Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bagian 5

Pada akhirnya aku tiba di rumah sakit sekitar pukul sepuluh lewat. Sementara Kansa melaksanakan janji temunya, aku pergi ke ruang rekam medik dengan harapan tak dilihat oleh Pak Kepala, atau yang lebih buruk lagi, direktur rumah sakit.

Satu-satunya orang di dalam sana adalah rekan kerjaku, yang meski sedang fokus bekerja, tetapi kutahu tengah melirik sinis.

Wajar jika dia begitu, kalau jadi dia pun aku pasti akan melakukan hal yang sama, atau bahkan langsung marah saja. Temanku untungnya orang yang kurang suka mengeluarkan emosinya.

Setelah izin pulang cepat, izin tidak masuk kerja, lalu hari ini terlambat. Ditambah nanti siang aku akan pulang lebih dulu sekali lagi karena harus menjemput Anan. Temanku yang baik ini selalu di sana untuk menalangi jam kerjaku tanpa mendapat uang tambahan. Aku harus meminta maaf padanya.

Hanya saja itu tidak pernah terjadi hingga aku akhirnya pergi pukul dua siang. Kami bahkan tak pernah berbicara karena terlalu sibuk melayani pasien. Di dapur saat waktu istirahat pun hanya sekadar sapaan kecil dan penuh kecanggungan. Dia membuat kopi, dan aku di depan cermin masih meratapi mata buramku yang mengganggu.

Sementara wawancara Kansa selesai sebelum siang, jadi dia pulang ke kantornya, tetapi kembali lagi ke rumah sakit untuk menjemputku. Aku pamit pada temanku, dan meninggalkan kantor sebelum dia sempat mengatakan apapun. Mungkin harus kujelaskan saja situasinya lalu meminta maaf; sekaligus meminta tolong agar dia mau menutupi jam kerjaku sampai ini semua berakhir.

Kami tiba di sekolah Anan sedikit lebih cepat sebelum murid-murid meninggalkan sekolah. Aku memperhatikan ketika akhirnya beberapa mulai meninggalkan gerbang dengan menenteng tas. Mataku yang kurang baik berusaha mencari Anan di antara kerumunan.

"Itu Anan," kata Kansa, lantas menurunkan jendela. Aku baru menemukannya setelah memicingkan mata, dan kupikir Anan berjalan bersama dua atau tiga temannya sama seperti yang lain, tetapi ternyata dia sendirian.

Aku tidak pernah tahu siapa temannya, dan tidak pernah bertanya soal itu. Lalu pemandangan di hadapanku memberi sekelumit pertanyaan baru. Apa ... dia tidak punya teman?

Itu tidak mungkin. Dengan caranya berbicara padaku yang selalu membuat jengkel, dari mana lagi Anan belajar sikap seperti itu kalau bukan dari teman sekolahnya.

"Anan," panggil Kansa sambil melambai. Anak itu mengangkat kepalanya dengan mulut menganga, tak menyangka akan kehadiran Kansa. Aku ikut maju sedikit dari tempat duduk agar Anan dapat melihatku.

Kulihat langkahnya masih agak pincang saat berusaha mencapai mobil, dan sepertinya Kansa juga dapat melihat itu. Anan masuk di belakang, dan langsung bertanya.

"Kak Kansa kok di sini?"

"Aku mau traktir kamu makan," jawab Kansa setelah menoleh ke belakang.

Dari spion tengah kulihat Anan menoleh padaku dengan tatapan penuh curiga. "T–Tapi kenapa?"

"Karena ... aku naik jabatan." Aku ikut terdiam sejenak saat Kansa mengatakan itu. Entah memang alasan yang dibuat-buat atau benar, tetapi aku langsung teringat dengan ucapan Galang dua hari lalu kalau Kansa akan mengurus beberapa jurnalis baru.

Aku menyalakan mesin dan melaju ke tempat makan yang dipilih Kansa. Kembali kuperhatikan Anan dari kaca spion, dan menemukan anak itu kesulitan dengan duduknya. Sekali kami benar-benar saling menatap, dan dia masih melirikku sangsi.

Sangat jelas apa yang ada di dalam kepalanya. Anan mengatakan dia tak ingin melaporkan ini pada polisi karena malu. Sejak awal pun dia merahasiakan ini padaku. Hal terakhir yang dia butuhkan adalah orang lain juga mengetahuinya.

Tetapi Kansa sudah tahu.

Ketika kami tiba di tempat makan tersebut, Kansa masuk terlebih dahulu sementara aku mencari parkir. Anan sengaja tidak ikut ke dalam. Setelah menemukan tempat yang cocok, dia langsung menanyakan apa yang sejak tadi sudah ditahannya.

"Kakak kasih tahu Kak Kansa, kan?!" cecar Anan sampai-sampai memajukan tubuhnya.

"Kasih tahu apa?" jawabku mencoba acuh tak acuh.

"Nggak usah pura-pura nggak tahu lah kak. Kakak kasih tahu Kak Kansa kalau aku udah ... itu." Suara Anan memelan di akhir. Aku yang tadi menyibukkan diri dengan sabuk pengaman seketika terhenti. Bahkan Anan pun tak sanggup mengatakannya. Sebenarnya siapa laki-laki sialan yang sudah melakukan ini?

"Eeeeengggakkkk ...." kataku, lalu berbalik untuk menatapnya yang sudah murung. "Ngapain aku kasih tahu Kansa soal itu?"

"Ya terus kenapa lagi Kak Kansa ngajakin aku makan?" Mungkinkah kalau kujawab Kansa ingin membantu, maka Anan akan menceritakan semuanya? Sejujurnya Anan bahkan belum tahu kalau laporanku tidak bisa diproses oleh polisi, dan dia tidak pernah bertanya soal itu.

"Kan udah dijelasin, Kansa cuman mau traktir kita."

"Masa traktir cuman dua orang?"

"Mungkin aja dia udah traktir yang lain." Aku membuka pintu, sebagai ajakan agar dia ikut keluar dari mobil berhenti mempertanyakan alasan tak meyakinkan Kansa.

Kansa sudah bersama seorang pelayan saat kami baru masuk, dia memesan porsi yang lebih daripada cukup untuk tiga orang, dan Anan bersusah payah menyuruhnya untuk tidak usah membeli terlalu banyak.

"Nggak usah khawatir. Aku yang bayarin," ucap Kansa, lalu menyerahkan kembali menu tersebut, dan pelayan pergi seraya menyuruh kami menunggu sebentar.

"Kamu mau es krim, nggak?" tambah Kansa.

Anan sontak melambaikan kedua tangannya diikuti wajah yang memerah. "N–Nggak usah, Kak. Pizza yang tadi aja udah banyak."

"Kamu kok malu-malu gitu sih? Emang Anan biasanya malu kayak gini, yah, Pram?" Kansa menoleh padaku dengan seringai, tetapi matanya berkali-kali melihat ke Anan. Sedikit lambat baru kusadari kalau itu sebuah kode.

"Eeeemm—Nggak. Dia biasanya semangat kalau makan es krim. Apa lagi kalau gratis," ucapku dengan nada mengerjai, dan Anan langsung memukul pelan perutku. Kansa bereaksi dengan tawa agak keras.

Kurasa ini sebuah langkah awal, karena aku jarang melakukan itu pada Anan.

"Kamu ambil aja es krimnya sana, aku yang tunggu makanannya di sini." Sekali lagi Kansa memberikan sebuah kode, menggerakkan kecil kepalanya ke arah counter untuk mengambil es krim. Paham maksudnya, aku menarik Anan agar mengikut.

Kansa ingin agar aku dan adikku dapat berdua saja, dan saat memesan es krim, masih tak ada pembicaraan yang terjadi. Bodoh untuk mengakuinya, tetapi aku tak tahu harus membicarakan apa dengan adikku. Aku sempat bertanya padanya ingin yang rasa apa, tetapi setelah itu tak ada.

Ayolah, Pramudya Wiranata. Kamu harus ngobrol sesuatu, apa saja. Aku berdehem, dan akhirnya mulai bertanya—"jadi ... gimana sekolahmu?"—sebelum menyadari kalau itu pertanyaan yang tidak penting.

"Ngapain tiba-tiba nanya sekolah?" Anan mengangkat alisnya.

"E–Emang nggak boleh?"

Adikku sempat menarik napas panjang sebelum menjawab. "Bagus."

Itu saja. Bagus. Apa artinya bagus? Bagus maksudnya dia pintar, atau bagus artinya oke, atau mungkin dia bagus dalam pelajaran tertentu saja? Tetapi Anan baik di pelajaran apa? Dengan fisik seperti itu, sepertinya olahraga bukan keahliannya. Dulu aku pintar di TIK, dan seingatku sekarang pelajaran itu sudah dihapus.

Kenapa berbicara dengan adik sendiri bisa jadi sesulit ini? Dia sungguh asing bagiku.

Saat menggaruk kening dengan canggung, pelayan counter es krim sudah kembali. "Ini, Pak, Silahkan. Anaknya bisa dibawa ke sana buat ngasih topping."

Mataku perlahan-lahan melebar saat menatap pelayan itu. Aku ingin membenarkannya, tetapi lidahku malah seperti diserang radang dingin.

Anan juga sama terkejutnya, tetapi dia yang akhirnya berbicara. "Dia kakak saya, Mbak. Bukan Ayah saya."

Pelayan itu akhirnya meminta maaf dan tersipu malu, aku masih tak mengatakan apapun saat Anan mengisi topping untuk es krimnya.

Umur kami memang terlampau jauh, tetapi belum pernah ada satupun yang memanggil kami ayah dan anak. Itu pertama kalinya. Tidak kusangka akan tiba masa aku dipanggil ayah oleh seseorang.

"Kak Pram?" Aku kembali ke dunia nyata, tanpa sadar Anan sudah ada di depanku, mengunyah es krimnya. "Ayo ke meja, Kak Kansa udah nunggu."

Aku masih terdiam sejenak, sebelum tersenyum padanya lalu mengangguk. Kami kembali ke meja dengan beberapa pizza sudah tersaji. Kansa kemudian memberi puluhan pertanyaan pada Anan, khas dirinya sebagai jurnalis. Anak itu masih malu-malu.

"Kalau di rumah Pram orangnya kayak gimana?"

Anan yang masih sibuk dengan satu potong pizza, langsung tertahan. Wajahnya berubah lesu. Entah kenapa, tetapi kupikir dia tengah membayangkan kakaknya yang berwajah tegang dan suara tinggi baru saja menendang bokongnya.

"Kak Pram baik," ucapnya pelan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro