1. Tiga Tahun Kemudian
28, Bulan Pekerja. Tahun 1930.
Menu sarapan pagi ini mengingatkan Rayford pada masa-masa kejayaannya di desa dahulu, dimana Debri belum muncul dan Khass muda hanya mengandalkan cerita Amar dan kawan-kawan seperguruan yang datang dari luar. Ah, mengunyah ubi kukus hangat yang disiram sirup mapel membuat Rayford mengenang wajah-wajah yang telah lama tidak dilihatnya itu. Ada kerinduan yang membuncah kuat di dalam hati, jauh mengalahkan perasaan bersalah yang menghantuinya selama bertahun-tahun.
Namun, waktu panjang itu telah berlalu. Pada musim panas tahun 1930 yang kelembapannya mencapai sel rehabilitasi Rayford Caltine, sang pemuda lebih meresapi perasaan-perasaan positif. Hal paling baik di atas semuanya adalah kenyataan bahwa ilmu ketenangan batin para Guru membuatnya lebih cepat untuk dikeluarkan dari kamar tak bernyawa ini. Meskipun Rayford menghabiskan banyak buku dan merenung kepada Tuhan di sel sederhana, ia takkan merindukannya.
Rayford sedang menusuk potongan daging ayam kukus terakhir ketika mendengar denting familiar dari kejauhan. Ia tak perlu melongok lagi untuk mengetahui bahwa dua orang sedang memasuki lorong nomor sebelas tempatnya berada. Derap langkah kaki mendekat. Jam berapa ini?
"Selamat pagi, Ray."
Rayford tersenyum pada Antellina dan Kepala Penjara Dane yang sedang menunggu seorang pengawal lorong untuk membukakan gembok. Mereka telah menemaninya di sini selama tiga tahun, dan memiliki hubungan paling waras dibanding semua pasien lainnya. Terutama Antellina. Putri bungsu Cortessor yang meminta untuk menjadi psikiater Rayford telah berhasil meyakinkan pemuda itu bahwa tidak semua Cortessian jahat. Yah, setidaknya, untuk Antellina seorang.
Dan, oh, Cortessor yang aneh!
"Bagaimana sarapan terakhirmu, Ray?"
"Terdengar seperti aku akan dieksekusi saja, Pak." Rayford terkekeh pelan. Antellina melotot kepada Dane yang menyiratkan beribu makna.
Saat Dane menunduk, Antellina berkata dengan lembut. "Keberatan jika kami menantimu di sini? Tak ada kesibukan berarti di pagi ini, dan kami ingin menghabiskan waktu bersamamu. Lagipula aku juga akan pulang ke Demania Raya."
"Apa aku perlu sakit dahulu agar kau datang, Bibi?"
"Tentu saja tidak, panggil aku kapan pun kau membutuhkanku, Nak!" Antellina mengernyit. "Dan, tidak, Ray. Kau tidak sakit."
"Tersesat. Para Guru menyebutnya tersesat," kata Rayford, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menandaskan asparagus berminyak yang sesungguhnya tak ingin disentuh, tetapi mengingat ajaran bahwa menyisakan makanan itu tidak baik, Rayford dengan penuh kepatuhan hanya menyisakan noda minyak dan sirup di piring. Kedua pengawasnya berdiri dalam diam sembari bersandar pada dinding kaca. Tak ada setruman. Sel ini adalah sel paling aman dan membosankan di seantero pusat rehabilitasi.
Rayford mulai membersihkan meja. Dane mengabarkan bahwa Caellan Caltine telah menunggu di lobi dan Rayford tak perlu terburu-buru, kecuali pemuda itu memang sudah tidak sabar menemuinya. Rayford tersenyum mendengarnya dan mengangguk.
"Kakaknya," bisik sang kepala penjara kepada Antellina saat Rayford mengumpulkan kulit jeruk yang berceceran di meja, "adalah anggota Vandalone, bukan?"
"Ya. Dia beralias."
"Wah. Bisa Anda bayangkan itu, Lady? Mereka bagaikan surga dan neraka."
"Ah ... surga dan neraka?" gumam Antellina sembari memandang Rayford lekat-lekat. Suaranya yang memelan menarik perhatian Dane untuk ikut memandang pemuda di hadapan mereka. Rayford akhirnya meraih gelas yang masih belum tersentuh sejak tadi, dan pandangan kedua pengawasnya setia tertuju ke sana.
Rayford menandaskan gelas berisi darah pekat dengan tegukan besar, menunggu hingga tetesan terakhir menyentuh ujung bibirnya yang pucat. Dane menelan ludah dalam kengerian yang terpendam.
"Berapa lama itu akan menahannya?" Dane menggigit bibir.
"Kira-kira satu bulan. Dia butuh asupan sebanyak satu tubuh manusia kalau ingin menahannya selama satu musim."
"O-oh, jangan sampai dia kembali kemari."
"Dia cuma korban. Korban. Bisakah kau berhenti memperlakukan mereka semua sama rata?"
"Yah ...."
Antellina berdeham. Nada suaranya berubah lebih riang. "Sudah selesai, Ray?"
"Sebentar, izinkan aku mengunci tasku dulu." Rayford beranjak dan dengan cepat membenahi ruangan kecil itu dalam gerakan-gerakan ringkas. Ia mengambil tas cokelat milik Caellan yang menemaninya selama tiga tahun, mengenakan topi kebesaran yang juga dibelikan abangnya, lantas tersenyum lebar kepada kedua pengawas. "Aku siap."
Dane tersenyum canggung dan buru-buru keluar ruangan. Hanya sang psikiater yang bertahan dan membiarkan Rayford untuk melangkah keluar dari sel terlebih dahulu. Ia menunjuk ujung bibirnya. Rayford terkesiap malu dan segera menjilat noda darah yang tertinggal.
"Jangan lupa untuk menghabiskan obatnya, Ray. Kupikir jam yang kau tetapkan itu baik—kau bisa menjalani sepanjang hari dengan lebih bersemangat," kata Antellina saat mereka menyusuri lorong. Hanya ada dua pintu sel di masing-masing ujung lorong, termasuk milik Rayford, di lorong sepanjang sepuluh meter ini. Aroma alkohol sedikit terlalu kuat dan membuat hidung Rayford gatal saat ia pertama kali datang dahulu. Ia sempat khawatir jika semua sel akan terlihat sama, dan melewati seminggu pertama ketakutan setengah mati. Kenyataannya sel perbudakan tentu adalah sel paling buruk yang pernah ada. Sel-sel rehabilitasi Arial licin dan mengilap. "Jeruji" terbuat tak lebih dari kosen dan jendela berlapis tebal. Musik dan rekaman resitasi diputar bergantian, dan makanan yang lebih mewah daripada santapan di desa terhidang tiga kali sehari, lengkap dengan kue di jam minum teh. Namun, kendati Rayford mampu menenangkan diri setelah beberapa bulan di sel, Antellina berbaik hati mengganti istilah "sel" dengan "kamar". Rayford menghargainya.
"Akan kuingat. Terima kasih."
Lorong kedua yang mereka lintasi kosong dan sempit, tetapi selepas itu rombongan masih harus melewati satu lorong cukup luas yang memuat sepuluh sel. Di sinilah bagian yang paling menjemukan. Ketika orang lebih suka menceritakan kengerian dan aroma anyir yang membusuk, Rayford tak bisa mengatakan apa pun selain berusaha menahan muntah. Raungan saling bersahutan menyambut rombongan yang mempercepat langkahnya. Rayford mengabaikan para Host sinting yang mendesis kepadanya, meski sejujurnya hati nurani pemuda itu mengasihani dan ingin memeluk mereka. Bisakah kau bayangkan betapa merana para Host ini? Mereka adalah penyintas perbudakan yang sama dengannya, atau jikalau bukan sekalipun, sama-sama telah melewati trauma pahit. Kesengsaraan mereka melipat ganda ketika tubuh mereka tak bisa menyesuaikan dengan sel vehemos yang tertanam, tapi mereka masih terlalu sehat untuk bisa mati seperti Mel dan kawan-kawan sel Rayford dahulu. Mereka menggelepar kesakitan, meraung, mencabuti kuku-kuku, dan menggaruk kesetanan ketika sesuatu berkedut-kedut keras di dalam tubuh, berusaha menjebol kulit mereka.
"Omong-omong," Antellina berbisik kepada Rayford, mumpung Kepala Penjara Dane berjalan di depan mereka. "Ingat tawaranku soal bersekolah di Institut Elentaire? Mau mencobanya?"
"Entahlah, Bibi. Aku ... aku tidak pernah menghadiri sekolah formal selain perguruan yang terisolasi."
Antellina menyeringai. "Kau membutuhkan waktu begitu lama untuk mempertimbangkan, ya? Atau karena abangmu?" selidiknya, dan kala Rayford tak mengatakan apa pun sekaligus menegaskan kecurigaannya, Antellina tersenyum mafhum. "Saat kau siap, kau akan tahu. Dan kau akan menerima undangan. Jangan khawatir dengan cara mendaftar ke sana. Mereka akan mengundangmu untuk datang, dan sekali lagi—hanya setelah kau siap."
Rayford mengangguk, tetapi perhatiannya sudah tersedot pada sumber cahaya di ujung lorong. Ketika perjalanan itu berakhir di lobi yang luas, lapang, dan sarat dengan aroma antiseptik dan lemon, Rayford rasanya ingin bersimpuh penuh syukur. Ia tak perlu lagi melewati lorong-lorong jahanam itu. Ia menghampiri Caellan yang telah menunggu di meja resepsionis dengan senyum penuh kelegaan.
"Hei, dik." Caellan menyeringai. Ia menyambutnya dengan rangkulan. "Kau terlihat sangat sehat, apakah mereka terus memberimu steik dan ayam panggang?"
"Lihat ini." Rayford menepuk perutnya yang sedikit membuncit dengan bangga. "Dan, heh, kenapa kau tidak mengunjungiku lagi sebulan terakhir?"
Alih-alih menjawab, Caellan memasang senyum formal dan menghampiri Antellina dan Dane. Mereka bertukar kata-kata sejenak, berjabat tangan, dan berakhir dengan salam perpisahan. Caellan pun membawanya meninggalkan lobi pusat rehabilitasi.
"Elena dan Elliot rutin mengunjungimu?"
"Tidak lagi. Elena ketakutan dengan pasien rehabilitasi yang lain. Cuma Nona Lau atau Jenderal. Sekali-sekali."
Caellan mengernyit. "Mereka masih gigih menawarimu?"
"Terakhir mereka melakukannya tiga bulan lalu ... sebab kutegaskan kalau aku ingin mengabdi pada Konservatori saja. Aku memang bisa memanjangkan tangan bermeter-meter tapi bukan berarti aku sanggup jadi pemain sirkus."
"Konservatori? Kau akan berakhir memakan para pendosa."
"Aku bukan kanibal." Rayford menyenggol Caellan dengan kesal, dan ketika sang abang membalas dengan kekehan geli, Rayford mendengus. "Itu tidak lucu."
Mereka memasuki sebuah lift yang mulai penuh. Sang petugas tidak menunggu penumpang lagi dan jeruji pintu lift bergeser menutup.
"Apa kau akan mengabdi sepenuhnya?" Caellan berbisik di pelipis Rayford. Dia lebih tinggi satu kepala daripada adiknya.
Rayford mengangkat bahu. "Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih bisa menempuh pendidikan lanjutan untuk menjadi Guru."
"Bagaimana dengan bekerja?"
"Ah, soal itu ...," kata Rayford, sedikit ragu-ragu untuk mengatakannya. Mereka keluar dari lift, dan Rayford menyusuri sepanjang jalan menuju mobil terparkir dengan perasaan waswas. Hingga mereka mencapai samping mobil yang sepi dan tak ada orang di sekitar, Rayford baru melanjutkan. "Kepala penjara Dane menawarkan aku sesuatu. Aku yakin Bibi Antellina pasti yang menyarankannya."
"Apa itu?"
"Eksekutor. Algojo." Rayford mengatupkan bibir, mengirimkan gelenyar merinding ke tubuh Caellan. "Semusim sekali, dan menjagaku tetap kenyang selama itu. Bagaimana?"
"Yah ... aku tak bisa memikirkan apa pun yang lebih cocok dan efektif."
"Kau tidak menolaknya?"
"Kau mau aku menolaknya?" tanya Caellan, dan saat Rayford tak kunjung menjawab selain memberikan ekspresi muram yang penuh arti, ia menambahkan dengan heran. "Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, tetapi ikhlaskan saja situasimu. Kau memang setengah monster dan punya lambung kedua untuk dipenuhi."
Kedua pemuda itu memasuki mobil dan segera bergabung kembali ke jalan raya. Caellan mencoba mengalihkan konsentrasinya sejenak dari sang adik yang masih menggerutu tanpa suara.
"Omong-omong—"
"Aku tidak—"
Keduanya berhenti. Caellan mendengus geli menyadari keselarasan itu sementara Rayford nampak tegang. Bocah ini perlu bersikap lebih santai, kira-kira begitulah yang Caellan pikirkan. Maka dengan berbaik hati ia memberikan waktu pada sang adik. "Bicaralah dulu, Ray."
Rayford menghela napas. "Aku terpaksa menerima pekerjaan itu, kau tahu?" ujarnya. "Kau sudah tahu betapa mengerikannya tahun-tahun awalku di rehabilitasi. Tetapi aku harus menerima situasiku, dan kupikir ada satu cara lagi yang bisa kulakukan agar lebih mudah mengikhlaskannya."
"Apa itu?"
"Aku harus membayar kesalahanku. Aku akan kembali ke desa perguruan untuk mengembalikannya, apa pun caranya. Setelah itu aku akan meminta maaf dan segala macam, lalu meminta para Guru untuk membantuku menekan pengaruh Par di dalam diriku. Kuharap, dengan semua masalah yang terselesaikan, aku sanggup menjalani pekerjaanku dengan ... netral."
"Kapan kau mau pergi?"
"Um ... setelah ini?"
"Baiklah," respon Caellan enteng. "Selesaikan semua masalah yang pernah kau buat bersama iblis keparat itu. Memang sebaiknya demikian. Kalau segala hal sudah tuntas, kita bisa melanjutkan menyusun rencana untuk melepaskan diri dari dinasti."
Rayford mengangguk. Kendati ia tidak sabar untuk segera menjalankannya, perutnya mulas tanpa sebab.
Ah, dinasti.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro