Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Secret Number - Six

《■■■■■》

Kegemparan di kluster Vaggard kian membeludak. Ancaman maut mengintai di bawah bayangan, meliliti ekor baju setiap insan dan menerkam dalam keremangan. Satu persatu nyawa melayang tanpa peringatan dan belas kasihan yang berujung penyesalan.

Louise dan Abe menemukan jasad si kembar Ziggy dan Zagga dalam kondisi yang mengenaskan. Semerbak bau darah pekat mememuhi ruangan arsip yang meninggalkan hawa muram tak mengenakan, sedangkan cipratan darah di lantai 2 menyisakan kengerian tragis bagi semua orang yang melewatinya.

"Sial! Sial!" rutuk Abe di samping Louise yang gemetar.

"Tidak mungkin ... dalam waktu singkat ini ..." Louise nyaris tak bisa menyelesaikan kalimatnya ketika dia memandangi luka menganga berbentuk melintang di wajah rusak Zagga, dibaliknya mengintip daging lembek berbau amis. "Teman-teman kita tewas, teman-teman kita Abe! Kapan semua ini akan berakhir?!" Gelombang kemarahan mendadak tersembur dari suara Louise yang meninggi.
Dia menoleh ke belakang dan menatap wajah Abe yang cemas.

Sembari merentangkan tangan menenangkan, Abe mendekati temannya itu. "Tenang ... tarik napasmu dalam-dalam. Aku yakin kita akan menemukan jalan keluarnya, oke?"

Louise mengerutkan dahi. "Bagaimana aku bisa tenang? Odoraku sudah pergi selama-lamanya dan satu persatu teman kita berjatuhan," katanya dengan napas memburu.

Abe menggeleng pelan. "Kau kira aku tidak merasa kehilangan? Kita semua merasakannya, kau tidak sendiri, Louise. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mencari barang bukti seperti yang sudah kita lakukan sebelum-sebelumya. Mungkin saja kali kita bisa lebih beruntung?" Ujar Abe sambil menarik senyum kecil menguatkan. Sejujurnya dia juga sama penatnya dengan apa yang dirasakan Louise. Terlebih lagi orang terdekatnya di Anthelier ini, Rowena sudah tiada. Terdapat semacam rasa bersalah dan kehilangan yang bersangga di pundaknya.

"Kita tidak akan menemukan petunjuk apa pun yang berguna, semuanya tidak berarti apa-apa," balas Louise. Dia mengembuskan nafas kesal.

"Apa maksudmu? Bukti-bukti itu bisa menuntun kita lebih jauh untuk menemukan pelakunya. Jangan mudah putus asa seperti itu dong!" Geram meladeni sikap Louise yang berubah lembek, Abe memutuskan untuk mengurusi mayat-mayat si kembar demi mencari barang bukti atau semacamnya. "Jadi begini saja, sekarang kau mau membantuku atau tidak?" tanyanya sambil berkacak pinggang.

Hening selama beberapa saat. Abe menunggu jawaban yang sepertinya sia-sia untuk diharapkan.

"Baiklah, kulakukan saja sendiri," desah Abe.

Selanjutnya, citra suara yang terlontar dari suara Louise berubah, terkesan begitu dingin dan nyaris tanpa emosi. "Bagaimana jika giliranmu tiba?" katanya lirih.

"Apa?" Abe memiringkan kepala, ragu dengan pendengarannya. "Apa yang barusan kau katakan? Bisa diulangi? Kurang terdengar."

Louise membuang muka dan menghela napas. "Bukan apa-apa. Aku hanya tidak yakin berapa lama kita akan bertahan."

Abe memijit kening gelisah. "Jangan berpikir negatif seperti itu. Masih ada harapan bagi kita untuk selamat. Setelah ini aku akan menelpon polisi dan melapor, melihat situasi yang semakin parah mungkin mereka akan mengadakan wawancara," katanya dilengkapi sedikit dugaan.

"Interogasi maksudmu?"

"Ya ... begitulah. Kenapa? Kau keberatan?" Salah satu alis Abe terangkat, secuil rasa curiga merekah.

Sambil menebas tangan ke udara, Louise berujar, "Yang benar saja? Aku sama sekali tidak keberatan." Dia memandang Abe dengan menyelipkan sekelebat senyuman kecil yang sulit diartikan. "Aku hanya kurang paham dengan beberapa hal. Jika kematian Klaus memang punya tujuan penting, kurasa membunuh teman-teman kita juga tidak ada gunanya, bukan? Jejak pembunuh Klaus seharusnya sudah bisa ditutupi dan korban baru tidak lagi dibutuhkan. Sesungguhnya mereka justru membuka kedok mereka sendiri dengan aroma chamomile itu pada kematian Odoraku." Kemudian Louise melipat tangan di dada, menunggu respon teman di hadapannya.

"Kedengarannya memang masuk akal." Abe mengangkat bahu. "Tapi entahlah, kita tidak bisa langsung menilai seperti itu. Ada banyak hal yang belum kita ketahui, yang jelas sebaiknya kita harus selalu waspada dan berhati-hati." Abe maju selangkah seraya menepuk-nepuk pundak Louise pelan, bersamaan dengan itu suara khas seorang perempuan sayup-sayup terdengar.

Abe dan Louise menoleh secara berbarengan dan melihat Hani tergopoh-gopoh mendaki anak tangga.
"Teman-teman! Apa yang terjadi?" tanya Hani dibaluti rasa ketidakpercayaan sesampainya dia melihat jasad Zagga yang tergeletak lemas dan berdarah-darah di lantai. "Oh .. Tidak." Hanni membekap mulutnya sendiri agar tidak berteriak, dia tidak pernah menduga si kembar dijemput ajal secepat ini.

"Di mana, Ryan?" tanya Abe.

"Dia sedang ada keperluan, sebentar lagi menyusul," jawab Hani yang masih berusaha mengontrol diri. "Bagaimana dengan Ziggy? Di mana dia?"

Abe menunduk muram dan Louise menghela napas berat sebelum bersuara. "Dia juga tewas di dekat sini, tepatnya di ruang arsip."

Tangan kiri Hani mengusap dahi. "Kalau begitu sebaiknya kalian menelpon polisi sekarang, aku akan pergi melihat kondisi Ziggy sebentar." Dia langsung bergegas pergi tanpa merasa perlu menunggu jawaban dari dua temannya. Dengan kaki goyah Hani memasuki ruangan yang dipenuhi dengan meja-meja sebagai alas komputer di tengah ruangan, dan barisan lemari-lemari besi di setiap sudut ruangan.

"Betapa malangnya dirimu, Ziggy," kata Hani lirih. Sekuat tenaga dia menahan rasa mual saat melihat rembesan darah dari dada Ziggy yang berlubang hitam pekat kemerahan.

_Ah ... aku ingat,  tujuan mereka ke sini untuk mencari dokumen penghuni Anthelier di Vaggard. Mungkin saja ada sesuatu yang ditinggalkan Ziggy_ . Selama beberapa saat ia memeriksa tempat itu, di luar ruangan samar-samar terdengar suara berat Ryan sedang berdiskusi dengan Abe dan Louise. “Hanya ada satu komputer yang menyala.”

Hani mendekati salah satu meja dan menatap layar monitor dengan seksama.
Terpampang jelas sebuah dokumen resmi yang telah dibuka, dia membaca sekilas. “Dokumen berisi data-data penting, pasti ini yang tengah Ziggy cari sebelum pembunuh itu datang. Mungkin dia membunuh Ziggy karena telah mendapat barang bukti?”

Termangu dalam pemikirannya, dia ingat bahwa selalu ada kabel-kabel USB yang disimpan di salah satu rak, dia bisa menggunakannya untuk memindahkan data-data. “Tidak salah lagi …” Buru-buru Hani mengambil benda kecil itu dan menghubungkannya dengan CPU, suara dengingan tak kentara keluar dari mesin itu.

“Apa yang sedang kau lakukan, Hani?” Suara Abe yang tiba-tiba mengagetkan Hani.

“Hah?” Dia menoleh dengan canggung. “Hanya melihat-lihat,” ujarnya seakan-akan tidak ada hal penting.

“Melihat-lihat apa? Lalu yang di tanganmu?” tanya Abe penasaran.

Hani berdebat di dalam kepalanya, mencoba membuat keputusan sulit. Setelah melihat secarik foto di kamar Odora yang menyiratkan sesuatu, dia tidak bisa mempercayai siapa pun lagi. Dia merasa harus bekerja sendiri, bukannya ingin menang sendiri. Tapi pada situasi ini dia tidak mau menanggung resiko apa pun yang dapat memperburuk keadaan.

Oleh karena itu, dia berbohong. “Kau tahu tidak jika ruangan ini." Dia menujuk ke sekeliling. "Juga menyimpan berkas-berkas bermanfaat untuk merangkai bunga? Maksudku ... seperti trik dan semacamnya yang dibawa oleh Odora dari Xelonthus, mereka menyimpanya di sini dan ternyata ketemu! Lagipula sedari dulu aku juga ingin mempunyai keahlian seperti Odora, ditambah lagi sekarang dia sudah tidak ada, jadi aku menganggapnya sebagai aktivitas untuk mengenang teman," jelas Hani girang. Dia sudah tak habis pikir betapa bodohnya kalimat itu, tentu saja Abe tidak akan percaya.

“Sungguh? Aku baru tahu. Boleh kau tunjukan?”

Mata Hani memelotot. “Untuk apa?”

“Aku hanya ingin memastikan.”

“Memastikan untuk apa?”

“Entahlah … melihat tips memilih bunga yang serasi untuk dijadikan buket nikah?” kata Abe bergurau, walau terdengar sebaliknya.

“Kau … kau tidak percaya denganku, ya? Kau menduga aku menyembunyikan sesuatu di dalam benda ini?” Hani menelah ludah. Pikirannya kalut dan jantungya berdetak lebih cepat, dia takut ketahuan. Jika Abe sampai curiga, bisa-bisa dia akan dituduh sebagai dalang di balik semua ini karena orang-orang tidak akan mempercayai alasannya.

Hani menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinga, berusaha menutupi kegelisahannya. Sebisa mungkin bersikap santai. “Aku tidak akan menyembunyikan apa pun dari kalian, Abe. Percayalah padaku, memang apa gunanya aku berbohong? Kurasa itu hanya akan mempersulit keadaan,” katanya dengan lembut dan kalem.

“Ah … ya, kau benar. Kalau begitu sebaiknya kita pergi dan menemui polisi sekarang juga, Ryan telah membuat janji pertemuan. Sebentar lagi mereka tiba.” Selesai berkata begitu Abe membalik badan, bertepatan dengan ekor matanya yang menangkap sekelebat keanehan tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tiba-tiba kerongkongannya tercekat dan lubang hidungnya tersumbat. Dia ambruk ke lantai dengan suara keras, seseorang berbadan dibalut pakaian hitam-hitam dan jubah besar menimpa tubuh Abe. Mulutnya dibekap oleh sosok jubah itu. Abe meronta-ronta berusaha meloloskan diri.

Hani terpengarah, membeku di tempat.
Sosok bertopeng itu menarik paksa Abe dengan kasar sampai mereka berdua berdiri. Akhirnya bekapan di mulut Abe dilepas, tapi kedua tangannya dipelintir ke belakang dan ditahan agar tak bisa melawan. Sementara tangan kanan si sosok mengerikan mencengkeram kedua tangan Abe, tangan kirinya menodongkan sebilah belati runcing yang berkilat-berkilat.

“Serahkan ponselmu itu padaku,” perintah sosok bertopeng dengan suara seraknya yang sulit dikenali.

Hani ketakutan, kebingungan harus berbuat apa, kecemasan menguasainya. Keringat dingin mengalir di balik punggung.

“Aku tidak ingin membuang-buang waktu, serahkan sekarang juga atau kubunuh temanmu!” Dia mendekatkan belati itu tepat ke perut Abe yang berkedut-kedut ngeri.

Hani menggeleng-geleng lemah. Bagaimana mungkin dia menyerahkan bukti ini ke tangan si pelaku?

“Cepat!”

Gemetar di tangan Hani kian menjadi. Akhirnya dia berteriak, “Ryan! Louise! Tolong!” Selanjutnya menyisakan keheningan.

“Apa yang kau harapkan, Sayang?” Si sosok berjubah terbahak-bahak. “Mereka tidak ada di sini! Kau tidak bisa meminta tolong kepada siapa pun.”

Hani menggigit jari, pikirannya berpacu mencari celah untuk meloloskan diri … meskipun dengan ganjaran harus meninggalkan Abe?

“Dalam hitungan ketiga kau harus menyerahkan benda di tanganmu itu atau temanmu mati,” katanya dingin. “Oke, kita mulai dari satu …”

Pijakan Hani goyah, dia mundur ke belakang. “Louise! Ryan! Siapa pun!” teriaknya tetap meminta pertolongan meski diliputi kepasrahan.

“Sudah kubilang tidak ada gunanya berteriak. Tik tok, jam terus berdetik. Dua …”

Kalang kabut Hani mengitari ruangan menuju pintu keluar, dia menggenggam ponsel itu hingga tangannya memerah. Tiba di depan pintu, kenopnya macet. “Sialan!” rutuknya dengan jantung berdebar. Usai mencoba beberapa kali, dia baru menyadari pintunya dikunci.
Hani melirik ke sosok bertopeng yang masih menahan Abe di tengah ruangan, luapan amarah dan ketakutan berkobar di matanya. Jika saja dia mempunyai senjata dan kekuatan yang besar, tanpa rasa belas kasih lagi dia akan menebas kepala sosok itu. Tapi Hani menyadari keinginannya hanyalah halunasi yang mustahil terjadi.

“Tiga …”

Hani nyaris merosot mendengar ucapan si jubah hitam, pundaknya turun.

Sosok itu menjadi jengkel karena mangsanya tak kunjung memberikan apa yang si sosok itu mau, dia pun membentak, “waktumu sudah habis, cepat kemari!”

Hani diam di tempat, lemas dan tak berdaya.

“Cukup main-mainnya! Lihat ini!” Sosok itu menjulurkan tangannya, menempeli belati ke pipi Abe, dengan amat pelan dia mengirisnya.

Jantung Hani hendak melompat keluar, dia berlari mendekat sambik memekik, "hentikan!”

“Aku tidak menuruti perintah siapa pun, biar kupahat saja wajah temanmu ini,” kata si sosok hitam dengan keji.

Di sana Abe meringis kesakitan, tangannya sama sekali tidak bisa digerakkan dan pipihnya perih luar biasa. Tetesan darah segar jatuh ke lantai. “Hani, kumohon,” suara Abe nyaris tidak terdengar.

“Cepat! Atau kuiris telinga temanmu!” bentak si sosok lagi.

“Tolong … jangan lakukan ini. Bebaskan kami.” Mata Hani sembap, dia tidak bisa membendung rasa takut yang berubah menjadi tangisan.

“Jangan menangis, sialan!” Kesabaran si sosok hitam sudah habis. “Aku akan melepaskan kalian jika kau memberikan ponsel itu! Cepat!”

Abe dan Hani terkejut. Apakah sosok itu sungguh-sungguh? Atau hanya permainan kata belaka.

“Tapi kau harus berjanji akan melepaskannya setelah aku memberikan ponsel ini?!” tanya Hani memastikan, dia tidak mau ditipu.

“Sialan! Tutup mulutmu dan berikan benda itu!” sentaknya, seolah-olah hanya ada kata kasar sialan di kepalanya.

Akhirnya, dengan kaki gemetar, punggung basah dan kecemasan mengukung tinggi. Hani menghampiri seraya mengulurkan tangan. Dia tidak percaya benar-benar melakukannya meskipun semua ini demi keselamatan Abe dan dirinya.

Abe memperhatikan dalam diam ketika sosok yang menahan dirinya sedang meraih benda itu. Tiba-tiba timbul secercah harapan ketika dia merasakan cengkeraman di tangannya mengendur. Secepat mungkin, Abe mengayunkan kakinya ke belakang menendang tulang kering si sosok hitam. Sosok itu pun menjengit kaget, kemudian serangan lain menyusul oleh sikut Abe yang meronta-ronta. Dia mengerahkan segenap kekuatannya hingga cengkeraman itu melonggar dan terlepas, Abe sontak membalikkan badan.

Hani menahan napas saat ponsel dan belati melayang di udara, terlempar ke tepi ruangan. Keadaan ponsel Hani jadi tampak mengkhawatirkan. Sekali lagi Abe memberikan tinju sebelum sosok itu sempat melawan, jubahnya menyapu lantai saat dia tersungkur dan mengerang kesakitan

“Hani, tangkap benda itu!” pekik Abe.

Yang diteriaki mengangguk dan langsung berlari. Hani hampir tidak bisa mengerem larinya ketika hendak berhenti untuk mengambil belati dan ponsel, memegangnya seakan-akan itu adalah benda sakti yang dapat menghentikan perpecahan dunia. “Aku akan mencari jalan keluar!” ujar Hani.

"Cepatlah!" Abe kemabali bersiap-siap untuk menyerang musuh di hadapannya. “Hani, lempar belati itu ke sini!”

Hani mematuhi perintah Abe dan melemparnya ke tengah ruangan. Tubuh Abe yang tangkas dan kuat bekas penyiksaan serta segala pengalaman menyedihkan yang didapat dari Avalon membuatnya tumbuh dan berkembang menjadi lebih tangguh dari yang lainnya.

Waktu yang dimiliki Hani untuk mencari jalan keluar sangatlah sedikit. Oleh karena itu, begitu dia memandang jendela di samping. Dia berniat memecahkannya. Suara gaduh Abe dan sosok hitam yang bergulat membuat konsentrasi Hani buyar setiap saat dia mencoba fokus pada urusannya sendiri.
_Ayolah … kau bisa melakukan ini_ . Hani menyemangati dirinya sendiri sambil mengangkat kursi terdekat yang terbuat dari besi. Urat-urat kecil menonjol di sekitar lengan pucat Hani ketika kursi besi yang diangkat tinggi-tinggi terayun menghantam jendela. Bunyi benturan hebat agaknya mengagetkan dua orang yang sedang bergulat, menambah intens pertarungan.

Tidak berhenti di situ, Hani mengumpulkan tenaganya lagi dan mengayunkan kursi sekuat mungkin. Pada saat napasnya sudah memburu dan punggung banjir keringat. Serbuk-serbuk putih menyebar ke udara, serpihan-serpihan runcing tajam jatuh bertebaran diiringi suara keretak yang beruntutan dan berisik. “Abe, ayo!” teriaknya ke arah Abe yang tampak kewalahan.

Sosok hitam berjubah itu tergeletak di lantai, mengerang kesakitan sementara Abe menekuk lutut, hampir tersungkur di dekatnya, belati yang tadinya berada dipegangan Abe sudah terlepas, teronggok jauh di sudut ruangan. Hani langsung menghampiri temannya dengan penuh kekhawatiran. “Apa kau baik-baik saja, Abe? Kita harus segera pergi.”

Abe mengangguk patah-patah dan mereka berdua berlari ke tempat jendela yang pecah. Abe membuka jaketnya dan menghamparkannya di atas kusen jendela sebagai alas agar kulit mereka aman saat melintas. Usai berhasil keluar dari ruangan arsip terkutuk mereka tergopoh-gopoh berlari di koridor dan menuruni tangga lantai 2 dengan amat gusar. Hentakan sepatu keduanya menggema ke berbagai penjuru.

“Kita harus memanggil polisi untuk segera ke sini!” kata Hani sambil memelankan larinya.

Mereka pun berhenti sebentar di koridor lantai 1 untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya guna menggantikan pasokan oksigen yang terbuang habis. Abe menelpon polisi dan mengirimkan kabar pada Louise dan Ryan yang mungkin berada bersama para polisi itu. “Syukurlah kita masih bisa selamat,” desahnya pelan, dibalas anggukan Hani mengiyakan. “Oh ya, ada hal yang harus kukatakan,” katanya serius.

Mendadak Hani merasa tidak enak. Tadi dia sudah berbohong mengenai dokumen itu dan menolak mempercayai Abe, bahkan sempat berpikir mengorbankan keselamatannya.
Namun, kondisi saat ini justru berkata lain. Abe bukan seperti yang dipikirkan teman-teman dan dirinya, dia bahkan tidak seburuk itu. Justru keberadaan Ryan dan Louise yang menghilang pada momen mengerikan tadi memunculkan dugaan lain dibenak Hani. Entah keputusannya benar atau salah, fakta bahwa Abe nyaris dibunuh oleh sosok yang selama ini menjadi pelaku di balik semua kejadian yang ada membawa Hani kepada tumbuhnya rasa percaya pada Abe. Kerumitan pikiran Hani berlangsung hanya seperkian detik yang dilanjutkan oleh perkataan Abe.

"Kurasa kita harus merahasiakan dokumen itu, biarkan kita berdua saja yang melihat isinya dan mengetahui kebenarannya. Sekarang aku sulit percaya pada siapa pun tapi setelah ini, aku rasa kau seseorang yang dapat dipercaya,” tutur Abe terang-terangan. "Bolehkah aku yang menyimpannya?"

Hani tak mampu menyembunyikan keterkejutannya, tapi keterkejutan yang dimaksud olehnya bukan disebabkan oleh rencana merahasiakan data-data penting dari orang lain, melainkan ungkapan rasa kepercaayaan Abe pada dirinya yang beberapa menit lalu sudah mengatakan kebohongan pada Abe. Namun, laki-laki itu telah memaafkannya tanpa permohonan terlebih dahulu dari Hani.

“Oke,” kata Hani setuju. Dia mengusap layar ponsel yang baret, untungnya dia memiliki model ponsel terbaru yang tahan banting. "Aku juga percaya padamu, Abe." Hani mengeluarkan kartu memori dan menyerahkannya, kali ini dia merekahkan senyuman yang tidak tersamarkan. Secara tidak langsung dan tanpa kalimat yang terlontar, mereka telah membentuk sekutu.


《■■■■■》

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: