Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Konservatori Lembah Sungai

6, Bulan Puncak. Tahun 1930.

Rayford dan rombongan kecilnya tiba di Konservatori Lembah Sungai setelah satu minggu perjalanan. Konservatori itu terletak di ujung paling timur provinsi, dan membutuhkan waktu lebih lama untuk berlayar dari Pulau Stentin. Mereka juga harus menempuh perjalanan panjang dengan berpindah antar trem dari pelabuhan menuju desa terdekat Konservatori. Perjalanan mereka pun menjadi lebih pendek dua hari karena Rayford memiliki uang untuk membayar tiket trem. Seandainya pemuda itu juga tak memiliki uang, mereka akan menempuh perjalanan tak berkesudahan.

Tetapi, oh Tuhan, rasa lelah akibat perjalanan panjang itu seketika terbayar. Saat Rayford menginjakkan kaki di tepi tebing yang mengarah ke Konservatori Lembah Sungai, pemuda itu spontan merasakan bulu kuduknya merinding.

Konservatori Lembah Sungai adalah perguruan termegah yang pernah dilihatnya.

Lembah Sungai membelah dua tebing bagai ceruk raksasa yang terkikis oleh gelombang sungai deras, memisahkan dua pedesaan di puncak tebing yang ramai. Namun demikian, keramaian pedesaan dan perguruan senyap itu seolah tak pernah menyatu; menghantarkan kedamaian kepada para pedagang yang menepi sejenak pada tebing curam untuk memanjakan mata atas pucuk-pucuk kubah di dasar lembah yang memantulkan cahaya matahari dengan lemah, atau arus deras sungai yang menggema pada dinding-dinding tebing, atau pohon-pohon perak yang berpendar kuat pada malam hari. Sungai tanpa nama ini, yang sekadar dinamakan sebagai Sungai, barangkali adalah sungai terindah yang mengalir di dunia; mengular sepanjang lembah hingga ke cakrawala, menggerus dan mengikis tanah bebatuan di sisi-sisinya, dan memantulkan gemerlap cahaya matahari sesempurna binar berlian tanpa noda. Kabut biru keemasan menggelayut rendah di permukaan sungai, mengelabui mata-mata telanjang dengan kecupan pantulannya yang menyilaukan.

Berbeda dengan kebanyakan perguruan yang didirikan di atas reruntuhan Konservatori kuno demi menjaga kemurnian ajaran hidup, Konservatori Lembah Sungai sengaja dibangun pada badan sungai. Batu-batu sungai sebesar tubuh Rayford menyangga pilar-pilar mahakokoh yang senantiasa terendam. Jembatan-jembatan terendam setidaknya setinggi mata kaki, dan akar-akar pohon perak mencuat ke permukaan air. Paviliun-paviliun kelabu pucat berdiri pada ketinggian yang berbeda, mengikuti dataran dasar sungai, dan tangga-tangga penyambung dibanjiri oleh aliran sejernih kaca. Semua Guru yang berlalu lalang di Konservatori Lembah Sungai tak pernah mengenakan alas kaki, dan sarung-sarung mereka tak pernah kering kecuali pada waktu tidur. Kenyataannya, para Guru sembahyang, belajar, hingga bersantap dalam keadaan kaki-kaki telanjang mereka terendam air.

"Oh, Tuhan," bibir Rayford dengan penuh sukacita berseru girang. Wajah pucatnya yang bersimbah keringat pada puncak musim panas kini bersemu dalam kegembiraan. "Sungai besar! Aku sudah lama tidak berenang!"

Amar menertawakan kepolosan Rayford. Mereka pun menuruni beribu tangga pada dinding tebing. Gema arus sungai yang begitu deras dan menggetarkan relung membuat setiap obrolan harus dikencangkan.

"Tidak ada ayam hutan di sini, Khass!"

Rayford sesungguhnya ingin tertawa, tetapi ketinggian tangga yang curam dan lebarnya yang hanya sejengkal dari kaki-kakinya membuat pemuda itu ngeri. Pikirannya tak mau berhenti memutar imajinasi seliar menggelinding jatuh dari puncak tebing hingga tercebur ke sungai, kalau-kalau ia tidak berpegangan pada permukaan dinding tebing yang licin.

Rombongan kecil itu lebih banyak menghabiskan tenaga karena ketegangan meniti beribu anak tangga yang curam. Ketika akhirnya mereka mencapai dasar lembah, berpasang-pasang kaki itu gemetaran, bahkan Rayford harus bersandar pada dinding tangga agar tidak terjatuh pada lututnya. Abraham menertawakan kejadian ini, semata-mata karena belum juga terbiasa pada rasa lelah saat mengunjungi Konservatori Lembah Sungai.

Tetapi rasa lelah itu tak bertahan lama. Rayford dan Amar sudah terlanjur terpikat pada dinginnya percikan air sungai yang mencapai tepi tebing. Amar setengah menyeret Rayford saat memaksanya melepas sepatu dan mencelupkan kaki-kaki merah itu ke aliran sungai. Mereka bergidik kedinginan, lantas tertawa puas seolah-olah tengah merayakan masa kecil mereka delapan tahun yang lalu di desa puncak bukit. Abraham menyaksikan mereka dengan senyum tipis. Dia tidak keberatan untuk mengambil sepatu para pemuda dan menyimpannya di dekat tangga, bahkan berpikir untuk menggosok kotoran dari alas-alas kaki mereka setelah melewati tanah becek di atas tebing sana.

Ketiga Guru itu nyaris melupakan tujuan utama kedatangan, hingga seorang Guru lokal datang menghampiri tanpa suara. Sarung birunya meneteskan air, kulitnya pucat dan berkerut-kerut di kaki padahal usianya masih muda. Dengan langkah menyeret seolah-olah masih berkutat melawan arus deras sungai, ia menghampiri Abraham dengan santun.

"Salaam, Guru Abe."

Abraham terperanjat. Ia seketika menjatuhkan sepatu Amar yang masih digosok dan menepuk-nepuk tangannya yang kotor. "O-oh, Salaam, wahai Kamitua!"

"Kamitua?" Amar terkesiap saat mendengar kegugupan kakak pengasuhnya. Ia seketika berdiri, dan saat Rayford kembali memercikkan air ke arahnya, ia memberi isyarat. "Hus. Ada Kamitua."

"Kami—apa?" Rayford tersentak. Ia semula menduga yang dimaksud adalah mendiang ayah pengasuhnya, tetapi setelah menyadari bahwa ada seorang pria botak dengan sarung biru beraksen perak yang tengah dicium tangannya oleh Abraham, ia lantas menyadari apa yang terjadi. Kedua pemuda itu bergegas beranjak dari sungai. Dengan wajah memerah dan tubuh menggigil, mereka menghampiri sementara baju mereka sudah basah kuyup. Terlihat jelas bahwa Abraham juga menahan malu dengan penampilan mereka saat menemui Kamitua Lembah Sungai.

"Salaam, Kamitua." Amar meringis. "Kami memohon maaf karena ... karena banyak hal. Berendam di sungai tanpa meminta izin, dan ini ... pakaian ini ... aduh, kami malu sekali."

Kendati Amar merangkul bahu Rayford dan menggoyangnya sebagai isyarat agar mengikuti ucapannya, Rayford tidak bisa berkutik. Ia terpaku, semata-mata terpikat oleh kedua mata pucat sang kamitua yang mengingatkannya pada sepasang mata sang kaisar dinasti. Seandainya Rayford belum mengenal siapa pun dari luar desa hingga saat ini, ia yakin Kamitua Lembah Sungai adalah orang yang jauh lebih mengintimidasi daripada mendiang Kamitua pengasuhnya.

Baru kali ini Rayford mengetahui ada seorang kepala perguruan yang begitu belia. Bukan karena kepala botak yang dikira menyembunyikan identitas usia rambutnya. Kulit wajahnya bahkan masih bersih tanpa kerutan, seolah-olah ia adalah orang yang tak pernah menanggung beban hidup. Tetapi kedua matanya yang pucat, termasuk caranya menatap menembus jauh ke dalam benak Rayford, membuat pemuda itu agak ketakutan.

Kamitua Lembah Sungai membalas salam Amar dengan senyum lebar, memamerkan sederet gigi putih cemerlang tanpa emosi. "Kami akan lebih heran jika tamu-tamu kami datang dalam keadaan kering, saudaraku. Kalian telah membersihkan diri dengan baik." Ia lantas mengerling kepada Abraham. "Engkau terlalu menyibukkan diri dengan sepatu-sepatu itu, Guru Abe. Celupkan di sungai saja, maka arusnya akan membersihkan semua kotorannya untukmu."

Abraham nampak sungkan. "Saya hanya tidak ingin mengotori kejernihan sungai."

Kamitua Lembah Sungai tersenyum. "Segenggam lumpur kering tiada bandingannya ketimbang beribu dosa yang harus dibasuh setiap malam. Berendamlah."

---

Kamitua Lembah Sungai itu bernama Anhar. Menurut penuturannya—yang disampaikan sepanjang perjalanan dari ujung tangga tebing menuju pintu masuk perguruan yang disusupi air sungai—ia sudah menjabat selama sepuluhan tahun, dan sama-sama merupakan seorang kurir perguruan seperti Abraham dahulu. Kalau Rayford amati lagi, selain botak, keduanya juga nyaris tampak seusia, tetapi Abraham menghormatinya sedikit terlalu berlebihan. Abraham bahkan tidak sesungkan itu kepada mendiang Kamitua dahulu. Kini, ia terus-terusan menunduk saat mengobrol dengan Anhar.

Kaki-kaki itu berkutat menyeret saat melewati jembatan batu yang terendam setinggi mata kaki. Di sisi-sisi jembatan terbuka itu, pohon-pohon perak dengan akar mencuat tumbuh subur bersama dedaunan yang mengilap berbilas cahaya sore keemasan. Sungai mengalir pada undakan tak beraturan di kanan kiri, dan sesekali ikan merah dan kuning segemuk paha orang dewasa berenang ke tepi jembatan.

"Aku selalu mengagumi Guru Abe," kata Anhar pada suatu kesempatan, saat mereka selesai melintasi jembatan dan sekarang meniti undakan batu licin. "Dia tak kenal lelah saat menjadi kurir antar desa kalian menuju kemari. Bahkan tanpa menumpang trem maupun bis!"

Abraham merendah. "Guru-guru dari utara telah terbiasa berjalan kaki kemana pun, Kamitua."

Anhar tertawa. Suaranya yang rendah dan lantang seolah terpantul pada dinding-dinding lembah. Rayford dibuat kaget. Apakah semua Guru di sini bersuara lantang? Sebab nampaknya mereka harus mengalahkan gema arus sungai yang senantiasa meramaikan gendang telinga. "Kami Guru-guru timur memang tidak sekuat Guru-guru utara," akunya. "Kami nampaknya telah terlenakan oleh Energi yang tumpah ruah di Konservatori."

Abraham tertawa santun menanggapinya. Sementara kedua Guru itu saling bertukar kata, Amar menyenggol lengan Rayford. Ia baru saja akan mengatakan sesuatu, tetapi Rayford cukup cepat untuk menyahut duluan. "Tidak sekarang, Amar."

Pemuda itu merenggut, terlebih-lebih karena Rayford lebih mudah mengingat etika daripada dirinya yang sudah dibawa Abraham berkeliling Nordale selama empat tahun.

Anhar membawa mereka menuju sebuah paviliun yang terpisah dari bangunan apa pun, dan hanya disambungkan oleh tangga selebar tubuh manusia dewasa. Paviliun berkubah itu berdiri megah di atas aliran sungai, dengan jendela-jendela terbuka yang dibingkai tirai-tirai berat berwarna biru muda. Sesuai dugaan, ruangan berlantai batu ini bersuhu dingin, cukup memuaskan untuk ditiduri pada malam-malam musim panas. Dipan-dipan berlapis tumpukan selimut hadiah dari para pendatang disebar di tepi-tepi ruangan, dan—ini adalah yang paling dirindukan Rayford—ada rak-rak rendah yang dipenuhi oleh buku-buku kitab dan keagamaan lainnya. Rayford seketika mengenang perpustakaan tempatnya biasa menghapal doa-doa, atau sudut-sudut rahasia yang menjadi saksinya menulis diari dengan tulisan cakar ayam.

Oh, lupakan keraguan yang masih terus menggelayutinya sejak lama. Rayford benar-benar yakin untuk mengembalikan desa perguruannya sekarang.

"Beristirahatlah, saudara-saudaraku." Anhar merapat pada pintu. "Dua jam lagi waktunya bersantap dan persiapan sembahyang. Dan kalau kalian ingin berkeliling, maka pergilah kemana pun yang kalian suka." Anhar memaksudkan ucapan terakhir pada kedua pemuda di belakang Abraham. Ia tersenyum, lagi-lagi seringai yang membuat Rayford tegang. "Selamat beristirahat."

"Ah, tunggu sebentar, Kamitua." Abraham menyusulnya. Suaranya memelan saat mereka berdua keluar dari paviliun. "Sebelum saya lupa, saya ingin bertanya sesuatu." Kemudian, pintu ditutup. Tak ada lagi obrolan yang terdengar selain gemuruh sungai di luar paviliun.

"Aku tidak yakin aku mampu tidur nyenyak dengan suara sebising ini," gumam Amar saat menyibak salah satu tirai. "Tapi, kuakui, Konservatori ini benar-benar menakjubkan. Aku heran kenapa Kakak Abe tidak membawaku kemari selama empat tahun pengembaraan kemarin."

"Sungguh?"

"Ya." Amar menghampiri Rayford yang kini meletakkan tasnya di sebuah dipan. "Omong-omong, aku tadi ingin bilang kalau kehidupan di sini benar-benar berbeda dengan di utara."

"Bangunan yang megah?"

"Itu, tentu saja, di antara hal-hal yang lain," kata Amar. Ia menatap Rayford dengan mata melotot. "Aku tidak tahu kalau para Guru di sini juga membawa Energi. Sepertimu! Selama ini, kukira para Guru hanya sekadar menjadi medium saja, tanpa memiliki Energi yang bisa begini dan begitu seperti kalian para dehmos, Host, atau apalah itu."

Rayford membasahi bibir. "Aku juga berpikir demikian," katanya, lantas mengerling ke arah satu-satunya pintu dalam diam. "Bukankah seharusnya Guru yang diizinkan memiliki Energi hanyalah seorang kamitua? Itu pun hanya secuil. Mendiang Kamitua dulu hanya bisa sebatas berkomunikasi dengan para arwah di dalam benaknya, tidak lebih."

"Benar. Kukira aku tadi salah dengar, tetapi Kamitua Anhar sungguh-sungguh berkata bahwa semua Guru di sini punya Energi."

Rayford termenung. Tunggu. Kalau begitu ... apakah semua Guru di sini adalah setengah monster? Satu kenyataan ini membuat pemuda itu mendadak merasa gelisah.

Kenapa, di antara semua desa perguruan persaudaraan, Abraham membawa Rayford jauh-jauh kemari?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro