10. Para Pengganti Rayford
8, Bulan Puncak. Tahun 1930.
Mansion Delikus kini berubah menjadi bangunan angker yang sarat akan aroma anyir dan bau kotoran. Dalam kurun empat tahun, sarang laba-laba menjuntai padat di sudut-sudut tak terjamah dan debu melapis lengket pada noda darah yang menghampar di lantai. Lapisan cat mengelupas dan sulur berduri merambat dari segala arah. Kendati lumen mulai merayap pada langit-langit aula dan menerangi mansion pada malam hari dengan juntaian bunga-bunga cahayanya, tetap saja tak ada orang yang mau membersihkan mansion itu meski dibayar mahal.
Elena berjengit jijik saat sepatunya tak sengaja menginjak bercak kering di ujung bawah tangga mansion. Elliot pun tidak menyangka dengan aroma busuk luar biasa yang membuat hidungnya seketika berair. Mereka celingukan, kemudian menyadari bahwa Caellan sudah dihampiri oleh seorang inspektur dan beberapa anak buahnya. Mereka semua mengenakan masker! Heh, kenapa Caellan tidak memperingatkan mereka?
"Pinjami aku sulurmu, Elena," keluh Elliot. Elena dengan cepat menumbuhkan sulur hijau ramping, membebat wajah mereka hingga nyaris menutupi lubang hidung dengan sempurna.
"Ah, Nona." Jamen menghampiri dengan malu-malu. Ia menyodorkan sebuah saputangan kepada Elena. "Pakailah ini. Saputangan yang bersih, tenang saja!"
"Bagaimana denganmu?"
"Saya sudah terbiasa—ahhh maksudnya, saya tidak apa-apa." Jamen meringis. Elena dan Elliot sempat saling bertukar tatap, tetapi sang gadis jelas-jelas membutuhkan sodoran saputangan itu. Membebat wajah dengan sulur hijau akan membuatnya nampak bodoh. Maka Elena menerimanya dengan senang hati, sementara Elliot tak sekali pun mengalihkan pandangan dari mata Jamen yang berbinar-binar saat Elena menggunakan saputangannya dengan baik.
"Apakah kau asistennya?" Elliot mengedikkan bahu ke arah Caellan. Ia takkan menyebutkan nama pemuda itu. Siapa tahu pria botak ini mengenal Caellan dengan nama aliasnya.
Pertanyaan itu cukup untuk membuat Jamen tersipu-sipu. "Ahhh, bukan, Tuan. Bukan! Saya hanyalah pesuruh Tuan Nikolan saja."
"Nikolan?"
Elliot refleks merapat pada Elena dan menyentuh punggungnya, mengisyaratkan gadis itu agar menutup mulut. "Oh, begitu rupanya." Elliot tersenyum. "Sejak kapan kau bekerja untuknya?"
"Hari ini." Jamen tersenyum lebar-lebar, memamerkan sederet giginya yang kekuningan. "Hari ini Tuan Nik mengeluarkan saya dari tempat terkutuk, dan mulai hari ini pula saya akan mengabdi seutuhnya pada Tuan Nik!" Jamen lantas mengangkat pandangan, menggerakkan bola matanya yang berair untuk menelusuri tiap jengkal Mansion Delikus. "Tetapi kami pernah bertemu sebelumnya. Di sini, di teras itu, dan ... dan saya sungguh-sungguh tidak menyangka bahwa kami akan berakhir menjadi satu-satunya korban selamat."
"Apa kau tahu monster apa tepatnya yang menyebabkan ini?"
Senyum Jamen melenyap. Pandangannya mengabur saat menatap Elliot. "Saya tidak ingin membicarakannya."
Obrolan itu otomatis berakhir ketika Jamen menyingkir. Tubuhnya agak gemetaran saat menyusuri jalan setapak yang telah ditumbuhi rerumputan liar. Hingga Jamen akhirnya merapat pada mobil Caellan dan meringkuk di sana, Elena baru bersuara.
"Apakah orang itu tahu kalau Caellan adalah ... Caellan?"
"Sebaiknya kau tidak pernah menyebutkan nama Caellan di depannya," bisik Elliot.
"Ini perasaanku saja atau Caellan menyembunyikan banyak hal?"
Elliot menambatkan pandangan padanya. "Aku heran kau baru menyadarinya sekarang, Elena," katanya, dan saat ekspresi gadis itu berubah cemberut, Elliot menambahkan dengan pelan. "Tetapi kita tidak tahu apa-apa tentangnya, dan melihat bahwa Rayford dua kali melepaskan diri darinya menegaskan sesuatu bagiku."
"Apa itu?"
Namun, belum sempat Elliot menjawab, Caellan menghampiri mereka. Ekspresinya seringan penjahat yang baru saja dikabari bahwa pihak kepolisian takkan pernah menangkapnya. "Kawan-kawan," sapanya. "Mari, masuklah denganku. Inspektur Camer bilang timnya akan segera mengikir noda darah di lantai dan sebagainya, dan mereka membutuhkan bantuan kalian untuk mengambil sampel di langit-langit."
Elena terhenyak. "Kau memintaku untuk mengikir noda darah?"
"Coba kita bicarakan ulang dengan Inspektur," kata Caellan sembari mendorong punggung Elena dengan lembut. "Seharusnya itu bukan pekerjaan utamamu. Kita hanya akan mempermudah kinerja tim mereka, itu saja. Omong-omong, Elliot, apakah kau bisa menelusuri hutan untuk mencari tahu barangkali ada sisa-sisa keberadaan vehemos apa pun? Tim inspektur sudah terkencing-kencing duluan ketika ditugaskan menelusuri jejak para monster. Aku heran mengapa tim kiriman dari Arial tidak kunjung datang. Kau tahu mengapa?"
Elliot memutar bola mata. "Duh, Arial masih kekurangan orang dan mereka menerima banyak permintaan dari seluruh penjuru Nordale. Tak usah tunggu mereka. Biarkan aku yang berbicara dengan Inspektur."
Caellan tersenyum. "Anak baik. Aku tahu kau pemuda yang sangat hebat."
Elliot mencibir. "Kau tahu pujian semacam itu tidak berpengaruh padaku, kan?"
+ + +
Hari pertama pembukaan kasus Mansion Delikus berjalan dengan baik. Inspektur tidak keberatan jika Elena dan Elliot hanya datang sesekali di akhir minggu, mengingat kedua anggota sirkus itu juga harus menghadiri sekolah yang sudah dibuka sejak awal Bulan Puncak. Yang terpenting sampel di tempat-tempat tak terjamah seperti langit-langit sudah didapatkan, dan gagak-gagak Elliot menyebar secara merata di sekitar hutan yang mengelilingi Mansion Delikus. Energi kedua bocah itu benar-benar membantu pekerjaan Inspektur Camer dan timnya, sampai-sampai mereka hanya perlu berkutat di kantor polisi untuk mengetik laporan dan menyerahkan sampel ke laboratorium.
Baguslah. Memang seharusnya para setengah-monster saja yang mengurus jejak monster-monsternya. Inspektur Camer sama sekali tak pernah membayangkan akan menangani kasus ini, dan berulang kali ia mengatakannya kepada Caellan hingga pemuda itu ingin menyumpal kuping dengan granat.
"Saya tak menyangka Anda memiliki kawan-kawan yang menakjubkan, Tuan," komentar Jamen memecah lamunan Caellan. Hari itu sudah petang. Pembukaan kasus Mansion Delikus telah berakhir beberapa jam lalu, dan sekarang mereka berdua baru saja tiba di apartemen. Jamen tengah menggosok alas sepatunya agar tidak mengotori apartemen di luar pintu, dan Caellan mengawasinya dengan botol anggur di tangan.
"Siapa maksudmu?"
"Bangsawan Zane dan gadis yang sangat cantik itu."
"Kau tahu Zane?"
"Siapa yang tidak tahu? Marga itu banyak menduduki kursi pejabat di kerajaan." Jamen menepuk-nepuk kedua sepatunya, merontokkan lumpur kering yang sudah dikerik. "Mantan rekan-rekan di selku kebanyakan pernah bekerja pada mereka."
"Sebagai?"
"Pesuruh saja."
Caellan mendengus. "Apa kau mencoba membodohiku?" ia menjendul kepala Jamen dengan ujung botolnya. Jamen terkekeh pelan. "Pesuruh dan banyak rekanmu yang ditangkap? Bilang saja kalau kau tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Kekehan Jamen bertambah nyaring. "Yahh," gumamnya, "siapa yang sangka kalau klan itu juga punya andil untuk mengimpor persediaan senjata ke Nordale? Teman-teman saya gelap mata saat disuruh menjaga gudang rahasia mereka. Anda mau tahu tempatnya? Tak jauh-jauh dari Pelabuhan Applerock lho!"
Caellan tentu saja sudah tahu, kalau tidak begitu, mana mungkin Vandalone akan menjalin kerja sama dengan klan Zane? Lagipula alasan itu pula yang mempertemukan Caellan dengan Elliot dahulu di sebuah pesta. Caellan hanya tidak menyangka saja kalau Elliot bakal menanggung secuil tanggung jawab akan bisnis seperti itu di usia yang begitu belia.
Yah, batinnya. Tidak ada batasan umur kalau ingin mempertahankan diri dari terkaman dinasti.
Caellan jadi gondok saat menyadari bahwa, sekali lagi, segala kebobrokan yang didengarnya merupakan upaya-upaya penyelamatan diri dari kejahatan Dinasti Cortess yang sudah mengakar sejak ratusan tahun lalu.
Bayangkan! Jika tak ada penjajahan, maka tak perlu ada perbudakan yang berlangsung selama satu abad. Klan-klan bangsawan lokal juga tak perlu berlomba-lomba mempersenjatai diri dengan cara ilegal. Dan, tentu saja, banyak hal lain pula yang sudah malas Caellan pikirkan satu per satu, tetapi sebuah pertanyaan paradoks akan selalu mengganggunya selepas itu.
Kalau tak ada Dinasti Cortess, maka Caellan dan Rayford takkan pernah eksis.
"Gadis cantik tadi, Tuan," suara Jamen kembali menyentaknya. Sekarang pria itu sedang menyapu kotoran ke jalanan. "Apakah itu kekasih Anda? Atau kekasih bangsawan Zane tadi?"
Caellan mengernyit. "Berhati-hatilah dengannya."
Jamen hanya tertawa. "Omong-omong, Anda yakin saya boleh tinggal di sini?"
Caellan mengisyaratkan pria itu agar mengikutinya masuk. "Ya, tapi aku tak punya kamar cadangan untukmu. Kecuali kau mau tidur di sofa, atau kubelikan kasur untuk kau seret ke ruangan itu," katanya sembari menunjuk ruang kerja yang dipenuhi berbagai tanaman dan partitur ayahnya. "Itu sebenarnya ruang milik adikku, tetapi karena dia ada urusan mendadak selama berminggu-minggu, maka aku berpikir untuk menyerahkan sebuah tugas kepadamu."
"Saya tak masalah untuk tidur di sofa! Saya lebih suka ruangan terbuka, Tuan, saya jenuh dengan ruangan kecil yang tertutup."
"Terserah. Apa kau masih mengingat segala hal yang kau lakukan untuk mengolah ganja?"
Jamen terkesiap riang. "Tentu saja. Apakah Anda—"
"Aku ingin kau mengolah tanaman, tapi bukan ganja." Caellan mendesah. "Aku sudah mencari tahu dan rupanya proses pengolahannya hampir sama. Aku ingin kau mengolah venome."
"Venome?"
"Tanaman yang bisa menyakiti monster," kata Caellan. "Aku ingin kau mengolahnya sebagaimana kau mengolah ganja. Persis. Stok rutin akan dikirim rutin kemari setiap seminggu sekali, kau mengerti?"
Jamen mengekori Caellan yang menghampiri tumpukan buku di ruang duduk. Ketinggiannya sudah berkurang karena Rayford mengambil beberapa judul untuk dibawa bersamanya. Caellan menelusuri puluhan punggung buku yang sudah sobek-sobek, lantas berhenti pada sebuah buku tipis yang usang. Ia menyerahkannya kepada Jamen. "Ini satu-satunya buku yang membahas tentang pengolahan venome dan kegunaannya. Baca itu baik-baik, dan aku harap kau juga menyelesaikannya setiap stok baru dikirim. Serahkan itu kepada kurirnya."
Jamen mengerjap. "Apakah ini berarti ...."
"Ini berarti," ulang Caellan, "kau tak boleh keluar apartemen selain untuk membeli makanan dan hal-hal penting lainnya. Aku ingin kau membersihkan dan merawat apartemen ini, mengolah venome, dan—yang terpenting—jangan pernah membuka kamar tidurku."
Ujung bibir Jamen berkedut. "Saya ... saya mengerti, Tuanku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro