Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Secret Number - Two

《■■■■■》

Koridor masih sepi seperti biasa. Begitulah Vaggard, gedung besar ini hampir tidak pernah ramai. Lukisan kecil, foto pemandangan, dan hiasan lainnya tertempel di dinding koridor yang berwarna coklat muda. Abe berjalan sedikit cepat. Turtleneck yang dikenakan olehnya senada dengan warna dinding koridor, coklat muda, dibalut dengan jas santai berwarna hitam tanpa kancing.

Tergopoh-gopoh Rowena mengimbangi langkah kaki Abe yang panjang, ditambah ritmenya semakin cepat. Kondisi Rowena masih belum terlalu baik. Meskipun syok yang ia dapatkan atas kematian Klaus hanya sebentar, tubuhnya masih lemas tanpa alasan yang jelas. Mengingat kalau gadis itu memiliki hubungan yang lumayan dekat dengan Klaus, bukan berarti dia harus meratapi temannya itu. Percayalah, Rowena adalah gadis yang benci dengan air mata.

"Rowena," Abe mencairkan hening.

"Ya?"

"Menurutmu siapa yang membunuh Klaus?"

"Entahlah. Kita tidak bisa menuduh rekan kita sendiri bukan?"

"Lalu bagaimana jika ada serigala berbulu domba diantara kita?"

"Entahlah."

Mereka berdua memasuki ruang tengah Vaggard. Orang-orang yang sudah hadir memandang ke arah Abe dan Rowena, tatapan mereka terlihat mengintimidasi. Abe duduk di salah satu dari empat sofa panjang yang di susun berhadapan, membuat formasi segi empat. Sedangkan Rowena di tempat lain.

"Dari mana saja kau, Abe?" tanya seorang pria dewasa berjenggot sambil menurunkan secangkir kopi dari mulutnya.

"Baru bangun tidur." Abe membenarkan posisi duduk. "Kuharap kalian tidak mencurigaiku."

Harapan Abe sangat berkebalikan dengan fakta yang ada. Sebelum Abe dan Rowena datang, rekan-rekannya itu justru malah habis-habisan menuduh Abe dengan opini mereka masing-masing. Paling parah adalah Ryan, pria berjenggot yang barusan bertanya saat Abe datang. Sifat santainya terlalu mematikan. Kerap kali menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, termasuk posisi Abe sebagai wakil ketua.

Hani, salah satu wanita yang terkenal baik di Vaggard, meletakkan secangkir kopi di depan Abe. Wajah yang biasanya memajang senyum itu kini terlihat gusar. Hani sedang berkecamuk dengan pikirannya, semenjak Ryan mengatakan bahwa hanya Abe lah satu-satunya orang dengan alibi tidak jelas diantara mereka.

"Satu hal yang masih belum kumengerti, apa motif dari pembunuhan Klaus?" Louise, pria muda berkulit putih, angkat bicara. Rambut blonde-nya diacak-acak untuk kesekian kali.

"Jabatan?"

"Bisa jadi. Tapi aku tidak yakin dengan hipotesisku, dan aku harap kecurigaanku ini salah." Louise melipat tangan, bersedekap.

"Siapa yang kau curigai? Aku?" tanya Abe tegas.

Di sisi lain Rowena mencegah amarah Abe yang mungkin akan tersulut, "Tenang Abe. Kita diskusikan ini baik-baik."

"Bagaimana dengan cinta?" Louise mengalihkan topik.

"Cinta?"

Seluruh pasang mata menuju ke arah Rowena. Tegas. Gadis itu menatap balik yang lain.

"Apa Klaus pernah mencintai seseorang?" Mencondongkan badannya ke depan, Louise mulai berpikir.

"Pernah."

"Siapa?"

"Aku." Dalam diam, seluruh penghuni ruangan terperanjat mendengar ungkapan Rowena.

Tanpa diperintah, dengan karakter suaranya yang tenang, Rowena menceritakan semuanya. 

Satu minggu sebelum kematian Klaus, dia mendapatkan pernyataan cinta dari pria itu. Konyol dan lebay. Rowena tidaklah suka dengan drama-drama percintaan. Memberikan bunga, surat cinta, gombalan, semua itu hanya membuang waktu demi hal-hal yang tak pasti. Cinta bukanlah kepastian yang harus ditunggu-tunggu. Menunggunya hanya membuang waktu.

Tekad pria itu, Klaus, tidak ciut seketika. Klaus terus mencoba. Walau, semakin Klaus mencoba, semakin dirinya diabaikan oleh Rowena. Begitulah perlakuan Rowena untuk seorang pria yang tulus. Klaus. Semua usaha Klaus dilakukan dengan diam-diam. Sekiranya, tidak ada seorang pun yang tahu.

"Tapi bodohnya ... Lambat laun aku mau memungut rasa suka yang pernah kuinjak." Rowena menceritakan tuntas segala yang ia alami. Sempat ia berpikir untuk sedih. Tapi untuk apa? Tidak ada gunanya.

Dia mengaku, satu hari sebelum kematian Klaus, dia sudah membulatkan tekad untuk meminta maaf dan menerima ketulusan pria yang pernah ia rendahkan itu. Tapi malaikat maut lebih cepat daripada Rowena. Gadis itu kalah. Rowena kalah dengan maut.

"Aahh ... Aku paham. Sekalipun cinta terlalu abstrak untuk diteliti, tapi aku tahu jawabannya." sahut Ziggy mengakhiri nostalgia percintaan Rowena. Gadis usia belasan tahun-namun dengan kecerdasan menyetarai seorang sosiolog handal-memelintir rambutnya yang dikuncir dua. "Dengan kata lain, ada yang cemburu dengan perbuatan Klaus karena usahanya untuk mendekati Rowena. Atau, ada seseorang yang takut kalau dirinya didahului oleh Klaus."

"Tapi siapa lelaki yang menyukai Rowena? Atau siapa perempuan yang suka dengan Klaus? Aku sedikit berat untuk menuding-nuding teman," otak Louise yang selalu penuh dengan pertanyaan itu meluap-luap.

"Ayolah ... Ini hanya terkaan belaka. Lebih baik kita pikirkan motif lain dari pembunuhan ini. Kuyakin cinta bukanlah satu-satunya." Zagga menyisir rambutnya dengan tangan. Seperti kembarannya, Ziggy, anak laki-laki bernama Zagga ini berusia belasan tahun, juga menguasai ilmu psikologi. Benar-benar anak kembar penyuka ilmu sosial.

"Maaf, aku mau ke toilet dulu." Rowena beranjak, tidak mempedulikan obrolan rekannya yang terus menerka-nerka. Bukankah lebih baik untuk memanggil aparat kepolisian untuk menangani ini?

Belum jauh Rowena beranjak dari tempat duduk, Hani memberi tahu semuanya kalau polisi akan datang dua puluh menit lagi.

Lampu koridor sudah mati secara otomatis pada pukul tujuh tadi. Arloji Rowena mengabarkan kalau waktu sudah berlalu cukup lama, sekarang pukul delapan kurang lima belas.

Tidak bisa dibilang menyeramkan, karena sudah ribuan kali Rowena melewati koridor ini sejak dua tahun lalu. Bagi orang baru memang akan mendapat kesan horror. Namun Rowena bukanlah orang baru.

Berbelok menuju ruangan berpalang 'toilet', ruangan dengan enam bilik toilet dan dua wastafel itu tetap diterangi cahaya lampu. Rowena mencari bilik yang nyaman. Baru kepalanya menyembul masuk bilik paling depan, hidungnya tertusuk bau busuk. Seseorang lupa menyiram kotorannya. Bau busuk itu Rowena hindari sejauh mungkin, dimasukinya bilik paling belakang.

Sebenarnya perut Rowena tidaklah ingin mengeluarkan sesuatu. Namun dia hanya ingin mencari ketenangan sejenak. Bertahan di ruang tengah bersama yang lain hanya membuat pikirannya semakin penat.

Gadis seperti Rowena bukanlah gadis yang bisa diluluhlantahkan dengan gombalan para pejantan. Terlebih lagi Klaus. Sudah lebih dari lima tahun sejak dirinya menolak keberadaan cinta dari dunia ini. Kematian Klaus pun tidak serta merta merubah watak dan prinsip Rowena. Usaha. Usaha yang dilakukan Klaus. Itulah yang membuatnya sedikit-bisa dibilang-takjub, sekaligus prihatin.

Klaus berusaha habis-habisan, hanya demi suatu perasaan yang sudah Rowena buang, cinta. Kendati menyerah, usaha Klaus saat itu malah bertambah parah, lalu diakhiri oleh ajal.

Rasa bersalah, kecewa, kehilangan, dan segala titik bengek lainnya menyebabkan hati Rowena gundah. Salah besar asumsi mereka yang berpendapat kalau Rowena menaruh rasa pada Klaus. Ia hanya kasihan dan prihatin dengan nasib rekan seperjuangannya itu.

Lampu toilet mati.

Peperangan batin Rowena dengan dirinya sendiri sontak berhenti. Ketakutan masih belum hinggap di kepalanya. Berasumsi kalau ini hanyalah mati lampu biasa. Mengusap wajahnya kasar. Rowena bangkit dan keluar dari tempatnya. Pintu bilik kamar mandi yang ia buka berderit. Rowena ingat kalau saklarnya ada di sebelah wastafel.

Mata Rowena belum beradaptasi betul dengan gelap yang mendadak ini. Tangannya menggapai angin ke segala arah, mencari pegangan. Saat adaptasi matanya sudah mulai membaik, dilihatnya cermin wastafel. Tangannya menggapai-gapai tembok, mencari saklar lampu.

Dapat. Ah, bukan, yang Rowena dapatkan bukan permukaan dinding, melainkan ...

Dada seseorang.

Rowena menoleh, bersiaga karena firasatnya mulai memburuk. Tepat saat tubuhnya menghadap orang itu, bilah mata pisau yang dingin menyayat cepat dua kelopak matanya.

Rowena mengerang keras. Sakit. Sangat sakit! Gadis itu menangkup wajah. Darah hangat membasahi telapak tangan, mengalir deras hingga ke siku.

Dapat dirasakan saat orang itu mendekatkan mulutnya hendak berbisik. "Sampaikan salamku untuk Klaus." Rambut Rowena dijambak hingga menengadah.

Derap kaki banyak orang semakin cepat saat teriakan kedua terdengar dari arah kamar mandi. Abe dan yang lainnya masuk ke dalam toilet perempuan. Ruangan masih gelap. Seseorang dari mereka menyalakan lampu. Tersingkap mayat seorang gadis yang tadinya tertutupi gelap.

Para wanita mendekap mulut, kecuali Ziggy. Mata Rowane belum berhenti mengalirkan darah. Di dahinya terdapat lubang panjang, bekas tusukan pisau.

"Ryan, cari barang bukti!" perintah Abe.

"Ini dia," belum sampai lima detik, Ryan sudah menemukan sebuah pisau. Pisau itu dibenamkan dalam salah satu lubang kloset yang penuh kotoran. Darahnya bercampur dengan segala macam cairan yang tidak perlu digambarkan. "Ini sangat menjijikan."

"Klaus mati tanpa bekas luka, sedangkan Rowane mati dengan bekas luka." Louise menghela nafas. "Bagaimana pun, ini bukanlah pertanda baik. Dadu kematian sudah bergulir. Semoga setelah ini bukan diriku."

《■■■■■》

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: