Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Berbagi Kecemasan

Note:

Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.

Selamat membaca!
----------------------------

"Jamen? Jamen, bangunlah."

Pria itu tersentak saat pipinya dicubit dengan keras. "Monster!" pekiknya, tetapi Elliot dengan cepat menyuruhnya diam. Jamen hanya melotot, napasnya tersengal-sengal sembari berusaha mengumpulkan kesadarannya kembali.

Langit sudah lebih merah daripada sebelumnya. Barangkali satu jam sudah berlalu, atau lebih. Elliot dan Elena mengerubunginya di jok mobil, pandangan mereka cenderung terfokus ke pekarangan luar.

"Ada apa?" tanya Jamen lirih. Ia berusaha bangkit, tetapi Elliot dengan kuat menahan tubuhnya agar tetap telentang di jok belakang.

"Jangan," bisik Elliot dengan serak. "Kau akan pingsan lagi," katanya.

"B-bos. Apakah bos tidak apa-apa?"

"Jangan khawatir," kata Elena, kendati kecemasan meliputi setiap patah katanya dengan padat. Tak sekali pun pandangan mereka beralih dari arah pekarangan, sehingga Jamen penasaran betul.

Pria itu memang sebaiknya tidak melihat apa yang terjadi. Seandainya dia tahu kalau para feral yang membunuh ratusan jiwa itu sedang bertekuk lutut kepada Caellan dan menyebut-nyebutnya sebagai Par yang mereka puja, Jamen akan kalang kabut.

Caellan sendiri masih terpaku di posisi. Satu jam memang sudah berlalu, dan ia berusaha bertukar cakap dengan para feral yang sangat terbatas kosa katanya. Meski begitu Caellan berhasil mendapat informasi lebih dari cukup.

Caellan memijat pelipis sekarang. Selagi para feral itu mengerubunginya dengan mulut-mulut menganga yang tak berhenti menelurkan pujian lirih kepadanya, kepala pemuda itu berdentam-dentam nyaring.

Sumpah. Tak pernah dalam fantasi terliarnya, ia berharap bakal dipuja-puja sekelompok feral karena sel Par yang mengalir di dalam dirinya.

Dan, bajingan kau, Par—ternyata sekelompok feral ini adalah antek-anteknya. Ia mulai curiga jika penyerangan Mansion Delikus itu mereka lakukan karena mengendus aroma Par di tubuh Caellan, mengira bahwa tuan pujaan mereka mampir ke Mansion Delikus.

"Satu pertanyaan lagi," kata Caellan, memanfaatkan situasi yang tengah dialaminya, meski kedua kakinya berusaha kuat menopang tubuh yang gemetaran agar tidak ambruk. "Kenapa kalian menyerang ratusan manusia, di sini, bertahun-tahun lalu?"

"Kami ... cium bau Tuan." Tepat sesuai dugaan Caellan, eh? Pemuda itu tidak terlalu terkesima dengan kemampuan menebaknya yang tepat sasaran sekarang.

Feral lain menyahut. "Kami ... cari. Tuan tak ada. Cari ... cari ... dan darah-darah." Feral itu menggerakkan tangannya dengan penuh semangat, menceritakan usaha mereka memangkas jiwa-jiwa yang tak bersalah demi memancing tuannya agar keluar. "Sebab Tuan ... suka darah ...."

Caellan memejamkan mata. Dia juga menyukai darah, dan menikmati pembunuhan masal pertamanya, tetapi inisiatif membunuh ratusan jiwa sekadar untuk menarik perhatian Par berada di luar toleransi. Begini-begini, Caellan masih punya hati nurani, walau para tamu undangan waktu itu punya selera berbusana norak dan parfum yang menyakitkan indera penciumannya.

Caellan mengibaskan tangan. "Pergi," ujarnya gusar. "Jangan ganggu para manusia lagi. Tidur saja kalian."

Caellan mengira gertakan sesederhana itu takkan berpengaruh, tetapi para feral ini bodoh; mereka mengangguk patuh dan seketika saling menarik untuk masuk ke hutan. Caellan spontan menambah dengan keras. "Jangan muncul!" serunya, tetapi para feral itu menaati perintahnya dengan harafiah. Mereka sudah pergi tanpa berbalik badan lagi.

Oh, Tuhan. Lutut Caellan rasanya lemas sekali sekarang. Matanya juga berangsur-angsur kembali pulih. Ia pun menghampiri mobil dan melempar senapannya ke bagasi. Elliot menyusul keluar dengan wajah kebingungan.

"Tidak sekarang. Jangan tanya apa-apa," kata Caellan jengkel. Ia menjatuhkan tubuhnya di jok depan.

"Bos? Bos, Anda baik-baik saja?" ujar Jamen dari arah belakang.

"Sudah bangun, eh?" Caellan menghela napas. "Mereka sudah pergi, Jamie. Jangan takut."

"Kemana mereka pergi? Aku—aku tak mau datang kemari lagi," sahut Elena lirih.

"Siapa yang mau?" balas Caellan gusar. "Tapi, sial, jangan katakan ini pada siapa pun."

"Kau yakin?"

Caellan tak mampu memberikan jawaban. Otaknya sibuk memikirkan kejutan paling heboh di tahun ini dengan kepala berdenyut-denyut. Bagaimana ia akan menyampaikan ini kepada Inspektur Camer? Atau sebaiknya ia tak usah mengatakan apa pun, dan menyuruh sang inspektur mengerahkan anak-anak buahnya yang lemah itu, karena inspektur toh patuh-patuh saja pada Nikolan Vandalone? Kalau masalah itu bisa diatasi, lantas bagaimana dengan nasibnya sendiri? Apakah anak-anak buah Par akan berusaha mencarinya lagi seperti ini?

Tuhan. Oh, Tuhan, Caellan tak pernah menyebut nama Tuhan lebih sering daripada hari ini. Ia mengusap wajahnya dengan lelah.

Sungguh, Rayford. Cepatlah pulang.

+ + +

Kereta kuda akhirnya sampai di pelabuhan terdekat. Langit hampir petang, dan waktu sembahyang juga baru saja tiba. Sementara sang kusir menurunkan barang-barang mereka, para Guru dari utara bersiap-siap membersihkan diri di sumur umum yang sudah dikerubungi belasan pendatang.

"Perjalanannya akan memakan waktu satu minggu lagi. Tahan rasa lelahmu, kawan-kawan," kata Amar saat mengusap tetesan air di lengannya. Ia menyusul Rayford dan Abraham yang sudah duluan ke Konservatori pelabuhan.

Abraham membenarkan, dan pandangannya masih tertambat pada Rayford. Sedari tadi pemuda itu diam saja, tenggelam pada kekalutan yang tidak jelas.

"Khass." Abraham menepuk pundaknya dengan lembut. "Kau tidak apa-apa? Apakah sesuatu lain mengganggu atau karena Kamitua Anhar?"

Rayford cepat-cepat menggeleng. Setelah kejadian mencekam yang membuat mereka buru-buru kabur dari teriakan Anhar tadi siang, ketiga Guru itu membicarakannya secara intens di kereta. Tepat satu jam sebelum kedatangan ke pelabuhan, terbentuk sebuah kesepakatan bahwa mereka akan melupakan masalah Anhar sejenak dan berkonsentrasi mengembalikan desa perguruan di bukit Kota Miggle.

"Bukan," tambah Rayford menegaskan. "Aku hanya merasa ada yang aneh. Perasaanku tidak nyaman, tetapi ini berasal dari luar."

"Apa maksudnya?"

Rayford juga tidak mengerti, tetapi pikirannya terpaku pada abangnya yang berada nun jauh di Stentin. Rayford berencana untuk segera mendoakannya selepas sembahyang.

Pemuda itu cuma mengangkat bahu. "Semoga bukan apa-apa," katanya, kemudian beranjak untuk sembahyang. Ini baru awal perjalanan. Mereka masih perlu menempuh jarak yang begitu jauh untuk kembali ke Gerbang Utara dalam satu minggu. Setelah itu Rayford baru melaksanakan misi paling utama dalam perjalanannya yang melelahkan; mengembalikan desa perguruan, dan menerima segala konsekuensinya.

Rayford menelan ludah. Yah, semoga Caellan baik-baik saja di Stentin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro