Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Ironi Kebaikan

Rayford pulang setelah jam makan siang. Cuaca siang hari menggigit hidung, dan langit sedang sendu-sendunya. Awan kelabu gelap bergelung padat di langit Kota Stentin. Samar-samar terdengar geluduk dari kejauhan.

Rayford memutar kenop pintu dengan begitu perlahan, berdoa dalam hati dengan harapan Jamen masih terlelap, sebab pria itu punya jadwal tidur yang berantakan. Tetapi, ketika Rayford mencium bau bawang putih dan mentega yang menguar wangi, ia meringis sebal.

"Tuan!" seru Jamen saat Rayford melongok masuk. Si pemuda yang malang menggerutu dalam hati. "Kenapa engkau pergi tanpa memberi kabar?"

Rayford menghela napas. Ia menutup pintu dengan punggungnya. "Aku tidak mau kau melapor kepada Caellan."

"Sayangnya, Tuan Besar lebih tidak suka kalau aku memberi laporan yang tidak lengkap."

"Apa kau sudah melapor?"

Jamen menyeringai. "Keberuntungan padamu hari ini," ujarnya sembari mengacungkan spatula yang mengilap ditimpa cahaya lampu. "Aku menelepon tetapi tidak ada yang mengangkat. Tampaknya Tuan Besar sedang keluar."

"Katakan kepadanya kalau aku pergi membeli selai." Rayford mengacungkan kantong belanjaan kecil. "Dan ... berjalan-jalan untuk menghapal rute trem."

Jamen memerhatikannya dengan heran. "Sebegitu besarnya kau tidak ingin berbohong sampai menumpuk botol selai di lemari, Tuan?"

"Aku Guru Muda. Aku tidak berbohong."

Jamen hanya mengangkat bahu. "Baguslah," komentarnya sekenanya. Ia tak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Ia sekarang menuangkan krim cair ke panci, tenggelam sekali lagi pada menu yang sedang dimasak. Kalau tidak salah, Jamen bilang menu hari ini adalah sup krim jamur dan roti panggang mentega bawang. Terlalu banyak bawang, tapi tak masalah—masakan Jamen memang lumayan enak khas rumahan, meski belum mampu menyaingi menu-menu yang dikirim kekasih Caellan setiap seminggu sekali. Yah, kalau tidak salah gadis itu bekerja di kedai keluarganya. Sudah pasti kehebatannya tidak tertandingi.

Rayford berganti baju dengan cepat, seolah-olah Caellan akan datang di menit itu juga dan menangkapnya basah baru saja keluar rumah. Ini menggelikan. Semenjak Rayford mendapat undangan Elentaire, Caellan mendadak bersikap terlalu protektif. Tentu Rayford bisa saja melumat tubuh dan menghilang dalam sekejap dari kamarnya, tapi ia tak mau mengambil risiko mual seharian karena efek perpindahan yang begitu cepat. Rayford belum terbiasa dengan ini.

Kalau begitu, mungkin butuh waktu bertahun-tahun pula agar Rayford bisa memanfaatkan Energinya melakukan berbagai hal seperti Cortessor tadi pagi.

Tak masalah. Dia tetap akan berangkat menimba ilmu di institut. Dan siapa pun tak boleh memengaruhinya lagi.

Caellan datang selalu di waktu yang sama. Malam ini dia hadir dengan senyum lebar yang mencurigakan. Rayford menyadari bibirnya sempat berkedut saat melihat dua koper dan satu mantel yang tersampir di sofa.

"Malam ini?" tanyanya.

Rayford mengangguk. "Mari makan. Aku takkan bertemu denganmu sampai liburan musim panas."

"Kau banyak lagak sekarang, ya?" Caellan mencemooh. "Awas saja kalau kau terlibat masalah selama berada di sana."

"Memangnya aku dirimu?" balas Rayford, yang membuat sang abang seketika mengangkat alis. Jamen buru-buru menyajikan piring hidangan di meja, kemudian bersembunyi di ruang kerja Rayford dengan makan malamnya sendiri. Sudah pasti perdebatan bakal meletus, sebagaimana kebiasaan baru yang tercipta akhir-akhir ini, dan Jamen lelah mendengar celotehan para pemuda yang mampu menggerogoti kesehatan mentalnya. Jamen sudah mencapai usia di mana perdebatan sama sekali bukan pilihan dalam menyelesaikan masalah.

Namun, alih-alih memenuhi dugaan Jamen, Caellan hanya mendengus. Ia pun menyendok sup tanpa berkomentar. Rayford dibuat cukup tercengang, kendati ini adalah antiklimaks perdebatan yang justru diharapkan. Sang adik pun menyantap makan malamnya.

Mereka tidak banyak bicara setelah itu, selain obrolan-obrolan ringan akan salju yang sempat turun sepanjang sore, dan gagasan Caellan agar Jamen disertakan ikut ke Elentaire. Tetapi Rayford menolaknya, mengatakan bahwa itu adalah kota para setengah monster, dan ia perlu mencari tahu terlebih dahulu. Bagaimana pun Jamen hanyalah manusia biasa, yang sama sekali tidak memiliki secuil pun Energi di dalam tubuh. Sederhananya, seorang manusia murni, dan fisik mereka tak mampu menahan gejolak Energi para dehmos.

Caellan juga berkata akan menginap malam itu. Malah, dia mengajukan diri untuk mengantar sang adik ke Stasiun Sub-Elentaire, yang semula juga ditolak sekali lagi. Tetapi Caellan bersikap agak berbeda hari ini. Dia sama sekali tidak berusaha mempersuasi seperti sebelumnya, dan justru melakukan kebalikannya. Tentu saja ini membuat Rayford heran, bahkan mencapai taraf curiga yang tidak sehat.

"Apa yang kau makan seharian ini?" tanyanya, dan Caellan tertawa.

"Aku hanya menyadari bahwa upayaku memengaruhimu tidak lagi berhasil. Tak apa. Kau memang adikku."

"Apa kau ... menyerah?"

Caellan menelengkan kepala. "Seaneh itu?"

"Tidak juga," jawab Rayford, masih dengan kecanggungan yang kental di pangkal lidah. Apakah sekarang abangnya juga akan bersikap mencurigakan? "Tapi kau mendadak bersikap begitu baik. Padahal aku akan berangkat dalam beberapa jam."

"Memangnya kau mau aku gigih mempertahankanmu di sini sampai menit terakhir menjelang keberangkatan kereta?"

"Tidak ...."

"Bukankah ini yang kau inginkan?" senyum akhirnya lenyap dari bibirnya, memburai menjadi kejengkelan yang lebih pantas tersemat di wajah Caellan Caltine. Ia duduk di sofa sebelah tumpukan koper Rayford. "Kau yakin tak ada yang tertinggal? Seragam? Buku?"

"Nanti akan diberikan setelah aku mendaftar ulang."

"Benar-benar gratis?"

"Benar-benar."

Caellan menyandarkan dagu pada tangannya. "Sekolah bergengsi macam apa yang memberi fasilitas sebanyak itu dengan gratis?" gumamnya. "Dan memakai sistem undangan? Kenapa kau diundang, tetapi Elliot Zane tidak?"

Rayford tentu saja tak mampu menjawab, kendati pertanyaan itu juga terngiang-ngiang di kepalanya. Ia memandang Caellan dengan bibir terkatup. "Apakah kau memikirkan itu selama ini?"

Caellan menatapnya balik dengan terheran-heran. "Kalau kau tidak mempertanyakan ini, maka ada yang salah dengan kepalamu."

Akhirnya, hinaan meluncur dengan natural dari mulut pemuda itu. Rayford, walau jengkel, menghela napas dengan lega. Inilah Caellan yang ia kenal; Caellan yang tidak lagi memanis-maniskan kata-katanya, Caellan yang menyuarakan pikirannya tanpa hambatan.

"Sini." Caellan menepuk-nepuk spot sofa yang masih kosong di sampingnya. Rayford mengernyit. Meski begitu ia tidak menolak untuk duduk di sana. Ia hanya tidak mengira Caellan akan mengalungkan lengannya di pundak sang adik.

"Apa ini?"

"Pelukan terakhir sebelum adikku absen selama dua musim."

Rayford bergidik. "Ini tidak seperti dirimu."

Namun Caellan memaksa. Cengkeramannya di bahu Rayford mengerat. Ia bahkan mengisyaratkan Jamen agar menyalakan radio sekarang. "Tidur saja," katanya sembari menggoyang bahu Rayford. "Biar Jamen yang membangunkan kita nanti sebelum waktunya berangkat."

Kendati ini menggelikan, tetapi Rayford tak bisa berkutik. Ini juga sebenarnya pernah terjadi antara Khass dan Amar, pada malam sebelum pemuda berambut merah itu akan pergi melakukan pengembaraannya bersama Abraham. Mereka bahkan terjaga semalaman, bertukar cerita akan kenangan masa lalu yang konyol, atau harapan-harapan besar akan berbagai Konservatori yang bakal dikunjungi Amar dalam pengembaraannya. Malam ini juga seharusnya sama saja. Namun Caellan jelas-jelas tidak seperti Amar. Mungkin, kenyataan bahwa Rayford akhirnya tahu kebengisan sisi lain Caellan membuatnya otomatis menjaga jarak dan mudah menaruh kecurigaan pada setiap tindakan abangnya.

Ironis, tetapi ini hanyalah insting seorang Khass yang masih tersisa di dalam diri Rayford, dan pemuda itu tak berpikir untuk meninggalkannya. Ia membutuhkan sisa-sisa identitas Khass demi mempertahankan kewarasannya di tengah hingar-bingar dunia luar desa perguruan.

Tidak butuh waktu lama hingga Rayford jatuh tertidur. Dia memang mudah terlelap di mana pun, tidak seperti Caellan, yang masih terjaga sembari ditemani pembacaan berita edisi malam. Beritanya membosankan seperti biasa; dampak salju sore yang mengakibatkan kemacetan, banyaknya murid sekolahan tergelincir di trotoar sepulang sekolah, dan perkiraan cuaca besok. Kenapa tidak ada pemberitaan tawuran di sebuah kelab di Stentin Barat? Padahal tawurannya melibatkan tiga kelompok preman. Memang tidak ada yang tewas, tetapi mereka merusak kelab itu, dan seharusnya lebih pantas untuk diberitakan daripada sederet murid yang terpeleset oleh jalanan licin.

Caellan mendengus pelan. Yah, bahkan peristiwa besar di Pelabuhan Applerock waktu itu juga tidak diberitakan oleh media. Alasannya sederhana, banyak pihak yang bersedia menutupinya. Mulai dari para Cortessian hingga Klan Vandalone yang tak mau aktivitasnya dikenal publik secara luas.

Caellan menyandarkan kepala pada punggung sofa. Oh, media, batinnya. Siapa yang akan mengabarkan para rakyat akan bahayanya dunia kalau segala sesuatu ditutup-tutupi?

Dunia aman Era Baru yang sedang dijalankan pihak pemerintah ini tidak akan bertahan lama, dan Caellan yakin itu. Sebuah pertemuan dadakan tadi siang memberi petunjuk kepadanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro