21. Lompatan Jauh
1, Bulan Tua. Tahun 1930.
Dua orang yang terlelap di ruang duduk takkan tahu bahwa matahari telah lama menyapa Kota Stentin. Sinarnya yang lemah gagal menembus bahkan kerai tertipis yang menggantung di jendela apartemen. Namun anginnya cukup kuat; geluduk mungkin akan datang sebentar lagi, atau ini hanyalah pertanda kecil bahwa salju bakal mengguyur Stentin sehari semalam seperti sebelum-sebelumnya.
Rayford bergelung di sofa dengan dua tangan terlipat erat di atas dada, dan jemari kaki yang saling beradu untuk mengusir dingin yang menelusup di antara celah-celah. Selama sesaat ia berkutat. Alisnya mengernyit saat menyadari bahwa napasnya mulai terganggu. Ia menyedot, tetapi hidungnya sudah terlanjur mati rasa. Akhirnya pemuda itu pun bangun dengan kelopak mata masih melekat erat.
Rayford mengerang dan menggeram pelan, mengutuk hawa dingin yang membuatnya terpaksa duduk. Jemari kakinya masih saling menggosok, kali ini lebih bersemangat karena amarah yang menyelimutinya. Dingin. Musim salju. Ia tidak terlalu bersahabat dengan musim dingin. Tubuhnya terasa sakit dan nyeri, terlebih-lebih tulangnya, ketika embusan angin membeku mengingatkannya dengan sebuah badai salju di sel beberapa tahun ....
Ah. Duh.
Rayford membuka mata, menyipit setelah menyadari bahwa lagi-lagi otaknya membiarkan trauma menyusup masuk. Ia menggeleng cepat, berusaha mengibas keburukan keluar dari pikirannya, dan segera beranjak. Rayford harus berjinjit saat melangkah. Setidaknya setiap langkah di atas karpet selalu menyenggol satu atau dua buku yang tercecer. Lagipula dia juga tidak ingin tersandung kaki Caellan yang terjulur dari balik meja. Ia baru tahu jika sang abang ikut terlelap di ruang tengah, dengan tubuh—entah bagaimana—telentang di balik meja dengan kepala dan kedua kaki masing-masing terjulur dari sisi-sisi meja. Rayford baru tahu jika kakaknya bisa terlihat dungu di saat seperti ini.
Rayford menghampiri dapur. Setelah membiasakan diri selama berbulan-bulan, kini pemuda itu tahu mana ketel terbaik untuk merebus agar airnya tidak beraroma karat, menyalakan api dengan pas agar tidak cepat menggosongkan, dan menakar kopi dan coklat dengan tepat agar tidak terlalu pahit, atau terlalu manis saat ia memasukkan dua blok gula setelah air panas.
Banyak perubahan yang terjadi, kau tahu? Rayford memang terbiasa menguliti ayam hutan, membersihkan di sungai, dan melumurinya dengan campuran minyak zaitun dan segenggam bumbu tumbuk, tetapi itu saat ia masih hidup di desa, terpagar oleh hutan lebat yang tak terjamah. Sekarang Rayford hidup di tengah kota metropolitan, bernapas dalam derum asap dan warna-warna pudar furnitur yang selalu di antara warna coklat dan kelabu, dan tak bisa memasak ayam hutan setinggi lutut kalau tidak mau dipelototi para tetangga.
Mau tidak mau, Rayford harus membiasakan dirinya dengan kehidupan ini. Toh, dia sekarang punya uang.
Rayford mengambil lap kumel yang teronggok di pojok konter dan berhati-hati mengangkat ketel itu. Kendati tubuhnya sudah berkembang pesat menjadi fisik seorang pemuda berusia delapan belas yang jangkung, Rayford masih sering tegang saat menuangkan air panas yang mengepulkan asap ke cangkir.
Rayford membawa minuman itu keluar apartemen. Giginya bergemeletuk saat angin dingin menyapanya dengan kasar. Oh, ia takkan berlama-lama di luar, kalau begitu! Setelah memastikan bawa beberapa gerakan cukup untuk meregangkan tubuh dan lehernya yang kaku akibat membaca seharian, Rayford segera membuka kotak surat yang diabaikannya sejak seminggu lalu.
Selembar formulir kesediaan menjadi anggota khusus perkumpulan baca dari perpustakaan tak dikenal ... apa ini, penipuan untuk perekrutan sekte ilegal? Lewat. Dua lembar pemberitahuan promosi di toko bunga di pojok gang ... ya, sudah lewat juga. Tagihan listrik ... baiklah. Dan, astaga, dia ditagihi listrik sekarang. Rayford jadi rindu masa-masa dimana hanya diperlukan lima tangkai lumen untuk membuat seisi ruangan menjadi terang benderang.
Rayford menyisihkan surat-surat ke tempat sampah—kecuali tagihan listrik—kemudian tersadar ada satu amplop lagi yang belum dibuka. Kertasnya tebal dan wangi. Rayford heran mengapa tidak menyadarinya duluan. Lilin yang menyegel amplop nyaris tak berwarna. Jemarinya mengusap permukaan lilin yang halus tanpa sengaja, dan gesekannya meninggalkan warna emas yang segera memburai. Pelekat itu pun melonggar dan cap lilinnya terlepas begitu saja dari permukaan amplop. Rayford terpana sesaat, lalu kembali menilik surat yang terlipat rapi di dalam amplop.
Dampaknya luar biasa bagi Rayford. Tanpa berpikir panjang lagi ia menerjang masuk ke apartemen. Ia menghampiri Caellan dan—mengabaikan kenyataan bahwa abangnya super sensitif soal tidur—segera menendang-nendang kakinya.
"Bangun!' serunya, nyaris memekik. "Bangun, Caellan! Aku akan sekolah!"
Seandainya Caellan tidur dengan senapan menganggur di meja samping tempat tidur, lelaki itu pasti sudah meraihnya sekarang bahkan tanpa membuka mata terlebih dahulu. Rayford tahu itu, sebab tangan Caellan sekarang meraba-raba sekitarnya secara refleks. Rayford menghela napas. Dengan sebal ia menendang jemari Caellan, menyentak sang abang bangun dengan jengkel. Caellan nyaris saja bangkit dan membentur meja kalau tak segera menyadari posisi tidurnya yang kaku.
Dengan erangan penuh emosi, Caellan menjauh dari meja. "Apa?" bentaknya. "Jangan mengigau!"
"Siapa yang mengigau?" Rayford menggertakkan gigi. Apakah benar lelaki ini memegang Vandalone di tangannya, seperti caranya bercerita penuh dramatisasi beberapa waktu lalu? Yang Rayford saksikan sekarang hanyalah pemuda di pertengahan dua puluh yang mudah galak saat dipaksa bangun.
Rayford menyerahkan amplop undangan Elentaire pada Caellan yang mengernyit. "Kau lihat itu," katanya gembira. "Bibi Antellina benar, aku akan bersekolah di Elentaire!"
Berkebalikan dengan semangat Rayford yang menggebu-gebu, Caellan merasakan denyut di kepalanya semakin menguat. Ia bahkan ingin muntah sekarang. "Mana Jamen?" tanyanya pada akhirnya. "Suruh dia bikin sup."
"Tak ada. Kau menyuruhnya membantu Vince di barmu seminggu ini," tukas Rayford. "Ayolah. Katakan sesuatu, kecuali kalau kau ingin berkomentar jelek, maka simpan saja. Ini undangan spesial. Aku tak butuh persetujuan atau tetek bengek yang melibatkanmu. Aku sudah pasti akan bersekolah di sana."
"Dan dari mana kau akan punya biaya untuk membayarnya, bodoh?"
"Kau tidak tahu," kata Rayford, untuk pertama kalinya merasa bangga betul saat menyadarinya. Oh, Caellan tidak tahu akan sesuatu yang Rayford kuasai! "Elentaire mengundang orang-orang tertentu. Tak semua setengah-monster diperbolehkan belajar di sana. Biayanya pun gratis, selama aku hanya memakai fasilitas persediaan mereka. Dan karena aku adalah bocah desa terpencil yang biasa dengan hidup sederhana, aku takkan repot-repot menambah beban biaya."
"Oh, sungguh?" cemooh Caellan. "Kau sudah mulai terbiasa hidup di sini selama berbulan-bulan. Lihat saja nanti."
Rayford berdecak. "Tidak bisakah kau bersikap suportif?"
"Bukannya aku tidak mau mendukungmu, tapi dengarkan aku." Caellan beranjak, terhuyung-huyung menghampiri dapur untuk segelas air minum. "Pertama, jangan lupakan status kita sekarang. Hampir semua dewan dinasti merasa peresmian klan kita pantas dicabut kembali. Yang kedua, kau telah mengalahkan Par dengan Energi pemberian Ma'an, jadi kuharap kau mengerti bahwa menjadi lebih kuat daripada situasimu yang sekarang berarti bencana."
Alis Rayford bertaut membentuk garis tersinggung. "Aku ... aku tidak berniat macam-macam," katanya. "Aku hanya ingin sekolah, itu saja. Dan setahuku, sekolah ini melatih untuk mengendalikan Energi, bukan menambah-nambah. Kau paham tidak sih esensi dari sekolah itu untuk apa?"
"Apa kau mencoba mengetes orang yang sudah tamat sekolah lima belas tahun?"
Rayford menyadari jenis kartu yang salah diambilnya. "M-maksudku, tentu saja mereka tidak mungkin membuat seseorang menjadi lebih berbahaya. Mereka takkan menjadi sekolah terbaik di dunia kalau hanya menghasilkan orang-orang pengacau."
"Terserah. Lantas bagaimana dengan para Cortessian?"
"Apa hubungannya dengan mereka?"
"Tentu saja ada." Caellan gatal sekali ingin mengata-ngatai Rayford dungu sebanyak seribu kali. Ia membanting gelas ke konter. "Kalau kau saja diundang ke Elentaire, bagaimana dengan para Cortessian sepantaran kita? Tentu saja mereka ada di sana. Dan kalau mereka sudah mendengar tentangmu, bisa kau bayangkan reaksi mereka? Apa kau ingat reaksi para dewan yang kacau-balau saat Cortessor meresmikan klan kita?"
Rayford termenung. Namun tak dipungkiri lagi, matanya makin membulat dengan kengerian yang meliputi. "O-oh ya," bisiknya. "Aku ... aku harap aku bisa bertemu dengan Anthoniras dan memastikan semuanya bisa menjadi baik-baik saja."
"Siapa Anthoniras?"
"Adik Bibi Antellina," kata Rayford kaku. "Dan ... tentu saja putra bungsu Cortessor. Bibi pernah bilang padaku kalau adiknya sedang bersekolah di Elentaire, dan karena selama ini para Alvaguer bersikap cukup baik kepada kita, kuharap Anthoniras juga ... demikian."
Ujung bibir Caellan berkedut geli. "Kau yakin?"
Rayford mengerjap. Ada ratusan kata yang ingin ia ucapkan, tapi pada akhirnya, semua kembali pada sisi Guru Mudanya yang tak bisa diacuhkan begitu saja.
"Aku yakin," bisiknya pelan. "Bahwa apa pun yang akan kuhadapi adalah sesuatu yang ... um, sudah digariskan Tuhan."
Caellan hanya mengangkat bahu. "Baiklah," tukasnya. "Semoga beruntung."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro