bagian 4
Aku baru teringat dengan wawancara yang seharusnya dilakukan Kansa hari ini saat tiba di kantornya. Sebuah liputan pada salah satu dokter di rumah sakit tempatku bekerja, entah liputan seperti apa sebenarnya, tetapi selama beberapa hari ke belakang Kansa berusaha cukup keras agar mereka bisa bertemu.
Lalu aku malah memintanya untuk bertemu demi membahas masalah Anan. Kuharap Kansa fokus pada pekerjaannya saja dulu, tetapi begitu aku melewati pintu, dia berdiri di sana, menungguku.
"Pram. Kirain kamu nggak jadi datang."
"Sa, aku beneran lupa, tapi bukannya kamu ada liputan hari ini?"
Kansa hanya menggeleng. "Itu masih bisa nanti. Gimana Anan? Sebenarnya kenapa sama dia?"
Aku teringat kembali pada kejadian kemarin. Ketika dokter mengatakan kalau adikku ternyata habis dilecehkan. Rasanya masih sulit untuk menerima kenyataan itu.
Kansa cukup peka untuk membawaku ke salah satu ruang rapat kosong agar dapat membahas masalah ini tanpa didengar orang lain. Sebelum itu kutanya kemana Galang, ternyata lelaki itu juga punya janji temu dengan seorang narasumber.
"Jadi kenapa Anan?" tanya lagi Kansa sudah tak sabar. Jadi kujelaskan padanya semua yang terjadi. Menceritakan seluruh penjelasan sang dokter dan Anan yang masih merahasiakannya saat kami kembali ke rumah. Seperti yang sudah kuduga, Kansa membeliak hebat setelahnya, hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangan.
"A–Anan? Jadi Anan?"
Aku berdiri memunggunginya, menghadap ke jendela dan menyaksikan arus padat lalu lintas di luar sana. Tanpa sadar tanganku sudah menggenggam erat teralis. "Iya ...."
Ketika berbalik kembali, Kansa bersusah payah mengambil duduk. Kakinya gemetar, berkali-kali menyebut nama Tuhan karena masih belum percaya. Aku pun juga seperti itu awalnya.
"Terus ... di mana Anan sekarang?"
"Sekolah," jawabku.
"Sekolah? Kamu suruh dia masuk sekolah?"
"Dia mau masuk sekolah sendiri. Aku justru larang dia," jelasku turut mengambil duduk di dekatnya.
Anan bangun lebih pagi hari ini, lebih dulu dariku. Dia muncul dari kamar mandi sudah dengan celana sekolahnya. Tentu saja aku langsung melarang, mengatakan dia masih sakit, tetapi Anan lagi-lagi mengabaikanku.
Kubuatkan sarapan pagi, dan kami makan seperti biasa. Anan masih duduk dengan bersusah payah, tetapi memaksakan dirinya seolah berkata 'aku baik-baik saja, nggak usah khawatir'. Siapapun yang punya mata sungguh dapat melihat anak itu benar-benar kesakitan.
Jadi sekali lagi kutanyakan, apa dia serius mau ke sekolah. Akhirnya Anan balas memarahiku. "Kakak kenapa sih?! Aku baik-baik aja!"
Meski tak menyukainya, tetapi aku tetap mengantar Anan ke sekolah. Sebelum akhirnya ke kantor Kansa dan membicarakan ini.
"Terus gimana sekarang?" tanya lagi Kansa.
"Aku udah lapor ke polisi kemarin," ucapku, dan secercah harapan nampak muncul di matanya, yang tidak Kansa tahu adalah inilah berita buruk lainnya. "Tapi laporannya nggak bisa diproses."
"Kenapa gitu?"
"Aku juga nggak tau! Katanya karena kurang bukti." Kepalaku kembali terasa sakit sampai-sampai harus melepas kacamata. "Anan malu, Sa. Dia nggak mau laporin ini ke polisi, tapi aku mau pelakunya dihukum. Dia nggak bisa lolos gitu aja."
Meski penglihatanku nampak buram, aku menatapnya penuh harap. "Cuman aku bingung harus mulai dari mana, jadi aku butuh bantuanmu, Sa. Kamu jurnalis, kamu pasti ngerti yang ginian. Cari petunjuk, apa aja. Pokoknya yang cukup buat polisi tindak laporanku."
"Aku pasti bantu, Pram. Pasti." Kansa meraih tanganku, menggenggamnya lembut. Membuatku merasa tenang untuk sesaat. Terima kasih, Kansa.
Kansa menarik kertas dan pulpen di dekatnya. Di bagian atas dia menulis nama Anan, kemudian menarik beberapa garis di bawahnya. "Okey, ini yang aku tahu. Pelaku itu biasanya orang yang dekat sama korban. Keluarga, teman, kenalan, dan paling luar itu orang asing."
"Anan nggak punya keluarga lain, cuman aku," jelasku, dan Kansa mencoret tulisan 'keluarga' yang baru saja dibuatnya.
"Kalau gitu teman. Mari anggap aja pelakunya laki-laki umur dua puluh tahunan yang dekat sama Anan. Kamu ada kenal orang yang ciri-cirinya kayak gitu?"
Kepalaku berusaha mencari-cari siapa yang memenuhi kriteria itu. Tidak banyak orang dewasa yang kulihat pernah bersama Anan selain tetanggaku yang berumur tiga puluh dan sudah punya seorang anak. Selain itu sepertinya tidak ada. Kenyataannya aku tidak kenal satupun teman sebaya Anan.
"Kalau kenalan gimana? Mungkin termasuk kenalanmu yang pernah mampir ke rumah?" lanjut Kansa menyadari diamku, tetapi sama saja. Tak ada satupun orang yang terlintas di kepalaku. Selain Kansa, siapa yang kiranya orang dewasa yang pernah datang ke rumah?
"Pram ...."
"Iya, sabar. Aku lagi mikir!" tukasku.
"Kamu nggak tahu siapa yang dekat sama Anan, karena kamu sendiri nggak dekat sama dia."
"Aku nggak—" Ucapanku terhenti, sadar kalau yang Kansa katakan benar. Siapa yang kubodohi, kubilang aku tak tahu harus memulai darimana, artinya memang aku sama sekali tak tahu. Adikku sendiri asing bagiku. Kami hanya selalu bertengkar, dia tidak mungkin mau terbuka padaku.
Kuraih kembali kacamataku, dan coba menarik napas panjang-panjang. Sementara itu Kansa menjatuhkan pulpennya kasar. Kami terdiam cukup lama di sana, berusaha memikirkan bagaimana cara menyelesaikan ini.
"Kamu harus ngobrol sama dia," kata Kansa pelan, lantas membuatku menoleh lagi padanya. "Kalau Anan aja nggak mau kasih tahu ke kamu dia darimana tiga hari itu, apalagi aku?"
"Gimana caranya?" tanyaku, dan Kansa memutar mata. Aku sadar betul itu pertanyaan yang bodoh.
"Pram. Kalian adek kakak. Kalian keluarga. Kalian harusnya akrab, saling ngobrol, saling terbuka, saling menjaga."
"Aku jaga dia, kamu kira sekarang aku lagi apa kalau nggak ngejagain dia?"
"Ya, tapi dia nggak ngerasa kayak gitu ke kamu, kan? Dia nggak mau terbuka ke kamu." Hal yang tidak kusuka dari Kansa adalah karena dia selalu benar. Mereka bilang perempuan tidak pernah salah, dan itu benar. Belum pernah sekalipun aku menang saat berdebat dengannya.
"Okey, kamu benar. Itu memang bodoh, tapi aku beneran nggak tahu gimana caranya. Aku bukan kakak yang baik buat dia, aku nggak akrab sama dia, jadi gimana caranya biar bisa akrab sama Anan? Gimana caranya biar dia bisa terbuka?"
"Pertama, kamu harus tenang. Jangan marah-marah ke dia." Kansa terdengar sedang mengejekku, tapi tidak masalah karena dia memang suka sekali menggoda sifat tempramenku itu.
Dengan wajah memerah, aku menjawab hampir berbisik, "okey ... terus apa?"
"Intinya kamu harus baik sama dia. Aha—" Seakan-akan ada lampu kuning yang baru saja menyala di kepalanya. "Kita bawa Anan makan di luar."
"Makan di luar? Di mana?" Aku sempat tertawa karena berpikir Kansa akan membawanya ke cafe langganan kami, tetapi ternyata dia berencana untuk membawanya ke tempat yang lebih mahal lagi. Makan pizza.
"Aku bayarin."
"Serius?" Kansa mengangguk bersemangat.
"Okey, operasi membantu Anan di mulai hari ini." Syukurlah Kansa bahkan terlihat lebih bersemangat daripada diriku. Itu membuatku semakin optimis lagi, karena dengan seorang jurnalis hebat di sini, maka laki-laki brengsek yang telah melakukan ini tak akan sadar sampai kami menunjukkan bukti-buktinya kepada polisi.
Sekarang adalah aku—secara ironis—harus akrab dengan Anan. Tidak kusangka penghalang dari penyelidikan ini adalah diriku sendiri.
"Kita pergi nanti sore. Aku ada liputan, omong-omong, kamu sendiri nggak masuk kantor?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro