Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Secret Number - Seven

《■■■■■》

Pintu besi itu berdebam keras begitu Abe mendorongnya. Lelaki itu melangkah waspada memasuki ruang utama. Cahaya bulan buatan yang diciptakan oleh pemerintah Athelier menembus masuk melalui jendela-jendela yang melingkar di bagian atas ruangan. Pandangan Abe begitu sempit, ruangan ini begitu gelap. Hanya ada sedikit cahaya remang-remang yang menjadi penuntun bagi Abe untuk berjalan mencari saklar lampu tanpa menabrak sesuatu … atau seseorang. Tiba-tiba saja, bulu kuduk Abe meremang. Ia teringat akan kejadian yang dialami oleh teman-temannya. Bukankah Rowena, Odora, Ziggy, dan Zagga juga tewas dibunuh di tengah kegelapan seperti ini? Bagaimana jika sekarang adalah gilirannya?

Tidak, tidak! Abe menggeleng pada dirinya sendiri. Ia tidak akan mati sekarang. Ia tidak boleh mati sekarang! Ia harus hidup. Abe meraba-raba dinding ruang utama. Ia ingat benda itu ada di sekitar sini, tidak jauh dari pintu masuk. Di mana benda itu?

Ah, dapat! Abe menaikkan saklar lampu. Sepersekian detik, ruangan yang tadi remang cenderung gelap diterangi oleh cahaya terang dari lampu, tepat di atas meja bundar tempat penghuni Vaggard biasa berdiskusi. Abe menghela napas. Tidak akan ada yang bisa menyerangnya di tengah terang seperti ini, bukan? Lelaki itu mengusap dadanya lega.

Tiba-tiba,

TAP!

Mata Abe membulat begitu sebuah tangan memegang pundaknya. Jantungnya berdegup kencang, menampar-nampar dadanya hingga terasa begitu sakit. Cepat-cepat ia berbalik, melompat mundur, memasang sikap siaga.

“Woah! Santai, Abe!” seru orang itu sambil ikut melompat mundur, terkejut melihat tingkah waspada Abe.

“Louise? Kau?” Kalimat Abe terhenti. Dengan wajah memerah, ia menarik sikap siaganya, kembali berdiri seperti biasa. Sungguh memalukan! Karena takut, ia mengira bahwa orang yang tadi memegang pundaknya adalah orang gila yang menghabisi teman-temannya. Pria itu mengernyitkan kening dalam-dalam, bergantian menatap wajah Louise dan Ryan. “Kalian berdua dari mana saja?”

“Kami baru saja melaporkan kasus pembunuhan Ziggy dan Zagga ke kepolisian,” jawab Ryan dengan nada jutek. Lelaki itu melipat tangan di depan dada, menunjuk Abe dengan dagunya. “Kau sendiri dari mana saja?”

“Aku dan Hani baru saja memeriksa lokasi pembunuhan si kembar. Kami pikir, kami mungkin menemukan petunjuk tentang pelakunya.”

“Lalu, kalian menemukan sesuatu?” Louise bertanya antusias mendengar jawaban Abe.

Abe menggeleng kecewa. “Tidak. Kami tidak menemukan apa pun di sana. Tidak ada petunjuk tentang pelakunya, bahkan petunjuk kecil sekalipun.”

“Sayang sekali. Itu kabar yang cukup mengecewakan,” tutur Ryan sembari melirik Louise yang menunduk, mengepal tangan. Bahu pria itu nampak bergetar. Ia sepertinya begitu tidak sabaran untuk segera menemukan pelaku pembunuhan sang kekasih dan menghantamkan satu-dua bogeman mentah ke wajah orang sinting itu. Sayang sekali belum ada petunjuk berarti tentang pelaku (kecuali serangan yang dialami Hani dan Abe yang tentu saja tak akan pernah Abe ceritakan pada siapa pun).

“Omong-omong, di mana Hani?” tanya Ryan lagi.

Abe tersentak sejenak. “Oh, dia ada di—“

“AAAH!”

Jawaban Abe terpotong oleh suara teriakan seseorang. Ketiga pria dalam ruangan itu saling berpandangan dengan mata membelalak mendengar suara yang begitu pilu itu. Suara seseorang yang nyawanya tengah berada di ujung tenggorokan.

“Itu suara Hani!” seru Louise.

“Asalnya dari lorong! Kita harus segera ke sana!” timpal Ryan. Louise dan Abe mengangguk setuju. Dengan perasaan berkecamuk, ketiganya tergesa-gesa menuju lorong, tempat teriakan Hani berasal. Dalam hati, Abe terus memohon semoga Hani baik-baik saja.

Langkah Abe, Louise, dan Ryan langsung terhenti di tengah lorong. Napas mereka tertahan melihat tubuh Hani yang tergeletak di lantai bersama kubangan berwarna merah gelap. Matanya yang bulat membuka lebar-lebar menatap kosong ke arah Abe, Louise, dan Ryan. Tubuh Abe bergetar. Lututnya gemeletukan. Hani … dia juga mati!

“Hai, hai, hai!”

Abe, Louise, dan Ryan mengangkat kepala mereka begitu suara orang asing itu terdengar menyapa mereka diiringi dengan langkah kaki yang begitu perlahan, namun tegas. Tak lama kemudian, sosok berjubah hitam muncul dari balik sebuah kamar berbau chamommile. Abe mencoba mengingat-ingat kamar siapa itu, tetapi pikirannya terlalu kacau untuk bisa mengingat sesuatu.

“Akhirnya aku bertemu juga dengan kalian, para penghuni Athelier, atau harus kusebut penghuni Athelier … dan Avalon?” ucap sosok berjubah itu diakhiri tawa sinis.

“Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau membunuh teman-teman kami?!” Abe berseru menahan geram.

Sosok berjubah itu kembali tertawa geli, membuat darah Abe kian mendidih. “Kau lupa padaku, Abhigail? Ah, kau jahat sekali! Bisa-bisanya kau melupakan sahabatmu sendiri!”

Abe tersentak, napasnya makin tak karuan mendengar kalimat itu, ditambah lagi dengan tatapan bingung setengah mengintimidasi yang diberikan oleh Louise yang berdiri tepat di sampingnya. Cepat-cepat Abe menggeleng, berusaha mengatakan bahwa ia tak tahu apa pun tentang sosok berjubah itu. Ini tidak mungkin! Sosok berjubah itu tidak mungkin dia! Bukankah ia sudah mati?

“Kau sungguh-sungguh tak ingat, ya?” tanya sosok berjubah itu sekali lagi. Ia mendesah, ketahuan sekali pura-pura kecewa. “Baiklah. Aku akan mengingatkanmu.” Sosok berjubah itu mengangkat kedua tangannya.

Abe menahan napas menyaksikan sosok misterius itu melepas jubah dan topengnya. Jantung pria itu seperti berhenti berdetak melihat wajah yang berdiri di hadapannya saat ini. Ini … sungguh tidak mungkin! Bagaimana bisa?

“Apa kau bisa mengingatku sekarang, Abe? Aku, Calum, sahabatmu yang paling akrab denganmu. Aku, Calum, sahabatmu yang membantumu keluar dari Avalon dan orang yang kau korbankan untuk bisa menjadi salah satu warga Athelier.” Sosok misterius itu—Calum menaikkan alis menatap Abe. “Kau ingat?”

“Ini tidak mungkin.” Abe menggeleng cepat. Matanya berkaca-kaca, seluruh tubuhnya gemetar. Tanpa ia sadari, kakinya melangkah mundur. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Abe yakin, Calum telah mati di tangan para penjaga perbatasan Athelier yang kejam. Abe menjadikan Calum sebagai korban terakhir sehingga ia bisa menyelinap masuk dan menjadi warga Athelier.

Calum tertawa puas melihat tingkah Abe. Tawanya menggelegar, memenuhi lorong itu. “Kenapa tidak mungkin, Abe? Semua hal adalah mungkin di dunia yang kejam ini! Seseorang telah menyelamatkanku di hari naas itu sehingga hari ini aku bisa membalaskan semua dendamku padamu.” Calum menunjuk Abe. “Sekarang adalah giliranmu!”

“Kau tidak akan bisa mengalahkan kami!”

Abe terkejut. Suara lantang itu bukan suaranya. Louise. Lelaki itu mengepalkan tangannya geram. Amarah nampak berkilat-kilat di kedua bola matanya. Dalam hati, Abe bersyukur. Lelaki itu nampaknya masih berada di pihaknya, meski mungkin tidak untuk lama.

“Aku akan membalaskan kematian kekasihku!” seru Louise sekali lagi.

Calum terkekeh. “Ternyata, kalangan manusia rakus sepertimu juga bisa berubah menjadi budak cinta! Tapi, coba saja kalahkan aku! Kalian tidak akan bisa!”

“Jangan sombong dulu, Calum! Kau hanya sendirian, sedangkan kami bertiga. Kau akan kalah telak!”

“Bertiga?” Calum terpingkal-pingkal. “Sepertinya kau perlu belajar berhitung lagi, Abe,” ucapnya sambil berkacak pinggang. Abe dan Louise saling pandang, tak mengerti akan maksud kata-kata Calum.

BUK! BAK!

Abe dan Louise tersungkur saat seseorang tiba-tiba menyerang mereka dari belakang. “Apa-apaan ini, Ryan?! Apa yang kau lakukan?!” seru Abe.

Ryan tersenyum miring. “Maaf, teman-teman. Aku sungguh terpaksa melakukan ini.”

“Dasar pengkhianat!” Louise menggertakkan giginya geram. “Akan kuhabisi kau, Ryan!”

Tanpa peringatan, Louise kembali bangkit berdiri. Kakinya bagai melayang menerjang Ryan. Ia mengarahkan tinjunya ke wajah bajingan tersebut. Dengan gesit, Ryan segera menghindar. Tangannya yang gagah dan panjang segera menangkap lengan Louise, bersiap melempar tubuh pria itu. Entah apa yang menggerakkannya, Louise justru memutar tubuhnya. Penuh tenaga kakinya menendang tulang pinggang Ryan. Bunyi tulang patah terdengar memilukan. Tubuh Ryan tersungkur tepat di depan kaki Abe yang masih ternganga melihat aksi Louise.

Seruan dari belakangnya tiba-tiba menyentakkan Abe. Dengan sigap ia berbalik, menarik diri menghindar dari hunusan pisau Calum. Sebelum mantan sahabatnya yang ‘bangkit dari kematian’ itu sempat menyerangnya kembali, kaki Abe buru-buru terangkat, menendang tangan Calum, membuat pisau yang dipegangnya terlempar, lalu jatuh tepat di bawah kaki Louise yang segera meraihnya.

“Sialan kau, Abe!” Calum memberangus. Tangannya meninju liar, begitu cepat menyasar wajah, dada, dan perut Abe. Ia seperti tak ingin memberi kesempatan untuk Abe bernapas, bahkan barang sedetik saja. Untunglah Abe bisa mengimbangi kekuatan lelaki itu. Jika saja Louise yang berhadapan dengan Calum, ia sudah pasti akan kalah. Bukan sombong, tetapi bertahun-tahun pengalaman mereka sebagai budak yang diperlakukan seperti hewan di tanah Avalon telah membuat tubuh Abe dan Calum benar-benar kuat. Sementara Abe dan Calum beradu tangan kosong, Ryan kembali bangkit berdiri. Entah dari mana asalnya, ia tiba-tiba saja telah menggenggam sebilah pisau. Ah, tentu saja! Pria itu pasti telah menyembunyikan benda itu selama ini. Ia benar-benar cerdik! Dasar pengkhianat!

BUK!

Abe berhasil menaklukkan Calum. Lelaki itu tersungkur jatuh, tepat di dekat tubuh kaku Hani. Darah gadis itu bahkan terciprat ke wajahnya, sulit dibedakan dengan darahnya sendiri. Abe menyapu darah yang menetes di ujung mulutnya. Dengan kasar, ia membalikkan tubuh Calum, lalu duduk di atasnya. Ditariknya kerah baju pria itu.

“Menyerahlah, Calum! Sejak dulu, kau memang tidak pernah bisa mengalahkanku. Akuilah itu!” seru Abe dengan napas tersengal-sengal.

Napas Calum memburu menatap wajah Abe. Wajah mereka berdua habis oleh memar dan luka hingga nyaris tak lagi bisa dikenali. “Aku tidak akan menyerah!” seru Calum. Tangannya terangkat. Sekuat tenaga ia mendorong Abe hingga membuat posisi keduanya berbalik. Calum menyapu kasar darah di hidungnya. “Dulu, aku memang selalu kalah darimu, tapi sekarang tidak lagi! Aku akan menghabisimu di sini, Abe. Akan kuhabisi kau dan akan kubalaskan dendam teman-teman kita!”

BUK, BAK!

Calum tanpa henti memukul wajah Abe. Meski demikian, dalam beberapa kesempatan, Abe juga berhasil beberapa kali memukul wajah pria itu. Hingga yang terakhir, Abe benar-benar memukul wajah Calum dengan sekuat tenaga. Terdengar bunyi patah dari tulang hidungnya. Saat Calum tengah sibuk meraung menahan sakit di wajahnya, Abe melirik ke arah Louise dan Ryan. Mereka nampaknya telah bertarung mati-matian. Tubuh mereka terkapar di lantai, tak lagi berkutik. Jika mata Abe yang telah bengkak ini tak salah lihat, pisau bahkan melekat di perut keduanya. Abe menggertakkan gigi. Ia juga harus mengakhiri pertarungan ini. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, ia berusaha bangkit. Diraihnya bahu Calum. Ia lalu menghantamkan kepalanya ke kepala pria itu. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali hingga otak Abe yang rasanya juga ikut retak tak lagi mampu mengingat bentuk angka.

“AAARGH!” Calum berteriak sekuat tenaga. Sembari memegang kepalanya yang berdarah hebat, ia terkapar di samping Abe. Rintihannya terdengar berkali-kali, sebelum akhirnya menghilang. Ia tak lagi bersuara.

Abe menoleh. Mata Calum telah tertutup rapat. Tubuhnya yang hancur seolah tak lagi bernapas. Abe mengatur napasnya, tersenyum puas. Akhirnya, setelah sekian kali pertarungan yang selalu berakhir kemenangan Abe, Calum berhasil juga mengimbangi kekuatannya. Andai bukan di situasi seperti ini, hal ini tentu menyenangkan untuk dirayakan bersama teman-temannya di Avalon. Bersama James, Alex, dan Billy. Bersama teman-temannya yang telah ia korbankan demi ambisinya untuk menjadi warga Athelier. Ah, Abe baru menyadari. Ia begitu egois pada sahabat-sahabatnya. Perlahan, pandangan Abe mengabur. Ia bisa mendengar suara sepatu-sepatu berderap di lantai lorong dan seruan panik polisi Athelier, sebelum akhirnya kesadarannya hilang sama sekali.

《■■■■■》

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: