12. Billy Berasap
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
---------------------------
28, Bulan Putih. Tahun 1938.
Dugaan Jamen dan harapan Rayford pupus ketika kabar baru tiba sekitar sembilan kemudian.
Sembilan hari!
Mula-mula, selama rentang sembilan hari yang terasa bagai setahun, Rayford bolak-balik saling bertelepon dengan Yasmin. Sang asisten terus menyampaikan kabar terbaru Profesor, yang menurutnya belum juga menunjukkan tanda-tanda membaik yang signifikan. Luka-luka di sekujur tubuhnya sedikit terlalu dalam, hampir saja membuatnya mati, dan Profesor tua itu berjuang keras untuk bertahan hidup. Rayford ingin menangis mendengarnya.
Jamen juga tidak pulang selama satu minggu. Saat ia kembali pada hari kedelapan, wajahnya kusut dan tercoreng minyak jelantah. Janggut tipisnya yang tumbuh dengan liar belum dicukur sama sekali. Sekeliling matanya menghitam sempurna. Belum juga ia menyampaikan apa pun, tubuh Jamen sudah ambruk duluan di sofa. Rayford pun membiarkannya terlelap seharian penuh.
Kemudian, pada waktu Sembahyang Awal di hari kesembilan, Jamen tersentak bangun.
"Gawat, gawat!"
Rayford baru saja selesai berdoa ketika pria itu menerjang kamarnya. "TUAN—oh," katanya, dan Jamen berdiri di ambang pintu dengan canggung. Saat itu pula ia merasakan sekujur tubuhnya nyeri dan amat membutuhkan pijatan.
Rayford mengusap wajahnya dan menoleh. "Ada apa?"
"Itu memang Covalen," cetus Jamen. "Ada sekeluarga bangsawan Covalen yang sedang berkunjung di sini, Tuan. Mereka menginap di vila di atas bukit sana." Jamen menunjuk ke pojok langit-langit, menandakan bukit kota Paru yang berada jauh di luar apartemen ini. "Dan mereka berada di sini sampai satu minggu lagi. Kemarin ... ah, dua hari lalu, maksudku, aku bertemu dengan dua orang pengawal mereka di salah satu bar."
Selama Jamen bercerita, Rayford terus memerhatikan kondisi tubuh asistennya itu. Saat Jamen tidur bagai orang mati, Rayford telah membersihkan wajahnya, dan kini, meski wajahnya bersih dari corengan minyak yang bau, wajah Jamen masih kusam betul. "Dan mengapa kau datang dengan begitu kotor?"
"Ah! Aku dikejar anjing waktu pulang. Sempat jatuh di dekat got."
"Mandilah sekarang," gumam Rayford sembari membereskan alas sembahyang. "Oh, sebentar. Bagaimana rupa para veiler—pengawal mereka?"
"Cukup ramah dan ... sedikit berasap. Maksudku, kemarin mereka juga mabuk-mabukan dan semakin lama semakin banyak asap yang keluar dari tubuh mereka dan ... entahlah, Tuan, seisi bar jadi ketakutan." Jamen mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, lantas menggeleng-geleng. "Aku yakin mereka pasti teramat beringas kalau tahu kita akan menyerbu vila mereka."
Rayford mengernyit. "Aku tidak bilang kalau akan menyerbu. Apa mereka tidak mengatakan sesuatu tentang Kamilla?"
"Nihil. Aku sudah cari tahu soal itu juga dan mereka tidak menyinggung apa pun soal gadis asing. Atau semacamnya."
Rayford yakin betul Kamilla berada di tangan mereka, atau, keyakinan itu sesungguhnya muncul karena tak ada lagi yang bisa Rayford salahkan. Kabar lain yang mampir dari Elentaire adalah Flarteus dan Anthoniras sedang sibuk membangun ulang Kelab Parasian serta mengejar Jessine Fortier, yang itu berarti mereka tak mungkin akan usil mengganggu misi Rayford. Mengapa pula mereka akan melakukannya? Ucapan Flarteus yang mengusirnya agar tidak ikut Aliansi Lima masih terngiang-ngiang di telinga Rayford. Meski ia memang setuju dengan apa yang dipikirkan Flarteus, rasa jengkel dan tersinggung masih melekat erat di benaknya.
Sementara Jamen mandi, Rayford memutuskan untuk membeli sarapan di dekat apartemen. Keheningan ruangan tergantikan oleh gaduhnya lobi, yang menjadi semakin riuh ketika derum mesin dan klakson memenuhi ruang pendengarannya kala menginjakkan kaki di trotoar. Padahal langit masih ungu gelap. Matahari baru akan terbit dalam tiga puluh menit, namun Kota Paru adalah kota yang telah sibuk lebih dahulu daripada sang mentari. Kedai-kedai yang buka sejak jam makan malam tetap ramai oleh para kuli yang mengisi tenaga. Dari kejauhan, samar-samar terdengar klakson kapal pesiar yang bergaung memenuhi seantaro distrik arena pelabuhan.
Omong-omong, Rayford rasanya sudah seperti penduduk Kota Paru. Aroma keringatnya berbau agak amis akhir-akhir ini.
Rayford mampir ke kedai di pojok persimpangan. Entah mengapa dia merasa sarapan kali ini harus lebih banyak dan sedikit mewah dari biasanya; lagipula lidahnya sudah muak menyicip roti dan selai terus-terusan ... bukan berarti dia akan menganggap hari ini cukup besar karena akan mengunjungi vila para Covalen. Tidak. Tak ada yang perlu dipersiapkan untuk itu selain memikirkan alasan yang tepat untuk bisa berkunjung secara sopan.
Sebab, heh, siapa yang mau asal menyerang? Yang benar saja, ini bukan drama panggung. Rayford bahkan berusaha untuk tidak menggunakan Energinya! Kejadian saat di pelabuhan waktu itu amat terdesak, sehingga ia menggunakan bilah-bilah tulang yang tak pernah lagi tumbuh dari jemarinya selama beberapa tahun terakhir.
Sembari menunggu pesanannya, Rayford memandang jemari dengan kalut.
Apakah ia akan menggunakannya lagi? Tapi—
"Permisi, Tuan." Seseorang mengetuk bahunya. "Apa kau sudah selesai memesan? Aku kelaparan, tolong."
Rayford tersentak. Ia buru-buru menyingkir dan mendapati pria yang menggantikan posisinya tengah berasap.
O-ho, ya. Pria berasap.
Tidak hanya Rayford, bahkan seluruh pengunjung kedai itu terpaku akan sosok asing yang tengah mengeluarkan asap di tubuhnya seolah sekujur organ dalamnya sedang terbakar, dan asap itu mengepul dari lubang hidung dan telinganya. Kenyataannya, pria itu nampak kelewat santai. Wajahnya merah dan sarat dengan aroma alkohol.
"Asap yang keren, Pak," komentar Rayford begitu saja.
"Satu porsi sup pedas dan—apa?" sang pengawal Covalen berhenti memesan. Ia menoleh kepada Rayford dengan alis terangkat, lantas menyeringai lebar dan mengeluarkan dua lembar uang untuk membayar. Ia menatap Rayford lagi setelah itu. "Keren, yah? Ini semangat musim panas yang berkepanjangan."
Rayford tersenyum tipis. "Kau mungkin ingin meredam Energimu sejenak."
"O-ho." Sang veiler ikut menyingkir ke posisi Rayford, memberi ruang pada pelanggan yang lain. "Kau tahu rupanya, eh!" dan sembari mengawasi Rayford lebih saksama, ia berkata lagi, "Sedang menunggu dagangan datang, ya?"
Rayford paham bahwa sang veiler tak bisa menentukan apakah dirinya seorang tuan, atau sama-sama pengawal. Rayford memang tak pernah berpakaian selaiknya Anthoniras dan Flarteus. Ia tidak menyematkan emblem klan apa pun, atau mengenakan satu set pakaian dengan warna senada yang perlente, atau sepatu yang mengilap. Rayford hanya punya dua mantel jadul, koleksi sweter murah, dan sepatu kulit hadiah Caellan bertahun-tahun lalu. Tubuhnya yang biasa beraroma khas herba juga diliputi bau amis dan asinnya laut. Minyak di wajahnya sudah serupa sisik ikan yang mengilap ditimpa cahaya matahari.
"Menunggu kabar saja," kata Rayford. Veiler itu mengangguk paham. Ia mungkin mengira Rayford sebagai informan sebuah klan besar sekarang. "Bagaimana denganmu?"
"Menemani tuan muda kami untuk berlibur sejenak." Sang pengawal menyeringai lebar. "Bersama para sepupunya! Heh, siapa yang berlibur ke kota macam ini, coba?"
Astaga. Rayford menyesal tidak menunggu Jamen selesai mandi dan mengajaknya kemari, sebab pria itu pasti akan mengejar sang veiler dengan lebih banyak pertanyaan lagi. Rayford dengan cepat berusaha memutar otak, memikirkan pertanyaan yang tepat.
"Yah, itu memang sedikit aneh," gumamnya. "Jadi, bukan untuk menunggu dagangan juga, eh?"
"Tuan-tuan yang ini tidak berdagang. Itu tuan-tuan yang lain."
Seorang pelayan datang dan menaruh pesanan Rayford serta sang pengawal di meja. Dengan begitu, mereka keluar dari kedai bersamaan, dan Rayford begitu ingin mengikuti sang veiler ke mana pun ia pergi. Apakah para tuannya tidak menculik seorang gadis? Oh, tidak mungkin ia bertanya seperti itu!
"Kemana kau akan pergi, Tuan?" sang veiler memecahkan lamunannya. "Aku akan ke arah sana."
Veiler itu menunjuk ke arah bukit di belakang mereka, jelas-jelas mengarah ke vila sang tuan. Jantung Rayford seketika berdebar-debar. Oh! Ini adalah kesempatan emasnya! Berusaha untuk tidak menoleh ke arah apartemennya berada, Rayford berkata dengan penuh keyakinan "Maaf, tetapi kau adalah pengawal Covalen, benar? Kau tahu aku sedang menunggu kabar di sini, di kota tempat orang datang dan pergi. Salah satu kabar yang perlu kudapat berasal dari para Covalen, dan andaikan kau tidak keberatan, maukah kau menunjukkanku jalan menuju ke sana?"
"Siapa kau?" ekspresi veiler itu sontak berubah. Wajah dungunya yang merah akibat alkohol kini mengeras.
"Aku datang dari Elentaire," kata Rayford. Ia tersenyum lebar, berusaha menyembunyikan degup jantungnya yang bertalu-talu dan rasa tidak nyaman yang teramat getir di lidah. Bohong. Apakah dia sedang berbohong? Tuhan, Rayford tidak berniat berbohong, dan tolong maafkan Rayford kali ini!
"Ada kekacauan di Aliansi Lima, dan kalau kau tak tahu maka tuan-tuanmu pasti sangat mengenalinya. Jadi, akan kuberitahu kepadamu, bahwa aku mendapat tugas untuk memastikan apakah tuan-tuan muda Cortessian dalam kondisi baik, sebab ketegangan sedang terjadi."
Saat ekspresi veiler itu tak kunjung melunak, Rayford merasa panik di dalam benaknya. Ayolah, dia sudah terlanjur berbohong sedikit!
"Kalau begitu bertemu lagi di sini saat jam makan malam," kata sang veiler tiba-tiba. "Tuan-tuan berencana untuk ... yah, berwisata di hutan mulai pagi, jadi kau baru bisa menemui mereka selepas makan malam."
"Sempurna. Terima kasih."
Veiler itu mengulurkan tangannya. "Billy. Namamu, Tuan?"
Rayford menjabatnya dengan mantap. "Ray."
"Dan atas nama siapa engkau berada di sini, Tuan?"
Rayford merasakan jemari sang pengawal menggenggamnya lebih erat, meski begitu pesona sang Guru Muda tidak goyah. Berkebalikan dengan kepanikan di dalam benaknya yang jumpalitan kesana kemari, Rayford tersenyum ringan. "Tremaine."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro