3. Anjing Baru untuk Caellan
Apa yang lebih buruk daripada kehadiran polisi? Bahwa apartemennya diketuk oleh orang tak diundang. Apa yang lebih buruk daripada itu? Mereka menginginkan kehadiran Nikolan Vandalone bukan di Mansion Putih. Adakah yang lebih buruk? Membangunkan Caellan dari tidurnya.
Caellan dengan berang membuka dua slot pengunci dan melepaskan gembok pintu, lantas mengacungkan pistolnya segera setelah menjeblak pintu terbuka. Kedua polisi itu terperanjat. Polisi yang lebih muda sontak mengangkat senjata, tetapi polisi berkumis yang ditodong Caellan mendorong pistol anak buahnya menurun. Polisi baru itu kebingungan.
"Selamat malam, Tuan Vandalone." Inspektur Camer tersenyum getir. Ia menunjukkan kartu identitasnya. "Kami memohon maaf atas ketidaknyamanan ini, tetapi waktu terlalu mendesak dan tidak mungkin kami menemuimu di Mansion Putih."
Inspektur itu bodoh. Menemui Nikolan Vandalone di apartemen pribadinya adalah ketidakmungkinan nomor satu yang harus dicamkan. Caellan menurunkan pistol, tetapi sorot matanya yang menguliti inspektur tidak kunjung berkedip, hingga ia menyadari ada seseorang lagi yang borgolnya digenggam oleh polisi muda. Pria itu barangkali berusia di penghujung dua puluhan. Janggut tipis tumbuh serampangan di rahangnya yang menonjol, begitu pula rambut tipis yang mencuat dari kepala botaknya. Wajahnya pucat dan tirus, dan Caellan tidak asing dengannya.
Ketika Caellan melirik Inspektur Camer sekali lagi, pria itu bersuara. "Kami sedang menyelidiki kasus pembantaian Mansion Delikus yang telah terjadi tiga tahun yang lalu, tuan Nikolan Vandalone. Penyelidikan kami berjalan teramat lambat karena banyak kendala ... sebab dari empat ratus undangan yang tercatat, hanya satu orang yang selamat dan tersisa." Inspektur Camer menunjuk pria berpakaian khas pasien yang mulai menguning. Ia gemetaran. Matanya berair memandang Caellan. "Dia ini ... ah, namanya Jamen Pierce. Dia sangat mengingatmu, tetapi tidak menemukanmu dalam daftar mana pun. Butuh waktu lama bagi kami untuk menelusuri bahwa engkaulah yang dimaksud, Tuan Vandalone."
Caellan mengernyit. "Pembantaian? Maaf. Aku tidak tahu apa-apa."
"Tuan, maaf—Anda tidak bisa begini." Inspektur Camer buru-buru menahan pintu saat Caellan mendorongnya menutup. Caellan mengintip dengan gusar. "Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut."
"Omong kosong. Kau yang harus ikut aku ke Mansion Putih," tukas Caellan. "Tulis surat warisan dan ucapkan selamat tinggal pada istri dan kedua anakmu, Camer."
"Tuan, saya mohon," Inspektur Camer berbisik. Kumisnya yang tebal bergetar. "Kasus ini istimewa dan kami tidak bisa melanjutkan penyelidikan tanpa Anda."
Caellan baru saja akan membuka mulut kala Jamen Pierce tiba-tiba merangsek maju. Inspektur Camer terkejut dan cepat-cepat menahan tubuhnya. "Tuan! Tolong saya!" Jamen meraung. "O Tuan, tolong buktikan—tolong bantu saya! Saya tidak gila!"
"Ada apa ini?"
"Iblis!" seru Jamen. "Iblis-iblis itu yang menculik semuanya!"
"Maaf, tuan. Maaf. Dia menjadi begini sejak dimasukkan ke rumah sakit jiwa." Inspektur Camer mendesis jengkel pada Jamen. Polisi muda di belakangnya menarik kerah Jamen dengan kasar hingga pria malang itu tersandung. Ia tersedu-sedu di balik lengan bajunya. "Semua tamu undangan lenyap dalam satu jam, tuan, dan Mansion Delikus dibanjiri darah. tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan sekarang mansion itu telah ditutup. Hanya Jamen yang selamat—ditambah engkau, beruntunglah—dan Jamen bersikukuh bahwa ia melihat segerombolan iblis di dekat mansion."
Caellan menghela napas. Lelucon macam apa ini? Empat ratus tamu undangan lenyap dalam waktu secepat itu? Dan, banjir darah? Terdengar menggiurkan baginya. Caellan tidak sengaja menoleh ke dalam apartemen dan mendapati Rayford ternyata berdiri di dekatnya. Bocah itu menguping. Saat Caellan melirik, Rayford mengatupkan bibir.
"Segerombolan iblis?" bisiknya heran. "Menculik manusia?"
Caellan memutar bola mata. Ia pun membuka pintu sekali lagi dan menatap ketiga tamu tak diundangnya dengan dongkol. "Tunggu," ujarnya, lantas membanting pintu.
+ + +
Kantor polisi identik dengan asap rokok, puntung yang berceceran, dan deham-deham mengganggu para polisi. Caellan tidak menemukan kantor polisi yang lebih melekat pada stereotip selain kantor polisi Stentin Utara ini. Kipas angin berayun-ayun miring di atas kepalanya. Sofa buluk dengan benang-benang ruwet yang mencuat menguarkan aroma keringat dan tembakau yang melekat selama bertahun-tahun. Caellan, kendati telah dikelilingi para preman dan anak-anak buah di klan Vandalone, tetap menjadi pembenci aroma tembakau yang membuat dadanya sesak.
Caellan tidak sadar jika emosinya membingkai jelas pada garis alisnya yang berlekuk kaku. Sepatu mengilapnya menghentak saat menyusuri lorong menuju kantor Inspektur Camer. Orang-orang yang kedapatan berpapasan dengannya hanya mengawasi dengan tajam. Mereka tahu siapa pemuda perlente yang melintasi lorong dengan angkuh itu, dan tak ada satu pun yang menghentikannya untuk menanyakan keperluan.
Semua akhirnya tahu wajah asli Nikolan Vandalone yang berhasil diseret Inspektur Camer—atas bantuan Jenderal Curtis—untuk datang ke kantor polisi Stentin Utara. Selama ini namanya hanya pernah muncul di berbagai kesaksian, dan terakhir kali namanya tersebut, adalah sebagai satu-satunya tamu yang hidup dari pesta Mansion Delikus.
Saksinya adalah Jamen Pierce, pelayan pesta yang selama tiga tahun ini pula terpaksa dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Sisa-sisa pembantaian masih membekas erat di ingatannya, tercecap legit di mimpi-mimpi yang mampir setiap hari. Ia tergolek lemas di sofa kulit imitasi seketika rombongan Inspektur Camer tiba di ruang kerjanya.
"Ini, Tuan." Inspektur Camer menaruh foto-foto hitam putih di meja tamu. Caellan mencondongkan tubuh untuk melihat semuanya sekilas. "Ini adalah foto-foto di ruang eksklusif mansion yang sudah dikirim oleh Jenderal Arial minggu lalu. Anda mengenalnya?"
"Ya."
Jamen terkesiap. "Anda sungguh-sungguh membunuh semua orang di sana?" suaranya bergetar. "Ketika Anda menahan saya untuk masuk—Anda sedang mengalihkan perhatian saya, bukan?"
Caellan menatapnya sesaat. "Ya."
"Anda ... Anda membunuh semua orang."
"Sayang sekali aku tidak melakukannya."
"Tuan, tolong jangan berbohong." Jamen sesenggukan. Wajahnya yang nelangsa memerah dan makin jelek ketika ujung bibirnya melengkung tajam ke bawah. "Teman saya mati."
"Itu tidak ada hubungannya denganku. Lagi pula tidak ada bukti." Caellan mengerling kepada Camer. "Bukankah begitu?"
Camer menelan ludah. "Benar. Semua barang yang tertinggal di sana tidak menunjukkan ada tanda-tanda keberadaan Tuan Vandalone. Tetapi kami tidak bisa memastikannya sebelum mengadakan autopsi pada mayat-mayatnya, Tuan. Masalahnya tidak ada mayat yang tersisa. Kasus bahkan tidak bisa dibawa ke pengadilan."
Tangisan Jamen memecahkan konsentrasi keduanya. Inspektur Camer mendesah gemas dan menyuruh Jamen untuk menunggu di luar, tetapi Caellan menahannya. Pemuda itu malah beranjak. Tingginya yang menjulang membuat sang inspektur nampak seperti kurcaci. "Aku ingin berbicara dengannya. Kau yang harus keluar, dasar tidak berguna. Lebih banyak yang melakukan tugasnya dengan sempurna."
"Jangan, Tuan." Inspektur Camer mencicit. "K-kasus ini tidak akan masuk ke pengadilan. Mereka tidak menerima iblis sebagai tersangka. Itu diluar kuasa mereka. Sumpah." Inspektur Camer lantas menunjuk foto-foto di meja, kemudian menaruh sisanya dari genggaman. "Lagi pula ini. Dan ini. Kami tentu yakin ini bukan perbuatan manusia. Jamen bersaksi telah melihat iblis, dan perbuatan jahanam ini pasti hanya bisa dilakukan iblis."
"Kasusnya memang tak masuk ke pengadilan, tetapi kau salah karena menyeret para setengah monster Arial keparat itu untuk ikut-ikutan."
Inspektur Camer menegang. "Hanya mereka yang punya kuasa untuk ini, Tuan," ujarnya membela diri. "Lagi pula ... apakah Vandalone memiliki masalah dengan Arial?"
Caellan refleks melirik kepada Inspektur Camer, membungkam sang pria malang yang menyesal telah menelurkan pertanyaan semacam itu. Caellan tidak perlu menjawab untuk menegaskan kembali posisi sang inspektur.
"Aku ingin berbicara dengan Jamen Pierce."
"Tentu, Tuan. Tentu saja."
Jamen terkejut. Dia berhenti menangis dan mengawasi Caellan dengan membeliak, tetapi alih-alih murka, ada binar tersembunyi di baliknya. Dia menelan ludah dan memandang Inspektur Camer dengan berkaca-kaca. Sang inspektur menyanggupi permintaan itu dengan enggan dan berkata akan menunggu di luar.
Ketika pintu ditutup, Caellan menghampiri meja kerja Camer dan menelusuri berkas-berkas yang masih berceceran di meja. "Tangisanmu tidak akan menghidupkan mayat manapun, Pierce."
"B-benar."
"Bagaimana keadaanmu?" suara Caellan melunak. Jamen terkesiap dengan perubahan dadakan itu. Bukankah dia baru saja membuat Inspektur Camer mencicit? Caellan lantas menawarkan saputangan kepada Jamen. "Kenapa kau mengenakan pakaian itu? apakah peristiwa lalu amat mengerikan bagimu?"
"Saya ... saya tak ingin mengingatnya."
"Lumrah. Aku pernah berada di posisimu."
"Sungguh?" Jamen menelan ludah. "Anda baik-baik saja melihat foto-foto itu."
"Kau akan terbiasa jika terus menghadapinya."
Jamen menegang. Dia menyaksikan Caellan mengeluarkan sebuah botol dan menghisap dua butir tablet. Caellan melihat foto-foto itu tanpa ekspresi terbersit sekali pun, termasuk kejengkelan terhadap Inspektur Camer yang menghilang begitu saja. Jamen mengawasi petinggi Vandalone itu lekat-lekat.
"Berapa lama kau akan berada di sana?" tanyanya sambil mengedikkan dagu pada pakaian Jamen.
Pria itu menjadi murung. "Entahlah, Tuan. Sampai mereka anggap saya waras, barangkali. Padahal saya tidak gila. Sumpah. Hanya saja mimpi-mimpi itu terus datang setiap malam, memaksa saya untuk menuntaskan ini! Saya takut!"
"'Takut?" Caellan menatapnya dengan alis terangkat, perlahan senyum tipis tersungging di bibirnya. "Kau menempatkan ketakutan di situasi yang salah, Pierce. Sekarang tatap aku, dan dengarkan aku baik-baik."
Jamen menegakkan tubuh. Dia siap untuk mendengar apa pun ucapan pemuda terhormat di hadapannya ini, walau ia justru merasakan sensasi yang berbeda saat menatap Caellan. Gejolak duka dan jantungnya yang berdentum-dentum seketika menjadi tenang.
"Aku akan mengeluarkanmu dari rumah sakit jiwa bodoh itu, Pierce. Kau tidak gila. Kau melalui hidup yang sangat berat dan berusaha keras keluar darinya. Tak ada yang salah dengan itu."
Kedua mata gelap Jamen perlahan menurun. Mata Caellan sekarang tak bisa ditatap lagi. Jika Jamen ingin menatapnya, matanya tiba-tiba terasa sangat panas seolah akan leleh. Jamen memilih untuk menekuni mantel kulit yang terlihat sangat mahal dan pas di tubuh Caellan. Ia iri, tetapi bukan itu fokusnya saat ini. Setiap kata yang terucap dari mulut Caellan terdengar begitu indah dan meninabobokan gejolak emosinya.
"Teman yang telah meninggalkanmu lebih berharga daripada sekeping emas yang pernah kau kejar. Teman itu berharga, Jamen! Teman itu wujud nyata kesetiaan. Di dunia yang kejam ini, kesetiaan bagaikan ekstasi memabukkan yang tidak membuatmu berdosa, sayang harganya sangat mahal tak terkira. Harganya adalah hidupmu sendiri. Kesehatanmu. Ketenangan batinmu."
"Benar sekali, Tuan."
"Tetapi teman tidak hanya satu, Pierce. Ketika satu layu, masih ada ribuan untuk dipetik dan dirawat di potmu yang kosong," kata Caellan. Suaranya menggaung di dalam benak Jamen. "Aku akan mengeluarkanmu dari rumah sakit bodoh itu."
Jamen menahan napas. Apakah dia malaikat? Reputasinya yang selama ini mampir di telinga Jamen menjadi meragukan. Lagi pula, siapa yang mau mengeluarkan seorang mantan kriminal macam Jamen dari rumah sakit jiwa? Orang-orang justru akan berusaha mempertahankannya di sana. Namun, pemuda ini—yang sepertinya telah lama menyuap Inspektur Camer dan entah berapa polisi lagi—akan menjadi malaikat untuknya.
Bibir Jamen bergetar saat berkata, "Saya ... saya akan melakukan segala hal untukmu, Tuan."
Caellan bahkan belum mengatakan apa pun, tetapi pria itu depresi. Dia memandang dagunya dengan sayu. Senyum Caellan melebar saat mengulurkan tangan untuk berjabat. "Persiapkan kopermu. Kau akan segera keluar."
Ketika jabat tangan itu bersambut, Jamen tersentak. Ia menatap Caellan dengan linglung, tepat ke arah kedua matanya yang biru cerah. Matanya tidak lagi terasa terbakar. Tak ada yang tersisa selain rasa cemas ketika Caellan beranjak dan membuka pintu kantor Inspektur Camer.
"Tuan? Tuan, saya benar-benar menantikan Anda."
Caellan menemui inspektur yang terus menyandarkan tubuh pada jendela luar ruangan. Matanya mengawasi Caellan tanpa kedip dan mulut terkatup, siap menerima perintah baru dari Caellan.
"Keluarkan dia dari rumah sakit itu. Kenapa ia ditaruh di sana?"
"Dia meresahkan para tahanan yang lain," bisik Inspektur Camer, lantas terdiam sejenak. Ia melirik ke dalam kantor, memastikan bahwa Jamen masih berada di posisi duduknya. "Dua kali aku mengurusnya, Tuan. Pertama saat berusia sebelas, dan dia bebas untuk kedua kalinya tiga tahun lalu tepat beberapa minggu sebelum kasus itu. Dia mendapat pekerjaan di mansion dari mantan teman satu selnya. Tukang pukul yang menjaga ruang eksklusif; yang dia tangisi itu."
Caellan mengangguk. "Kalau punya keluarga, jauhkan mereka. Bilang Jamen Pierce sudah mati."
"Dia sebatang kara, Tuan," jawab Inspektur Camer, dan merasa bahwa responnya kurang memuaskan, ia menambahkan lagi. "Dia membunuh kakaknya karena memperebutkan ganja. Kedua orang tuanya tewas sengsara karena banyak hal."
"Satunya?"
"Pemerkosaan ... dan pembunuhan lagi."
Caellan mengangkat alis. "Kuanggap dia membunuh di usia sebelas."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro