Secret Number - Four
《■■■■■》
"Chamomile?" tanya Ryan di ruang tengah Vaggard lagi dan lagi. Sejauh ini pembunuh masih tak ditemukan walaupun dengan beberapa bukti kuat.
Louise mengusap wajahnya dengan gusar. Ketakutan di dalam dirinya semakin membesar apalagi ia baru saja kehilangan orang terkasihnya - Odora. Ia memberanikan diri untuk bertanya, "Apa perlu kita panggil polisi lagi?"
Abe menggeleng keras. "Sadar atau tidak. Semakin kita gencar mencari bukti, maka pelakunya semakin gencar membunuh salah satu dari kita. Lihat! Saat kita berunding pertama kali untuk membahas kematian Klaus, tak lama Rowena terbunuh. Lalu Odora mencari bukti dan memanggil polisi, akhirnya Odora ikut terbunuh juga bukan?"
Semuanya mengangguk tanpa sadar. Mereka terdiam dengan pikiran kalut mereka masing-masing.
"Aku takut jika giliranku yang terbunuh setelah ini," Hani menundukkan kepalanya, "dan aku merasa tak bisa mempercayai satu orang pun dari kalian."
"Kenapa kita tidak menyatukan bukti-bukti saja? daripada menduga - duga seperti ini," usul Ziggy yang diikuti anggukan kepala Zagga.
Ryan menghisap rokok terakhirnya kemudian membuang putungnya di lantai, "Oke. Bagi tugas lagi? Yakin?"
Tanpa menunggu jawaban yang keluar dari mulut masing - masing orang, Louise langsung mengeluarkan bukti yang telah didapatkan Odora. Membuka berkas - berkas otopsi kematian Rowena dan mencari apa yang dapat dicari selain cairan Batrachotoxin. Yang ada hanyalah hubungan terdekat dengan sang korban.
"Rowena dekat dengan Abe juga?" tanya Louise. Abe tersentak, ragu - ragu untuk mengangguk. Ia lebih memilih untuk meminum minuman beralkohol di depannya.
"Setauku kamu datang dari Avalon, Abe." Ucapan Louise yang kali ini membuat Abe menyemburkan minumannya.
Abe buru - buru mencari alasan dan menjawab pertanyaannya dengan cepat, "Bukan. Bukankah Ziggy dan Zagga yang datang dari Avalon? Kamu salah mengira Lou! Memang ada dua orang yang datang dari Avalon tapi bukan diriku."
"Wow, wow, santai saja menjawabnya, Abighail," ujar Ryan dengan tersenyum aneh.
Ziggy hendak berseru marah mendengar tuduhan Abe namun urung saat dihentikan Zagga. "Aku kira Ryan pelakunya. Bukankah dia yang haus kekuasaan hm?" Zagga berusaha menuduh lainnya, ya bukankah tidak ada yang bisa dipercaya?
"HEI! Bicaralah yang benar!" balas Ryan tak kalah keras ke arah Zagga.
Kepercayaan semakin tak ada diantara mereka. Menuduh satu sama lain hal yang dapat dianggap lumrah di kondisi ini. Bahkan mereka lupa tidak melaporkan mayat Odora.
"Kumohon bukan waktunya bertengkar!" suara keras Hani menghentikan perseteruan yang ada.
"Kita ada di kondisi sulit. Klaus, Rowena, dan Odora terbunuh berantai. Mayat Odora belum kita laporkan. Sekarang yang kalian lakukan cuma menuduh satu sama lain saja. Bagaimana bisa selesai?"
Ryan mengangkat alisnya. " Lalu kamu hanya bisa memberi tahu dan mendumel saja bukan? Jangan sok ngasih tahu lah."
Hani berdiri dari tempat duduknya. Rambutnya yang sudah tak terikat lagi dengan muka yang lusuh menandakan dia sudah menyerah. "Mulai hari ini, aku tak mau lagi berurusan dengan kalian. Terserah kalian mau saling menuduh lagi atau bagaimana. Lebih baik aku mengurus mayat Odora dan mencari bukti sendiri."
Ziggy dan Zagga mengaduh serempak. Abe dan Ryan hanya mendengus seakan pernyataan menyerah dari Hani tak berguna. Sedangkan, Louise memilih menelepon polisi lagi untuk kematian berbeda, setidaknya keberadaanya dapat berguna.
***
Hani meninggalkan ruang tengah Vaggard. Memilih pergi ke kamar Odora untuk mencari jejak dan bukti walaupun dia tau mayat Odora ada di kafetaria.
Sebenarnya dia lumayan takut untuk berjalan di lorong kamar sendirian. Apalagi keadaan yang genting seperti ini. Ia mencium bau parfum Chamomile dari sebelah kamar Odora. Ah, tapi dia lupa itu kamar siapa.
Hani membuka pintu kamar Odora dengan perlahan. Melirik ke sekeliling kamar berukuran 4 × 4 tersebut. Dengan nuansa cat warna aqua dan hiasan - hiasan dinding membuat Hani menghela napas.
Ia tersenyum melihat foto Odora dan Louise terpampang di atas tempat tidur Odora. Tak mau terbuai oleh kamar Odora, Hani bergegas mencari hal yang berkaitan dengan Odora.
Di lacinya hanya ditemukan buku dan gambar - gambar sketsa rangkaian bunganya. Beserta berkas - berkas kepindahannya dari Xelonthus.
"Di mana lagi barang penting Odora tersimpan?" gumam Hani dalam hati. Kini, ia beranjak membuka lemari Odora. Tumpukan baju - baju tersusun rapi. Tangan Hani dengan cekatan menelusuri setiap baju Odora.
Sebuah foto yang telah robek terlihat di tumpukan baju paling bawah. Hani menarik foto tersebut dengan perlahan. "Ini kan foto saat kedatangan Odora enam bulan yang lalu. Kenapa terobek bagian pojok kanan atasnya?"
"Atau Odora pelakunya? Ah, masa iya. Dia kan jelas - jelas sudah terbunuh."
Hani masih bermonolog sendiri dan menghitung jumlah orang yang ada di foto. Ia membulatkan mata saat tahu tidak genap 10 orang pada foto itu.
"Siapa?" ujar Hani dengan lirih. Ingatannya seperti terhapus. Ia memutar balik foto itu dan menemukan satu kalimat yang ia yakini bukan Odora penulisnya.
One or two among us.
^^^
Di lain tempat, Ziggy dan Zagga berjalan ke selatan kafetaria. Atau tepatnya tempat pengunduhan dan pengarsipan data - data dari penghuni Vaggard. Gedung arsip ini terdiri dari 2 lantai. Lantai 1 dibiarkan menjadi kamuflase seakan tidak ingin ada data - data yang bocor.
Lantai vitalnya ada di lantai atas, tempat data - data disimpan dan lantai itulah tujuan Zagga dan Ziggy datang. Zagga mengawasi area luar lantai 2. Berharap dengan cemas tak ada yang akan datang.
Sedangkan, Ziggy fokus mencari info di komputer arsip. Ia membuka file perpindahan kependudukan. Terdapat beberapa opsi, Ziggy memilih file Avalon.
Belum sempat melihat nama yang ada di file Avalon, derapan langkah kaki terdengar.
"Siapa?" tanya Ziggy dan mendapat jawaban berupa angkatan bahu Zagga. Zagga buru - buru mengode Ziggy untuk memindahkan data ke flashdisk yang ia bawa.
Namun, kejadian sebelum kematian Rowena terulang kembali. Saat Ziggy hendak memindahkan data - data ke flashdisk miliknya, listrik tiba - tiba mati.
"Sial! Kenapa harus sekarang?!" maki Ziggy.
"Kuharap bukan kita selanjutnya," ujar Zagga mendekat ke arah Ziggy.
Sekelebat bayangan lewat di hadapan mereka. Ya, sosok bertudung hitam datang lagi. Kali ini dia datang dengan pisau bekas pembunuhan Rowena dan Odora. Aroma Chamomile tercium di indra penciuman Ziggy dan Zagga.
"Avalon. Tempat itu lagi, huh? Tak akan semudah itu kalian mendapatkan data yang ada." Suara serak dari sosok itu bersamaan dengan hunusan pisau ke arah jantung Ziggy. Dengan cepatnya Ziggy tergeletak tak bernyawa. Dibiarkanlah darah segar Ziggy mengucur deras. Sosok bertudung hitam merebut flashdisk yang ada di tangan Ziggy.
Zagga menghela napasnya. Dalam hati berdoa semoga sosok itu tak sadar kehadirannya. Ia berjalan mengendap - endap ke luar lantai dua.
Sosok lain menghadang Zagga di luar lantai dua. Menutup mulutnya seraya mengeluarkan pisau yang berbeda. "Dugaanmu temanmu benar, Zagga." Pisau yang ia bawa kini ia layangkan ke mata Zagga.
Zagga meronta - ronta hendak melepaskan tangan sosok lainnya dari mulutnya tetapi apadaya tenaga Zagga sudah terkuras habis.
"Mau apa? Keluar? Menang?" Ia menggoreskan pisau secara vertikal ke wajah Zagga. Dengan jarak yang sangat dekat, Zagga tahu siapa yang ada di depannya. Seseorang yang selama ini bersembunyi di balik sebuah nama. Luka jarum yang telah terbakar sebenarnya dapat menjadi bukti siapa pelakunya. Namun, apalah daya, Zagga sadar jika sekarang gilirannya.
Sosok itu mengelus dada Zagga dengan pisaunya. Tak lama, pisaunya berpindah ke dada kiri Zagga. "Ucapkan selamat tinggal dan sampai bertemu dengan empat temanmu yang lain."
Jleb. Tusukan pisau berada tepat di dalam jantung Zagga. Dengan kesalnya, sosok itu mengoyak organ Zagga hingga ke paru - paru.
Mayat Zagga terjatuh tak bernyawa. Sosok bertudung hitam datang dari dalam lantai 2, menyeret mayat Ziggy dan menumpuknya diatas mayat Zagga.
Sosok bertudung itu menepuk pundak temannya. "Kerja bagus."
"Janji tetap ditepati bukan?" ujar sosok lainnya dengan membuang napasnya kasar.
"Tak usah khawatir. Aku sudah menyiapkan masa depan indah untukmu."
《■■■■■》
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro