam Rayford dengan kibasan tangan. "Setidaknya gadis ini pantas sekarat di alas yang baik. Apa kau mau membantu?"

"Aku sudah berusaha semampuku," hanya itu respon Rayford, dan selepasnya dia meninggalkan urusan sang gadis kepada Jamen. Tidak sadarkah Jamen jika tubuh Rayford sendiri gemetaran? Membunuh seseorang? Melawan monster sekelas Ma'an—apakah dia gila? Tentu saja. Tak ada yang membuat Rayford lebih gila daripada serentetan masalah akhir-akhir ini, dan sekaratnya sang gadis asing adalah puncaknya.

Rayford di saat ini, lima jam setelah obrolan itu, kembali menghela napas. Oh Tuhan, dia membunuh seseorang.

Lagi.

Bukankah kematian Desmond dahulu seharusnya menjadi yang terakhir baginya? Rayford bersumpah, semenjak saat itu, ia tak mau lagi membunuh orang, kecuali saat bekerja sebagai seorang eksekutor—itu beda lagi.

Rayford ingin sekali menangis, tetapi matanya tak merasakan perih sama sekali. Apakah seperti ini tubuhnya bereaksi sekarang? Kendati apa yang ia lakukan kepada Petre semalam adalah bentuk pembelaan diri dan ketidaksengajaan, tetap saja ... aku membunuh.

Rayford mengusap wajahnya. Oh, sudah cukup dirinya mengawasi botol itu menggelinding sia-sia! Ini mengingatkannya pada kematian Petre, maka Rayford pun beranjak dari kasur dan segera menyimpan botol itu ke sebuah sarung kulit.

Setelah seluruh sensasi adrenalin di tubuhnya redam, Rayford akhirnya merasakan lapar yang amat sangat. Perutnya melilit hebat. Ah, bukankah semalam Jamen mengaduk sup untuknya? Semoga saja masih enak, atau kalau tidak, maka dua potong roti yang sudah mengeras lagi. Semoga belum menjamur hari ini. Rayford benar-benar lelah, tetapi tak bisa tidur, dan matahari baru terbit satu jam lagi. Ia tak berani keluar, meski belum ada veiler yang menerjang apartemen ini.

Rayford melangkah gontai ke ruang duduk. Tak ada yang bisa mengalahkan gejolak lapar di perutnya, bahkan derai permasalahan yang memusingkannya beberapa hari ini. Namun gadis asing itu, yang seharusnya masih sekarat atau barangkali sudah tiada, sedang mengaduk-aduk sup di kompor.

Rayford berhenti melangkah.

"Kau ... hidup?" Rayford sesungguhnya tak ingin kata-kata itu menjadi sambutan pertamanya kepada sang gadis, tetapi kali ini otaknya tak mampu memahami situasi yang terjadi. Gadis itu menoleh, kaget dengan keberadaan Rayford, dan segera melepaskan tangannya dari panci sup.

"Oh, aku tidak melakukan apa pun! Maksudku ada tikus masuk ke supnya—"

"Bukan." Rayford menghampirinya dengan cepat, membuat gadis itu buru-buru menepi ke konter. "Maksudku, apa kau ... tunggu, kapan kau bangun?"

"Oh! Er ... dua puluhan menit yang lalu."

Rayford makin terheran-heran. "Apa kau tidak merasa tubuhmu sakit?"

"Sakit? Ah, aku tidak masuk angin separah itu."

"Bukan!" Rayford nyaris memekik. "Apa kau tidak merasa nyeri, atau amat pusing, atau—ah, apa kau ingat jika kau semalam dirasuki?" Ia sama sekali tak percaya dengan kondisi sang gadis. Lihatlah rona mukanya! Sama sekali tidak pucat. Kedua bola matanya pun sejernih air telaga, dan hidung jambunya sedikit merah. Kemana sosoknya yang pucat nyaris tanpa darah, mata gelap, dan mulut yang memuntahkan cairan hitam?

Ucapan Rayford sekonyong-konyong membuat gadis itu tercenung. "Jadi ... itu bukan mimpi?"

"Apa?"

"Kukira mimpi!" serunya. Rayford semakin kehilangan kata-kata kala menyadari ekspresi yang tersemat di wajahnya bukan lagi ketakutan. "Karena aku biasanya mimpi sedramatis itu, tapi—ya Tuhan! Kau bilang apa tadi? Aku kerasukan? Apa monsternya masih di dalam tubuhku?"

Rayford tak mampu bersuara. Lidahnya kelu, dan satu-satunya yang bisa ditunjuknya hanyalah kedua kaki gadis itu. Maka mereka pun mengarahkan pandangan ke titik yang dituju Rayford. Seberkas asap hitam tipis meluber dari bawah kakinya.

"Ya Tuhan, apa ini?" gadis itu menghentak-hentakkan kakinya. Bersemangat. "Ini mirip yang kulihat di gang dan, oh Tuhan, itukah? Apakah itu monster?"

"Ya."

"Apa kau yang semalam menolongku? Yang berlarian di gang?"

"Ya ...."

"Kau mengejar monsterku?"

"Monstermu?"

"Maksudku, yang merasukiku. Astaga, aku tak percaya aku telah mengatakannya." Gadis itu meninggalkan konter dapur dan menghampiri sofa tempatnya berbaring semalaman. Ia duduk di sana dengan mata penuh antusiasme, menanti respon Rayford selanjutnya, seolah-olah mengajaknya saling berbagi pengalaman paling ekstrim seumur hidup.

"Tunggu sebentar. Tunggu. Aku tak paham ini." Rayford akhirnya menyerah. Ia bersandar pada konter di samping kompor dan menenggelamkan diri pada berbagai spekulasi. Namun, tak peduli betapa pun ia mencari kebenaran yang pernah diketahuinya, tak ada yang bisa melogikakan kejadian ini.

Rayford menatapnya sekali lagi. "Apa kau seorang Host, Non?"

"Host?" gadis itu tersenyum. "Kuharap. Sayangnya aku cuma manusia biasa."

Rayford bengong. Meski ia mendapat satu kepastian, justru muncul lebih banyak pertanyaan yang tak terjawab. Maka Rayford menghampirinya dan mengangkat tangan di depan wajah sang gadis. "Apa kau mengizinkanku untuk mengecek sesuatu?"

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Hanya berdoa dan melihat apakah masih ada sebagian dari monster itu yang tinggal di dalam dirimu."

"Oh, tentu," ujar sang gadis, dan berbalik dengan reaksinya yang tenang-tenang saja, sekarang ia menjadi amat tegang. Rayford sempat mengira bahwa gadis ini sesungguhnya sudah tewas. Rohnya yang asli telah dibawa ke alam selanjutnya, sementara—ini yang paling masuk akal—sebagian dari monster semalam berdiam di tubuh gadis ini untuk menyelamatkan dirinya, agar bisa membalas perbuatan Rayford. Bukankah ini seperti kasus Debri?

Apa kau ingat Debri, bocah yang ternyata mayatnya digunakan Par untuk menipu Rayford? Kalau benar demikian, maka selepas Rayford membaca doa seharusnya tubuh gadis itu akan jatuh dan bagian sang monster terlepas. Rayford harus mengerahkan sisa tenaganya untuk melawan, kalau begitu.

Rayford memejamkan mata dan mulai membaca serentetan doa. Panjang, walau ia merapalnya tanpa hambatan, semudah membaca doa sebelum makan. Efeknya langsung terlihat. Asap mulai merembes keluar dari kulit sang gadis, dan ia memandang reaksi tubuhnya dengan takjub.

Rayford hampir terdistraksi dengan realita di depan matanya. Gadis itu masih berdiri di kedua kakinya dengan tegak, matanya berbinar melihat asap membumbung di sekeliling mereka dari tubuhnya sendiri. Hingga Rayford selesai menyuarakan doa, gadis ini masih hidup, bahkan asap yang menyelimuti mereka kembali tersedot ke tubuhnya.

Setelah berkutat menemukan jawaban, akhirnya Rayford teringat hal yang begitu mudahnya ia lupakan.

"Ada bagian dari monsternya yang masih tertinggal di dalamku, ya?" bisik gadis itu memastikan. Sekarang ekspresinya perpaduan antara cemas, takut, dan bersemangat.

Rayford mengangguk. Kenyataan itu pun mengubah pendiriannya dengan cepat. Tak lagi ia memandang gadis itu dengan panik dan bingung. Kedua matanya yang pucat mengawasi lekat-lekat sang gadis yang menggosok-gosokkan tangannya dengan penasaran, seolah mencoba mengeluarkan asap dengan cara demikian.

Rayford membasahi bibir. "Kau sudah berubah menjadi Host, entah bagaimana, tetapi dengan waktu paling cepat dan adaptasi paling mengerikan yang pernah kuketahui."

Gadis itu menatap Rayford dengan mata membulat. "Aku ... apa?" bisiknya, dan saat tak ada respon dari sang pria, maka ia melanjutkan dengan pelan. "Tapi bukankah kau sedang mengejar monster ini?"

Rayford mengangguk lagi. Sang gadis lantas menyadari bahwa Rayford kini menatapnya dengan penuh rasa waswas. "Maaf, Non, tetapi aku tak bisa melepasmu pulang. Tidak, sebelum aku menemukan monstermu lagi dan ... begitulah."

Rayford lega tak perlu menjelaskan panjang lebar, sebab gadis itu sempat tak menyahut ucapannya selama sesaat. Matanya mengedar ke sekeliling, bukan karena mencoba mempelajari keberadaannya, melainkan mencari asal suara yang berada di dalam benaknya. Ya, Rayford tahu betul apa yang sedang dialami gadis itu sekarang. Ia juga pernah mengalaminya; saat-saat Par memenuhi benaknya dengan celotehan panjang lebar.

Saat gadis itu selesai melihat sekeliling, ia kembali menambatkan kedua matanya kepada Rayford. Ujung bibirnya berkedut.

"Tunggu ... pemilik monster sebelumku tewas dan ... oh, apa kita seharusnya bermusuhan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro