6. Kulit Ayam yang Menggosong
Note:
Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.
Selamat membaca!
----------------------------
Alih-alih menjawab, Rayford memandang sedu ke arah tenda karung di belakang Abraham. Ada satu hal menarik yang pernah menjadi impian Khass dahulu. Kabarnya, para Guru dari pedalaman selalu memiliki pengalaman mengembara yang mendebarkan. Para Guru pengembara hidup dari keahlian mereka menjadi tabib dan pengisi ceramah di berbagai Konservatori kecil. Uang mereka tidak seberapa, dan mereka biasa berkemah di dekat Konservatori mana pun yang dianggap aman dengan tenda dari karung-karung yang dijahit. Rayford ingat, sebelum Amar berangkat dahulu, ia sempat membantunya memperbaiki jahitan pada karung-karung beras. Hatinya sekarang mencelos melihat situasi ini. Sementara ia telah menikmati kasur empuk dan hangatnya selimut tebal pemberian Caellan, Amar dan Abraham masih melewati malam-malam yang dingin dan panas di balik tenda karung.
Dan, itu telah terjadi selama empat tahun. Rayford, entah kenapa, ingin menangis. Romantisme masa kecil yang dibayangkannya telah melebur menjadi pahit tak tertahankan.
"Apa kau belum makan, Khass? Mau ayam panggang? Bukankah kau menyukainya?"
"Tidak, terima kasih." Rayford menggigit bibir. Ia telah menyantap berlembar-lembar roti panggang dan selai cokelat lezat bersama Caellan.
"Dia bilang namanya bukan Khass lagi," kata Amar, mengingatkan Abraham. Ia lantas menatap Rayford dengan mata menyipit, menyusuri dari ujung rambut hingga kakinya. "Dan ... kulihat-lihat dia berpenampilan sangat keren. Apa-apaan, apakah kau sudah jadi penduduk kota besar?"
Rayford mendesah. "Bisakah aku bercerita dahulu?"
Abraham menegur Amar dengan pelototan, sebuah kebiasaan yang selalu berhasil membungkam Amar. Rayford tersenyum tipis melihat kejadian itu. Oh, betapa ini sangat mengingatkannya pada masa-masa indah sebelum Par muncul.
Maka Rayford pun mulai bercerita. Par dan hasutannya; pertengkaran hebat dengan Kamitua yang berujung pada pelarian, perbudakan, usaha kabur, pertemuan dengan Caellan, dan—ini puncaknya, dimana Rayford akhirnya tak bisa menahan air mata untuk bergulir lagi—bagaimana Par sungguh-sungguh telah memperdayainya untuk membunuh Kamitua, lantas melenyapkan seisi desa. Abraham dan Amar sama-sama terlihat nyaris pingsan, tetapi Abraham berusaha keras mempertahankan ketenangan. Ketika Rayford mengakhiri cerita dengan mengisahkan upayanya bersama Caellan untuk melepaskan diri dari Dinasti Cortess, kedua Guru di hadapannya termangu cukup lama.
"Ini gila," Amar adalah yang pertama kali berkomentar.
"Amar." Abraham mengerling.
"Maksudku, Tuhan telah memberimu jalan hidup yang sungguh berliku, Kha—anu, Rayford."
Rayford mendesah. "Panggil aku senyamanmu saja."
"Rayford terdengar begitu modern dan angkuh. Benar-benar nama khas Dinasti Cortess."
"Amar, sudahlah."
"Maaf."
Abraham memijat pelipisnya, sementara Amar terlihat makin tertarik dengan kisah hidup Rayford. Namun, sang pemuda tokoh utama tak ingin bercerita lebih banyak lagi.
"Jadi, ah ... biar kuluruskan lagi," kata Abraham. "Saat ini kau sedang membantu pihak Jenderal Arial untuk menyelesaikan sebuah kasus yang melibatkan sejumlah vehemos rendahan, karena mereka diyakini melakukan persembahan untuk iblis Par?"
"Benar."
"Dan kau mengalami kesulitan karena tidak ingin menggunakan kekuatan yang ditinggalkan iblis Par untukmu?"
"Tepat sekali."
"Oh, Khass! Betapa ... hidupmu sungguh berada di garis takdir yang amat keras." Abraham merentangkan tangan untuk menepuk-nepuk pundak Rayford. Sang pemuda menerimanya dengan penuh haru.
"Aku harus mengembalikan desa, Kakak," kata Rayford. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada semua orang. Aku harus mengembalikannya di tanah ini lagi."
Abraham mengangguk, kendati tak ada kata yang diucapkan, dan terlihat jelas tak ada yang berani memberi pendapat sembarangan. Mereka termenung sejenak hingga Amar bergeser untuk memutar posisi ayam. Kulitnya nyaris gosong.
"Selain itu," tambah Rayford. "Aku ingin menekan posisi Par di dalam diriku, Kakak. Selepas mengembalikan desa, aku juga ingin meminta maaf dan meminta bantuan para vehemos penjaga desa untuk ikut merasuki tubuhku. Dengan begitu, posisi Par akan terhimpit. Lebih baik aku dirasuki monster-monster pemuja Tuhan ketimbang iblis yang membuatku gila darah."
Amar terpana. "Gila. Bukannya mustahil, tetapi iblis itu sudah menguasaimu selama bertahun-tahun dan berlepas diri. Bagaimana bisa para vehemos kita akan—"
Abraham mengeplak kepala Amar. "Cukup. Atur bahasamu dengan benar meski kau sedang berbicara dengan Khass. Bagaimana bisa aku meluluskan tugas pengembaraanmu kalau begini saja kau tidak bisa?"
Amar menggerutu. Ia memilih untuk mengatup bibir dalam kekesalan yang berusaha diredam-redamnya. Seandainya Rayford masih seorang Khass, dia akan menertawakan Amar. Kenyataannya Rayford yang sekarang hanya bisa menyeringai tipis. Entahlah, menyandang nama baru ini membuat Rayford merasa tidak pantas untuk menikmati hal-hal yang pernah dilakukan Khass, seakan-akan tidak pantas untuk itu.
"Kau masih saja tidak berubah, Amar."
"Ya, dan kau berubah drastis."
Rayford menghela napas. "Kau benar. Ini terdengar mustahil. Aku sudah berbuat sedemikian jahat kepada desa karena hasutan Par. Sekarang, iblis itu sudah pergi dariku dengan fisik yang sempurna, sementara aku tak bisa apa-apa di sini. Aku bahkan tidak yakin para vehemos desa mau menerimaku lagi setelah apa yang kuperbuat."
"Khass, yakinlah pada Tuhan," kata Abraham. Suaranya setenang gemericik air sungai di tepi hutan, sedalam ketinggian sungai di bawah Konservatori yang mengalir deras. "Aku yakin sekali kita dipertemukan kembali di sini atas kehendak Tuhan pula. Kau, dan segala kerisauan yang membutuhkan kami untuk membantumu. Jangan khawatir, kami akan menjadi saksi pembangkitan desa."
"Tetapi aku masih sebatas seorang Guru Muda!"
"Dan aku dulunya seorang Guru Muda yang senantiasa mengembara hingga menemukan Amar." Kelembutan suara Abraham dengan cepat meredakan kekesalan Rayford yang nyaris meledak. "Dahulu aku berkeliling dari satu desa ke desa lain sebagai kurir mendiang Kamitua. Aku bisa membawamu ke desa persaudaraan mana saja agar kau disucikan kembali, setelah itu kita akan membangkitkan desa bersama-sama. Bagaimana, Nak?"
Rayford meresapi setiap kata Abraham serupa candu. Segala kegundahan seolah terhempas begitu saja, tergantikan oleh kedamaian menyenangkan yang selama ini didamba-dambakan.
Oh, bisakah dia ikut pulang ke desa seandainya telah kembali seperti sedia kala?
Rayford tercenung. Tidak, tidak. Apakah situasi bisa kembali seperti dulu lagi?
+ + +
Padahal Caellan sudah menyampaikan niat untuk tidak pulang ke apartemen selama beberapa hari, tetapi takkan pernah ada yang tahu bagaimana masa depan berkehendak. Saat Caellan masih menyicip stok anggur baru di Mansion Putih, sebuah telepon berdering untuknya. Mengetahui bahwa yang menelepon tak lain adalah Rayford, dengan suaranya yang agak panik sekaligus menahan kegembiraan, Caellan tahu rencana awal itu harus ditunda. Ia segera mengemudi kembali ke Stentin.
Ketika Caellan membuka pintu apartemen, ia mendapati Rayford sedang menjejalkan beberapa pasang pakaian ke tas.
"Apa yang kau lakukan?"
"Akhirnya kau datang," kata Rayford, sembari berusaha menyusupkan sepasang sepatu yang sudah dibungkus surat kabar edisi beberapa hari lalu. "Apakah aku boleh berangkat?"
"Tunggu sebentar." Caellan melepas topi fedora, termasuk melonggarkan kancing teratas kemejanya. Demi Tuhan, cuaca di penghujung musim panas kali ini begitu lembap. Ia berkeringat cukup banyak hari ini. "Aku memang mengatakan padamu untuk menyelesaikan masalah dengan cepat, tetapi—tunggu dulu—ada masalah baru. Kau ingat Mansion Delikus?"
"Ah, ya."
"Bagaimana kalau aku membutuhkan bantuanmu? Maksudku, kau juga seharusnya ikut andil di sini. Kita harus menyelesaikannya bersama."
"Karena yang dicurigai adalah Par?" jawabannya segera dibalas anggukan, sehingga Rayford spontan memasang wajah jijik. "Yah, selnya juga mengalir di dalam nadimu."
Caellan menatap pemuda itu dengan tatapan berbalut kengerian. "Kau tahu aku trauma betul, kan?"
"Memangnya aku tidak? Aku menghabiskan tiga tahun di pusat rehabilitasi."
Oh, apakah sekarang obrolan ini akan menjadi ajang akan siapa yang lebih menderita? Alis Caellan berkedut jengkel. Rayford tidak tahu dengan siapa dia berdebat, tetapi Caellan akan tetap memperlakukan adik tercintanya dengan penuh kelembutan ... yah, tentu saja kelembutan khas Caellan Caltine.
"Dan karena aku tidak sepertimu, maka aku yang mengatasi ini sendirian?"
"Kau tidak sendirian. Ada polisi-polisi yang menghormatimu itu."
Caellan spontan mengusap wajah. Baiklah, sudah cukup. Jika perdebatan ini berlanjut, Rayford akan semakin ahli dalam membalasnya, dan entah informasi apa lagi yang akan ditumpahkan pemuda itu. Caellan mengangkat tangan.
"Baiklah, mari membuat beberapa persetujuan," ujarnya cepat. "Pertama, berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menyelesaikan itu semua? Mengembalikan desa, menekan Par, dan segala hal apalah yang berkaitan—berapa lama waktu yang kau butuhkan?"
"Amar dan Kak Abe tidak punya Energi sepertiku," kata Rayford lesu. "Mereka tidak bisa berpindah dalam sekejap sebagaimana aku mengunjungi desa dan kembali kemari dalam lima menit saja. Kami harus berlayar dan ... untuk mencapai Gerbang Timur ... kira-kira semua proses memerlukan waktu dua hingga tiga minggu. Bisa saja lebih."
Caellan memutar bola mata. Proses penyelidikan Mansion Delikus pasti sudah dibuka saat itu. Percuma kalau ia menanti Rayford kembali dari keperluan pribadinya.
Tapi, oh, tunggu ....
"Itu waktu yang lama," Caellan sengaja mengeluh. "Berjanjilah kau tidak akan membuang-buang waktu. Aku tahu kau sudah lama tidak berjumpa dengan kawan-kawan perguruanmu, tetapi masalah genting juga masih terjadi di sini. Kau bisa bertemu mereka kembali, bertukar segala cerita, setelah segalanya usai."
Tatapan Rayford sekarang berubah, seolah-olah Caellan baru saja melakukan hal yang sama dengan mendiang Kamitua; melarangnya keluar dari sebuah rumah yang semula sangat menyenangkan baginya. Dan, pemuda itu jelas tidak akan mengulangi masa lalu. Rayford setengah melempar sabuk suspender ke tas. "Aku sudah bertahun-tahun tidak bertemu mereka." Kendati suaranya pelan, terdengar jelas kejengkelan yang berusaha ditahan-tahan. "Mereka sudah seperti keluargaku, kau tahu? Kenyataannya kami tumbuh bersama, dan tiba-tiba tak ada kabar selama empat tahun ... apa kau tahu betapa aku seringkali memikirkan mereka, mengira bahwa mereka ikut menghilang seperti desa? Dan, kau menyuruhku mementingkan masalah saja, seakan-akan mereka cuma kawan perjalanan?"
Caellan menghela napas. Lihatlah cara Rayford menatapnya bagaikan sipir yang baru saja mengabarkan sang narapidana bahwa hukumannya diperpanjang. "Ada banyak sekali masalah yang menimpa kita, Ray. Aku tidak melarangmu melepas rindu dengan siapa pun, tetapi selesaikan semua masalah dahulu."
"Kau tidak bisa mengatur-aturku," tukas Rayford. Ia menutup tas dengan cepat. "Aku tidak bisa memperlakukan Kak Abe seperti itu. Aku bukan orang yang apatis, dan aku juga bukan orang dengan peran besar yang membuat orang-orang bisa memaklumi segala sikapku—"
"Aku"—Caellan spontan menudingnya—"tidak mau ada pertikaian macam apa pun di sini, termasuk perbedaan pendapat."
Caellan merasa dirinya sudah sangat bersabar, dan sama sekali tidak mengeluarkan nada yang mengandung amarah, tetapi nampaknya Rayford terlampau peka. Bibirnya berkerut marah dan pemuda itu spontan menyampirkan selempang tas di bahunya.
"Baiklah," ujar Rayford dengan suara tercekat. Ia nampaknya akan mengatakan lebih banyak hal, dan berakhir mengurungkan niat, karena ujung kakinya sekarang melumat ke udara. "Semoga Tuhan mau membantumu."
Caellan menyaksikan dengan tegang saat tubuh Rayford menghilang dalam sekejap, sama sekali tak meninggalkan bekas barang sepercik debu yang mengapung di udara.
Ada sesuatu yang janggal, tetapi Caellan masih belum mampu memetakannya. Dengan menyeret kaki, Caellan menghampiri sofa untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Rasa lelah spontan menyergap tubuh bagai ribuan semut yang menjalar dari ujung kaki, menggigit-gigit hingga ke tulang sumsum saat Caellan meresapi rentetan masalah yang kembali hadir.
Dengan susah payah ia berusaha meraih gagang telepon, memutar nomor tertentu, lalu menunggu dering teleponnya terjawab.
"Ah, Luna?" ujarnya lemas. "Ya, aku ada di apartemen ... ya, bisakah kau kemari? Minta manajerku untuk menjemputmu, dan kabari dia untuk membawakan anggur dari lemarinya ... ya, Vincent—kau tahu dia, yang sempat mengantarmu pulang bulan lalu ... benar, yang itu. Kau tidak sibuk kan? Bagus. Cepatlah kemari, Sayang."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro