13. Dituankan dengan Abai
Rayford tidak tahu kalau sempat terjatuh pingsan. Ia juga tidak tersiksa dengan aliran sungai yang membanjir ke dalam tubuhnya. Yang ia rasakan hanyalah pejaman sekejap mata seolah-olah tertidur selama beberapa menit, kemudian terbangun oleh suara pelan Anhar yang menggaung keras di benaknya.
"Bangun, Tuanku. Bangunlah."
Rayford mengernyit. Bahkan sebelum kelopak matanya membuka sempurna dan masih lengket oleh rasa kantuk yang teramat sangat, otak Rayford sudah mencerna duluan cara memanggil Anhar yang janggal. "Apa?" suaranya serak sekali. "Anda panggil saya apa?"
Alih-alih menjawab, Anhar tersenyum. Sekarang wajahnya nampak jelas di atas Rayford yang sedang berbaring, berikut liukan ornamen rumit langit-langit Konservatori di baliknya. Rayford kembali mengerjap, memulihkan rasa kantuk yang perih di matanya, lalu mulai terdengar jelas lantunan doa lirih yang bergema di aula.
Rayford terperanjat. Ia buru-buru duduk ketika Anhar mengangkat kedua tangannya. "Segala pujian tertinggi bagi Tuhan—Guru Khass telah terbangun!" suara lantangnya mengalahkan gaung arus sungai di luar aula. Sahut-sahutan pujian kepada Tuhan terdengar dari arah ratusan Guru yang berkumpul. Rayford menyapukan pandangan dengan linglung. Kenapa dia tiba-tiba sudah ada di aula? Dan ... dan, ratusan Guru berkumpul memenuhi aula? Sudah berapa lama Rayford pingsan? Dengan panik pemuda itu berusaha mencari keberadaan Amar dan Abraham di antara lautan Guru, tetapi belum juga Rayford menemukannya, Anhar merenggut bahunya dengan kuat.
"Mari, Tuanku," bisiknya dengan santun. "Berdirilah. Ini saatnya pengangkatanmu sebagai kamitua. Apa engkau sudah menghapal seratus ayat doa?"
Rayford tidak terlalu fokus dengan pertanyaan sang kamitua. "Kenapa Anda memanggil saya seperti itu?" tanyanya, tapi Anhar tak nampak akan menjawab. Rayford ditarik dari undakan mimbar untuk berdiri dengan kedua kaki. Rayford sempat takut bahwa proses menginjakkan kaki bakal terasa cukup sakit dan berdenyut-denyut, sebagaimana Par dulu memaksakan diri menyesuaikan tubuh Rayford, tetapi segalanya berjalan baik-baik saja. Rayford menapak pada lantai batu licin dengan sempurna; tak ada kedut-kedut mengerikan lagi di sekujur tubuh, maupun reaksi menyakitkan yang bisa membuatnya demam.
Rasanya seolah-olah Ma'an tidak pernah mengirim Energi kepadanya. Atau ... ah, apakah ini yang disebut dengan Prosesi Penyatuan sempurna?
Rayford bergidik. Kenapa tubuhnya mengkhianati kemauannya untuk menjauh dari Cortess?
Pemuda itu membuyarkan lamunan saat Anhar mulai memimpin doa. Dengan langkah yang masih lemas, Rayford menjajari sang kamitua, dan mencermati setiap bait doa yang saling menjalin di aula. Kini jantungnya berdegup keras untuk alasan yang berbeda.
"Dengan nama Tuhan yang mahabaik," kata Anhar dalam Bahasa Tua. "Pengakuan hamba-Mu Khass sebagai kamitua akan segera dimulai!"
Rayford menarik napas dalam-dalam. Ketika bait-bait doa selesai dilantunkan para Guru dan aula luas itu menghening, Rayford membuka mulut, bersiap untuk lantunan seratus ayat doa yang sudah dihapalkannya bersama Abraham.
Oh, Caellan, batinnya. Adikmu sekarang adalah seorang pemimpin desa. Apa yang kau lakukan di sana, nun jauh di Stentin?
- - -
Upacara pengangkatan kamitua selesai tepat sebelum Sembahyang Siang. Para Guru lanjut bersantap bersama setelah itu, kali ini dengan Rayford duduk di sisi Anhar, yang masih dilaluinya dengan perasaan mengambang dan linglung. Amar dan Abraham juga akhirnya nampak setelah Rayford berjuang mencari dengan meneliti satu per satu wajah Guru yang berseliweran. Matanya yang pucat berbinar lega melihat Amar menyeruak kerumunan, sambil menggeret Abraham yang kelabakan menyusul langkah lebar sang murid.
Kemudian, setelah berjam-jam penuh tekanan dan lebih banyak waktu yang dilaluinya saat pingsan, Rayford berhasil menyendiri bersama kedua sahabatnya di paviliun mereka.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Amar pertama kali segera setelah Rayford mengunci pintu. Ia mengawasi sang pemuda yang buru-buru menutupi semua tirai di paviliun. "Kenapa kau nampak cemas, Kha—anu, Kamitua?"
"Bukan begitu caramu berbicara kepada seorang kamitua," kata Abraham mengingatkan, meski ketegasannya mulai mengambang. Ia juga terpekur di dipan dengan kedua mata yang memandang kosong ke arah lantai.
Rayford tak menggubris. Ia mendekati Abraham dengan jantung berdentam-dentam. "Aku ingin bertanya sesuatu."
Abraham terkesiap. Meski nampaknya sang Guru sudah gugup memperkirakan itu, ia masih saja tersentak oleh pertanyaan Rayford. "Ya, Kamitua?"
"Tolong jangan panggil aku begitu. Rasanya aneh sekali." Rayford mendesis. "Tolong panggil aku Khass seperti biasa, ya? Dan, apa kau mengenal siapa vehemos yang merasukiku?"
Pertanyaan Rayford jatuh tepat sasaran, sebab Abraham kini menunduk dalam. Bahunya gemetaran pelan. "Oh, Khass." Wajahnya memerah. "Aku sama sekali tidak tahu. Seandainya aku tahu, aku takkan membawamu ke sini! Betapa naifnya aku berpikir bahwa semua monster yang lebih kuat daripada iblismu akan membawa dampak baik."
"Kau tahu."
"Demi Tuhan, aku baru tahu." Abraham mulai terisak. Rayford menghela napas. Walau ia juga ingin menangis, tak ada gejolak yang terasa di kedua pelupuknya. Rayford pun menarik sang Guru untuk merangkul dan menepuk-nepuk punggungnya. "Tidak apa-apa, Kakak," bisiknya lirih. "Tidak apa-apa. Kenyataannya ... aku ... merasa tubuhku baik-baik saja, tidak sakit sebagaimana Par merasukiku dahulu."
"Sungguh?" Amar beringsut mendekat. Ia duduk di dekat kaki kedua sahabatnya. "Kau tidak merasa hidungmu sakit? Maksudku, kalau kau tenggelam biasanya kan menghirup air banyak-banyak, jadi ...."
Rayford menggeleng. "Rasanya seperti tidak terjadi apa-apa."
Mata Amar membulat dalam kekaguman, meski ia tahu itu bukan waktu yang tepat. "Kalau begitu Energinya sangat cocok denganmu."
Rayford tersenyum getir.
"Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah semua Cortessian mampu menerima Energinya begitu saja?"
"Tentu saja tidak," sambar Rayford cepat, lalu keraguan merayap selepasnya. Ia termenung sejenak. "Tepatnya ... aku tidak tahu. Aku hanya mengenal sedikit sekali Cortessian dan tidak semua memiliki Energi Ma'an di dalam tubuh mereka. Kau tahu, Dinasti Cortess mengikat banyak vehemos, bukan hanya Par dan Ma'an saja, dan para Cortessian tidak membawa semua Energi sekaligus. Itu cuma bisa dilakukan Cortessor dan sejenisnya."
"Kalau begitu bagaimana kau—pembawa Energi Par—bisa menerima Energi Ma'an dengan begitu baik, bahkan lebih baik daripada penyerapan Energi tuanmu sendiri?"
Rayford menatap Amar dengan jengkel. "Mana kutahu? Lagipula aku juga tidak ingin tahu."
Satu-satunya alasan konyol yang bisa dipikirkan Rayford adalah ketertarikan Ma'an terhadapnya, serta keinginan kuat untuk membalas Par atas perbuatannya yang sempat mengacaukan dinasti. Kalau ada alasan selain kedua itu, maka Rayford tak ingin mengetahuinya.
Sial, dia bahkan tak ingin tahu apa-apa soal Cortess! Dia juga bertekad takkan menggunakan Energi Ma'an yang mengalir di dalam dirinya!
"Daripada itu, aku lebih penasaran akan sesuatu." Ia kini menatap Abraham lekat-lekat. "Kau dan Kamitua Anhar pernah bersama-sama menjadi kurir, benar?"
Abraham mengangguk ragu. "Kami mengirim berita antar desa perguruan dan, yah, kepada komunitas-komunitas yang berhubungan."
"Apa kau tahu ke mana saja Kamitua Anhar biasanya mengirim kabar?"
Abraham berdeham. "Kenapa kau menanyakan itu?" tanyanya balik, otomatis membuat sang pemuda memicingkan mata curiga. Kendati demikian, Abraham masih bersikukuh tak mau menjawab, selain matanya mengedar gelisah ke sekeliling ruangan dan bahu yang terangkat begitu samar.
Hati Rayford mencelos.
Ketika pemuda itu akhirnya beranjak tanpa suara, Abraham buru-buru berbisik. "Tapi, Khass, dia adalah seorang Guru Besar sekarang. Dia seorang kamitua. Tidak mungkin seorang Guru Besar akan melakukan hal-hal buruk, meski dia pernah berhubungan dengan orang-orang yang mengerikan!"
"Aku tidak bermaksud mencurigai seorang Guru. Duh, aku bahkan takkan pernah melakukannya." Rayford mengeluarkan tas dari kolong dipan, kemudian memasukkan baju-bajunya dengan sembarangan. Ia merasa seperti menggigit lidah sendiri saat Caellan mendadak menjadi satu-satunya figur yang sangat dirindukannya sekarang. "Tapi—oh Tuhan, maafkan aku—tidak semua orang sesuci dan senaif engkau, Kakak Abe, dan aku mengenal beberapa orang sangat baik yang masih mau diikat oleh dinasti itu!"
Amar dan Abraham mengawasi Rayford mengepak barangnya dengan kalut. Selama sesaat ruangan menghening, hingga Rayford kembali memandang mereka dengan melotot. "Tunggu apa lagi? Kemasi barang kalian. Desa perguruan kita sudah menunggu terlalu lama, dan kita tidak bisa mengulur-ulur waktu!"
Paviliun itu sempat gaduh selama beberapa saat hingga Rayford membuka pintu. Suasana sepi di luar paviliun begitu berkebalikan dengan ketegangan yang menyelimuti ketiga Guru dari utara itu. Tak ada Guru lokal yang nampak mondar-mandir, dan inilah kejanggalan yang tidak disukai Rayford sejak awal. Di mana mereka? Rayford memang sering menemukan banyak Guru belajar di perpustakaan Konservatori, bergantian membaca ayat doa di aula, atau memasak di dapur besar. Tetapi lorong-lorong dan jembatan selalu sepi.
Yah, Rayford tak ingin membahasnya sekarang. Mereka kembali mencelupkan kaki pada ujung undakan tangga yang terendam air. Mereka menyusuri koridor terbuka dan kembali pada jembatan besar.
"Jangan khawatir," kata Rayford saat Abraham berulang kali menoleh ke arah Konservatori. "Aku sudah pamit kepada banyak Guru saat di aula tadi. Tak usah risaukan mereka."
"Kau agaknya tergesa-gesa, Khass." Amar mencoba mengingatkan kendati tak digubris oleh kamitua barunya. Mereka mengikuti Rayford dengan pasrah, sama gugupnya saat menyeret kaki membelah aliran arus sungai sepanjang jembatan. Pepohonan perak bergoyang pelan ditiup angin yang dingin mencekam, padahal matahari sedang menyorot dengan kuatnya di atas tebing sana. Bulu kuduk mereka merinding saat mendengar suara kecipak tanpa tuan dari sisi-sisi jembatan yang tergenang.
Apa yang dicemaskan Rayford akhirnya terjadi sungguhan, sekaligus menegaskan dugaannya yang kesekian, ketika Anhar sudah terlihat menunggu di gerbang desa.
Amar mengembuskan napas tak menyangka. "Bagaimana bisa?" bisiknya.
Rayford mempererat genggaman pada tas. Dengan memantapkan keyakinan, ia mempercepat langkah hingga berhasil keluar dari jembatan sungai. Ia mendekat ke arah Anhar yang telah menanti dengan kedua tangan bersembunyi di lengan jubah satu sama lain. Matanya yang jarang berkedip mengawasi pergerakan ketiga Guru utara dengan penuh ketelitian.
"Tuanku," sapa Anhar, lagi-lagi dengan sebutan yang membuat Rayford menggelenyar ngeri. "Rasanya terlalu cepat bagi Anda untuk pergi sekarang, tetapi sebuah kereta selalu siap menanti di atas tebing, kapan saja Anda berkenan."
"Bisakah Anda berhenti memanggil saya seperti itu?"
Anhar menyeringai dengan bibir yang melebar tajam. "Mari, saya antar Anda sekalian menuju atas."
Perjalanan mendaki ribuan anak tangga tebing terasa sangat melelahkan, sampai-sampai Rayford melupakan ketakutan terhadap Anhar selama sesaat. Ia berkutat mengangkat kedua kaki payahnya yang sudah jarang berolahraga. Sementara ketiga Guru utara itu terengah-engah mencapai puncak bukit, Anhar tak sekali pun menghela napas panjang. Ia nampak begitu prima saat tiba di puncak tebing duluan. Ketika Rayford setengah mati berusaha mengangkat kedua kakinya yang gemetaran ke tanah berumput, Anhar sedang menikmati pemandangan desa perguruannya dengan embusan angin kencang menjelang sore.
"Mari, Tuanku." Seandainya Anhar tidak kembali mengingatkan Rayford akan sumber kejengkelannya, ia pasti akan menerima uluran tangan sang kamitua. Rayford spontan menolaknya, dan mengisyaratkan Anhar agar membantu Amar yang menggunakan kedua tangannya untuk mencapai anak-anak tangga teratas.
Sementara kusir kereta mulai mengusung tas-tas para Guru, Anhar menyemangati ketiga Guru utara yang sudah kehilangan kekuatan kaki. Ia mengucapkan banyak hal, mayoritas wejangan khas kamitua tentang perjalanan jauh dan rasa syukur, kemudian menambah topik yang membangkitkan emosi Rayford. "Dan Kamitua Khass tidak perlu risau lagi. Ia sudah memiliki dua Energi besar—sangat besar—di dalam dirinya, dan sedikit adaptasi saja akan membuat kehidupannya lebih mudah untuk seterusnya! Tuanku akan menjadi orang yang diperhitungkan."
"Apa maksud Anda?" Rayford bertanya dengan lemas. "Dan tolong jangan memanggil saya seperti itu, Kamitua Anhar. Saya bukan tuan Anda!"
"Kenapa?" Anhar akhirnya tersenyum. Ia mencondongkan tubuh, memastikan bahwa kalimat selanjutnya hanya didengar sang pemuda. "Anda memiliki Energi para penggagas dinasti mengalir di dalam tubuh Anda, Tuanku. Tidak semua Cortessian seperti Anda. Bahkan, berani saya katakan, hanya satu di antara seratus!"
Rayford berjengit. Ia buru-buru beranjak dan menarik kedua sahabatnya agar ikutan berdiri. "Kau." Ia menudingkan jemarinya dengan gemetaran. "Kau bukan sekadar kamitua saja kan?"
"Khass?" bisik Abraham gugup. "J-jangan seperti itu."
"Oh, Tuanku!" Anhar sekarang tidak lagi menyembunyikan suara. Kedua matanya yang putih bersih membeliak dalam semangat yang berusaha ditahan-tahan. Kedua tangannya terentang. "Saya sudah lama menanti saat ini," katanya, dan matanya terbakar dalam kebahagiaan yang nyaris tumpah ruah. "Sudah sangat lama saya menemani kawan agung saya, Ma'an, dalam mencari-cari kesempatan ini. Saya mohon, Tuanku, Anda sekarang adalah harapan baru kami, sebagai pembawa Energi dua tuan dinasti, untuk menciptakan era ba—"
"Tidak, tidak, tidak." Rayford buru-buru mendorong kedua sahabatnya agar bergegas naik kereta. "Tidak, Kamitua Anhar, tidak. Bukan itu maksud saya datang kemari!"
"Hei, Khass—"
"Cepat naik!" bisik Rayford gusar. Ia memaksa Amar dan Abraham untuk melewati pintu kereta yang sempit. Amar terpaksa mengalah dan membiarkan Abraham untuk masuk duluan, sementara mereka terdesak karena Rayford terus mendorong.
"Cepat, cepat!"
"Anda tidak bisa lari, Tuanku!" Anhar kini melotot dalam kekesalan dan senyumnya memudar. Ia berteriak. "Tuan Caltine, Anda tidak bisa lari dari takdir. Tuhan telah menaruh takdir itu untukmu, dan tugas kami adalah memastikan bahwa kami menyampaikannya kepadamu tanpa cela!"
"Cepat!" Rayford setengah mengangkat kaki Amar. Pemuda itu terjerembab ke lantai kereta dan buru-buru ditolong oleh Abraham. Rayford melompat masuk. Dengan panik ia memukul-mukul dinding kereta. "Cepat jalankan keretanya!"
"Tuan Caltine!" Anhar meraung. Suaranya menggema di udara bebas. "Anda akan melakukannya, meski menghabiskan waktu ratusan tahun lamanya!"
Pintu kereta menjeblak menutup. Kuda-kuda dihentak dengan keras dan kereta berderak cepat meninggalkan sang kamitua. Dengan gemetaran, ketiga Guru utara itu berdesakan di kereta yang sempit sambil menekuk lutut. Wajah-wajah mereka pucat, punggung dan dada dibanjiri keringat dingin, dan jari-jari mereka saling mengait.
Sementara kedua Guru di dekatnya merapal belasan ayat pelindung dan peredam ketakutan, Rayford hanya menyebut-nyebut nama Tuhan dalam kengerian. Jantungnya berdentam-dentam hingga kepalanya pening luar biasa.
Oh, Caellan, apa yang harus Rayford lakukan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro