bagian 2
Itu Anan.
"Anan!" Dengan panik aku berlari menuju kamar mandi. Entah mengapa dia berteriak, tetapi dengan suara sekeras itu menandakan ada sesuatu yang salah.
"Anan, kamu kenapa?!" Kugedor pintu berkali-kali, tetapi suara kran air mengalahkanku. Bayangan-bayangan mengerikan mulai menguasai. Mungkin dia terpeleset dan kepalanya terbentur. Lalu aku seketika teringat lagi dengan pertengkaran kami semalam, perasaan bersalah langsung mengelilingi. Oh, Tuhan, semoga dia baik-baik saja.
Suara air berhenti, dan sedetik kemudian Anan keluar dari kamar mandi dengan mata sama membelalaknya seperti diriku. "K–Kak Pram? Nggak masuk kerja?"
Dia terlihat baik-baik saja, tetapi kalau dia sampai berteriak sekeras itu, sesuatu pasti sedang terjadi. "Kenapa kamu teriak?"
"Siapa yang teriak?" Anan nampak kebingungan, tetapi aku tidak salah dengar. Bahkan kalau itu memang bukan dia, sangat jelas seseorang baru saja berteriak.
Pada akhirnya aku hanya menghela napas, coba melupakan yang baru saja terjadi. "Terus kenapa kamu nggak ke sekolah?"
Matanya turun dengan sayu, diikuti kepalanya ikut menunduk. Dia menolak untuk berbicara. Ini aneh, dia tidak seperti biasanya. Anan akan selalu menjawab.
Lalu dugaan itu muncul setelah kutatap Anan menggosok lengannya lemah. Apa dia ... takut? Jadi perkelahian semalam sungguh membuatnya takut padaku sekarang? Kami sudah terlalu sering bertengkar, dan ini pertama kalinya dia bersikap seperti itu.
Atau mungkin dia hanya sakit. Kuraih pergelangannya, dan merasakan tangan kecil basah itu bergetar dan hangat. Telapak tanganku lalu memanas setelah menyentuh dahinya. Aku juga baru memperhatikan kalau wajahnya agak pucat.
"Kamu udah minum obat?" tanyaku, dan Anan masih tak mengatakan apapun selain menggeleng pelan.
Aku membungkuk sedikit agar dapat sama tinggi depannya, dan menaruh kedua tangan di pundaknya pelan-pelan. Kali ini aku berbisik, berharap suaraku yang tinggi tak mempengaruhi Anan. "Kamu udah makan? Mau dibuatin makanan? Atau mau pesan di luar aja? Nanti aku kasih uang."
Usahaku agak berhasil. "A–Aku nggak papa kok, Kak. Emang lagi nggak enak badan aja, tapi nanti aku bikin mie instan."
"Kenapa malah makan mie instan?! Kan aku bisa—" Ucapanku terhenti. Lagi-lagi aku marah padanya. "Nggak. Aku bakalan pesen makan. Terus habis itu kamu kamu minum obat, dan istirahat, yah. Jangan main—" Ingin kukatakan untuk jangan bermain handphone, tetapi biarlah kalau dia mau bermain sampai lelah.
Anan hanya mengangguk, lalu pergi ke kamarnya dengan langkah sedikit aneh. Seperti dia pincang atau semacamnya, agak tertatih-tatih sebelum mencapai kamarnya, dan saat ingin masuk, pintunya langsung terjatuh ke dalam. Anan—termasuk aku—lupa kalau pintunya rusak.
Aku ingin ke sana untuk membantu, tetapi Anan menaikkan sendiri pintunya, dan menyandarkannya ke dinding. Jadilah kamarnya terbuka lebar. Adikku selalu kesal saat aku masuk ke kamarnya, tetapi lupa untuk menutup pintu begitu keluar. Sekarang kamarnya tak lagi memiliki pintu. Aku yang merusaknya.
Aku janji akan memperbaikinya nanti.
Sungguh kejadian kemarin ditambah hari ini membuat pening, dan akhirnya mempengaruhi laju motorku. Butuh waktu lebih lama dari sebelumnya untuk mencapai kantor Kansa, dan begitu tiba dia sudah ada di depan sana, berbincang-bincang dengan Galang.
"Hei, sorry aku telat, tadi macet," ucapku setengah berbohong, lalu mengecup pipinya.
"Nggak papa, aku juga baru selesai rapat. Malah kukira kamu udah di sini dari tadi." Kulirik Galang yang kemudian mengangkat jempol. Syukurlah dia mau membantuku.
"Ini berkas yang kamu minta. Dokternya bilang, lusa dia bisa ambil waktu kosong."
"Trims, Pram. Akhirnya ... udah lama mau wawancara sama beliau." Kansa nampak sangat antusias.
"Katanya sih jam tujuh pagi, tapi nggak mungkin dia mau datang pagi-pagi. Paling jam sembilan, itupun pasien udah numpuk. Jadi sabar aja yah kalau misalnya ditunda."
"Nggak masalah. Udah biasa kali yang gitu-gituan. Lagian nggak mungkin dia tiba-tiba batalin, soalnya udah tanda tangan kan di kertas ini." Kansa mengayunkan map plastik itu, sebelum memasukkannya ke dalam tas. Kertas itu sangat penting baginya, dan entah apa yang akan terjadi kalau misalnya dia tahu aku lupa membawanya tadi. "Kalau gitu ayok, aku udah lapar nih."
Kami pergi setelah melambaikan tangan pada Galang, dan menuju tempat parkir yang berada di belakang. Motorku di depan, dan kami tidak akan menggunakannya. Kali ini adalah mobil milik Kansa.
Jujur saja situasi ini awalnya membuatku terintimidasi, tetapi Kansa adalah wanita paling masa bodo dengan komentar konyol dari orang-orang. Sepertinya sifat itu muncul dari tahun-tahun panjang bekerja sebagai jurnalis. Fakta mendukung adalah yang terpenting baginya.
"Yah nggak papa, kan? Kenapa harus malu kalau cewek yang punya mobil." Itulah yang aku suka dari Kansa. Dia tidak hanya cantik dengan rambut panjang yang selalu diikat itu, tetapi juga pengertian dan loyal. Dia memang agak tegas, tetapi itu yang mempertahankan hubungan kami sampai sekarang. Aku tahu Kansa sudah tidak sabar pada hari ketika aku akhirnya bertekuk lutut dengan sebuah cincin, lalu menanyakan pertanyaan tersebut. Kuharap itu sebelum tiga puluh, dan umurku sudah dua puluh delapan.
Tetap saja aku yang membawa mobilnya. Aku bisa mengendarai mobil karena di rumah sakit terkadang aku sering diminta untuk memindahkan ambulans yang parkir terburu-buru karena harus segera memasukkan pasien yang darurat.
Meski lapar, tetapi kami hanya singgah di sebuah cafe. Kansa sangat suka waffle yang diberi es krim rasa stroberi di atasnya. Aku juga suka, tetapi tahu itu tak pernah cukup untuk membuat kenyang.
"Mmmm, enak banget!" Kansa selalu mengatakan itu, padahal dia memakannya hampir setiap minggu, dia lebih sering memesan secara daring untuk dimakan di kantor.
Kami berbincang soal pekerjaan masing-masing. Kansa bilang anak-anak baru kali ini akan menyenangkan karena antusias mereka untuk menjadi bagian dari industri berita, dan berharap semangat itu bertahan selama enam bulan ke depan karena berkali-kali selalu saja ada yang sudah resign di minggu kedua. Tekanan menjadi jurnalis memang cukup besar, tetapi di situlah tantangannya.
Sementara aku tak punya cukup banyak cerita hari ini. Biasanya Kansa ingin tahu banyak soal pasien apa yang datang dan apa penyakit mereka. Informasi ini sebenarnya tidak boleh disebarkan, tetapi Kansa dapat menjaga rahasia.
"Anggap aja kita lagi wawancara. Di kode etik jurnalis tertulis, 'kami harus menjaga identitas narasumber'."
Hanya saja semangatku sudah agak jatuh. Aku makan lebih lambat sampai-sampai waffle-ku melempem karena basah. Es krim berubah jadi seperti sup dan sendokku mulai mengaduk-aduknya.
"Kamu kenapa?" Kansa yang menyadari sikap murungku sontak bertanya, tetapi aku hanya mendesau. Dia menyesap sedikit minumannya dan lanjut bertanya, "kamu bertengkar lagi sama Anan?"
Desauan lagi. Aku tidak akan terkejut kalau memang dia bisa menduga sampai sejauh itu. Kansa kenal dengan Anan, mereka sudah sering bertemu, dan sesekali saat Kansa berkunjung ke rumah, Anan sudah siap bercerita tentang kakaknya yang cerewet dan tukang atur. Dia pun juga tahu kalau kami sering bertengkar.
"Pram ...."
"Iya, ini soal Anan." Aku menyerah. Sebagai jurnalis, dia tidak akan berhenti bertanya sampai mendapatkan jawaban. Ini salah satu sifatnya yang tidak terlalu aku suka. "Kami bertengkar."
"Kenapa lagi sekarang?"
Tidak pernah ada salahnya untuk bercerita dengan Kansa, lagipula kepada siapa lagi aku biasanya curhat selain dirinya. Aku menjelaskan setelah memperbaiki posisi kacamataku.
"Dia nggak pulang sampai tiga hari. Aku nggak tahu dia kemana dan pas akhirnya balik, Anan masih nggak mau jelasin dia dari mana. Jadi ... gitulah."
"Jadi kalian bertengkar." Giliran Kansa yang menghela napas panjang, aku tahu apa artinya itu. Dia tengah menimbang-nimbang apakah Anan memang bersalah atau aku yang kelewatan, biasanya pilihan pertama.
"Kami berkelahi." Dahi Kansa terangkat. Oh, dia benar-benar akan menyalahkanku. Jadi aku buru-buru menceritakan sisanya agar Kansa tidak terlalu marah. "Anan bikin aku naik darah. Aku lagi nasehatin dia, tapi dia malah masuk kamarnya."
"Astaga, Pram. Kamu itu udah gede, kenapa malah berkelahi sama adekmu? Dia itu masih kecil."
"Ya terus sampai kapan dia bakalan kayak gitu sama kakaknya? Kapan Anan mau belajar?"
Aku memutar mata, dan coba menikmati waffle lembek itu lagi. Sejujurnya aku sangat malas berdebat dengan Kansa, karena dia akan selalu menang—satu keahlian lain yang dimilikinya sebagai jurnalis.
"Jadi kenapa kamu murung?"
"Karena aku rusakin pintu kamarnya." Aku bahkan tak menatapnya lagi, dan tahu keberpihakan Kansa sudah habis. "Terus aku tendang dia dan sekarang—"
Sekarang Anan sakit. Mataku seketika melebar. Kenapa aku menyadarinya? Awalnya kupikir dia demam karena pergi entah kemana selama tiga hari, tetapi sekarang aku teringat dengan cara jalannya yang tidak biasa saat keluar dari kamar mandi.
Semalam kutendang dia sampai menjerit hebat, pagi ini Anan panas dan pincang. Jadi apa dia sakit karena aku?
"Kamu harus minta maaf sama dia," kata Kansa setelah mengunyah suapan waffle terakhirnya.
"Minta maaf?" Tidak mungkin. Mungkin aku memang terdengar kelewatan, tetapi ini bukan salahku—bukan sepenuhnya. Kami tidak akan bertengkar kalau dia mau mendengar, bukannya jadi kurang ajar setelah menghilang selama berhari-hari.
"Ya. Kamu itu udah dewasa, Pram. Masa iya minta maaf sama Anan aja nggak bisa? Lagian kalian itu adek kakak, kenapa adek kakak malah bertengkar? Adek kakak nggak boleh berkelahi. Konsepnya nggak kayak gitu. Lagian dia cuman punya kamu, Pram."
Kali ini aku terdiam, dan coba menghabiskan makananku juga. Seharusnya ini jadi makan siang yang menyenangkan, bukannya membahas pertengkaranku dan siapa yang sebenarnya salah. Namun, kata-kata Kansa sukses mempengaruhiku—keahlian jurnalis lagi.
***
Ketika kembali ke rumah, ada sisa makanan di atas meja. Itu makan siang Anan yang kupesan, dan tidak dibersihkannya. Lagi-lagi dia tidak bersih-bersih setelah makan, tetapi aku tak lagi ingin marah padanya. Setidaknya untuk hari ini.
Saat malam, aku memesan makanan yang sama untuk kami makan. Kali ini bukan hanya cara jalannya saja yang tampak semakin aneh, tetapi juga duduknya. Anan berkali-kali memperbaiki posisi dan itu semakin mengganggu setiap detiknya.
Mungkin aku sudah benar-benar kelewatan. Tidak seharusnya kubiarkan emosi menguasaiku dan menendangnya sampai seperti itu.
"Kamu udah minum obat?" tanyaku, dan Anan mengangguk. Entah kenapa suasananya benar-benar canggung, rasanya seperti kami bukan keluarga.
Tak lama Anan benar-benar tak lagi bisa duduk, dan akhirnya berdiri untuk menghabiskan sisa makanannya. Oh, Tuhan, ini salahku. "Kita ke rumah sakit, yah."
Anan terkesiap. "Kenapa?"
"Buat meriksa kamu."
"T–Tapi aku nggak papa."
"Terus kenapa kamu nggak duduk?"
Suara Anan berubah gagap, mencoba mencari alasan. Dia pasti benar-benar takut dan akhirnya tak mau menyalahkanku.
Aku berhenti makan untuk mendekatinya. Sekali lagi menaruh kedua tangan di pundaknya, dan berbicara sepelan mungkin setelah menarik napas panjang. "Anan. Maafin kakak karena udah tendang kamu kemarin."
Mata Anan melebar lagi. "Aku marah karena khawatir, itu aja. Tapi aku beneran ... pokoknya aku salah karena udah rusakin pintu kamarmu dan tendang kamu."
"Tapi aku beneran nggak papa, Kak." Anan sungguh takut. Dia menunduk dan tak mau menatapku.
"Please, kita ke rumah sakit yah besok." Aku terdengar putus asa. Kalau Anan masih tidak mau maka ini benar-benar gawat. Aku tidak pernah ingin dia takut, hanya ingin dia belajar, dan aku salah melakukannya.
Aku bernapas lega setelah dia mengangguk setuju. Syukurlah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro